d. Adanya konsultasi yang terukur antara pihak bank dengan debitur. Konsultasi yang dilakukan sejak dini memungkinkan dapat mengurangi atau menekan
kemungkinan terjadinya kegagalan proyek yang bisa mengakibatkan kredit macet
e. Adanya suatu
sistem peringatan
pada administratsi
bank untuk
memperlihatkan berbagai informasi tentang nasabah kredit yang berkaitan dengan kepatuhan kepada ketentuan yang telah dibuat dalam perjanjian kredit.
7.a. Pelunasan Kredit
Dalam kondisi yang ideal, nasabah akan dapat selalu memenuhi kewajibannya terhadap bank sesuai dengan kesepakatan yang dimuat dalam perjanjian kredit.
Nasabah dapat membayar angsuran pokok pinjaman beserta bunganya sesuai dengan jadwal yang telah dibuat, sehingga kredit bank akhirnya dinyatakan lunas.
7.b. Tambahan Kredit
Terjadinya permohonan tambahan kredit yang diajukan debitur kepada bank atas dasar perluasan proyek merupakan bukti bahwa proyeksi kredit yang pertama
berjalan dengan baik dan sukses, kesempatan untuk menperoleh tambahan pendapatan bagi bank, serta sebagai tujuan promosi dalam memasarkan produk-
produknya kepada nasabah. 7.c.
Kredit Bermasalah Perkembangan pemberian kredit yang paling tidak menggembirakan bagi pihak
bank adalah adanya kredit bermasalah. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.75PBI2005 Kolektibilitas kredit digolongkan menjadi; Lancar, Dalam
Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
3.1.6. Kualitas Kredit
Penilaian kualitas kredit yang diberikan dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya, seperti melalui prosedur penilaian
yang benar dan sungguh-sungguh, alokasi kredit harus berpedoman pada ketetapan dan surat edaran otoritas moneter dan Bank Indonesia, dan kebijaksanaan pemberian kredit
harus memiliki perencanaan. Perencanaan kredit yang diberikan dilakukan secara realistis dan objektif agar
pengendalian dapat berfungsi dan tujuan tercapai. Perencanaan kredit yang diberikan harus didasarkan atas keseimbangan antara jumlah, sumber, dan jangka waktu dana agar
tidak menimbulkan masalah terhadap tingkat kesehatan dan likuditas bank. Kualitas dari
proses pemberian kredit terletak pada faktor kualitas pejabat kredit yang menanganinya menurut Firdaus 2004, adalah sebagai berikut:
1. Kualitas atau kemampuan dapat mengidentifikasi dan menganalisa risiko yang akan timbul dari usaha yang akan dibiayai.
2. Kualitas mental dan moral dari para pejabat kredit yang menanganinya meliputi adanya kepentingan pribadi dan moral yang kurang baik.
3.1.7. Kredit Bermasalah Non Performing Loan
Pengertian Kredit Bermasalah
Menurut Dendawijaya 2005, Kredit Bermasalah NPL merupakan kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran pokok kredit beserta
bunganya yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian kredit. Sedangkan menurut Lapowila 2000, Non Performing Loan adalah aktiva yang digolongkan kurang
lancar, diragukan, dan macet menurut Bank Indonesia. PSAK No.31 revisi 2000 tentang perbankan menyebutkan mengenai kredit yang bermasalah atau non performing
sebagai berikut: Non-Performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan atau bunganya telah melewati masa 90 hari atau lebih setelah jatuh
tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit non performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan,
dan macet . Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 75PBI2005, tentang penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum, untuk usaha kecil dengan plafond sampai dengan Rp 500 juta, kualitas pembiayaan atau kredit hanya ditentukan oleh ketepatan pembayaran pokok
dan margin atau bunga, sehingga ketentuan kualitas pembiayaan digolongkan menjadi sebagai berikut:
1. Lancar kolektibilitas 1, yaitu pembiayaan dengan pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan sesuai dengan persyaratan
pembiayaan. 2. Dalam perhatian khusus kolektibilitas 2, yaitu pembiayaan yang terdapat tunggakan
pokok dan atau margin sampai dengan 90 hari dan jarang mengalami cerukan. 3. Kurang lancar kolektibilitas 3, yaitu pembiayaan yang terdapat tunggakan
pembayaran pokok dan atau margin yang telah melampaui 90 sampai dengan 120 hari, terdapat cerukan yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian
operasional dan kekurangan arus kas.
4. Diragukan kolektibilitas 4, yaitu pembiayaan yang terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau margin yang telah melampaui 120 hari hingga 180 hari. Terjadi
cerukan yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.
5. Macet kolektibilitas 5, yaitu pembiayaan dengan tunggakan pokok dan atau margin yang telah melampaui 180 hari.
penilaian atau penggolongan suatu kredit ke dalam tingkat kolektibilitas kredit tertentu didasarkan pada kriteria kuantitatif dan kualitatif. Kriteria penilaian secara
kuantitatif didasarkan pada keadaan pembayaran kredit oleh nasabah yang tercermin dalam pembukuan dan administrasi bank, yaitu mencakup ketepatan pembayaran dengan
melihat data historis dari masing-masing rekening pinjaman debitur. Kemudian data historis tersebut dibandingkan dengan standar sistem penilaian
kolektibilitas yang
didasarkan pada peraturan Bank Indonesia. Kemudian untuk penilaian kolektibilitas secara kualitatif didasarkan pada prospek usaha debitur dan kondisi keuangan usaha
debitur. Usaha debitur dinilai berguna untuk mengetahui kemampuan debitur membayar kembali pinjaman dari hasil usahanya sesuai dengan perjanjian kreditnya yang dapat
dideteksi dari proyeksi arus kas usahanya. Menurut Kasmir 2002:128, dalam praktiknya kredit bermasalah disebabkan
oleh dua unsur yaitu: 1. Dari pihak perbankan: analisis kurang teliti, sehingga masalah apa yang akan
terjadi dari debitur tidak dapat ditanggulangi atau di prediksi dengan baik dari risiko yang akan timbul atas suatu usaha. Kemudian terjadi kolusi dari pihak
analis ataupun pejabat yang berwenang dengan pihak debitur sehingga dalam analisinya dilakukan secara subjektif.
2. Dari pihak nasabah: adanya unsur kesengajaan, tidak adanya unsur kemauan untuk membayar walaupun sebenarnya nasabah tersebut mampu untuk
membayarnya. Adanya unsur ketidaksengajaan, artinya debitur mau membayar akan tetapi tidak mampu dikarenakan nasabah mengalami musibah.
Menurut Dendawijaya 2005, implikasi bagi pihak bank sebagai akibat dari timbulnya kredit bermasalah adalah sebagai berikut:
1. Hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendapatan dari kredit yang diberikannya, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi
profitabilitas bank. 2. Rasio Kualitas Aktiva Produktif atau yang dikenal dengan Bad Debt Ratio BDR
menjadi semakin besar yang menggambarkan kredit tersebut tidak sehat.
3. Bank harus memperbesar penyisihan untuk cadangan Aktiva Produktif yang diklasifikasikan berdasarkan ketentuan yang ada, hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya besar modal bank dan sangat berpengaruh terhadap Capital Adequacy Ratio CAR
4. Return on Assets ROA mengalami penurunan 5. Sebagai akibat dari komplikasi dari perihal di atas adalah menurunnya nilai
tingkat kesehatan bank berdasarkan perhitungan menurut metode CAMEL Capital, Asset, Management, Equity, Liability.
3.1.8. Penyelamatan Kredit Bermasalah