B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi
Robusta Coffea canephora Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina?
2. Manakah dosis seduhan bubuk kopi Robusta Coffea canephora
Manggarai yang memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih betina?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta
Coffea canephora Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih
betina
2. Mengetahui dosis seduhan bubuk kopi Robusta Coffea canephora
Manggarai yang memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih
betina
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang manfaat sifat laksatif kopi Robusta Coffea canephora Manggarai untuk mengobati
konstipasi.
2. Bagi Dunia Pendidikan
a. Sebagai sumber pembelajaran pada materi gangguan sistem
pencernaan makanan manusia untuk SMA kelas XI
b.
Sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang khasiat kopi bagi tubuh
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai manfaat kopi khususnya kopi Robusta Coffea canephora Manggarai untuk
menyembuhkan konstipasi.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Terkait
1. Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari tubuh melalui anus. Anus memiliki dua otot lingkar sfingter, yaitu sfingter ani internus yang bekerja
secara tidak sadarinvolunter otot polos dan sfingter ani eksternus yang
bekerja secara sadarvolunter otot rangkalurik. Rektum biasanya kosong
sampai menjelang defekasi. Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke dalam rektum maka akan merangsang reseptor regang di dinding rektum
sehingga memicu refleks defekasi pada tekanan sekitar 18 mmHg. Bila tekanan ini mencapai 55 mmHg, refleks ini menyebabkan sfingter ani internus melemas
sedangkan rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani eksternus juga melemas maka terjadi defekasi Pearce, 2013; Ganong, 1995.
Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi maka pengencangan sfingter ani eksternus secara sengaja sadar dapat mencegah defekasi
meskipun refleks defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rektum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk
buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam rektum dan kembali meregangkan rektum serta memicu
refleks defekasi. Selama periode inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi
untuk menjamin kontinensia tinja. Inilah alasan defekasi disebut juga sebagai refleks spinalis karena dapat dihambat secara sengaja sadar dengan menjaga
sfingter eksterna berkontraksi atau difasilitasi dengan merelaksasi sfingter ani dan mengkontraksi otot abdomen Sherwood, 2011.
Jika defekasi terjadi maka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi otot abdomen mengejan dan dorongan
ekspirasi kuat melawan glotis yang tertutup Manuver Valsava secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intraabdomen, yang
membantu mendorong tinja. Peningkatan tekanan intra-abdominal diperantarai oleh kontraksi otot pada dinding abdominal perut dan diafragma Sherwood,
2011; Pearce, 2013; dan Silverthorn, 2013. Defekasi dikontrol oleh sistem saraf pusat yang melalui daerah pinggang dan belakang pelvis sacrum pada
jaringan saraf tulang belakang Capasso and Gaginella, 1997. Menurut Parker and Parker 2002, tidak ada jumlah yang pasti untuk
frekuensi defekasi per hari atau per minggu. Frekuensi defekasi normal bisa jadi adalah tiga kali sehari atau tiga kali seminggu bergantung pada setiap
individu. Sheerwood 2011 dan Ganong 1995 menjelaskan bahwa variasi normal frekuensi defekasi di antara individu berkisar dari setiap setelah makan,
3 kali sehari, sekali sehari, setiap 2-3 hari hingga sekali seminggu. Ada pula individu yang mempunyai kebiasaan teratur membuang air besar pada kira-kira
waktu yang sama setiap hari. Ada yang melakukan defekasi di pagi hari, karena refleks gastrokolik, yang biasanya bekerja sesudah makan pagi sarapan. Ada
yang membuang air besar setelah pulang kerja; yang lain pada malam hari
karena ada waktu tenang untuk memenuhi kebutuhannya. Waktu atau frekuensi defekasi setiap orang berbeda-beda Pearce, 2013.
1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Defekasi
Defekasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi psikologi; kebiasaan atau kebudayaan; dan kandungan serat dalam makanan yang
dikonsumsi. Emosi dan stress dapat meningkatkan motilitas usus dan menyebabkan diare psikosomatis pada beberapa individu tetapi dapat juga
menurunkan motilitas dan menyebabkan konstipasi pada individu lainnya. Ketika feses tertahan di dalam kolon, baik karena mengabaikan refleks
defekasi secara sadar maupun karena penurunan motilitas, penyerapan air terus berlanjut sehingga feses menjadi kering dan keras yang sulit untuk
dikeluarkan. Kerja defekasi ialah soal kebiasaan. Pada orang dewasa, kebiasaan dan faktor kebudayaan memainkan peranan besar dalam
menentukan kapan timbul defekasi Pearce, 2013; Silverthorn, 2013; dan Ganong, 1995.
Selulosa, hemiselulosa, dan lignin merupakan komponen penting serat makananserat diet. Serat mencapai usus besar dalam keadaan yang
pada hakekatnya tidak berubah karena tidak mudah dicerna. Berbagai permen karet, polisakrida alga, dan senyawa peptik juga menyokong serat
diet. Jika rendah jumlah serat diet, maka diet dikatakan kekurangan massa Ganong, 1995. Dua jenis serat yaitu mudah larut soluble dan susah larut
insoluble terdapat pada buah-buahan segar, sayuran seperti kol dan wortel, serta gandum. Serat yang mudah larut dapat bercampur dengan air