Pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina.

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN

BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh:

Ester Nurani Keraru NIM: 131434045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

i

PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN

BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Oleh:

Ester Nurani Keraru NIM: 131434045

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

iv

PERSEMBAHAN

Laut tenang tidak akan pernah membuat pelaut menjadi mahir.

~Anonim

Karya ini saya persembahkan untuk: Tuhan YME dan St. Maria yang telah mengabulkan doa-doa dan

senantiasa selalu memberkati perjalanan hidup saya, Alm. Bapak Siprianus Keraru, Almh. Ibu Bibiana Lamus, K Selin, K Agnes, K Yusi, K Pegi, dan Almh. Beni Keraru, Keluarga besar Pendidikan Biologi, khususnya angkatan 2013, Sahabat dan teman-teman terkasih serta Almaterku Universitas Sanata Dharma.


(6)

(7)

(8)

vii ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN

BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA

Ester Nurani Keraru NIM: 131434045 Universitas Sanata Dharma

Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai mengandung kafein tinggi yaitu 0.4% b/b yang dapat menstimulasi pergerakan usus untuk mengobati konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina dan dosis yang paling optimum untuk efek laksatif.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus berjumlah 20 ekor, umur 2-3 bulan, dan bobot badan 100-200 gram yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan. Kelompok 1, 2, dan 3 diberi seduhan bubuk kopi dengan dosis peroral 0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200gBB; kontrol positif Dulcolax 0.252 mg/200gBB; dan kontrol negatif air hangat 5 ml/200gBB. Semua tikus diinduksi ekstrak daun gambir dua hari dan dipuasakan air minum 18 jam sebelum perlakuan untuk memberikan efek sembelit. Efek laksatif bahan uji diketahui dengan mengamati frekuensi defekasi selama 6 jam dan mengkategorikan konsistensi feses.

Variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai memiliki efek laksatif pada tikus putih betina yang ditunjukkan oleh nilai rerata frekuensi defekasi lebih tinggi daripada kontrol negatif dan konsistensi feses termasuk kategori normal. Seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai pada dosis 0.3 g/200gBB memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih. Efek laksatif kopi terutama berasal dari metabolit kafein yaitu senyawa theophylline yang merelaksasi otot polos pada saluran pencernaan.

Kata kunci: frekuensi defekasi, kafein, konsistensi feses, kopi Robusta Manggarai, laksatif


(9)

viii ABSTRACT

THE EFFECT OF GIVING VARIANCE DOSES OF STEEPED MANGGARAIAN ROBUSTA COFFEE (Coffea canephora) GROUNDS

TOWARD LAXATIVE EFFECT ON FEMALE RAT Ester Nurani Keraru

Student Number: 131434045 Sanata Dharma University

Robusta coffee (Coffea canephora) from Manggarai contains 0.4 wt % of caffeine which can stimulate bowel movement to cure constipation. This

research’s aims were to know the effect of giving variance doses of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds toward laxative effect on female laboratory rats and the optimum dose for laxative effect.

This research was a pure experimental with Completely Randomized Design; 20 rats, age 2-3 months, and 100-200 grams body weight (BW) were used for experiment and divided into 5 treatment groups. Group 1, 2, and 3 were given steeped Manggaraian Robusta coffee grounds with oral doses of 0.15 g, 0.3 g, and 0.6 g/200gBW; positive control was treated with Dulcolax 0.252 mg/200gBW; and negative control was treated with warm water 5 ml/200gBW. Rats were induced by gambier’s leaf extract for 2 days and fasted for drink of water 18 hours before treatment for giving constipation effect. Laxative effect of the experiment substance was known by observing the defecation frequency during 6 hours and feces consistency grouping.

Variance of doses of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds have laxative effect on female laboratory rats that was showed by the average value of defecation frequency higher than negative control and the feces consistency grouped into normal category. Dose 0.3 g/200gBW of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds was the optimum dose for laxative effect on female laboratory rats. Laxative effect of coffee was primary originated from a caffeine’s metabolism namely theophylline compound which was relaxing smooth muscle at

laboratory rat’s digestive system.

Keywords: caffeine, defecation frequency, feces consistency, laxative,

Manggaraian Robusta coffee


(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan berkat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Efek Laksatif pada Tikus Putih Betina”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Pendidikan Biologi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik berkat bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Retno Herrani, M.Biotech. selaku dosen pembimbing, yang telah memberi semangat dan menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.

2. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

3. Drs. Antonius Tri Priantoro, M.For.Sc. selaku Kaprodi Program Studi Pendidikan Biologi.

4. Dra. Maslicah Asy’ari, M.Pd. dan Yoanni Maria Lauda Feroniasanti, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.


(11)

x

5. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt.danYoanni Maria Lauda Feroniasanti, M.Si yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pengajaran, masukan, dan saran yang sangat bermanfaat.

6. Pak Agus selaku laboran dan Pak Marsono selaku karyawan di Laboratorium Pendidikan Biologi.

7. Pak Pardjiman selaku laboran dan Pak Sarmin selaku petugas cleaning service di Laboratorium Hayati Imono, Farmasi.

8. Bu Agnes Sri Suharti selaku pengurus bagian Ethical Clearance di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT), UGM.

9. Lembaga Kesejahteraan Mahasiswa (LKM), Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan dukungan finansial pada penelitian ini.

10.Kakak-kakak tersayang, Selin, Agnes, Yusi, dan Pegi Keraru serta Mama Sisi dan Tanta Mina yang selalu mendukung dan memberi semangat.

11.Sahabat dan teman-teman terkasih yang telah ikut terlibat dan membantu kelancaran penelitian ini khususnya Icha Ratu, Rista Barut, Yolan dan Yoan Peri, Toto Pagu, Tanto Didimus, Merry Cristi, Widhi (terima kasih untuk sepedanya), Tia Ariana, Anna Maria, Br. Dieng, Ananta Kurniawan, Felis Alegore, Margareta Via, Putri Patty, dan Asa.

12.Seluruh teman Pendidikan Biologi 2013 yang telah memberikan dukungan dan membentuk saya menjadi pribadi yang tangguh.

13.Semua pihak yang telah membantu dengan caranya masing-masing yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(12)

xi

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi melengkapi tulisan ini. Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.


(13)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... .i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... .iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... .xv

DAFTAR GRAFIK ... xvi

DAFTAR DIAGRAM ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Teori Terkait ... 7

1. Defekasi ... 7

2. Konstipasi ... 11

3. Laksatif ... 19

4. Kopi Robusta Manggarai ... 21

5. Gambir ... 30

6. Tikus ... 31

B. Penelitian yang Relevan ... 33

C. Kerangka Berpikir ... 35

D. Hipotesa ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 38

A. Jenis Penelitian ... 38

B. Batasan Penelitian ... 38

C. Alat dan Bahan ... 41

D. Cara Kerja ... 42

E. Metode Analisa Data ... 50

F. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Hasil ... 53

1. Frekuensi Defekasi ... 53

2. Konsistensi Feses ... 56

3. Mula Kerja Bahan Uji ... 57


(14)

xiii

1. Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Frekuensi Defekasi

pada Tikus Putih Betina ... 58

2. Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Konsistensi Feses pada Tikus Putih Betina ... 66

C. Hambatan dan Keterbatasan dalam Penelitian ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

BAB VI IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN UNTUK PEMBELAJARAN ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi kira-kira feses dengan diet rata-rata ... .10

Tabel 2.2 Dosis dan mula kerja laksatif alami dan sintetis ... 20

Tabel 2.3 Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology (ACG), onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis konstipasi ... 20

Tabel 2.4 Komposisi kandungan zat dalam buah kopi matang ... 25

Tabel 2.5 Komposisi kimia biji kopi Robusta (Coffea canephora) antara sebelum dan sesudah disangrai per 100 gram berat kering ... 26

Tabel 2.6 Data biologi normal tikus ... 32

Tabel 3.1 Lembar pengambilan data frekuensi defekasi tikus putih ... 49

Tabel 3.2 Lembar pengambilan data konsistensi feses tikus putih ... 50

Tabel 4.1 Data konsistensi feses tikus putih betina setelah perlakuan ... 56


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Morfologi tanaman kopi Robusta (Coffea canephora) ... 23

Gambar 2.2.a Struktur buah kopi Robusta ... 24

Gambar 2.2.b Morfologi biji kopi Robusta ... 24

Gambar 2.3 Tradisi toto kopi di Manggarai ... 28

Gambar 2.4 Tiga senyawa turunan dari kafein ... 29

Gambar 2.5 Bagan literature map ... 35

Gambar 2.6 Diagram alir kerangka berpikir ... 37

Gambar 4.1 Kondisi feses tikus putih betina sebelum diinduksi gambir ... 53

Gambar 4.2 Kondisi feses tikus putih betina setelah diinduksi gambir selama 2 hari dan puasa minum 18 jam sebelum perlakuan ... 53

Gambar 4.3 Feses basah tikus putih betina setelah diberikan perlakuan bahan uji ... 57

Gambar 4.4 Tingkatan gilingan bubuk kopi ... 61

Gambar 4.5 Tingkatan gilingan bubuk kopi Robusta Manggarai ... 61


(17)

xvi

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Data rerata frekuensi defekasi tikus putih betina selama 6 jam

Setelah diberikan perlakuan bahan uji ... 54

DAFTAR DIAGRAM


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Data Penelitian ... 78

A Berat feses tikus putih betina sebelum dan sesudah diinduksi gambir ... 78

B Frekuensi dan waktu defekasi tikus putih betina ... 80

C Konsistensi feses tikus putih betina ... 84

Lampiran II Hasil Uji Statistika terhadap Data Frekuensi Defekasi ... 85

A Uji Normalitas ... 85

B Uji Homogenitas ... 85

C Uji ANOVA Satu Faktor ... 86

Lampiran III Perangkat Pembelajaran ... 87

A Silabus ... 87

B Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 93

C Materi Pembelajaran dan Artikel Penelitian ... 100

D Worksheet Analisis Artikel Penelitian ... 115

E Lembar Penilaian Afektif ... 119

F Lembar Penilaian Psikomotorik ... 121

G Lembar Penilaian Kognitif ... 123

Lampiran IV Dokumentasi Penelitian ... 133

Lampiran V Ethical Clearance ... 136

Lampiran VI Laporan Hasil Uji Kafein dan Serat Kasar pada Bubuk Kopi Robusta Manggarai... 137


(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konstipasi atau sembelit merupakan masalah kesehatan yang biasanya diremehkan oleh masyarakat karena dianggap sebagai penyakit yang ringan. Namun, bila dibiarkan hingga waktu yang lama, yaitu 12 minggu maka akan menimbulkan penyakit kronis. Menurut Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), dr. Chudahman Manan, SpPD-KGEH, konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yaitu berkurangnya frekuensi buang air besar dari biasanya yaitu kurang dari tiga kali dalam seminggu dan konsistensi tinja yang lebih keras. Gejala lainnya adalah mengejan, perasaan tertahan saat BAB, perasaan adanya hambatan pada dubur, dan evakuasi feses secara manual (Susilawati, 2010).

Wanita lebih beresiko mengalami konstipasi daripada pria. Menurut data dari RSCM dalam Susilawati (2010) selama kurun waktu 1998-2005, dari 2.397 pemeriksaan kolonoskopi, 216 diantaranya atau sekitar 9% terindikasi mengalami konstipasi dan lebih banyak dialami oleh wanita dengan angka perbandingan 4:1. Konstipasi terjadi karena aktivitas fisik kurang, asupan makanan dan minuman yang kurang, sedang dalam diet rendah serat, serta sedang mengonsumsi obat-obatan yang menimbulkan konstipasi dan depresi.


(20)

Menurut Susilawati (2010), terdapat dua cara untuk mengobati konstipasi yaitu terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Terapi nonfarmakologi dilakukan melalui meningkatkan aktivitas fisik, menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi, meningkatkan konsumsi serat dan minum yang cukup, serta mengatur kebiasaan BAB, seperti menghindari mengejan dan membiasakan BAB setelah makan atau waktu yang dianggap sesuai. Terapi farmakologis dilakukan dengan mengkonsumsi pencahar osmotik (laktulosa) dan pencahar stimulant (bisacodyl dan sodiumpicosuphate) untuk melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik atau gerakan usus.

Kopi merupakan salah satu minuman yang bersifat laksatif sehingga dapat digunakan sebagai pencahar. Dalam Kristina (2014) dijelaskan bahwa kandungan kafein dalam kopi berperan sebagai stimulan peristaltik dan bermanfaat dalam mencegah konstipasi. Menurut Yusianto (1999) dalam Panggabean (2011), buah kopi yang sudah matang penuh (fully ripe) mengandung serat dengan jumlah 27,44%. Kandungan serat dalam kopi juga merupakan komponen penting yang berperan sebagai laksatif serat. Laksatif serat meningkatkan berat feses karena mengabsorpsi air, sehingga mempercepat propulsi massa (gerakan mendorong tinja/feses).

Menurut program Nawacita yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi, kopi adalah salah satu komoditi dalam target Kementrian Pertanian 2016. Berdasarkan Renstra Kementrian Pertananian 2015-2019, rata-rata pertumbuhan dalam RPJMN 2015-2019 untuk komoditi kopi yaitu 2,6 %. Selain itu, kopi memiliki nilai ekonomis tinggi dan merupakan produk andalan


(21)

ekspor di Indonesia. Ada empat jenis kopi yaitu kopi Liberika, kopi Ekselsa, kopi Arabika, dan kopi Robusta. Kopi Liberika dan kopi Ekselsa dikenal kurang ekonomis dan komersial karena memiliki banyak variasi bentuk dan ukuran biji serta kualitas cita rasanya (Rahardjo, 2012).

Kopi Arabika dan kopi Robusta memasok sebagian besar perdagangan kopi dunia. Kualitas cita rasa kopi Robusta di bawah kopi Arabika, tetapi kopi Robusta tahan terhadap penyakit karat daun. Oleh karena itu, luas areal tanam kopi Robusta di Indonesia lebih besar daripada luas areal tanam kopi Arabika sehingga produksi kopi Robusta lebih banyak. Kopi Robusta (Coffea

canephora) dari Manggarai Timur dinobatkan sebagai kopi terbaik di Indonesia

tahun 2015 dengan perolehan nilai 89.03 (Ningtyas, 2015). Dari enam kecamatan yang ada di Manggarai Timur, semuanya memiliki lahan kopi dan areal terluas ada di Kecamatan Poco Ranaka, yaitu 2.365,65 hektar jenis kopi Robusta (Oktora dan Dewanto, 2011).

Dewasa ini, tujuan utama masyarakat mengonsumsi kopi adalah agar terhindar dari rasa kantuk dan terjaga. Namun, ternyata ada efek lain yang dirasakan setelah minum kopi yaitu perut mulas dan rasa ingin BAB. Efek tersebut dikenal sebagai efek laksatif atau pencahar. Khasiat kopi sebagai pencahar dapat dioptimalkan jika memperhatikan tiga hal berikut, yaitu waktu, diimbangi dengan konsumsi air putih, dan dosis. Waktu minum kopi yang terbaik adalah pukul 09:30-11:30 dan 13:30-17:00 dimana kadar hormon kortisol sedang rendah (Miller, 2013). Konsumsi kopi ketika kadar hormon


(22)

kostisol tinggi akan mengganggu jam biologis tubuh. Efek kafein pada tubuh dapat dihilangkan atau dinetralkan dengan konsumsi air yang cukup, yaitu minimal dua gelas air putih untuk mengganti segelas kopi. Tujuannya adalah agar dicapainya keseimbangan cairan dalam tubuh (Masdakaty, 2015).

Pada tahun 2015, European Food Safety Authority (EFSA) mempublikasikan Scientific Opinion on the Safety of Caffeine yang menganjurkan bahwa asupan kafein dari berbagai sumber maksimal 400 mg per hari dan aman untuk mengonsumsi kafein dengan dosis tunggal sebanyak 200 mg (ISIC, 2016). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa setelah mengkonsumsi kopi maka akan terjadi gerakan peristaltik pada usus besar sehingga perut terasa mulas lalu berdefekasi. Hal ini terjadi karena kopi memiliki efek laksatif atau pencahar. Namun, belum diketahui secara ilmiah berapa dosis kopi yang dibutuhkan agar defekasi bersifat normal dan aman bagi metabolisme tubuh. Normalnya defekasi ditentukan oleh frekuensi defekasi dan konsistensi feses,

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis kopi yang tepat agar manfaat laksatif kopi dapat memberikan pengaruh defekasi yang normal bagi tubuh. Dengan demikian, kopi diharapkan dapat menjadi salah satu referensi obat untuk konstipasi. Penelitian ini berjudul PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA.


(23)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina?

2. Manakah dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai yang memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih betina?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina

2. Mengetahui dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai yang memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih betina

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang manfaat sifat laksatif kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai untuk mengobati konstipasi.


(24)

2. Bagi Dunia Pendidikan

a. Sebagai sumber pembelajaran pada materi gangguan sistem pencernaan makanan manusia untuk SMA kelas XI

b. Sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang khasiat kopi bagi tubuh

3. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai manfaat kopi khususnya kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai untuk menyembuhkan konstipasi.


(25)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Terkait

1. Defekasi

Defekasi adalah pengeluaran feses dari tubuh melalui anus. Anus memiliki dua otot lingkar (sfingter), yaitu sfingter ani internus yang bekerja secara tidak sadar/involunter (otot polos) dan sfingter ani eksternus yang bekerja secara sadar/volunter (otot rangka/lurik). Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke dalam rektum maka akan merangsang reseptor regang di dinding rektum sehingga memicu refleks defekasi pada tekanan sekitar 18 mmHg. Bila tekanan ini mencapai 55 mmHg, refleks ini menyebabkan sfingter ani internus melemas sedangkan rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani eksternus juga melemas maka terjadi defekasi (Pearce, 2013; Ganong, 1995).

Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi maka pengencangan sfingter ani eksternus secara sengaja (sadar) dapat mencegah defekasi meskipun refleks defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rektum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam rektum dan kembali meregangkan rektum serta memicu refleks defekasi. Selama periode inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi


(26)

untuk menjamin kontinensia tinja. Inilah alasan defekasi disebut juga sebagai refleks spinalis karena dapat dihambat secara sengaja (sadar) dengan menjaga sfingter eksterna berkontraksi atau difasilitasi dengan merelaksasi sfingter ani dan mengkontraksi otot abdomen (Sherwood, 2011).

Jika defekasi terjadi maka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi otot abdomen (mengejan) dan dorongan ekspirasi kuat melawan glotis yang tertutup (Manuver Valsava) secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intraabdomen, yang membantu mendorong tinja. Peningkatan tekanan intra-abdominal diperantarai oleh kontraksi otot pada dinding abdominal (perut) dan diafragma (Sherwood, 2011; Pearce, 2013; dan Silverthorn, 2013). Defekasi dikontrol oleh sistem saraf pusat yang melalui daerah pinggang dan belakang pelvis (sacrum) pada jaringan saraf tulang belakang (Capasso and Gaginella, 1997).

Menurut Parker and Parker (2002), tidak ada jumlah yang pasti untuk frekuensi defekasi per hari atau per minggu. Frekuensi defekasi normal bisa jadi adalah tiga kali sehari atau tiga kali seminggu bergantung pada setiap individu. Sheerwood (2011) dan Ganong (1995) menjelaskan bahwa variasi normal frekuensi defekasi di antara individu berkisar dari setiap setelah makan, 3 kali sehari, sekali sehari, setiap 2-3 hari hingga sekali seminggu. Ada pula individu yang mempunyai kebiasaan teratur membuang air besar pada kira-kira waktu yang sama setiap hari. Ada yang melakukan defekasi di pagi hari, karena refleks gastrokolik, yang biasanya bekerja sesudah makan pagi (sarapan). Ada yang membuang air besar setelah pulang kerja; yang lain pada malam hari


(27)

karena ada waktu tenang untuk memenuhi kebutuhannya. Waktu atau frekuensi defekasi setiap orang berbeda-beda (Pearce, 2013).

1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Defekasi

Defekasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi psikologi; kebiasaan atau kebudayaan; dan kandungan serat dalam makanan yang dikonsumsi. Emosi dan stress dapat meningkatkan motilitas usus dan menyebabkan diare psikosomatis pada beberapa individu tetapi dapat juga menurunkan motilitas dan menyebabkan konstipasi pada individu lainnya. Ketika feses tertahan di dalam kolon, baik karena mengabaikan refleks defekasi secara sadar maupun karena penurunan motilitas, penyerapan air terus berlanjut sehingga feses menjadi kering dan keras yang sulit untuk dikeluarkan. Kerja defekasi ialah soal kebiasaan. Pada orang dewasa, kebiasaan dan faktor kebudayaan memainkan peranan besar dalam menentukan kapan timbul defekasi (Pearce, 2013; Silverthorn, 2013; dan Ganong, 1995).

Selulosa, hemiselulosa, dan lignin merupakan komponen penting serat makanan/serat diet. Serat mencapai usus besar dalam keadaan yang pada hakekatnya tidak berubah karena tidak mudah dicerna. Berbagai permen karet, polisakrida alga, dan senyawa peptik juga menyokong serat diet. Jika rendah jumlah serat diet, maka diet dikatakan kekurangan massa (Ganong, 1995). Dua jenis serat yaitu mudah larut (soluble) dan susah larut (insoluble) terdapat pada buah-buahan segar, sayuran seperti kol dan wortel, serta gandum. Serat yang mudah larut dapat bercampur dengan air


(28)

dan bertekstur lembut seperti jel di dalam usus halus. Serat yang susah larut terus melewati usus dengan tekstur yang hampir tidak berubah, konstan. Struktur massa dan tekstur lembut pada serat membantu mencegah terbentuknya feses yang keras dan kering yang susah dikeluarkan. The

American Dietetic Association merekomendasikan untuk mengonsumsi 20

sampai 35 gram serat per hari sehingga terbentuk feses yang bermassa dan bertekstur semi padat (soft) (Parker and Parker, 2002).

1.2 Feses

Feses mengandung materi inorganik, jumlah kecil zat nitrogen, terutama musin; juga garam, terutama kalsium fosfat, sedikit zat besi, serabut tumbuh-tumbuhan tidak dicerna (selulosa), sangat banyak bakteri (kebanyakan bakteri mati), lepasan epitelium dari usus, sisa zat makanan lain yang tidak tercerna, dan air. Komposisinya relatif tak dipengaruhi oleh variasi dalam diet (komposisi makanan), karena fraksi besar massa feses tidak berasal dari diet (Ganong, 1995 dan Pearce, 2013).

Tabel 2.1 Komposisi kira-kira feses dengan diet rata-rata (Ganong, 1995) Persentase Berat Badan Total

Air 75

Padat 25

Persentase Padat Total

Selulosa dan serabut lain yang tak dapat dicerna Bervariasi

Bakteri 30

Materi inorganik (terutama kalsium dan fosfat) 15

Lemak dan turunan lemak 5

Juga sel mukosa dideskuamasi, mukus dan sejumlah kecil enzim pencernaan


(29)

2. Konstipasi

2.1 Definisi Penyakit dan Gejalanya

Istilah konstipasi berasal dari kata Latin ‘constipare’ yang berarti „mengumpul‟. Pengertian konstipasi mencakup banyak gejala berbeda-beda yang berhubungan dengan kesulitan mengeluarkan feses (Catto-Smith, 2012).

The Rome criteria II diakui sebagai definisi terstandar yang

komprehensif untuk konstipasi (Wexner and Duthie, 2006), yaitu:

a. Terdapat setidaknya dua dari keluhan-keluhan berikut, tanpa penggunaan laksatif selama ± 12 bulan:

1. Melakukan tekanan yang kuat pada ≥25% defekasi

2. Perasaan bahwa evakuasi feses tidak sempurna (tidak semuanya keluar) pada ≥25% defekasi

3. Feses keras atau menyerupai bentuk pelet pada ≥25% defekasi 4. Kurang dari tiga defekasi dalam seminggu

b. Defekasi kurang dari dua kali dalam seminggu berdasarkan pada rutinitas setiap individu.

Kriteria-kriteria di atas memenuhi definisi dari konstipasi, bahkan dengan tidak adanya gejala lainnya. Konstipasi terdiri atas dua macam, yaitu primer dan sekunder. Konstipasi primer/fungsional/idiopatik biasanya tidak diketahui penyebabnya atau disebabkan oleh penyakit khusus yang tidak dapat dijelaskan. Konstipasi sekunder/konstipasi organik disebabkan oleh suatu penyakit/kondisi lain, misalnya rendahnya asupan serat, tumor


(30)

pada usus, obat-obatan, Multiple Sclerosis (MS), diabetes melitus, hipotiroid, ansietas, depresi, dan penyakit lainnya (Susilawati, 2010).

2.2 Siapa yang beresiko konstipasi ?

Semua orang beresiko mengalami konstipasi. Bila ditinjau berdasarkan gender, wanita lebih beresiko mengalami konstipasi daripada pria. Dalam Wexner and Duthie (2006) dilaporkan bahwa prevalensi tertinggi untuk konstipasi adalah wanita, dengan perbandingan antara wanita dan pria mencapai nilai 1.01 : 1 sampai 3.77 : 1. Wanita lebih sering dilaporkan mengalami konstipasi daripada pria, dengan rasio 20.8% vs. 8.0%, p < 0.05 dan rendahnya frekuensi defekasi, dengan rasio 9.1% vs. 3.2%, p < 0.05. Hal ini dipengaruhi oleh steroid progesteron, kehamilan, dan sarapan. Wexner and Duthie (2006) menjelaskan bahwa konstipasi yang umumnya terjadi pada wanita dipengaruhi oleh menurunnya kadar steroid progesteron secara konstan yang kemungkinan menurunkan tingkat sekresi polipeptida motilin sehingga mempengaruhi pergerakan makanan di usus. Hormon motilin disekresi oleh sel enterokromatin usus yang membantu meningkatkan motilitas usus yaitu pemendekan waktu transit makanan di usus sehingga meningkatkan pula frekuensi defekasi. Pada orang dewasa, motilin diproduksi oleh sistem endokrin (Rochsitasari, 2011).

Wanita selama masa kehamilan mengalami konstipasi karena perubahan hormon atau uterus yang menjadi semakin berat sehingga menekan usus. Pengaruh dari mengabaikan/melupakan sarapan terhadap


(31)

timbulnya konstipasi berkorelasi kuat pada wanita karir di Jepang dan gejala-gejalanya sudah tampak pada usia remaja (Kunimoto et al., 1998 dalam Catto-Smith, 2012). Selain itu, hasil observasi dari Fujiwara dan Nakata (2010) dalam Catto-Smith (2012) menunjukkan korelasi positif antara mengabaikan sarapan dan konstipasi pada pelajar-pelajar perempuan di Jepang.

2.3 Penyebab Konstipasi

Faktor-faktor penyebab konstipasi (etiologi) (Parker and Parker, 2002; Sherwood, 2011), antara lain adalah:

a) Kurang serat dalam makanan

Makanan yang rendah serat menghasilkan feses yang kurang bermassa, konsistensi feses rendah, dan feses lebih susah dikeluarkan (Wexner and Duthie, 2006).

b) Kurang cairan yang masuk ke dalam tubuh

Cairan seperti air dan jus menambah efek cahar (cair) di kolon dan memberi massa pada feses, sehingga pergerakan feses di dalam usus menjadi lebih lembut dan feses mudah dikeluarkan. Orang-orang yang mengalami konstipasi sebaiknya minum air atau jus secukupnya, sekitar 8 gelas per hari (Parker and Parker, 2002).

c) Kurang beraktivitas atau kurang berolahraga

Konstipasi sering terjadi setelah seseorang mengalami kecelakaan atau selama sakit dimana harus berbaring di tempat tidur dan


(32)

tidak dapat beraktivitas. Namun, para dokter belum mengetahui hubungannya dengan tepat (Parker and Parker, 2002).

d) Pengaruh obat-obatan

Obat-obatan penghilang rasa sakit (khususnya narkotik-obat penenang syaraf) dan antasida untuk penderita epilepsi dapat memperlambat perjalanan dan pergerakan feses (Parker and Parker, 2002). Selain itu, obat-obatan seperti anticholinergics juga dapat menyebabkan konstipasi dengan cara menghambat sinyal atau isyarat dari saraf, sehingga melemahkan koordinasi otot pada kolon (Wexner and Duthie, 2006).

e) Perubahan dalam kehidupan seperti kehamilan, penuaan, dan perjalanan Selama kehamilan, wanita mengalami konstipasi karena 1) terjadi perubahan hormon, 2) terjadi gangguan pada kelenjar endokrin, atau 3) rahim menjadi berat sehingga menekan usus. Penuaan juga mengakibatkan ketidakaturan pada usus karena metabolisme yang melambat sehingga menurunkan aktivitas usus dan kekuatan otot. Selain itu, berkurangnya jumlah gigi pada lansia menyebabkan lansia cenderung mengonsumsi makanan yang lembut dan rendah serat (Parker and Parker, 2002).

Perjalanan juga merupakan penyebab konstipasi. Hal ini dikarenakan adanya perubahan pada pola makan normal dan rutinitas sehari-hari. Sebuah studi telah dilakukan tentang pengaruh perjalanan menyebrangi Samudera Atlantik terhadap kebiasaan defekasi pada 77


(33)

orang; 40 di antaranya wanita. Studi tersebut menyimpulkan bahwa perjalanan dapat menyebabkan perubahan pada defekasi karena terdapat perbedaan yang signifikan di antara subyek penelitian. Menurut para peneliti, pengaruh perjalanan terhadap penurunan frekuensi defekasi berkorelasi dengan jetlag, perubahan aktivitas fisik dan makanan, serta efek normal dari sebuah perjalanan (dengan pesawat) (Parker and Parker, 2002; Wexner and Duthie, 2006).

f) Perubahan motilitas kolon karena emosi

Pada beberapa individu, stres dapat menurunkan motilitas dan menyebabkan konstipasi (Silverthorn, 2013).

g) Penyalahgunaan laksatif

Penyalahgunaan laksatif menyebabkan kolon mulai mengandalkan laksatif untuk merangsang defekasi dimana isi perut tidak bergerak jika tanpa bantuan laksatif. Semakin lama, laksatif dapat merusak sel-sel saraf pada kolon sehingga menghambat kemampuan alami kolon untuk berkontraksi. Namun, peran laksatif yang diklaim merusak saraf pada usus masih diragukan (Parker and Parker, 2002; Wexner and Duthie, 2006).

h) Mengabaikan keinginan untuk berdefekasi

Orang-orang yang biasa mengabaikan dorongan untuk berdefekasi, pada akhirnya dapat berhenti merasakan dorongan tersebut sehingga kemudian menyebabkan konstipasi. Alasan orang-orang menunda atau mengabaikan dorongan untuk berdefekasi antara lain


(34)

karena: mereka lebih suka (nyaman) menggunakan toilet rumah untuk berdefekasi, stres atau emosi dengan kesibukannya (memiliki pekerjaan lebih dari satu), dan khusus untuk anak-anak, mereka stres dengan aturan-aturan penggunaan toilet atau mereka tidak ingin menyela permainannya. Ketika feses tertahan di dalam kolon, penyerapan air terus berlanjut sehingga feses menjadi kering dan keras sehingga sulit untuk dikeluarkan (Parker and Parker, 2002; Wexner and Duthie, 2006; Silverthorn, 2013).

i) Penyakit/kelainan/gangguan tertentu

Penyakit yang berhubungan dengan sistem syaraf pusat seperti

Multiple Sclerosis (MS) dan cedera jalur-jalur saraf yang terlibat dapat

menyebabkan konstipasi karena terjadi gangguan transmisi informasi untuk refleks berdefekasi. Selain itu, gangguan pada kolon, rektum, dan anus juga dapat mengakibatkan konstipasi (Parker and Parker, 2002; Wexner and Duthie, 2006; Sherwood, 2011).

2.4 Pengobatan Konstipasi

Pengobatan dan/atau pencegahan konstipasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a) Asupan serat dalam makanan

Makanan yang mengandung serat dengan ketentuan 20-35 gram/hari membantu memberi bentuk dan massa pada feses. Makanan yang mengandung serat tinggi antara lain: kacang-kacangan, gandum utuh, buah-buahan segar, sayuran seperti asparagus, kol, dan wortel serta


(35)

suplemen serat (bran, psyllium, metilselulosa atau polikarbofil) (Lembo

et al., 2003 and Locke et al., 2000 dalam Catto-Smith, 2012). Menurut

Greenberger and Weisman (2009), kopi merupakan salah satu minuman tinggi serat yang disarankan untuk dikonsumsi ketika mengalami konstipasi selama masa kehamilan.

b) Perubahan gaya hidup

Gaya hidup seperti minum cukup air, olahraga teratur, dan berusaha untuk tidak mengabaikan dorongan untuk berdefekasi dapat mengobati konstipasi (Parker and Parker, 2002).

c) Penggunaan laksatif

Bagi kebanyakan orang yang jarang mengalami konstipasi tidak membutuhkan laksatif. Namun, bagi mereka yang telah membuat perubahan gaya hidup dan tetap mengalami konstipasi, para dokter merekomendasikan laksatif atau enema dengan batas waktu tertentu. Pengobatan tersebut dapat membantu melatih kembali gerakan pada usus yang kronis dan lamban. Dokter perlu menetapkan kapan pasien membutuhkan laksatif dan jenis yang terbaik. Laksatif dikonsumsi melalui mulut dan tersedia dalam bentuk cair, tablet, permen karet, bubuk, dan granula. Dalam Parker and Parker (2002) dijelaskan bahwa laksatif tersebut bekerja dengan cara yang berbeda-beda, yaitu:

1)Laksatif yang bekerja untuk memberi bentuk massa pada feses umumnya dianggap paling aman tetapi dapat mengganggu absorpsi


(36)

beberapa obat. Nama dagang laksatif ini yaitu Metamucil®, Citrucel®, Konsyl®, dan Serutan®.

2)Beberapa stimulan menyebabkan konstraksi otot pada usus menjadi lebih beritme. Nama dagang laksatif ini yaitu Correctol®, Dulcolax®/Bisacodyl, Purge®, Feen-A-Mint®, dan Senokot®. 3)Pelunak feses memberikan kelembapan pada feses dan mencegah

dehidrasi. Penggunaan laksatif jenis ini sering direkomendasikan setelah kelahiran atau pembedahan. Nama dagang laksatif ini yaitu Colace®, Dialose®, dan Surfak®.

4)Minyak pelumas feses memungkinkan feses untuk bergerak lebih mudah di sepanjang usus halus, seperti minyak mineral.

5)Laksatif asin bekerja seperti spons yaitu menarik air ke dalam kolon sehingga feses lebih mudah dikeluarkan. Nama dagang laksatif ini yaitu Milk of Magnesia®, Citrate of Magnesia®, dan Haley‟s M-O®. d) Bulking agents

Jenis-jenis bulking agents adalah psilium, metilselulosa, dan polikarbofil. Bulking agents ini bekerja melalui penambahan serat pada tinja (Wexner and Duthie, 2006).

Wexner and Duthie (2006) menjelaskan bahwa salah satu langkah pengobatan disarankan oleh dokter terhadap pasien konstipasi adalah menggunakan buku harian tentang kebiasaan berdefekasi yang mencakup catatan frekuensi defekasi dan konsistensi feses.


(37)

3. Laksatif

Laksatif adalah obat-obatan yang dapat menyembuhkan konstipasi yaitu dengan memfasilitasi defekasi. Laksatif meningkatkan kadar cairan dalam usus dan secara langsung maupun tidak langsung (oleh karena akumulasi cairan) merangsang pergerakan dalam usus. Berikut adalah beberapa pengelompokkan laksatif. Pengelompokkan berdasarkan unsur kimia (gula dan gula alkohol, polisakarida yang tidak terserap, asam empedu, asam lemak hidroksida, garam inorganik, molekul dengan struktur anthranoid, turunan dipenilmetana), tempat kerjanya (usus halus, usus besar, seluruh bagian usus), cara kerjanya (pembentuk massa, pelumas, osmotik, stimulan, kombinasi beberapa cara kerja), intensitas efek (laksatif/pencahar, pembersih usus), atau asalnya (alamiah, sintetis). Tempat kerja laksatif merupakan kriteria penting, karena konstipasi umumnya adalah masalah pada usus besar sehingga laksatif seharusnya bekerja lebih dominan pada usus besar. Namun, sesungguhnya laksatif bekerja pada beberapa bagian usus dan dapat memberikan efek pada sekresi cairan pada satu tempat dan merangsang pergerakan pada bagian lainnya. Laksatif sangat efektif untuk meningkatkan massa feses dengan mempertahankan kadar air pada feses. Berikut adalah tabel 2.2 tentang dosis dan mula kerja laksatif alamiah maupun sintetis (Capasso and Gaginella, 1997).


(38)

Tabel 2.2 Dosis dan mula kerja laksatif alami dan sintetis

Jenis laksatif Rerata dosis

dewasa (oral)

Mula kerja (jam) Laksatif alami

Antraquinnon 250 mg 6 - 12

Minyak jarak 15 - 60 ml 2 - 6

Bran (Dedak) 20 g 12 - 72

Psyllium 4 - 30 g 12 - 72

Garam magnesium 2 - 30 g 0.5 - 3

Sodium fosfat 4 - 8 g 0.5 - 3

Minyak mineral 15 - 45 ml 6 - 8

Laksatif sintetis

Fenolftalein 60 - 100 mg 6 - 8

Bisakodil 30 mg 6 - 8

Dantron 75 - 150 mg 6 - 12

Garam dioktil sulfosuksinat 50 - 500 mg 24 - 72

Sorbitol 20 - 50 g 24 - 48

Laktulosa 15 - 60 mg 24 - 48

Metilselulosa 4 - 6 g 12 - 72

Polietilen glikol 3 L 1

Laksatif umumnya dipelajari dengan menggunaan hewan coba (in

vivo) seperti tikus, mencit, marmut dan kelinci. Uji in vivo secara sederhana

dilakukan dengan cara mengisolasi hewan coba pada kandang individu dan mengobservasi konsistensi feses (cair atau padat) (Capasso and Gaginella, 1997).

Tabel 2.3 Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology (ACG),

onset kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis

konstipasi (Vasanwala, 2009 dalam Sianipar, 2015) Golongan/Obat Mula

Kerja Dosis Efek Samping

Laksatif stimulan Derivat

diphenylmethane

(seperti Dulcolax)

6-12 jam 5-10 mg/hari sampai 3 kali seminggu; 10

mg/hari per rektal

Kram perut, flatulens, rasa terbakar pada rektal dengan bentuk


(39)

4. Kopi Robusta Manggarai 4.1 Sejarah

Pada zaman tanam paksa (1830-1880), jenis kopi yang ditanam di Indonesia hanya Arabika. Kopi Arabika ditanam dari gunung hingga pantai. Pada tahun 1880, muncul wabah karat daun (Hemileia vastatrix) yang merusak kondisi kopi Arabika di dataran rendah. Dari wabah ini diketahui bahwa kopi Arabika rentan terhadap penyakit terutama jika ditanam di dataran rendah. Lalu didatangkan jenis kopi baru yaitu kopi Liberika namun kurang produktif. Kemudian didatangkan lagi jenis kopi baru yaitu kopi Robusta. Robusta mampu tumbuh di dataran rendah, bahkan hingga 400 m dpl serta tahan terhadap penyakit. Sejak itu, kebanyakan kopi yang dibudidayakan di Indonesia adalah kopi Robusta dengan dominasi sekitar 80% (Dityo, 2015). Kopi Robusta sebagian besar diproduksi di Vietnam, Indonesia, dan Cote d‟Ivoire (Preedy, 2015).

Kopi dari Manggarai dikenal dengan bahasa lokalnya yaitu kopi tuang (kopi tuan). Kopi Robusta (Coffea canephora) dari Manggarai Timur dinobatkan sebagai kopi terbaik di Indonesia tahun 2015 dengan perolehan nilai 89.03 (Ningtyas, 2015). Dari enam kecamatan yang ada di Manggarai Timur, semuanya memiliki lahan kopi. Areal terluas ada di Kecamatan Poco Ranaka, yaitu 2.365,65 hektar, ditanami kopi jenis Robusta (Oktora dan Dewanto, 2011).


(40)

4.2Taksonomi Kopi Robusta

Klasifikasi botani Kopi Robusta (Preedy, 2015), sebagai berikut: Kingdom :Plantae

Class :Dicotyledoneae Order :Rubiales Family :Rubiaceae Genus :Coffea

Species :Coffea canephora

4.3Morfologi Kopi Robusta

Tanaman kopi Robusta dapat tumbuh hingga tinggi 10 m dan memiliki akar tunggang serta terdapat beberapa akar lebar. Akar kopi Robusta lebih dekat ke permukaan tanah. Pada akar lebar tersebut tumbuh rambut akar, bulu-bulu akar, dan tudung akar. Pada batang kopi terdapat lima jenis cabang yaitu cabang primer (plagiotrop), cabang sekunder, cabang reproduksi (orthotrop), cabang balik, dan cabang kipas (Preedy, 2015 dan Panggaean, 2011).

Daun kopi tersusun secara berdampingan di ketiak batang, cabang, dan ranting. Setiap pasangan daun tersusun saling menyilang terhadap pasangan daun berikutnya. Permukaan daun mengkilap, berombak, dan tulang daun menonjol. Daun kopi Robusta berwarna hijau agak terang dan bertekstur lebih tebal dibandingkan dengan daun kopi Arabika. Bunga kopi terbentuk pada akhir musim hujan dan akan menjadi buah hingga siap petik pada awal musim kemarau. Setelah penyerbukan, setiap ketiak daun akan


(41)

menghasilkan 2-4 kelompok bunga, yang masing-masing kelompok menghasilkan 4-6 kuntum bunga, sehingga pada setiap ketiak daun terdapat 8-24 kuntum bunga. Kuntum bunga berukuran kecil dan tersusun dari kelopak, mahkota, benang sari, tangkai putik, dan bakal buah (Preedy, 2015 dan Panggaean, 2011).

Gambar 2.1 Morfologi tanaman kopi Robusta (Coffea canephora). Sumber: http://prgdb.crg.eu

Buah kopi membutuhkan waktu setahun agar dapat dipanen. Buah kopi mentah berwarna hijau muda lalu berubah menjadi hijau tua, kuning, dan berwarna merah atau merah tua ketika sudah matang (ripe). Panjang buah kopi Robusta sekitar 8-16 mm. Buah kopi terdiri atas dua bagian yaitu pericarp dan biji kopi. Pericarp tersusun atas (1) kulit (epicarp atau


(42)

exocarp), lapisan monoseluler berlapiskan substansi menyerupai lilin yang melindungi buah; biasanya merah, pink gelap, atau kuning; (2) pulpa/daging buah (mesocarp); berdaging, berlendir, dan mengandung senyawa gula yang rasanya manis; dan (3) kulit tanduk endocarp, lapisan tipis dan keras. Lalu biji kopi tersusun atas (1) kulit biji atau perisperm atau spemoderm (dikenal juga sebagai silverskin), yaitu mantel biji dengan kandungan utamanya adalah polisakarida, khususnya selulosa dan hemiselulosa, serta monosakarida, protein, polifenol, mineral dan senyawa mikro lainnya, selain itu, di sini juga terdapat asam klorogenik, lemak, dan kafein yang memberikan karakteristik rasa dan aroma pada kopi ; (2) dua biji yang berbentuk elips atau seperti telur yang mengandung endosperm; dan (3) embrio (Preedy, 2015; Kingston, 2015, dan Panggabean, 2011).

(a) (b)

Gambar 2.2 a) Struktur buah kopi Robusta (Preedy 2015) dan b) Morfologi biji kopi Robusta (Panggabean, 2011)


(43)

Karakteristik biji kopi Robusta menurut Panggabean (2011) adalah sebagai berikut: biji kopi agak bulat, lengkungan biji lebih tebal dibandingkan dengan jenis Arabika, dan garis tengah (parit) dari atas ke bawah hampir rata.

4.4Kandungan Senyawa Kopi

Kopi Robusta memiliki rasa yang kuat dan asam atau pahit. Kopi Robusta memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi daripada kopi Arabika. Selain itu, juga terdapat antioksidan alami berupa asam klorogenik dalam kadar yang tinggi. Asam klorogenik dihasilkan sendiri oleh kopi sebagai bentuk mekanisme proteksi terhadap hama dan penyakit. Mineral yang terkandung dalam daging buah kopi antara lain abu, Ca, P, Fe, Na, K, Mg, Zn, Cu, Mn, dan B. Buah kopi yang telah matang mengandung komponen zat seperti disajikan pada tabel 2.4 di bawah ini (Panggabean, 2011):

Tabel 2.4 Komposisi kandungan zat dalam buah kopi matang

No. Komponen Jumlah (%)

1. Air 42,66

2. Serat 27,44

3. Gula 9,46

4. Tanin 8,56

5. Mineral 3,77

6. Lemak dan resin 1,18 7. Senyawa volatile 0,11


(44)

Tabel 2.5 Komposisi kimia biji kopi Robusta (Coffea canephora) antara sebelum dan sesudah disangrai per 100 gram berat kering (Preedy, 2015)

Komponen Sebelum

disangrai

Sesudah disangrai

Polisakarida 46.9-48.3 42.0

Sukrosa 0.9-4.8 0

Lipid 8-12 11.0

Protein 8.5-12 7.5

Asam amino 0.2-0.8 0

Asam alipatik 1.3-2.2 1.6

Asam klorogenik 7.1-12.1 3.8

Kafein 1.7-2.4 2.4

Trigonelin 0.3-0.9 0.7

Mineral (terutama potasium) 3-5.4 4.7

Senyawa volatile sedikit 0.1

Air 8-12 0-5

Melanoid - 23

Proses kopi pascapanen akan memberikan efek terhadap komponen-komponen dalam kopi. Setelah proses pascapanen, komposisi dan konsentrasi asam klorogenik berubah. Selain itu, total polisakarida menjadi lebih baik terekstraksi dan kandungan lipid meningkat setelah proses pengolahan kopi basah (wet process). Namun, proses kopi pascapanen tidak memberikan efek perubahan terhadap kandungan kafein (Preedy, 2015).

4.5Pengolahan Kopi Manggarai

Kopi Manggarai diproses dengan metode yang sangat umum ditemukan di Indonesia yaitu metode giling basah (semi wet/semi washed

method). Setelah dipetik, biji kopi ditumbuk sambil dicampur air untuk

memisakan kulit dan biji kopi. Setelah itu, biji kopi dijemur selama 4 hari. Kopi selanjutnya ditumbuk kembali untuk membersihkan biji kopi dengan


(45)

menghilangkan kulit tanduknya. Biji kopi disangrai dengan metode dark

roasting, yaitu disangrai dengan api sedang pada kompor atau tungku

hingga biji kopi berwarna hitam serta mudah dikunyah. Biji kopi didinginkan hingga suhu ruangan lalu digiling dengan alat giling atau ditumbuk dengan lumpang dan alu berukuran besar hingga diperoleh tekstur bubuk kopi yang diinginkan (Masdakaty, 2015).

4.6Penyeduhan Kopi

Air yang digunakan untuk menyeduh kopi adalah air bersih dan segar yang dididihkan hingga suhu 93-950C, lalu diseduhkan ke dalam bubuk kopi selama 3-5 menit. Bubuk kopi akan muncul ke permukaan membentuk kerak. Ketika waktu penyeduhan telah selesai, digunakan sendok bersih untuk memecahkan kerak tersebut (Kingston, 2015).

Masyarakat Manggarai biasanya menyeduh kopi dengan air mendidih. Air mendidih dituangkan ke dalam gelas yang telah berisi 1 hingga 1 ½ sdm (tergantung selera) bubuk kopi lalu diaduk-aduk. Kopi dapat diminum ketika masih panas atau ketika sudah hangat. Selesai menikmati kopi, gelasnya (umumnya gelas kaca bening) ditelungkupkan sehingga ampas kopi yang mengendap di dasar gelas akan meninggalkan jejak seperti garis-garis kopi pada dinding gelas. Jejak tersebut dipercaya mengandung pesan atau informasi di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tradisi ini dikenal dengan nama toto kopi (meramal dengan kopi) (Anggo, 2016).


(46)

Gambar 2.3 Tradisi toto kopi di Manggarai (Anggo, 2016)

4.7Konsumsi Kopi

Komponen yang paling dikenal dan berpengaruh dari kopi adalah kafein. Kafein dapat membahayakan jika dikonsumsi berlebihan. Menurut SNI 01-7152-2006 batas maksimum kafein dalam makanan dan minuman adalah 150 mg/hari dan 50 mg/sajian (Arwangga dkk 2016). Selain memperhatikan kandungan kafeinnya, konsumsi kopi sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat.

Kortisol adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Salah satu fungsinya adalah menaikkan tekanan darah sehingga secara alami kesiagaan tubuh (alertness) mencapai level maksimalnya. Konsentrasi hormon ini meningkat pada pukul 08:00-09:00, 12:00-13:00, dan 17:30-18:30. Konsumsi kopi (kafein) tidak dianjurkan pada waktu tersebut karena kesiagaan tubuh telah disuntikkan secara alamiah, “naturally caffeinating” oleh kortisol sehingga belum membutuhkan kafein.


(47)

Waktu yang paling tepat untuk mengonsumsi kopi adalah ketika konsentrasi kortisol turun yaitu pada pukul 09:30-11:30 dan 13:30-17:00 (Miller, 2013).

4.8Hubungan antara Konsumsi Kopi (Kafein) dan Defekasi

Ketika mengonsumsi kopi, kafein diabsorpsi melalui saluran pencernaan dan dapat tinggal di dalam sistem tubuh selama empat hingga enam jam. Sesampainya di hati, kafein dipecah menjadi 3 senyawa. Paraxanthine adalah senyawa dengan jumlah paling banyak, berfungsi untuk meningkatkan pemecahan lemak dalam aliran darah. Theobromine adalah senyawa dengan jumlah sedang, berfungsi memperluas pembuluh darah dan meningkatkan produksi urin. Theophylline adalah senyawa dengan jumlah sedikit, berfungsi untuk merelaksasi otot halus pada saluran pencernaan dan pernapasan (Kingston, 2015).


(48)

Kopi adalah minuman stimulan (perangsang). Konsumsi kopi berkafein dapat menstimulasi atau mengaktifkan pergerakan usus dan melunakkan feses, dimana efeknya 60% lebih kuat daripada air dan 23% lebih kuat daripada kopi decaf (kopi tak berkafein) pada manusia normal. Penelitian Müller et al. (2012) melaporkan bahwa konsumsi kopi espresso pascaoperasi adalah cara murah dan aman untuk mengaktifkan pergerakan usus setelah pembedahan kolon. Müller et al. mengijinkan pasien untuk melakukan treatment yaitu meminum 3 gelas kopi setiap hari (100 ml pada pukul 08:00, 12:00, dan 16:00), yang dimulai pada pagi hari setelah pembedahan dengan memperhatikan standar kualitas dan kuantitas kopi espresso (Preedy, 2015).

Diagram 2.1 Manfaat kopi bagi kesehatan dan pengobatan penyakit (Preedy, 2015)

5. Gambir

Gambir (Unicaria gambir (Hunter) Roxb) merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Sumatera dan Kalimantan (Jastra dan Atman, 2016).

Elective colonic surgery

Activation of bowel motility

Decreace of the frequency of postoperative headache

Shortening of

recovevry time postoperative Decrease of urinary retention Coffee


(49)

5.1Kandungan Senyawa Kimia Gambir

Ekstrak atau getah daun gambir yang telah dikeringkan merupakan produk yang dikenal sebagai gambir. Senyawa utama yang dikandung oleh gambir adalah catechin dan asam catechutannat yang merupakan sumber asam tanin alami dengan persentase masing-masing 7-33% dan 20-55%. Catechin (C15H14O6)bersifat dapat larut dalam air panas (Jastra dan Atman, 2016).

5.2Manfaat Gambir

Rebusan daun muda dan tunas gambir dapat digunakan sebagai obat diare. Gambir diketahui dapat merangsang keluarnya getah empedu sehingga dapat membantu kelancaran proses dalam perut dan usus (Jastra dan Atman, 2016). Namun, jika pemanfaatan gambir berlebihan maka mengakibatkan sembelit karena tingginya kandungan tanin (20-55%) dapat menyebabkan terabsorpsinya cairan dalam lumen usus (Ghan, 2002 dalam Sundari dan Winarno, 2010).

6. Tikus

6.1Ciri Biologis Tikus

Tikus (Rattus norvegicus) adalah hewan nokturnal, sehingga pencahayaan di dalam ruangannya perlu diatur yaitu 12 jam gelap dan 12 jam terang. Tikus memiliki sifat coprophagous, yaitu memakan fesesnya sendiri. Tikus lebih mudah beradaptasi dalam kandang individu (Syamsudin dan Darmono, 2011; Sharp and Villano, 2012).


(50)

Tabel 2.6 Data biologi normal tikus (Syamsudin dan Darmono, 2011)

No. Perihal Nilai

1. Konsumsi pakan per hari 5 g/100 gBB 2. Konsumsi air minum per hari 8-11 ml/100 gBB 3. Bobot badan dewasa

- Jantan - Betina

300-400 g 250-300 g

4. Siklus etrus (menstruasi) 5 hari (polyetrus)

5. Suhu rektal 37,50C

6. Waktu transit GI 12-24 jam

7. Volume urin 5.5 ml/100 gBB/hari

6.2Sistem Pencernaan

Penelitian tentang pencernaan dan nutrisi pada umumnya menggunakan tikus laboratorium karena menyerupai sistem pencernaan pada manusia. Sistem pencernaan pada tikus terdiri atas oropharynx, kelenjar ludah, esophagus, lambung, hati, pankreas, usus halus, usus besar, dan anus (Sharp and Villano, 2012).

6.3Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pada tikus bervariasi tergantung pada siklus hidup omnivore, tujuan penelitian, lingkungan, status mikrobiologi, dan genetik. Nutrisi tikus terdiri atas karbohidrat, protein, mineral, vitamin, serat, lemak, dan air. Nutrisi tersebut disediakan dalam bentuk pakan standar yang biasa disebut BR2. Tikus lebih menyukai rasa manis dan asin daripada rasa pahit dan asam. Air minum diberikan secara ad libitum. Tikus dapat meminum air 1/4 hingga 1/3 bobot badan setiap hari tergantung pada kondisi suhu lingkungan tempat tinggalnya. Contohnya, pada suhu 220C tikus dapat mengonsumsi air melebihi pakan sekitar 20% dan pada suhu


(51)

300C tikus dapat mengonsumsi air dua kali lebih banyak dari konsumsi pakan per bobot badan (Sharp and Villano, 2012).

6.4Feses

Feses tikus dapat dikumpulkan dalam pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah senyawa tertentu diekskresikan melalui saluran pencernaan. Feses dapat langsung dikumpulkan dari bagian penampung feses pada kandang metabolik. Namun, feses tersebut dapat tercampur oleh urin, rambut, dan air minum. Selain itu, tikus merupakan hewan

coprophagic dan akan memakan feses langsung dari anusnya baik di

kandang yang beralaskan kawat maupun sekam. Sifat ini diketahui berdampak signifikan terhadap keberadaan mikrobia usus dan nutrisi serta dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan pertambahan bobot badan tikus. Waktu paling tepat untuk mengumpulkan feses adalah di pagi hari, karena feses lebih berat atau paling banyak ketika kondisi gelap (Sukow et al., 2005).

B. Penelitian yang Relevan

Berikut adalah penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini:

1. “Randomized Clinical Trial on the Effect of Coffee on Postoperative Ileus Following Elective Colectomy” oleh Müller, et al. (2012). Penelitian ini

menunjukkan bahwa konsumsi kopi espresso pascaoperasi adalah cara murah dan aman untuk mengaktifkan pergerakan usus setelah pembedahan kolon.


(52)

2. “Efek Laksatif Jus Daun Asam Jawa (Tamarindus indica Linn.) pada

Tikus Putih yang Diinduksi dengan Gambir” oleh Sundari dan Winarno (2010). Pada penelitian ini, gambir digunakan untuk memberikan efek sembelit pada tikus putih. Gambir dengan dosis 600 mg/200gBB diberikan selama 2 hari yang ditentukan berdasarkan uji pendahuluan. Gambir mengandung banyak tanin yang berkhasiat sebagai antidiare. Pemberian gambir dalam jumlah berlebihan pada tikus normal menyebabkan terabsorpsinya cairan dalam lumen usus sehingga menyebabkan sembelit. Kontrol positif yang digunakan adalah Dulcolax dengan dosis 0.26 mg/200gBB. Efek laksatif diketahui dengan menggunakan metode transit intestinal yaitu mengevaluasi apakah suatu bahan uji bersifat laksatif dengan melihat rasio jarak usus yang ditempuh oleh suatu marker dalam waktu tertentu terhadap panjang usus keseluruhan pada hewan coba. Kesimpulan dari penelitian ini adalah jus daun asam Jawa bersifat laksatif pada tikus putih jantan galur Wistar.

3. “Uji Khasiat Rimpang Bengle (Zingiber purpureum Roxb.) sebagai

Laksansia pada Tikus Putih” oleh Nuratmi, Sundari, dan Widowati (2005). Pada penelitian di atas, efek laksatif diketahui dengan mengamati frekuensi defekasi dan konsistensi feses selama 6 jam. Tikus yang digunakan mempunyai karakterisasi feses normal. Kontrol positif adalah minyak jarak dengan dosis 1 ml/100gBB. Kesimpulan dari penelitian ini adalah rimpang bengle mempunyai khasiat sebagai laksatif pada tikus putih betina galur Wistar.


(53)

Berikut adalah gambar 2.5 yang menunjukkan kebaruan penelitian ini terhadap penelitian-penelitan relevan yang telah dilakukan.

Gambar 2.5 Bagan literature map C. Kerangka Berpikir

Konstipasi merupakan gangguan pada sistem pencernaan manusia yang sering diremehkan namun bila tidak segera diatasi dapat menjadi kronis. Konstipasi lebih banyak dialami oleh wanita. Untuk mengobati konstipasi dapat ditempuh melalui terapi farmakologis dengan pencahar atau laksatif. Berdasarkan asalnya, terdapat dua jenis laksatif yaitu laksatif sintetis dan alami. Kopi adalah jenis laksatif alami karena mengandung kafein yang dapat menstimulasi pergerakan usus dan serat kasar yang dapat memberi massa pada feses. Kelebihan kopi diantaranya adalah salah satu minuman yang paling


(54)

digemari oleh masyarakat, mudah diperoleh karena dibudidayakan di berbagai tempat, dan praktis dalam penyajiannya. Kopi Robusta Manggarai merupakan kopi berkualitas dengan kandungan kafein yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai terapi pengobatan konstipasi. Oleh karena itu, dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Variasi Dosis Seduhan Bubuk Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap Efek Laksatif pada Tikus Putih Betina”. Penelitian ini menggunakan 3 variasi dosis kopi yang dicobakan ke tikus putih betina. Efek laksatif kopi pada tikus putih diketahui dengan mengamati frekuensi defekasi dan konsistensi feses.

Berikut adalah gambar 2.6 yang menunjukkan kerangka berpikir dalam bentuk diagram alir.


(55)

Gambar 2.6 Diagram alir kerangka berpikir

D. Hipotesa

1. Pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canepora) Manggarai berpengaruh terhadap efek laksatif pada tikus putih betina. 2. Seduhan bubuk kopi Robusta (Coffea canepora) Manggarai pada dosis 0.6


(56)

38 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni. Rancangan penelitian ini tergolong Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor. Penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol.

Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai (0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200 gBB). Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu frekuensi defekasi dan konsistensi feses. Variabel kontrol/kendali yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis kopi, kondisi hewan uji (tikus putih) yang mencakup bobot badan, jenis kelamin, galur, umur, kandang, serta jenis dan volume pakan dan minuman.

B. Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini adalah:

1. Kopi

Jenis kopi yang digunakan adalah kopi Robusta (Coffea

canephora). Kopi Robusta diperoleh dari Manggarai, Flores, NTT dalam


(57)

sebagai berikut: biji kopi diproses dengan metode semi-giling basah (semi

wet/semi washed method), disangrai dengan metode dark roasting lalu

ditumbuk atau digiling hingga diperoleh bubuk kopi dengan tekstur yang diinginkan.

2. Seduhan bubuk kopi

Seduhan bubuk kopi dibuat dengan menambahkan air mendidih suhu 93-950C ke dalam bubuk kopi selama 3-5 menit.

3. Dosis kopi

Dasar penetapan variasi dosis kopi adalah SNI 01-7152-2006 tentang batas maksimum kafein dalam makanan dan minuman yaitu 150 mg/hari dan 50 mg/sajian. Variasi dosis kopi dibuat dengan tidak melebihi batas maksimum kafein dalam minuman per hari pada manusia yaitu 25 g, 12.5 g, dan 6.25 g. Dosis tersebut lalu dikonversikan ke dosis untuk tikus putih sehingga diperoleh variasi dosis sebagai berikut: 0.6 g, 0.3 g, dan 0.15 g/200gBB.

4. Efek laksatif

Efek laksatif diketahui dengan cara menghitung frekuensi defekasi selama 6 jam setelah diberi perlakuan dan mengamati konsistensi feses. Konsistensi feses ditentukan oleh kandungan air dalam feses dengan menghitung selisih berat feses basah dengan berat feses kering (dalam %), yang dikategorikan sebagai berikut:


(58)

 normal (n) dengan kadar air 45-56 %,

 agak lembek (al) dengan kadar air 57-68 %,

 lembek (l) dengan kadar air 69-80 %, dan

 cair (c) dengan kadar air > 80 % (Nuratmi dkk, 2005). 5. Tikus putih

Tikus putih yang digunakan adalah tikus berjenis kelamin betina, galur Wistar dengan bobot badan 100-200 g, umur 2-3 bulan. Setiap kelompok perlakuan terdiri atas 4 ekor tikus maka jumlah tikus yang digunakan adalah 20 ekor.

6. Efek sembelit

Efek sembelit terhadap tikus diinduksi dengan pemberian seduhan ekstrak gambir sebanyak 600 mg/200gBB selama dua hari dan puasa minum 18 jam sebelum perlakuan.

7. Perlakuan kontrol

Penelitian ini menggunakan dua kelompok kontrol yaitu kontrol positif dan negatif. Kontrol positif merupakan obat yang umumnya digunakan untuk mengobati sembelit yaitu Dulcolax dengan dosis 0.252 mg/200 gBB. Kontrol negatif yang digunakan adalah air hangat dengan dosis 5 ml/200 gBB.


(59)

C. Alat dan Bahan 1. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain set kandang metabolik, timbangan analitik, gelas beker, tabung ukur, gelas arloji, corong kaca, sendok tanduk, termometer, panci, kompor, spoit, dan sonde oral.

2. Bahan a. Hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur Wistar, umur 2-3 bulan dengan bobot badan 100-200 gram yang diperoleh dari Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Unit IV, UGM, Yogyakarta.

b. Bahan induksi sembelit

Ekstrak gambir adalah getah daun gambir yang telah dikeringkan. Ekstrak gambir diperoleh dari industri rumah tangga milik Candra Alfamedya di Karangsari, Gang Kenanga, No.267, RT 46/RW 05, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta.

c. Bahan uji

Bahan uji yang digunakan adalah bubuk kopi Robusta yang diperoleh dari Manggarai, Flores, NTT. Bubuk kopi Robusta tersebut secara khusus telah diolah oleh masyarakat Manggarai sendiri untuk mempertahankan kekhasannya. Peneliti tidak terlibat dalam pengolahan kopi tersebut.


(60)

d. Bahan kontrol

Kontrol positif adalah Dulcolax yang diperoleh dari Apotek Farmasi, Universitas Sanata Dharma. Kontrol negatif berupa air hangat suhu 400C.

D. Cara Kerja

Penelitian dimulai pada tanggal 24 Maret-12 April 2017 di Laboratorium Hayati Imuno, Fakultas Farmasi, Kampus III Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

1. Tahap Persiapan

a. Pengajuan Ethical Clearance

Ethical clearance (keterangan kelayakan etika) merupakan

surat yang menyatakan bahwa penelitian telah memenuhi prinsip-prinsip dasar kesejahteraan hewan coba. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Ethical Clearance,

Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tanggal 22 Maret 2017 (Lampiran V).

b. Penentuan Dosis Kopi dan Konversi Dosis

Variasi dosis kopi yang diberikan kepada manusia adalah 25 g, 12.5 g, dan 6.25 g/50 kgBB/hari. Penentuan dosis yang diberikan ke tikus didapatkan melalui perhitungan sebagai berikut:


(61)

Rumus 4.1 Konversi dosis manusia 70 kg ke dosis tikus 200 g

Keterangan:

Berat badan manusia standar Internasional = 70 kg Berat badan manusia standar Indonesia = 50 kg

Berat badan tikus = 200 g

Faktor konversi dari manusia ke tikus g = 0.018

Jadi, variasi dosis bubuk kopi Robusta Manggarai yang diberikan ke tikus putih adalah 0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200gBB dengan konsentrasi kafein secara berurutan adalah 0.6 mg, 1.2 mg, dan 2.4 mg.

c. Penetapan Konsentrasi Seduhan Peroral

Dasar penetapan konsentrasi seduhan untuk gambir, kopi Robusta, dan Dulcolax, diperoleh melalui rumus sebagai berikut:

Rumus 4.2 Konsentrasi seduhan

D x BB = C X V C = (D x BB)/V

Dosis manusia 50 kg = 12.5 g/hari (dosis perlakuan kelompok 2) Untuk manusia 70 kg = x 12.5 g = 17.5 g/hari

Untuk tikus 200 g = 17.5 g/hari x 0.018


(62)

Keterangan:

D = dosis seduhan, g/gBB BB = bobot maksimum tikus, gBB C = konsentrasi seduhan, g/ml

V = volume pemberian seduhan peroral, ml

Volume dosis peroral untuk setiap tikus berbeda-beda bergantung pada bobotnya. Perhitungan volume dosis peroral/tikus adalah sebagai berikut:

Rumus 4.3 Volume seduhan peroral

d. Adaptasi Hewan Coba

Tikus putih betina (Ratus norvegicus) sebanyak 20 ekor diadaptasi selama 10 hari yaitu sejak tanggal 24 Maret - 3 April 2017. Satu ekor tikus putih ditempatkan pada satu kandang metabolik yang telah dilabeli dengan kode RAL (Lampiran IV, no.8). Selama masa adaptasi, tikus diberi 20 g BR2/ekor/hari dan air minum RO di setiap pagi hari. BR2 merupakan jenis pakan standar yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh tikus.

V =

x vol. seduhan peroral yang telah ditetapkan (ml) V = x vol. seduhan peroral yang telah ditetapkan (ml)


(63)

e. Induksi Gambir

Induksi gambir dilakukan dua hari sebelum diberikan perlakuan bahan uji. Peneliti menimbang berat feses tikus (terhitung sejak pukul 12:30-08:30 WIB) terlebih dahulu untuk memperoleh data kondisi feses normal. Hal ini dilakukan karena pada pukul 12:00 tikus diinduksi dengan ekstrak gambir lalu di hari ketiga pada pukul 09:30 diberikan perlakuan bahan uji. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui efek sembelit dengan membandingkan kondisi feses sebelum dan sesudah diinduksi gambir dalam rentang waktu yang sama. Tahap-tahap induksi gambir antara lain:

1) Penimbangan bobot setiap tikus

2) Perhitungan volume dosis peroral/tikus

Volume dosis peroral untuk seduhan ekstrak gambir adalah 5 ml. 3) Pelabelan spoit-spoit berdasarkan volume dosis peroral

4) Penyeduhan gambir

Hasil perhitungan konsentrasi untuk seduhan ekstrak gambir berdasarkan rumus 4.2 adalah 600 mg ekstrak gambir diseduh dalam 5 ml air mendidih. Penyeduhan (lama ekstraksi) dilakukan selama 8 menit agar diperoleh kadar tanin maksimum. Setelah 8 menit, dilakukan penyaringan dengan kain saring untuk memisahkan ampas gambir. Hal ini dilakukan agar seduhan dapat masuk ke dalam spoit dan sonde oral yang akan digunakan.


(64)

Seduhan didiamkan hingga suhu 400C kemudian dimasukkan ke dalam spoit-spoit yang telah dilabeli.

5) Seduhan gambir diberikan kepada tikus secara oral menggunakan sonde oral yang dipasangkan pada spoit setiap pukul 12:00 WIB. Pemberian oral dilakukan selama 1 menit untuk 1 ekor tikus. 6) Pada hari kedua, setelah diberikan seduhan ekstrak gambir, tikus

juga dipuasakan yaitu dengan tidak memberi minum selama 18 jam terhitung sejak pukul 15:30-09:30. Tikus tetap diberi pakan BR2. Hal ini merupakan perlakuan tambahan untuk mengurangi asupan cairan sehingga tikus mengalami sembelit.

2. Tahap Pemberian Bahan Uji

Sebelum pemberian bahan uji, peneliti memastikan bahwa tikus sedang mengalami sembelit dengan cara membandingkan berat feses tikus di pagi hari (terhitung sejak pukul 12:30-08:30 WIB) antara sebelum dan sesudah diinduksi seduhan ekstrak gambir selama dua hari. Penurunan berat feses di pagi hari berkorelasi dengan berkurangnya frekuensi defekasi pada tikus. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa tikus sedang mengalami konstipasi (sembelit).

Penelitian ini menggunakan 4 ulangan hewan coba sehingga diperlukan 4 hari untuk memberikan bahan uji untuk setiap ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 5 ekor, yang merupakan perwakilan dari kelima kelompok perlakuan yaitu kelompok dosis kopi Robusta maksimum,


(65)

medium, dan minimum serta kontrol positif (Dulcolax) dan negatif (air hangat). Tahap-tahap pemberian bahan uji sebagai berikut:

a. Penimbangan bobot setiap tikus

b. Perhitungan volume dosis peroral/tikus

Dosis tertinggi kopi Robusta Manggarai yaitu 0.6 g/200gBB, diberikan kepada tikus peroral dengan volume maksimum yaitu 5 ml. Dosis kedua yaitu 0.3 g/200gBB, diberikan kepada tikus dengan membagi 2 nilai volume dosis maksimum sehingga diperoleh volume dosis peroral yaitu 2.5 ml. Dosis ketiga yaitu 0.15 g/200gBB, diberikan kepada tikus dengan membagi 4 nilai volume dosis maksimum sehingga diperoleh volume dosis peroral yaitu 1.25 ml. Dulcolax dan air hangat diberikan kepada tikus dengan volume dosis peroral adalah 5 ml. c. Pelabelan spoit-spoit berdasarkan volume dosis peroral

d. Tikus dipuasakan yaitu dengan tidak memberi pakan selama 1 jam sebelum pemberian bahan uji.

e. Air sebanyak 1000 ml direbus hingga mendidih. Air ini digunakan untuk membuat seduhan kopi dan Dulcolax serta didiamkan hingga suhu 400C untuk kontrol negatif.

f. Penyeduhan kopi Robusta Manggarai

Penyeduhan dilakukan untuk dosis tertinggi saja. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pembagian volume dosis peroral untuk ketiga kelompok dosis kopi Robusta Manggarai. Hasil perhitungan konsentrasi untuk seduhan bubuk kopi Robusta pada dosis tertinggi


(66)

berdasarkan rumus 4.2 adalah 0.6 g bubuk kopi Robusta diseduh dalam 5 ml air yang nilainya setara dengan 6 g bubuk kopi Robusta diseduh dalam 50 ml air mendidih (93-950C). Dari hasil penyeduhan ini diambil tiga variasi volume dosis peroral kopi Robusta Manggarai yaitu 5 ml, 2.5 ml, dan 1.25 ml. Penyeduhan (lama ekstraksi) dilakukan selama 5 menit lalu dilakukan penyaringan dengan kain saring untuk memisahkan ampas kopi. Hal ini dilakukan agar seduhan dapat masuk ke dalam spoit dan sonde oral yang akan digunakan. Seduhan didiamkan hingga suhu 400C kemudian dimasukkan ke dalam spoit-spoit yang telah dilabeli.

g. Melarutkan Dulcolax

Dulcolax dihaluskan terlebih dahulu dengan menggunakan mortar. Hasil perhitungan konsentrasi untuk seduhan Dulcolax berdasarkan rumus 4.2 diperoleh 0.252 mg Dulcolax diseduh dalam 5 ml air mendidih. Dulcolax dilarutkan selama 5 menit kemudian didiamkan hingga suhu 400C lalu dimasukkan ke dalam spoit-spoit yang telah dilabeli.

h. Sebanyak 5 ml air mendidih suhu 400C dimasukkan ke dalam spoit untuk kontrol negatif.

i. Seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai, Dulcolax, dan air hangat diberikan kepada tikus secara oral menggunakan sonde oral yang dipasangkan di ujung spoit pada pukul 09:30-11:30 WIB. Pemberian oral dilakukan selama 1 menit untuk 1 ekor tikus.


(67)

3. Tahap Pengambilan Data

a. Pengamatan frekuensi defekasi

Frekuensi defekasi diamati selama 6 jam terhitung dari waktu pemberian seduhan bahan uji. Berikut adalah lembar pengambilan data frekuensi defekasi pada tikus:

Tabel 3.1 Lembar pengambilan data frekuensi defekasi tikus putih Hari, tanggal: Tikus 1 Waktu perlakuan:--:-- Tikus 2 Waktu perlakuan:--:-- Tikus 3 Waktu perlakuan:--:-- Tikus 4 Waktu perlakuan:--:-- Tikus 5 Waktu perlakuan:--:-- Waktu Defekasi Berat Basah Feses (g) Waktu Defekasi Berat Basah Feses (g) Waktu Defekasi Berat Basah Feses (g) Waktu Defekasi Berat Basah Feses (g) Waktu Defekasi Berat Basah Feses (g) Dst

∑ berat basah feses=

∑ berat basah feses=

∑ berat basah feses=

∑ berat basah feses=

∑ berat basah feses=

∑ berat kering feses=

∑ berat kering feses=

∑ berat kering feses=

∑ berat kering feses=

∑ berat kering feses=

b. Pengamatan konsistensi feses

Konsistensi feses ditentukan oleh kandungan air dalam feses dengan menghitung selisih berat feses basah dengan berat feses kering (dalam %), yang dikategorikan sebagai:


(68)

 normal (n) dengan kadar air 45-56 %

 agak lembek (al) dengan kadar air 57-68 %

 lembek (l) dengan kadar air 69-80 %

 cair (c) dengan kadar air > 80 %

Feses tikus yang dikeluarkan setiap defekasi ditimbang berat basahnya lalu dikeringkan selama 19 jam terhitung sejak pukul 16:00-11:00 pada suhu 24.9 - 28.4 0C. Berikut adalah lembar pengambilan data konsistensi feses:

Tabel 3.2 Lembar pengambilan data konsistensi feses tikus putih

Kelompok Dosis

Total berat feses basah dr ke-4

tikus-A

(gram)

Total berat feses kering dr ke-4

tikus -B (gram) Kadar air feses-C (A-B) (gram) Kadar air yg hilang (%)

(C/A x 100 %) Ket.* 0.15 g/200gBB 0.3 g/200gBB 0.6 g/200gBB Dulcolax Akuades

*Ket. diisi dengan kategori konsistensi feses

E. Metode Analisa Data

Data frekuensi defekasi dianalisis menggunakan uji statistik. Data tersebut diuji dengan metode Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui kenormalan distribusi data dan analisis varian untuk melihat homogenitas varian antar kelompoknya sebagai syarat analisis parametrik. Apabila data terdistribusi normal dan homogen maka dapat dilanjutkan dengan analisis


(69)

variansi pola searah (ANOVA one way) dengan taraf kepercayaan 95% dan tingkat signifikan ( ) 0.05 untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok. Hipotesis terhadap uji Anova yaitu Ho: tidak ada perbedaan nilai frekuensi defekasi antar kelompok perlakuan dan Hi: ada perbedaan nilai frekuensi defekasi antar kelompok perlakuan. Data terbukti signifikan bila probabilitas (sig) < 0.05 dan Hi diterima. Data terbukti tidak signifikan bila probabilitas (sig) > 0.05 dan Ho diterima. Jika data terbukti signifikan maka dilanjutkan dengan uji Tukey untuk melihat perbedaan tiap kelompok. Namun, bila data tidak signifikan maka analisis data dicukupkan hingga uji ANOVA one

way saja (Siregar, 2014).

F. Rancangan Pemanfaatan Hasil Penelitian dalam Pembelajaran

Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam pembelajaran SMA/MA kelas XI semester II yaitu pada materi “Gangguan Sistem Pencernaan Makanan Manusia” dalam bentuk kegiatan menganalisis artikel penelitian secara berkelompok. Output dari kegiatan pembelajaran tersebut adalah siswa dapat mengembangkan sikap ilmiah dan sosial, serta mampu menganalisis artikel penelitian yang disajikan dalam bentuk worksheet.


(70)

52 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pra penelitian menunjukkan bahwa induksi gambir dua hari sebelum perlakuan belum memberikan efek sembelit yang optimal pada tikus. Berat feses tikus (berkorelasi dengan frekuensi defekasi) yang ditimbang pada pagi hari antara sebelum diinduksi gambir dan dua hari setelah diinduksi gambir tidak berbeda jauh. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi air oleh tikus yang dibuktikan oleh volume air pada botol minum yang cepat berkurang. Menurut Sharp and Villano (2012), tikus dapat meminum air 1/4 hingga 1/3 bobot badan setiap hari. Jika suhu lingkungannya meningkat maka konsumsi air juga semakin meningkat bahkan dapat melebihi konsumsi pakan per bobot badan. Berdasarkan teori tersebut, peneliti akhirnya memutuskan untuk mengurangi konsumsi air pada tikus selama 18 jam sebelum perlakuan untuk memberikan efek sembelit. Selain itu, penentuan pengurangan konsumsi air ini juga dilandasi teori dari Parker and Parker (2002) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab konstipasi adalah kurangnya cairan yang masuk ke dalam tubuh.

Berikut adalah kondisi feses sebelum dan sesudah diinduksi gambir yang diamati pada rentang waktu yang sama.


(71)

Gambar 4.1 Kondisi feses tikus putih betina sebelum diinduksi gambir. Feses tampak basah, berukuran besar, dan banyak.

Gambar 4.2 Kondisi feses tikus putih betina setelah diinduksi gambir selama 2 hari dan puasa minum 18 jam sebelum perlakuan. Feses tampak kering,

berukuran kecil, dan sedikit.

A. Hasil

1. Frekuensi Defekasi

Berikut adalah grafik yang menunjukkan rerata frekuensi defekasi pada tikus putih betina selama 6 jam setelah diberikan bahan uji.


(1)

134 6) Biji kopi Robusta yang telah disangrai lalu

didinginkan. 7) Alat giling kopi 8) Kopi Robusta yang telah

digiling.

9) Tikus putih betina ditempatkan pada kandang individu jenis kandang metabolik yang telah diberi

kode RAL. 10) Seduhan gambir disaring agar terpisah dari ampasnya.

11) Seduhan kopi Robusta disaring agar terpisah dari

ampasnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

135 12) Ketiga Bahan Uji: Kopi Robusta, Dulcolax, dan Air 13) Bahan uji dimasukkan ke dalam spoit sesuai dosis peroral/tikus lalu

dipasang dengan sonde oral.

14) Bahan uji dimasukkan ke dalam tubuh tikus putih betina

secara oral.

15) Kondisi kandang metabolik untuk pengamatan frekuensi defekasi tikus putih betina.

16) Kondisi feses tikus putih betina yang masih basah.

17) Kondisi feses tikus putih betina yang telah kering.


(3)

136

LAMPIRAN V ETHICAL CLEARANCE


(4)

137

LAMPIRAN VI LAPORAN HASIL UJI KAFEIN DAN SERAT KASAR PADA BUBUK KOPI ROBUSTA MANGGARAI


(5)

vii ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN VARIASI DOSIS SEDUHAN

BUBUK KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) MANGGARAI TERHADAP EFEK LAKSATIF PADA TIKUS PUTIH BETINA

Ester Nurani Keraru NIM: 131434045 Universitas Sanata Dharma

Kopi Robusta (Coffea canephora) Manggarai mengandung kafein tinggi yaitu 0.4% b/b yang dapat menstimulasi pergerakan usus untuk mengobati konstipasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina dan dosis yang paling optimum untuk efek laksatif.

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tikus berjumlah 20 ekor, umur 2-3 bulan, dan bobot badan 100-200 gram yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan. Kelompok 1, 2, dan 3 diberi seduhan bubuk kopi dengan dosis peroral 0.15 g, 0.3 g, dan 0.6 g/200gBB; kontrol positif Dulcolax 0.252 mg/200gBB; dan kontrol negatif air hangat 5 ml/200gBB. Semua tikus diinduksi ekstrak daun gambir dua hari dan dipuasakan air minum 18 jam sebelum perlakuan untuk memberikan efek sembelit. Efek laksatif bahan uji diketahui dengan mengamati frekuensi defekasi selama 6 jam dan mengkategorikan konsistensi feses.

Variasi dosis seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai memiliki efek laksatif pada tikus putih betina yang ditunjukkan oleh nilai rerata frekuensi defekasi lebih tinggi daripada kontrol negatif dan konsistensi feses termasuk kategori normal. Seduhan bubuk kopi Robusta Manggarai pada dosis 0.3 g/200gBB memberikan efek laksatif paling optimum pada tikus putih. Efek laksatif kopi terutama berasal dari metabolit kafein yaitu senyawa theophylline yang merelaksasi otot polos pada saluran pencernaan.

Kata kunci: frekuensi defekasi, kafein, konsistensi feses, kopi Robusta Manggarai, laksatif


(6)

viii ABSTRACT

THE EFFECT OF GIVING VARIANCE DOSES OF STEEPED MANGGARAIAN ROBUSTA COFFEE (Coffea canephora) GROUNDS

TOWARD LAXATIVE EFFECT ON FEMALE RAT Ester Nurani Keraru

Student Number: 131434045 Sanata Dharma University

Robusta coffee (Coffea canephora) from Manggarai contains 0.4 wt % of caffeine which can stimulate bowel movement to cure constipation. This

research’s aims were to know the effect of giving variance doses of steeped

Manggaraian Robusta coffee grounds toward laxative effect on female laboratory rats and the optimum dose for laxative effect.

This research was a pure experimental with Completely Randomized Design; 20 rats, age 2-3 months, and 100-200 grams body weight (BW) were used for experiment and divided into 5 treatment groups. Group 1, 2, and 3 were given steeped Manggaraian Robusta coffee grounds with oral doses of 0.15 g, 0.3 g, and 0.6 g/200gBW; positive control was treated with Dulcolax 0.252 mg/200gBW; and negative control was treated with warm water 5 ml/200gBW. Rats were induced by gambier’s leaf extract for 2 days and fasted for drink of water 18 hours before treatment for giving constipation effect. Laxative effect of the experiment substance was known by observing the defecation frequency during 6 hours and feces consistency grouping.

Variance of doses of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds have laxative effect on female laboratory rats that was showed by the average value of defecation frequency higher than negative control and the feces consistency grouped into normal category. Dose 0.3 g/200gBW of steeped Manggaraian Robusta coffee grounds was the optimum dose for laxative effect on female laboratory rats. Laxative effect of coffee was primary originated from a caffeine’s metabolism namely theophylline compound which was relaxing smooth muscle at laboratory rat’s digestive system.

Keywords: caffeine, defecation frequency, feces consistency, laxative, Manggaraian Robusta coffee


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PROSTAT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR JANTAN

2 10 22

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PANKREAS PADA TIKUS PUTIH (Ratus Novergicus) STRAIN WISTAR JANTAN

3 21 23

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI OTAK PADA TIKUS PUTIH STRAIN WISTAR JANTAN (Rattus norvegicus)

0 18 19

PENGARUH SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var robusta) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR

5 35 22

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephora var. Robusta ) SUBKRONIK TERHADAP TEKANAN DARAH DAN PRODUKSI URINE PADA TIKUS PUTIH STRAIN WISTAR JANTAN (Rattus novergicus Strain wistar)

0 27 25

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN KOPI ROBUSTA (Coffea canephoravar. Robusta) TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR JANTAN

2 16 26

Uji aktivitas antioksidan pada ekstrak biji kopi robusta (Coffea canephora) dengan metode DPPH

2 14 44

Uji aktivitas antioksidan ekstrak biji kopi robusta (Coffea canephora) dengan metode DPPH

16 56 44

Perbandingan Efek Seduhan Kopi Robusta (Coffea canephora) dan Seduhan Kopi Arabica (coffea arabica) Terhadap Tekanan Darah Wanita Dewasa.

0 0 21

Pengaruh pemberian variasi dosis seduhan bubuk kopi robusta (Coffea canephora) Manggarai terhadap efek laksatif pada tikus putih betina

0 1 155