Dzikir Allah dan Kesehatan Mental

C.4. Dzikir Allah dan Kesehatan Mental

Dzikrull ah , (ingat kepada Allah) merupakan salah sat u cara yang dipakai dalam Islam unt uk mencapai kesehat an ment al. Dzikir merupakan suat u met ode bagi pembinaan kesej aht eraan dan kebahagiaan ment al. Dalam segi pengobat an j iwa, ia dapat menghidupkan hat i, mengubah kecemasan menj adi rasa aman, permusuhan menj adi kasih sayang, kegelisahan menj adi ket ent raman, dan rasa t akut menj adi ket enangan, sert a lain sebagainya yang berguna bagi kesehat an j iwa 201 .

Usman Naj at i j uga menyat akan bahwa ket ika seorang muslim

200 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al -Ëibb al-Nabawiy, (Beirut : al-Makt abah al-‘ Aériyyah, 1410 H-1990 M), h. 165

201 Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1992) h. 75-76 201 Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1992) h. 75-76

t ent ram dan bahagia 202 Orang yang berdzikir kepada Allah dalam al-Quran disebut sebagai orang

yang dapat merasakan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Bersih dari gangguan kejiwaan karena disebabkan kemampuannya dalam mengingat Allah dalam

arti yang sesungguhnya.

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. ar-Ra’d [13]: 28)

Dalam ajaran agama Islam, al-Quran dapat dijadikan rujukan untuk membuat formula dalam mengatasi emosi yang berlebihan, tentunya dengan senantisa bersabar atas segala ujian yang dihadapi sambil senantiasa berdzikir kepada Allah agar rasa yang berkecamuk di dalam hati dapat berganti dengan ketenangan. Seperti yang diisyaratkan dalam al-Quran surat Ëãha [20]: 130 .

Demikian halnya ket ika seseorang melakukan kesalahan yang menyebabkan rasa gelisah dan gundah, al-Quran j uga menawarkan solusi unt uk mengobat i kecemasan hat i dengan senat iasa berdzikir kepadanya. Allah menj anj ikan dari set iap kesalahan yang t elah diperbuat seseorang dengan ampunan-Nya apabila dia memohon ampunan-Nya. Maka secara ot omat is, manusia t idak akan memiliki sif at t inggi hat i ket ika dia harus memint a maaf at as kesalahan yang t elah di buat nya, baik kepada sesama apalagi t erhadap Allah swt , Allah berf irman:

202 Muhammad Usman Naj at i, al-Qur an w a ‘ Ilm al-Naf s, pada edisi t erj emahan oleh: Ade Asnawi , al -Quran dan Psi kol ogi, (Jakart a: Aras Pust aka, 2003), h. 245

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah Sebaik-baik

pahala orang-orang yang beramal. (Q.S. Ali Imr 203 ãn [3]: 135-136)

Dari ayat di atas dapat kita fahami bahwa, gangguan kejiwaan yang akan timbul dari rasa bersalah yang telah dilakukan akan dapat sirna, seiring dengan ampunan yang diberikan oleh Allah swt., dari ayat di atas juga kita ketahui bahwa Allah bukan sekedar menjanjikan ampunan, akan tetapi juga balasan berupa surga dengan segala kenikmatannya. Hal inilah yang dapat memotivasi individu agar tidak pesimis dari maghfirah yang diberikan oleh Allah swt, sambil menata kembali kesalahan yang telah dia lakukan dengan perbuatan yang lebih baik.

Dalam kehidupan sosialnya, manusia memang kerap dihadapi dengan berbagai permasalahan akibat interaksinya dengan sesama. Persaingan, perbedaan prinsip dan pendapat, serta permasalahan-permasalahan lain memicu manusia untuk menjadi yang terbaik. Tidak jarang yang menghalalkan berbagai cara untuk sekedar memenuhi keinginannya tersebut. Norma sosial dalam kehidupan menjadi tidak

203 Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) pada penggalan ayat di atas ialah: dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba.

Sedangkan menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. Lihat: Kementerian Wakaf Majlis Tinggi Ulama Agama Islam- Republik Arab Mesir al-Azhar, al-Muntakhab, Selekta dalam Tafsir al-Quran al-Karim, Arab- Indonesia, (Mesir: Al-Azhar Islamic Research Academy General Departement, 1422 H- 2001 M).

diperhatikan lagi, agama dan ajarannya juga banyak ditinggalkan. Rupanya sebagian manusia telah melupakan bahwa agama menawarkan solusi yang efektif bagi seluruh permasalahan kehidupan manusia. Oleh sebab ditinggalkannya agama, maka banyak orang yang kehilangan arah, karena tidak memiliki pegangan yang dijadikan sumber dalam memecahkan permasalahan. Padahal dengan nyata telah dibahas, bahwa ajaran agama mampu membawa manusia dalam kehidupan yang harmonis bukan hanya di

dunia akan tetapi kelak di akhirat 204 . Penelitian dari M. Anis Bachtiar mengatakan: terbukti secara konkrit bahwa

dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh manusia, tidak dapat hanya didasari pada kemampuan intelegensi dan emosi saja, tetapi membutuhkan kemampuan yang lain yang bersifat esensi yaitu kemampuan spiritualitas (religius

atau Ilahiyyah). 205 Kemampuan spiritualitas ini dapat ditingkatkan dengan seringnya seseorang mengkaji tentang ilmu keagamaan dan mengamalkannya dalam kehidupan

sehari-hari, dan hal termudah yang dapat dilakukan seseorang untuk meningkatkan kedekatan spiritualnya kepada Allah adalah dengan senantiasa berdzikir kepada-Nya.

Dengan demikian, kita semakin menyadari bahwa al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa dzikir dapat menjadi solusi untuk mendidik hati manusia agar memiliki sikap obyektif dan sportif dalam menaggulangi berbagai permasalahan

dalam kehidupan, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Is 206 rã [ 17] : 82)

204 Zakiyah Darajat, menulis tentang tragedi yang terjadi dunia modern antara lain disebabkan oleh: kebutuhan hidup yang meningkat, rasa individualistis dan egois, persaingan dalam hidup dan

keadaan yang tidak stabil. Secara ringkas dijelaskan, bahwa pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan modern telah menyebabkan orang hidup dalam kegelisahan dan kecemasan, karena pengaruh pengetahuan itu telah menyebabkan orang lupa kepada ajaran agama. Akibat selanjutnya akan membawa kepada kegoncangan batin/jiwa dan akhirnya menghilangkan rasa bahagia dan ketentraman masyarakat. Zakiyah juga menulis, pengetahuan tanpa agama adalah membahayakan, harta tanpa agama menyengsarakan, dan kedudukan tanpa agama menggelisahkan. Oleh sebab itu jiwa manusia memang membutuhkan Agama. Lihat: Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental . h. 10-55.

205 M. Anis Bachtiar, dalam sebuah resume tesis magister program pasca IAIN Sunan Ampel yang berjudul: Pengaruh Psikoterapi Islami LPSNU Pagar Nusa Cabang Jombang Terhadap

Penurunan Stress. Yang diedit oleh: Syaikul Hadi Permono, Ontologi Kajian Islam, (Surabaya: Pascasarjana Sunan Ampel Press, 2003), h. 60.

206 Lihat juga firman Allah tentang al-Quran yang dapat menjadi obat bagi hati orang-orang yang beriman, Q.S. Yünus [ 10]: 57.

Hasan Muhammad al-Syarqowi menyatakan bahwa: "Salah satu metode yang digunakan dalam pengobatan penyakit jiwa adalah dengan dzikir. Karena dzikir dapat melunakkan hati yang keras, dapat mengubah rasa takut dengan rasa aman, permusuhan dengan kasih sayang, menghilangkan keresahan, rasa takut, gelisah,

bimbang dengan ketenangan dan ketentraman 207 . Demikianlah, pembahasan tentang dzikir yang berhubungan dengan kesehatan

mental dan fisik. Manusia dapat meningkatkan kualitas dzikirnya kepada Allah swt demi tercapainya kebahagiaan yang hakiki dalam menjalani skenario kehidupan yang harus diembannya. Dengan mental yang sehat, seseorang dapat menjalani hidup dengan optimis, karena ruang geraknya tidak terbatas dengan fikiran dan perasaan yang negatif dan rigid. Dengan kesehatan fisik, manusia dapat hidup produktif, karena dapat bergerak secara dinamis, berkarya dengan kecerdasan otak dan hati (IQ dan EI) demi kelangsungan hidupnya secara pribadi, keluarga dan masyarakat pada umumnya.

207 Hasan Muhammad al-Syarqowi, Nahwu 'Il mu al -Naf s, (Iskandariyyah: Muassasah Syabãb al-Jãmi'ah, 1984 H), h. 347.