10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan
Menurut Rosyidi 2007, dalam melakukan kegiatan ekspor suatu perusahaan dapat menentukan sendiri kebijakan mengenai pemasaran produknya.
Perusahaan akan memproduksi produk sesuai dengan pesanan pembeli make to order
terkait kualitas, spesifikasi dan jenis produknya dan hanya memiliki pembeli tunggal. Pemasaran produk tidak difokuskan untuk pasar lokal, terkecuali
ada penolakan produk yang telah diekspor maka perusahaan akan menjual ke restoran-restoran atau hotel-hotel di dalam negeri. Untuk ekspor ke negara Jepang
dan Uni Eropa menerapkan regulasi terkait ambang batas maksimal untuk antibiotik dan residu sebesar 1 miligram per ton, yang menunjukkan semakin
ketatnya pengawasan terhadap masalah kebersihan dan kesehatan. Irianto dan Soesilo 2007 menyatakan bahwa Ikan termasuk komoditas
yang cepat rusak dan bahkan lebih cepat dibandingkan dengan daging hewan lainnya.
Kecepatan pembusukan ikan dipengaruhi oleh teknik penangkapan dan pemanenan, kondisi biologis ikan, serta teknik penanganan diatas kapal. Oleh
karena itu, diperlukan pengawetan ikan dengan cara pembekuan. Teknologi pembekuan telah dimanfaatkan untuk menghasilkan berbagai jenis produk yang
dipasarkan dan disimpan dalam keadaan beku dengan bahan mentah seperti ikan atau udang. Produk ikan dapat dipasarkan beku dalam bentuk ikan utuh yang telah
disiangi, loin, fillet, dan lain-lain yang pada umumnya dari ikan laut. Produk ikan beku dapat disimpan cukup lama,
yaitu berbulan-bulan bahkan bisa lebih dari 1 tahun.
Selama pembekuan, pertumbuhan mikroorganisme dalam ikan akan terhambat. Faktor-faktor
dasar yang mempengaruhi mutu produk akhir ikan
beku adalah mutu bahan baku, penanganan sebelum pembekuan,
metode dan kecepatan pembekuan, suhu penyimpanan dan fluktuasi suhu, waktu
penyimpanan, kelembaban lingkungan penyimpanan, serta sifat bahan kemasan
yang digunakan. Proses pembekuan harus dilakukan dengan cepat, yaitu
penurunan suhu dari 0
o
C menjadi –5
o
C dalam waktu tidak lebih dari 2 jam, kemudian diteruskan dengan pembekuan dalam cold storage sehingga suhu
mencapai –30
o
C pada akhir pembekuan Suryaningrum 2008.
11 Perusahaan yang bergerak dalam ekspor pembekuan sering menghadapi
permasalahan seperti, jumlah produksi yang tergantung permintaan pembeli. Perusahaan harus mempertimbangkan efisiensi produksi mengenai jumlah tenaga
produksi yang dibutuhkan, jumlah ketersediaan bahan baku dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pesanan dari pembeli, sehingga dengan
penurunan produksi membuat perusahaan harus menekan biaya produksi Rosyidi 2007.
Pengolahan modern seperti pembekuan ikan menurut Heruwati 2002, menuntut pasokan bahan baku yang bermutu tinggi, jenis dan ukuran seragam
serta tersedia dalam jumlah yang cukup banyak sesuai dengan kapasitas industri. Di Indonesia, persyaratan tersebut sulit dipenuhi karena beberapa hal. Pertama,
corak perikanan bersifat perikanan rakyat, dengan 90 persen armada perahu kecil tanpa motor, pola produksinya tersebar diantara nelayan yang sangat banyak
jumlahnya, sedangkan jumlah hasil tangkapan per nelayan hanya sedikit. Kedua, perikanan tropik mempunyai ciri khas berupa jenis dan ukuran ikan yang sangat
beragam. Kedua hal ini menjadi kendala dalam memasok ikan dengan jenis dan ukuran yang seragam serta jumlah yang cukup.
Permasalahan industri perikanan yang terlihat di Jawa Barat menurut penelitian Rahayu 2009, yaitu rendahnya mutu produk dan bahan baku serta
lemahnya kemampuan teknologi. Oleh karena itu, diperlukan adanya desain untuk meningkatkan daya saing industri pengolahan. Peningkatan daya saing industri
pengolahan ikan dapat dilakukan dengan perbaikan kinerja mutu pada rantai pasok, dan untuk mewujudkannya diperlukan bantuan dari beberapa pihak terkait
seperti Dinas Perikanan Daerah, Dinas Perindustrian Daerah, DKP, Departemen Perindustrian, Pemerintah Pusat dan Daerah, Kementerian KUKM, lembaga
bantuan permodalan, serta seluruh pelaku yang terlibat dalam rantai pasok industri pengolahan ikan laut tangkapan.
Selain itu, hasil penelitian Park et al. 2008 diacu Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan 2012 menemukan bahwa
pelaksanaan liberalisasi ACFTA yang dilakukan diantara negara-negara ASEAN dan Cina akan menyebabkan penurunan surplus perdagangan negara ASEAN
dibandingkan Cina. Negara ASEAN memiliki industri yang kurang kompetitif
12 dibandingkan Cina, sehingga diperlukan upaya perbaikan kinerja buruh,
infrastruktur dan teknologi untuk meningkatkan daya saing produk ASEAN terhadap Cina.
Oleh karena itu, diperlukan program untuk meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia. Pada PJPT II, pemerintah membuat kebijaksanaan
yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi, yaitu mengeluarkan beberapa deregulasi yang salah satunya menggalakkan ekspor non-migas, hal ini menjadi
faktor yang secara tidak langsung mendukung peningkatan daya saing industri perikanan Ditjen Perikanan 1999 diacu Risnawati 2002.
2.2. Strategi Bisnis Ekspor