Material Hasil Gambaran Tahap Input dalam Sistem Pelaporan Near miss,
“Ya tim yang menyusun menentukan tanggal, kapan pelaksanaannya, lokasi, pelapor dan deskripsinya setelah itu baru di
submit ke konsultan” – IU3 “Kalo sebelumnya hmm… bikin form itukan dapetnya dari atasan
saya, saya dikirimin trus dikasih tau abis itu saya baru jabarin ke SO-SO gitu nanti untuk pelaporannya dan masuknya ke laporan
bulanan. Kalo dasar-dasarnya sih soal apa namanya form-form kaya gitu sih saya ngga ngerti
”– IU4 Pernyataan wawancara dari informan utama 3 tersebut
menyatakan bahwa proses penyusunan form pelaporan disusun oleh tim yang menyusun tidak disebutkan dari perusahaan WIKA atau
TOKYU. Hal ini sejalan dengan pernyataan wawancara informan utama 4 dimana form pelaporannya diperoleh dari atasannya yaitu
SHE manager dan DSM. Hasil wawancara informan-informan diatas diperjelas dengan pernyataan dari konsultan JMCMC informan
kunci bahwa dia menyerahkan tanggung jawab proses pembuatan dan penyusunan form kepada pihak perusahaan TWJO apabila keluar
dari sasaran yang diharapkan oleh konsultan maka akan diarahkan kembali secara lebih umum atau general sesuai dengan pernyataan
wawancara berikut : “Jadi masing-masing kontraktor termasuk TWJO karena ini dalam
bentuk kontrak yaitu desain DNC design and construction. Itu diselesaikan sama kontraktor semua saya serahkan pada mereka,
karena banyak yang lari dari dari sasaran pelan-pelan saya arahkan jadi generalik
” – IK Berdasarkan hasil wawancara dengan SHE engineer informan
utama 5, tahapan penyusunan form tersebut yaitu pembuatan, penomoran, pengajuan ke konsultan, persetujuan dari konsultan
formnya. Setelah penyusunan form selesai baru dapat didistribusikan dan diterapkan sesuai dengan pernyataan berikut:
“…dibuat koordinasi dengan QA untuk penomoran dan formatnya trus biasanya juga kita submit dulu ke konsultan kalo form ini
disetujui baru bisa kita terapkan. Kalo udah diterapkan distribusiin ke SO baru form itu bisa diisi dan setelah diisi biasanya dikumpulin
terus setiap akhir bulan it
u kan kita bikin laporan direkap” – IU5 Pernyataan diatas sejalan dengan hasil wawancara kepada quality
assurance informan pendukung 1 dan risk engineer informan pendukung 2 yang menyatakan bahwa :
“Ya menurut saya sih divisi kami yang menyusun dan harus dilibatkan dengan divisi yang berwenang pada proses penyusunan
tersebut karna dari situ kita tau nantinya masukan baru nanti kita bisa bongkar lagi. Tahapannya mulai dari penomoran form kalau
sudah sesuai akan kita submit ke konsultan setelah di setujui baru dapat didistribusikan oleh pihak yang berwenang
” – IP1 Kalau misalnya untuk penyusunan form, dokumentasi gitu yang
mengerjakan itu disini quality assurance ya. Disini salah satu aspek quality
adalah dokumentasi” – IP2 Bentuk form pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe
condition yang digunakan sesuai dengan dokumen yang ada di perusahaan. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara SHE manager
informan utama 1 dan DSM 101 informan utama 2 yang menyatakan bahwa :
“Rani bisa lihat sendiri di dokumen kita” – IU1 “Bentuk form yang digunakan sama dengan yang dibuat dan
digunakan oleh WIKA kamu bisa liat sendiri formnya di admin saya
” – IU2 Bentuk form secara umum yang digunakan perusahaan didalam
melakukan pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition diketahui terdiri dari tanggal pelaksanaan, lokasi, kategori, pelapor
dan deskripsinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan atau kutipan wawancara dari informan utama DSM CP 102 informan utama 3,
SHE engineer informan utama 4 dan 5 dan konsultan JMCMC informan kunci dibawah ini :
“Ya dalam sistem pelaporan itu jelas. Kapan, tanggal, kapan pelaksanaannya, lokasinya, trus kategori. Berikutnya pelapornya
siapa, deskripsinya seperti apa. Kenapa perlu tanggal? kita harus spesifik terhadap tanggal dan lokasi, karena apa? itu untuk
menunjang akurasi data kita.
” – IU3 “Ya. Yang ada di kita, seperti tanggal ya kan, lokasi, deskripsinya
kan.” – IU4
“Terdiri dari tanggal, lokasi dan deskiripsi kejadiannya” – IU5
“Bentuknya ya jelas nomor, tanggal, lokasi kejadian, sumber penyebab, dll
” – IK Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan informan
pendukung yaitu QA informan pendukung 1 dan risk engineer informan pendukung 2 menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui
dan memperhatikan detail dari bentuk form pelaporan yang ada. Hal ini sejalan dengan pernyataan wawancara berikut :
“Kalau untuk detail formnya saya kurang memperhatikan” – IP1 “Kalau bentuk formnya saya kurang tau detailnya karena divisi
safety yang sehari-hari terlibat untuk pelaporannya” – IP2
Berdasarkan pernyataan sebelumnya tiga informan utama 3, 4 dan 5 mengkategorikan secara umum bentuk form pelaporan namun
dua informan pendukung tidak mengetahui dan memperhatikan bentuk form pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition.
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan safety officer informan utama 7 dan 8, mereka menyatakan bahwa :
“Misalnya suatu kejadian seperti kejadiannya jam berapa, waktunya apa dibuat ya kan kalau near miss. Kalau unsafe condition
pelaporannya bisa di daily patrol ” – IU7
“Saya ngga hafal yang jelas disitu ada lokasi, deskripsi dan kejadian kalau untuk near miss. Kalau unsafe act ngga ada formnya cuma
kita biasanya langsung lapor. Unsafe condition seperti yang anda tau itu form daily safety patrol
” – IU8 Pernyataan safety officer informan utama 8 sebelumnya bahwa
untuk form pelaporan near miss terdiri dari lokasi, deskripsi dan waktu kejadiannya secara umum sejalan dengan pernyataan dari
informan utama 3, 4 dan 5. Menurutnya form pelaporan unsafe condition berupa form daily safety patrol sedangkan form pelaporan
untuk unsafe act tidak ada. Pernyataan wawancara safety officer informan utama 8 sebelumnya terkait form pelaporan unsafe act
yang tidak ada, tidak sejalan dengan pernyataan dari informan utama 3, 4 dan 5. Namun pernyataan safety officer informan utama 8
didukung dengan pernyataan wawancara safety officer informan utama 6 yang juga menyatakan bahwa untuk form pelaporan unsafe
act adalah bahwa formnya tidak ada. Hal ini sejalan dengan kutipan berikut :
“Bentuk formnya near miss ada tapi belum baca saya, tapi untuk perilaku pekerja ngga ada formnya. Untuk kondisi tidak aman itu
ada formnya daily safety patrol ” – IU6
Berdasarkan pernyataan diatas juga safety officer informan utama 6 sejauh ini belum membaca form pelaporan near miss yang
dimiliki perusahaan berbeda dengan kedua safety officer informan utama 7 dan 8.
Form pelaporan unsafe act yang dijelaskan sebelumnya tidak didukung dengan hasil telaah dokumen perusahaan. Berdasarkan hasil
telaah dokumen, form pelaporan yang dimiliki perusahaan berupa daily safety patrol form dan near miss form. Daily safety patrol form
biasa digunakan oleh divisi SHE yaitu tim safety officer SO di dalam melakukan pencatatan dari hasil patroli mereka setiap hari
dilapangan yang berkaitan dengan pelaporan untuk unsafe condition. Form daily safety patrol terdiri dari judul, tanggalwaktu, nomor,
lokasi, checklist angka, keterangan dari angka 1-17 terkait kondisi alat maupun lingkungan kerja, PIC nya siapa, dan diperiksa oleh siapa.
Berikut ini adalah bentuk formnya Gambar 5.3 :
Gambar 5.3 Daily Safety Patrol Form
Sedangkan near miss form digunakan SO untuk melaporkan kejadian near miss. Form pelaporannya terdiri dari judul,
waktutanggal kejadian, nama korban, sumber near miss, faktor penyebab sumber, tipe, kategori unsafe act atau unsafe condition,
kronologis kejadian, tindak lanjut dan status. Berikut ini adalah bentuk formnya Gambar 5.4 :
Gambar 5.4 Near Miss Form
Di dalam menentukan kesesuaian form yang digunakan perusahaan untuk melakukan pelaporan near miss, unsafe act dan
unsafe condition itu divisi SHE akan melibatkan divisi quality assurance QA. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara SHE
manager informan utama 1 yang menyatakan bahwa : “Ya nanti disitu dipilah-pilah sama QA jadi laporan apa dan nanti
muncul kategorinya apa gitu tetep kerjasama sama SHE. Karena saya disini juga proyek sudah berjalan satu tahun ya jadi kalo form-
form gitu yang bikin orang QA ya quality assurance sama project control
” – IU1
Pernyataan informan utama 1 yaitu SHE manager sejalan dengan hasil wawancara DSM CP 101 informan utama 2 dan SHE engineer
informan utama 4 yang menyatakan bahwa : “Pada dasarnya kesesuaian form digunakan secara global atau
keseluruhan dan bekerja sama dengan divisi QA. Adanya QA yang akan mensortir atau review laporansebelum dikirim ke konsultan
” – IU2
“Kalau kesesuaian dasar-dasar formnya saya ngga ngerti, sesuai dengan orang-orang QC eh QA sorry ya maksudnya QA. Orang QA
yang dilibatkan dalam arti kan kita tetep kerja sama, yang penting kan kita meeting-in gimana nih kekurangan atau masukannya
” – IU4
Selain itu, kesesuaian form mengacu kepada dokumen kontrol yang ada di perusahaan. Semua form diatur dengan terdapatnya
nomer register, tahun pembuatan dan divisi yang menggunakan form tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan informan
utama yaitu DSM CP 102 informan utama 3 yang menyatakan bahwa :
“Kesesuaian form itu seharusnya mengacu kepada dokumen kontrol yang ada di perusahaan. Jadi didalam perusahaan itu mengatur
bagaimana semua form diatur, nomer registernya, tahun pembuatannya serta divisi yg memakai form t
ersebut.” – IU3 Kemudian kesesuaian dan kelayakan form tersebut harus
disetujui oleh pihak konsultan agar dapat diterapkan di perusahaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan wawancara dari SHE engineer
informan utama 5 yang menyatakan bahwa : “Konsultasi dulu ke QA baru submit ke konsultan kalo konsultan ok
ini bisa dipake. Contohnya kalo form ceklis, ceklis safety juga seperti itu jadi kita bikin trus koordinasi ke QA dilihat, dikasih nomer itu
baru kita submit persetujuan dari konsultan setelah itu baru kita terapkan da
n sampai saat ini udah berjalan.” – IU5
Semua form yang dibuat seperti yang dijelaskan sebelumnya melibatkan
divisi QA
dalam menentukan
kesesuaiannya. Pendokumentasian yang rapih, terstruktur dan dokumennya akan di
audit internal oleh QA. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara risk engineer informan pendukung 2 yang menyatakan bahwa :
“Pendokumentasian yang rapih terstruktur itu karna ada standarnya. Kalau ngga salah standar ISO, makanya yang meng-
handle itu adalah orang quality. Karena orang quality assurance juga yang akan mengaudit internal project ini, salah satu yang di
audit itu adalah dokumennya
” – IP2 Berdasarkan hasil wawancara dengan QA informan pendukung
1, form pelaporan yang sudah sesuai dengan dokumen QA selanjutnya akan diajukan ke pihak konsultan. Hal ini sejalan dengan
pernyataan wawancara bahwa : “Jika form nya sudah sesuai dengan dokumen kami penyusunannya
maka sudah boleh di submit ke konsultan nantiny a” – IP1
Hasil wawancara dengan informan pendukung diatas sejalan dengan pernyataan wawancara konsultan JMCMC informan kunci
yang menyatakan bahwa :
“Biasanya kami yang akan meng-accept form yang dibuat dari perusahaan
” – IK
Jadi, komponen input material berupa form pelaporan pada perusahaan didalam proses penyusunannya dan kesesuaian isinya
melibatkan divisi yang berwenang yaitu divisi SHE dan divisi QA Di mulai dari tahapan penomoran, pengajuan ke konsultan persetujuan
dari konsultan terkait form pelaporannya. Form tersebut dapat didistribusikan dan diterapkan apabila telah mendapatkan persetujuan
dari pihak konsultan. Untuk form pelaporan unsafe act perusahaan tidak memiliki form tersendiri untuk melakukan record. Adapun form
yang dimiliki perusahaan saat ini untuk pelaporan unsafe condition yaitu berupa form daily safety patrol Gambar 5.3 dan untuk
pelaporan near miss yaitu berupa form near miss Gambar 5.4 sesuai dengan dokumen form atau bentuk format yang dimiliki.
b.
Kebijakan K3 Perusahaan Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak manajemen divisi
SHE TWJO yaitu SHE manager, DSM CP 101 dan CP 102 informan utama 1-3 menyatakan bahwa :
“Kalau kebijakan K3 yang jelas tujuan utamanya adalah zero accident karena manajemen kami komit dari mulai PM sampe ke
konstruksi cuma kalo di kontruksi ini kan K3 baru mulai kan tahun 2006, mulai di galakkan dan mewa
jibkan” – IU1 “Kebijakan K3 ya secara umum mencegah terjadinya kecelakaan.
Sistem pelaporan baru berjalan 30 “– IU2
“Oh ya jadi TWJO sudah berkomitmen terhadap keselamatan artinya artinya apapun yang kita laporkan itu adalah membawa
nama baik dari K3 di perusahaan. Setiap pelaporan, setiap ada kejadian wajib dilaporkan baik besar dan kecil, hanya tergantung
klasifikasinya saja apakah itu recordable atau just reportable
” – IU3
Pernyataan wawancara dari ketiga informan utama diatas menyatakan bahwa kebijakan K3 perusahaan adalah top manajemen
berkomitmen terhadap K3 dan mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan SHE engineer
informan utama 4 dan 5 yang mengumpulkan, mengolah dan membuat laporan yang menyatakan bahwa :
“Saya sih belum baca kebijakan K3 kita disini, hmmm.. sama sekali belum baca jadi belum bisa dijabarkan
” – IU4 “Kalau kebijakan K3 nya ngga lebih ke safety secara umum ya.
Kalau untuk unsafe act sama near miss-nya kan ngga tercantum di kebijakan yang tertulis gitu. Jadi kebijakannya lebih bersifat safety
secara umum tapi keterkaitan cuman ngga tertulis secara detail harus pelaporan ini, atau dilaporkan dan sekarang konsultan juga
cukup ketat lagi sekarang udah ada surat yang keluar unsafe act unsafe condition ya harus dilaporkan
” – IU5 Pernyataan wawancara dari salah satu SHE engineer informan
utama 5 kebijakan K3 perusahaan adalah lebih ke K3 secara umum sejalan dengan pernyataan wawancara dari informan utama
sebelumnya. Namun pernyataan wawancara dari SHE engineer informan utama 4 adalah belum mengetahui isi kebijakan K3 di
perusahaan. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara kepada informan pendukung yang menyatakan bahwa :
“Wah kalau kebijakan K3 saya ngga taulah, kebijakan disini kalau spesifik diperusahaan ini saya jujur ngga tau
…” – IP2 Pernyataan wawancara dari informan pendukung bahwa dia tidak
mengetahui kebijakan K3 di perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara kepada safety officer yang menyatakan bahwa :
“Dari kebijakannya, perusahaanya kurang terlalu fokus mengenai K3. Ada dalam arti kurang untuk pelatihan ada tapi tidak mengerti
tentang K3 ” – IU6
“Kalo kebijakannya setau saya kalau diperusahaan ya sesuai dengan UU yang berlaku ya misalnya ketenagakerjaan ada
keselamatan juga ya kalau kita contohkan ada di UU no.1 tahun 1970 tentang keselamatan
” – IU7 “Kebijakan yang dibuat TWJO tetep ya kita istilahnya menerapkan
seperti basic-basic aja sih sebenarnya. Kaya APD gitu emang itu wajib ya tapi istilahnya sih kebijakan yang basic-basic. Ya kalau
kebijakan untuk kita ya namanya safety itu udah ngga bisa tawar
menawar gitu ya jadi sekarang kita menggunakan punishment” – IU8
Pernyataan wawancara dari dua safety officer menyatakan bahwa kebijakan K3 perusahaan itu berkaitan dengan K3 yang dasar dan
sesuai dengan UU no tahun 1970 yang sejalan dengan pernyataan wawancara keempat informan utama sebelumnya. Sedangkan satu
safety officer menyatakan bahwa kebijakannya kurang fokus terhadap K3 hal ini tidak sejalan dengan pernyataan informan-informan
sebelumnya. Namun sejalan dengan hasil wawancara kepada informan pendukung 2 yang menyatakan bahwa :
“Jadi kebijakan yang kita terapkan itu di lapangan masih belum memenuhilah masih minim untuk di lapangan. Tapi kebijakan itu
menurut saya sudah baik tapi personal yang dilapangan ini yang masih susah
– IP1 Pernyataan wawancara dari informan pendukung 2 sejalan
dengan safety officer informan utama 6 yang menyatakan bahwa kebijakan K3 perusahaan itu masih belum memenuhi dan masih
minim untuk di lapangan. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara kepada informan kunci yang menyatakan bahwa :
“Ya masih accept lah, masih bisa diterima karena sudah mengarah ke sasaran yang diinginkan dari SMK3 itu sendiri sekalipun mereka
masih abu-abu. Di dalam SMK3 perusahaannya karna mengartikan bahwasanya itu konkret. Ya intinya SMK3 kalau ngeliat kebijakan
udah accept lah form nya masih diterima
” – IK Pernyataan wawancara dari informan kunci hampir sejalan
dengan pernyataan wawancara dari informan pendukung 2 dan safety officer informan utama 6 yang menyatakan bahwa kebijakan K3
masih abu-abu namun masih bisa diterima. Pernyataan-pernyataan
wawancara dari beberapa informan yang menyatakan bahwa top manajemen berkomitmen terhadap kebijakan K3 dan mencegah
kecelakaan kerja sejalan dan didukung dengan dokumen kebijakan perusahaan.
Berdasarkan hasil telaah dokumen perusahaan, kebijakan perusahaan Company Policy TWJO terdiri atas Kebijakan K3
Gambar 5.5, Kebijakan Lingkungan dan Kebijakan Mutu. Kebijakan K3 tertulis TWJO yaitu berisi tentang TWJO memiliki komitmen
yang kuat untuk mendorong praktek kerja yang aman pada Proyek Konstruksi Jakarta Mass Rapid Transit CP 101 dan CP 102 sesuai
dengan Undang-Undang keselamatan dan kesehatan kerja serta aturan dan Peraturan Pemerintah Indonesia dan otoritas terkait yang
memiliki kewenangan hukum. Keselamatan dan kesehatan diperlakukan sebagai bagian integral
dari manajemen konstruksi yang akan menyatu dengan produksi dan kualitas yang merupakan kebijakan TWJO untuk mencapai standar
tertinggi dalam K3 konstruksi dan secara efektif mengontrol kecelakaan dan kualitas dengan cara yaitu :
a. Membuat kesehatan dan keselamatan menjadi tanggung jawab
manajemen; b.
Termasuk semua orang yang peduli dengan proyek khususnya pada program keselamatan kontraktor;
c. “Keselamatan adalah tanggung jawab semua orang “;
d. Termasuk keselamatan dan kesehatan dalam tahap perencanaan
untuk semua aktivitas kerja; e.
Melakukan penilaian risiko untuk semua operasi kerja, dan f.
Menyediakan promosi keselamatan tingkat tinggi dan melaksanakan pelatihan keselamatan dan kesehatan yang sesuai
sebagai bagian dari program pelatihan kontraktor. TWJO bermaksud untuk memenuhi komitmen tersebut dengan
memastikan praktek dan prosedur kerja yang aman yang diadopsi memenuhi semua persyaratan UU keselamatan dan kesehatan industri
dari Pemerintah Indonesia. Pengaturan umum dan spesifik untuk mencapai tujuan tersebut tercantum dalam rencana keselamatan.
Semua pegawai TWJO diwajibkan untuk melakukan perlindungan terhadap K3 diri sendiri dan pegawai lainnya. TWJO akan
mendukung manajer dan supervisor yang bertindak untuk kepentingan K3.
Gambar 5.5 Kebijakan K3 TWJO
Gambar 5.6 Dokumentasi Kebijakan K3 TWJO
Jadi, komponen input material berupa kebijakan K3 perusahaan yang berkaitan dengan sistem pelaporan near miss, unsafe act dan
unsafe condition diketahui bahwa perusahaan memiliki kebijakan K3 yang sesuai dimana berkomitmen untuk mencapai standar tertinggi
dalam K3 konstruksi dan secara efektif mengontrol kecelakaan kerja dan kualitas sejalan dengan sebagian besar pernyataan wawancara
dari informan. Karena di dalam suatu kebijakan harus terdapat visi, tujuan perusahaan, komitmen dan tekad melaksanakan kebijakan,
kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan yang menyeluruh.
c.
Standar Perusahaan Standar yang dimiliki oleh perusahaan berdasarkan hasil
wawancara dengan pihak manajemen divisi SHE TWJO yaitu SHE manager, DSM CP 101 dan CP 102 informan utama 1-3
menyatakan bahwa : “Hmm.. yang berkaitan dengan SOP near miss ya? Mereka tidak
spesifik kesitu, intinya zero accident ya. Standar SOP disini ada tapi lebih spesifik ke alat-alat saja kalau untuk safety kita ada dokumen
site safety plan yang sudah di submit dari konsultan” – IU1 “Masih berstandar pada standar WIKA. Memakai standar
internasional akan tetapi implementasinya banyak yang belum memenuhi atau mengena pada standar-standar internasional
tersebut
” – IU2 “Kalau standar kita mengacu pada apa yang menjadi kesepakatan
yang kita submit ke MRT. Jadi sistem pelaporan near miss kita itu hanya selembar pelaporan near miss saja yang paling sebenarnya
dan yang paling penting adalah hasil observasi setiap SO itu melaporkan unsafe condition sama unsafe position setiap harinya
karena near miss itu adalah berawal dari unsafe condition dan unsafe position
” – IU3 Pernyataan wawancara dari ketiga informan utama diatas
menyatakan bahwa standar sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition perusahaan adalah menggunakan standar WIKA
dan mengacu pada kesepakatan dengan MRT dan konsultan yaitu dokumen site safety plan namun tidak spesifik. Hal ini sejalan dengan
hasil wawancara dengan SHE engineer informan utama 4 dan 5 yang mengumpulkan, mengolah dan membuat laporan yang
menyatakan bahwa : “Oh, pelaporan standarnya kita ngikutin konsultan. Dokumen
standarnya itu aduh kalo untuk standarnya sih saya ngga tau kalo konsultan pake apa, tak paham” – IU4
“Kalau disini kita masih pake form punya WIKA karena manajemen 101-103 sampe ke MRT pun ngga mengarah harus pake standar apa.
Jadi dengan komitmen kita kalau di TOKYU ngga ada, di WIKA ada ya kita pake punya WIKA. Kita koordinasi dengan TOKYU jadi
yaudah kita gunakan
” – IU5 Pernyataan wawancara dari SHE engineer bahwa standar sistem
pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition perusahaan adalah menggunakan mengacu pada standar WIKA dan kesepakatan
dengan konsultan. Hal ini belum sejalan dengan hasil wawancara kepada safety officer informan utama 6-8 yang menyatakan bahwa :
“Standarnya ya harus ada prosedur. Selama ini prosedurnya masih agak susah dalam arti pihak yang ada diperusahaan dan dilapangan
kurang. SOP nya belum ada” – IU6 “Kalo standarnya yang digunakan saya liat disini kalau form itu
udah sesuai dengan standar mengacu kepada UU kemudian bisa dikatakan sudah keputusan daripada kita disini kita mengacunya ke
MK3LH ya kan itu bisa dikatakan itu mutu, keselamatan kesehatan
kerja, lingkungan hidup kaya gitu sistemnya” – IU7 “Belum ada, misalnya standar alat yang kita gunakan itu harusnya
kan sesuai terhadap safety” – IU8 Pernyataan wawancara dari safety officer informan utama 7
bahwa standar sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition perusahaan adalah mengacu pada undang-undang.
Sedangkan pernyataan wawancara dari dua safety officer lainnya bahwa standar atau prosedur yang digunakan belum ada. Berdasarkan
hasil wawancara kepada informan kunci dan informan pendukung yang menyatakan bahwa :
“Mendekatin, belum tapi udah mendekatinlah ke K3” – IK “Masih kuranglah ya soalnya disini kebanyakan masih ngga tau
apasih standarnya itu, misalnya standar APD aja ngga tau ” – IP1
“Standar ISO, OHSAS biasanya yang mengetahui detail orang SHE yang pasti dan bisa juga QA” – IP2
Pernyataan wawancara dari informan kunci dan informan pendukung 1 tersebut bahwa standar sistem pelaporan near miss,
unsafe act dan unsafe condition perusahaan adalah belum dan masih kurang terhadap K3, belum sejalan dengan pernyataan wawancara
dari informan pendukung 2 yang menyatakan bahwa standarnya mengacu pada ISO dan OHSAS. Jadi, pernyataan wawancara dari
informan utama 1-5 sudah sejalan yang menyatakan bahwa standar yang digunakan mengacu pada standar WIKA, MRT dan konsultan
namun belum sejalan dengan pernyataan wawancara dari informan utama 6-7, informan kunci dan informan pendukung.
Perusahaan memiliki standar K3 yang mengacu pada dokumen site safety plan. Dokumen perencanaan ini menghubungkan
perencanaan dan prosedur-prosedur lain proyek untuk membentuk keseluruhan sistem manajemen proyek. Dokumen tersebut disusun
untuk memenuhi unsur-unsur yang berlaku pada OHSAS 18001:2007 yang mencakup perencanaan, organisasi dan manajemen kemudian
dikembangkan untuk memberikan pedoman yang memadai kepada tim proyek dalam melaksanakan tugasnya dan memenuhi persyaratan
kontrak. Dokumen ini mengelola, memantau dan merekam kegiatan K3 yang didukung dengan standar-standar operasional prosedur dan
form-form yang dimiliki perusahaan. Berdasarkan hasil telaah dokumen site safety plan bahwa standar
operasional prosedur yang terdapat di perusahaan dan terlampir hanya
spesifik pada standar operasional prosedur penggunaan alat dan jenis- jenis pekerjaan dalam melaksanakan pekerjaan belum spesifik
terhadap standar pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition di konstruksi yaitu sebagai berikut Gambar 5.7:
Gambar 5.7 Lampiran Standar Operasional Prosedur pada Dokumen Site Safety
Plan
Berdasarkan hasil telaah dokumen site safety plan bahwa standar yang terlampir hanya spesifik pada standar operasional prosedur
penggunaan alat dan jenis-jenis pekerjaan belum spesifik terhadap standar pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition di
konstruksi sejalan dengan pernyataan wawancara dari informan utama 1, 6 dan 8 yaitu safety manager dan safety officer yang menyatakan
bahwa standar yang digunakan tidak ada atau belum spesifik terhadap standar pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition.
Di dalam memastikan tingkat konsistensi komitmen perusahaan, kinerja operasional harus dipertahankan sepanjang durasi proyek dan
di semua lokasi kerja. Standar operasional prosedur telah dikembangkan dan memberikan standar minimum yang harus
diterapkan. SOP yang dimiliki perusahaan ini berfungsi untuk memastikan panduan yang jelas diberikan kepada semua personil
proyek sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan dalam mengendalikan risiko kesehatan dan keselamatan di proyek. Perlu
adanya pemahaman informan terhadap near miss, unsafe act dan unsafe condition pada standar. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pihak manajemen divisi SHE TWJO yaitu SHE manager, DSM CP 101 dan CP 102 informan utama 1-3 menyatakan bahwa :
“Near miss itu sebenernya kondisi hampir celaka, celakanya belum tapi hampir celaka
” – IU1 “Kejadian yang nyaris akan tetapi jika sering terjadi near miss
akan berpotensi menjadi kejadia n yang lebih parah” – IU2
“Oh kalau menurut saya near miss itu sama dengan persepsi semua safety di dunia ini near miss itu adalah kejadian yang
hampir celaka, hampir celaka maksudnya hampir celaka mengenai orang, mengenai peralatan dan juga dampak terhadap
li ngkungan” – IU3
Pernyataan wawancara dari ketiga informan utama diatas menyatakan bahwa near miss adalah suatu kejadian yang hampir
celaka, berpotensi menjadi kejadian yang lebih parah dan berdampak pada orang, peralatan serta lingkungan. Hal ini sejalan dengan hasil
wawancara dengan SHE engineer informan utama 4 dan 5 yang mengumpulkan, mengolah dan membuat laporan yang menyatakan
bahwa : “Near miss itu ya kita udah tau ya hampir celaka dalam arti kita
bekerja tapi kita hampir kecelakaan, seperti itu. Itukan juga ngga langsung kitanya dalam arti kan bisa benda atau apa gitu kan, apa
bisa kitanya yang lalai itu termasuk near miss
, yang lalai” – IU4 “Near miss itu suatu kejadian hampir celaka jadi apabila ada
perubahan sedikit saja bisa jadi celaka gitu ” – IU5
Pernyataan wawancara dari SHE engineer bahwa near miss adalah suatu kejadian yang hampir celaka yang dapat berasal dari
benda, manusia, atau apabila terjadi perubahan yang dapat menimbulkan kecelakaan. Hal ini juga sejalan dengan hasil
wawancara kepada safety officer informan utama 6-8 yang menyatakan bahwa :
“Jadi kita tahu bahayanya kaya apa ya itu hampir celaka. Misalnya kela
laian pekerja” – IU6 “Definisi near miss itu artinya sesuatu yang hampir mendekati
kecelakaan tapi belum terjadi ” – IU8
”Near miss ini pengertiannya menurut saya ya dilapangan misalnya ada orang yang luka ini ada tahapannya ada ringan ada
sedang ada berat ” – IU7
Pernyataan wawancara dari safety officer informan utama 7 bahwa near miss berkaitan dengan orang luka dan ada tahapannya,
pernyataan tersebut belum sejalan dengan pernyataan wawancara dari safety officer informan utama 6 dan 8 bahwa near miss adalah suatu
kejadian yang hampir celaka. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara kepada informan kunci dan informan pendukung yang
menyatakan bahwa : “Dari definisinya dulu near miss itu kan yang nyaris ya, nyaris
celaka apa sih yang nyaris celaka itu apa baru fungsinya bagaimana tindaklanjutnya oleh eksekutornya ataupun kontraktor
gimana jangan ditemukan misalnya tidak pake sarung tangan itu bisa kita kategorikan bisa ke near miss, ya tapi tindak lanjutnya apa
kita cari dulu kenapa dia ngga pake sarung tangan? Pengadaan mgga ada atau emang habitnya. Tapi umumnya yang demikian kalau
saya
perhatikan itu habit” “Ya, near miss itu hampir celaka, kecelakaan kerja yang belum
terjadi. Akan berdampak kecelakaan kalau belum kita perbaiki ”
“Near miss itu definisinya belum kejadian kan cuma bisa terjadi. Near miss sendiri itu sebenernya suatu pelanggaran batas. Batas itu
batas K3 tapi belum kejadian, nyaris aja kejadian itu ”
Pernyataan wawancara dari informan kunci dan informan pendukung tersebut bahwa near miss adalah suatu kejadian yang
belum, nyaris atau hampir celaka yang melanggar suatu batas dapat disebabkan karena habit manusia. Jadi, pernyataan-pernyataan
wawancara dari ketujuh informan utama, informan kunci dan 2 informan pendukung sudah sejalan yang menyatakan bahwa near
miss adalah suatu kejadian yang belum, nyaris atau hampir celaka. Namun pernyataan tersebut belum sejalan dengan pernyataan
wawancara dari satu informan utama yang menyatakan bahwa near miss berkaitan dengan orang luka dan ada tahapannya.
Pernyataan informan terkait unsafe act dan unsafe condition berdasarkan hasil wawancara dengan pihak manajemen divisi SHE
TWJO yaitu SHE manager, DSM CP 101 dan CP 102 informan utama 1-3 menyatakan bahwa :
“Unsafe action tindakan- tindakan tidak selamat. Misalnya kita bekerja di ketinggian tidak pakai harness. Unsafe condition sendiri
kondisi tidak aman, berarti kita tidak mempersiapkan hal-hal sebelum kerja. Istilahnya tidak mempersiapkan lokasi kerja aman,
platform kerja, tangga. Yang sering disini dua-duanya, unsafe condition yang utamanya
” – IU1 “Unsafe act itu perilaku tidak aman misalnya tidak menggunakan
APD, tidak sesuai prosedur. Kalau unsafe condition itu kondisi yang tidak aman misalnya material tidak pada tempatnya, tidak ada
handrail
dan sebagainya” – IU2 “Unsafe act itu adalah inner behavior seseorang yang secara
explosure atau secara terbuka memaparkan bahwa dia tidak selamat atau melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan dirinya sendiri,
orang lain dan juga lingkungan. Unsafe condition adalah berawal dari mekanisme atau birokrasi di perusahaan yang mungkin agak
lama dan agak lamban didalam proses perbaikan atau maintenance dan juga lamanya proses pada saat permintaan barang-barang
mengakibatkan barang-barang yang sudah korosi masih tetap layak dipake, sementara dalam pandangan K3 itu tidak layak untuk dipake
lagi dan harus di reject”– IU3 Pernyataan wawancara dari ketiga informan utama diatas
menyatakan bahwa unsafe act adalah suatu perilaku seseorang atau tindakan-tindakan yang tidak selamat yang dapat merugikan dirinya
sendiri, orang lain dan lingkungan misalnya tidak sesuai prosedur dan tidak menggunakan APD. Sedangkan bahwa unsafe condition adalah
kondisi yang tidak aman misalnya lokasi kerja belum siap untuk melaksanakan pekerjaan dan kondisi alat yang tidak layak. Hal ini
sejalan dengan hasil wawancara dengan SHE engineer informan utama 4 dan 5 yang menyatakan bahwa :
“Unsafe action berarti kita udah tau ya kan misalkan kita bekerja kaya gerinda ngga ada covernya dia tau tapi masih dilakukan. Ngga
harus alat juga apapun kerja dia, udah tau ngga aman ya dia tetep kerja. Kondisi ya dalam arti kondisinya kita cukup liat dari kondisi
kerja kita seperti becek ya kan, udah tau becek masih kerja kondisi
lingkungan kerja gitu, seperti itu” – IU4 “Unsafe act atau perilaku tidak aman itu lebih kepada pekerja nya
sendiri… Keadaan tidak aman itu lokasi kerja, ya lokasi kerja itu kurang memperhatikan housekeeping-nya segala macem ya
kaitannya dengan lingkungan” – IU5 Pernyataan wawancara dari SHE engineer bahwa near miss
adalah suatu kejadian yang hampir celaka yang dapat berasal dari benda, manusia, atau apabila terjadi perubahan yang dapat
menimbulkan kecelakaan. Hal ini juga sejalan dengan hasil wawancara kepada safety officer informan utama 6-8 yang
menyatakan bahwa : “Perilaku tidak aman itu dia mengabaikan keselamatan tidak
mengikuti prosedur tidak memenuhi progres. Kalau kondisi tidak aman itu kondisi yang kurang bagus ya
” – IU6 “Kalo unsafe action itu tindakan-tindakan yang kalau saya liat disini
dari masalah APD. APD ya penggunaannya… Ya kondisi unsafe
condition dimana biasanya berhubungan dengan kontruksi, pier yang masih keadaannya belum diisi tanah ditimbun dengan tanah
misalnya kan diratakan kan pada saat itu ditimbun namanya unsafe condition tidak ada proteksi disitu kondisinya berarti ada lubang
bahaya bagi orang melintas pada saat mau melakukan aktivitas di dalam proyek maupun
area luar” – IU7 “Unsafe act itu artinya tindakan yang tidak aman berupa begini ya
dia terlalu memaksakan.Unsafe condition itu kondisi yang tidak aman, lingkungan kerja kita yang tidak aman. Contohnya seperti
ibaratnya kita bekerja di ketinggian melihat lokasi kita sempit disitu material berserakan
” – IU8
Pernyataan wawancara dari ketiga informan safety officer diatas menyatakan bahwa unsafe act adalah suatu perilaku yang
mengabaikan keselamatan,
tidak mengikuti
prosedur dan
memaksakan misalnya pada alat dan penggunaan APD. Sedangkan bahwa unsafe condition adalah kondisi yang tidak aman, kurang
bagus misalnya lokasi kerja tidak terdapat proteksi yang layak dan material yang berserakan. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara
kepada informan kunci dan informan pendukung yang menyatakan bahwa :
“Unsafe act artinya orang yang selalu melakukan dengan cara shortcut atau jalan pintas contohnya ya ada gedung tinggi ada
tangga tapi dia ngga menggunakan tangga itu tapi akses lain. Confined space unsafe condition semua botol bejana bertekanan itu
tidak boleh masuk kedalam confined space karena hanya ada satu access ada galian bisa aja dia jalan
dari pinggir slot galian kan” – IK
“Perilaku tidak aman itu kan dari kita diri sendiri gitu. Definisinya itu ya kita amankan dulu diri kita, kita merasa nyaman bekerja
disini…Ya perilaku yang tidak aman orang yang akan naik ke scaffolding memaksakan naik ke scaffolding yang belum diceklis dan
belum ada tagnya misalnya padahal itu kondisi tidak aman ” – IP1
“Definisi dari unsafe action pribadi ya definisi dari unsafe action itu tindakan yang tidak terukur dan tidak tau batas karna yang namanya
K3 itu kalau K3 itu prinsipnya kan tau batas, know your limit
gitu…Jadi yang namanya unsafe action itu melanggar batas, batas apapun. Unsafe condition adalah tidak memberikan batas itu
” – IP2
Pernyataan wawancara dari informan kunci dan informan pendukung tersebut bahwa unsafe act adalah suatu tindakan yang
mengambil jalan pintas, tindakan yang memaksa, tindakan yang tidak terukur dan tidak tahu batas. Sedangkan bahwa unsafe condition
adalah kondisi yang dipaksakan, tidak aman dan melanggar batas
apapun misalnya peralatan yang belum siap digunakan atau akses kerja terhalang.
Pernyataan-pernyataan wawancara dari kesebelas yaitu informan utama, informan kunci dan informan pendukung sudah sejalan yang
menyatakan bahwa unsafe act adalah suatu perilaku seseorang atau tindakan-tindakan yang tidak selamat, memaksakan, diluar batas yang
dapat merugikan dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan misalnya tidak sesuai prosedur dan tidak menggunakan APD. Sedangkan
unsafe condition adalah kondisi yang dipaksakan, tidak aman dan melanggar batasan misalnya kondisi peralatan yang tidak sesuai,
akses kerja terhalang, dsb. Berikut ini adalah beberapa dokumentasi hasil observasi yang diperoleh di lokasi kerja konstruksi MRTJ TWJO
mengenai temuan unsafe act dan unsafe condition :
A
B
Gambar 5.8 Unsafe Act pada Pekerjaan Fabrikasi Besi dan Pengelasan Penggunaan
APD
Gambar 5.9 Unsafe Condition Penempatan Material Scaffolding dan Kebersihan Lokasi Kerja
Jadi, pada komponen input material berupa standar K3 perusahaan yang berkaitan dengan sistem pelaporan near miss, unsafe
act dan unsafe condition diketahui bahwa perusahaan memiliki standar K3 telah diatur dalam dokumen site safety plan dan
pernyataan-pernyataan wawancara dari sebagian besar informan wawancara terkait definisi near miss sudah sejalan namun hanya satu
informan wawancara yang belum sejalan. Terkait definisi unsafe act dan unsafe condition semua pernyataan wawancara informan sudah
memiliki pemahaman yang sejalan.