Posmodernisme dan Ilmu Hukum

4481 Industrialisasi yang menjadi “anak kandung” era modern, dengan pabrik-pabrik sebagai simbol konsentrasi kegiatannya, ternyata mengalami pergeseran besar-besaran pada era posmodern. Kekuasaan tidak lagi semata ditentukan oleh kekuatan kapital dalam wujud pabrik-pabrik dengan produksi massalnya, melainkan pada kemampuan menguasai informasi. Sektor informasi ternyata berpotensi menyerap lapangan kerja yang lebih besar, karena para pekerja tidak perlu harus terkonsentrasi di satu tempat. Melalui jaringan kerja yang heterotopia itu istilah yang dipinjam dari Michel Foucault, orang dapat bekerja di mana saja. Suatu produk yang dulu digarap satu atau beberapa pihak secara terbatas, dewasa ini dapat menjadi karya bersama. Mobil yang chasing- nya dibuat di Jepang, dapat dikombinasi dengan mesin suplaian Korea, ban depan dari Cina, kaca depan dari Taiwan, dan kemudian dirakit di Indonesia untuk dipasarkan di Papua Nugini. Pendekatan produsen terhadap konsumenpun makin bersifat personal. Oleh sebab itu, produk massal yang standar diganti dengan produk segmentaris yang beraneka ragam multivalence. Untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang makin luas dan personal, dikembangkan strategi pengambilan keputusan yang a-hirarkis. Hal ini sejalan dengan berkumandangnya gerakan “konsumerisme” dengan hak-hak dasar konsumennya, seperti antara lain dikemukakan oleh John F. Kennedy melalui pidatonya yang monumental tanggal 15 Maret 1962, yaitu: 1 the right to safety; 2 the right to be informed; 3 the right to choose; dan 4 the right to be heard. Keputusan- keputusan tidak mungkin lagi diambil secara sepihak, melainkan harus melalui konsensus yang didialogkan secara intersubjektif. Akibat dari keadaan ini merambah ke mana-mana, tidak sekadar di sektor manufaktur barang. Konsep sekolah, misalnya, yang seharusnya dikenal sebagai wilayah paling konservatif, sekarang ini terpaksa harus didefinisi ulang. Berkat jaringan dunia maya melalui komputer-komputer pribadi personal computers yang luas memasyarakat, murid-murid sebuah sekolah dapat belajar pada waktu yang sama langsung dari jarak radius ribuan kilometer di seluruh penjuru dunia. Filosofi pendidikan yang semula memandang siswa sebagai objek objectivism sekarang ini telah berubah menjadi sebaliknya. Siswa tidak lagi dijejali pengetahuan transfer of knowledge oleh guru sebagai pusat sumber belajar, tetapi masing-masing siswa akan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya constructivism. Tugas guru dan sekolah adalah sekadar memberikan stimulus dan menawarkan konteks, sementara pusat pembelajarannya ada pada setiap siswa.

2.2. Posmodernisme dan Ilmu Hukum

Jika banyak sektor harus diredefinisi akibat “hantaman” posmodernisme ini, tentu pengaruh yang sama juga dialami ilmu hukum. Dominasi era modern yang secara tradisional menekankan pada semangat Positivisme ala Auguste Comte, membawa dampak yang luar biasa pada karakteristik ilmu hukum itu sendiri. Hukum telah terbiasa dipersepsikan secara mekanistis, sebagai sarana yang objektif, dan stabil. Kehidupan sosial, di mana interaksi individu danatau kelompok menjadi bagian di dalamnya, akan terjamin tertib melalui norma-norma positif yang mekanis itu. Mekanisme yang dijalankan oleh hakim menekankan pada uniformitas, khususnya dalam hal penafsiran terhadap makna norma-norma itu sendiri. Tafsir monolitik seperti ini akhirnya dipandang justru menjauhkan norma-norma itu dari mayoritas subjek [pendukung] hukum itu. Tafsir monolitik akhirnya menjadi tafsir 4482 monopolitis, dalam arti tafsir yang dikuasai oleh sudut pandang penguasa politik dan ekonomi. Monopoli tafsir yang berpusat pada penguasa di satu sisi menjamin nilai-nilai kepastian, namun di sisi lain telah menggerogoti nilai-nilai keadilan. Kaum posmodernis melihat hukum telah berpihak. Mereka menyaksikan bahwa konsep “equality before the law” yang begitu dihormati dan dibanggakan oleh negara-negara yang mengaku demokratis, ternyata sekadar retorika yang menyesatkan dalam kehidupan sehari-hari. Putusan-putusan pengadilan menjadi ajang “sandiwara” yang mahal, sementara kebenaran yang dikejar adalah formal-prosedural belaka. Bahaya tafsir monolitik seperti disinggung di atas, sebenarnya sudah sejak lama dikritisi oleh teoretisi dan filsuf hukum. Lahirnya model-model alternatif penalaran hukum di luar model Posivisme Hukum, menunjukkan fenomena tersebut. Dalam hal perkembangan ini, kredit terbesar patut diberikan kepada ilmu-ilmu empiris hukum yang menggunakan perspektif eksternal, seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum. Sosiologi hukum membuka mata para teoretisi dan filsuf hukum tentang dimensi hukum yang hidup living law, sehingga nilai-nilai kemanfaatan menjadi penting untuk diakomodasi ke dalam pengembanan hukum. Sejarah hukum dan antropologi hukum juga memberi andil, antara lain dengan memberi tempat pada sumber-sumber alternatif hukum di luar undang-undang. Hukum adat yang digali dari tradisi lokal terbukti telah memperkaya khazanah sumber hukum di semua negara, sekalipun mungkin tingkat prioritasnya berbeda-beda dalam berbagai sistem hukum. Psikologi hukumpun demikian halnya. Ia berjasa telah mengurangi karakter mekanistis hukum dengan menyadarkan banyak pihak terhadap sisi-sisi manusiawi dari para pengemban hukum. Hakim adalah manusia yang rentan terhadap tekanan-tekanan, seperti politis dan ekonomis. Dengan demikian, salah satu ciri khas posmodernisme adalah penolakannya yang kuat terhadap dominasi narasi atau metanarasi. Selama zaman modern, berlangsung suatu proyek untuk membangun masyarakat baru atas dasar rasio universal. Program pencerahan ini percaya bahwa kaum modern sanggup melihat dunia sebagaimana adanya, yang objektif dan bebas dari mitos. Padahal, menurut kaum posmodernis, subjektivitas dan mitos-mitos itu justru penting peranannya untuk mempertahankan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat dan menjadi dasar untuk keabsahannya. Kaum posmodernis menganggap sistem untuk mengabsahkan mitos- mitos ini sebagai “narasi” atau “metanarasi”. Metode-metode ilmiah lahir dari percakapan antar-narasi, atau dapat juga disebut dialektika antar-mitos. Oleh karena itu, manusia posmodern tidak boleh lagi berpegang kepada mitos modern yang hanya meyakini satu narasi untuk mengabsahkan segala sesuatu. Era ini adalah era di mana segala sesatu “tidak diabsahkan.” Akibatnya, konsep posmodern selalu menyerang pandangan yang menganggap dirinya universal. Posmodern menyatakan “perang terhadap totalitas.” Ciri khas lainnya dari posmodernisme adalah “tanpa titik pusat,” suatu konsep yang menggantikan “universe” menjadi “multiverse.” Perubahan orientasi berpikir ini mengubah paradigma ilmu hukum yang dikembangkan suatu negara. Ilmu hukum sebagai ilmu praktis tentu menghadapi problema konkret yang tidak mungkin seragam antara satu tempat dan tempat lainnya, atau dari satu waktu ke waktu berikutnya. Ilmu hukum bahkan merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang paling dinamis dan terbuka terhadap perkembangan zaman. Dinamika tersebut dapat dibuktikan secara mudah dari masuknya nilai-nilai anti-tafsir monolitik itu yang oleh bidang lain dianggap orisinalitas posmodern ke dalam disiplin hukum jauh mendahului periode inkubasi posmodernisme itu sendiri. Stanley J. Grenz mencatat tanggal 15 Juli 1972 sebagai hari kelahiran 4483 posmodernisme, yakni ketika pertama kali proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis diledakkan dengan dinamit untuk menandai kehancuran desain arsitektur modern.22 Tentu saja, penetapan satu tanggal seperti yang disinyalir oleh Grenz akan ditolak banyak pihak, mengingat istilah “postmodern” itu sendiri sudah muncul pada tahun 1930- an, antara lain melalui tulisan Frederico de Onis atau Arnold Toynbee. Dalam bukunya “Study of History ,” Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri ragu-ragu mengenai awal munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau sejak tahun 1870-an. Jika yang dipersoalkan oleh posmodernisme hanya sekadar penolakan terhadap tafsir monolitik, metanarasi, universe, atau tema-tema lain yang senapas dengan itu, maka cara berpikir seperti ini sudah muncul j auh sebelum tahun 1930. Sebagai contoh, tulisan Sophocles dalam karya termasyhurnya “Antigone” secara cerdas sudah mempertanyakan keabsahan narasi suatu undang-undang. Dalam naskah drama klasik itu tergambarkan betapa keras tentangan Antigone dan Haemon atas undang-undang yang dikeluarkan oleh Creon yang melarang penguburan mayat Polyneices. Sekalipun gugatan- gugatan terhadap “mitos” objektivitas undang- undang ini sudah dikumandangkan lebih awal dari masa kelahiran posmodernisme, harus diakui bahwa pengaruh posmodernisme ini cukup signifikan untuk “mengakhiri” atau setidaknya “menggoyahkan” sendi-sendi berpikir ala zaman modern. Boleh jadi, kekuatan dari gugatan posmodernisme ini terletak pada ketepatan momentumnya, yakni saat sekat-sekat nasionalitas telah tercabik-cabik borderless world berkat teknologi komunikasi dan informasi.

3. Pembahasan