1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komoditas pangan merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan. Bahkan kebutuhan terhadap komoditas ini tidak dapat ditunda dan harus tersedia setiap saat,
baik itu dari komoditas hasil pertanian, perternakan, maupun perikanan. Tetapi saat ini isu keamanan pangan telah menjadi perhatian dunia. Konsumen pangan semakin
kritis seiring meningkatnya kesadaran terhadap masalah kesehatan. Pola pemilihan pangan oleh konsumen mengubah standar dan kriteria dalam menentukan mutu
pangan. Kriteria-kriteria yang bukan lagi hanya ditekankan pada faktor nutrisi atau pun penampilan saja, tetapi sudah lebih mempertimbangkan faktor keamanan pangan.
Artinya, konsumen mempertimbangkan risiko yang membahayakan kesehatan dalam mengkonsumsi pangan.
Faktor keamanan pangan dapat dinilai dari sumber risiko dan dampaknya terhadap kesehatan manusia, diantaranya mikroba patogen pembawa dan penyebab
penyakit, residu pestisida, bahan tambahan pangan dan residu obat-obatan dan hormon pada peternakan dan perikanan, bahan beracun alami maupun toksin yang
bersumber dari lingkungan misalnya logam-logam berat, agen pembawa yang tidak biasa misal BSE Bovine spongiform encephalopathy atau penyakit sapi gila, yang
ditularkan lewat pangan hasil ternak sapi, penyakit yang bisa ditransmisikan dari manusia kepada manusia lewat makanan misalnya tuberkulosis, dan juga proses
pengawetan dan pengolahan yang hasilnya memungkinkan membawa resiko Pardede 2009. Hal ini bersumber pada potensi sumberdaya yang ada, misalnya saja
sumberdaya perikanan. Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia sangat melimpah dan beragam.
Salah satu komoditi unggulan yang banyak digemari masyarakat adalah dari kelas crustacea
. Sebagai primadona ekspor di sektor perikanan di Indonesia memiliki volume ekspor yang terus mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada data yang
diperoleh dari Kementrian Kelautan dan Perikanan. Ekspor udang ke Negara Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa selama tiga tahun yaitu tahun 2006 secara berurutan
mencapai 50.581 ton, 61.235 ton, 35.232 ton, tahun 2007 mencapai 40.334 ton, 60.399 ton, 28.845 ton, tahun 2008 mencapai 39.582 ton, 80.479 ton, 26.825 ton.
Potensi lahan laut di Indonesia pun masih banyak tersisa yaitu sebanyak tersisa 8.276.036 ha KKP 2009. Sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan pun
menargetkan produksi udang nasional sebesar 699.000 ton pada tahun 2014 atau meningkat sebesar 74,75 selama periode 2010-2014. Salah satu komoditas dari
kelas crustacea yang ditargetkan adalah udang black tiger Penaeus monodon yang merupakan organisme akuatik asli pantai pasifik Meksiko, Amerika Tengah dan
Amerika Selatan. Udang black tiger biasanya juga dikenal orang dengan nama udang windu, dan nama umum lainnya yaitu tiger shrimp atau tiger prawn Suyanto dan
Mujiman 1994. Produk yang diekspor dari komoditas udang ini pun sering kali mengalami
penolakan. Penolakan ini terjadi karena adanya bahaya pada produk yang dipasarkan, baik itu bahaya fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Oleh karena itu pemerintah
menetapkan peraturan baru untuk melaksanakan traceability pada produk pangan pada semua tingkatan produksi, pengolahan, dan distribusi. Sistem traceability
membatasi dampak masalah keamanan pangan yang potensial, sehingga dapat diketahui dengan pasti produk yang terkena dampak dan jaringan pasokan yang
terlibat. Hal ini merupakan kontrol tindakan sehingga dapat dengan mudah diikuti. Namun, traceability sendiri tidak mengubah keselamatan dan kualitas produk. Untuk
mengefisienkan maka penerapan sistem traceability harus dilengkapi dengan pendekatan produksi yang cocok dan distribusi perencanaan Grunow et al. 2008.
Dupuy et al. 2005 menggunakan konsep batch dispersion untuk menangani internal traceability
, yaitu menelusuri internal batch produk pada satu langkah dalam chain, misalnya pada proses produksi.
Penelitian ini menggunakan konsep batch dispertion, dimana permasalahan yang diangkat adalah mixed batch pada proses produksi. Mixed batch yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikroba ataupun defect pada hasil akhir produk, dimana akan mempengaruhi mutu dan keamanan pangannya.
Selain itu penyebaran batch yang terlalu banyak juga dapat mempengaruhi produk
akhir, karena dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi pada produk, lamanya waktu kerja, dan bertambahnya biaya produksi. Batch dispersion membatasi ukuran
batch dalam tahap produksi sehingga dapat mengurangi masalah keamanan dan dapat
mengoptimasikan traceability. Ukuran batch dapat mempengaruhi degradasi kualitas produk, khususnya produk yang bersifat perishable misalnya udang, baik itu udang
beku maupun udang breaded dimana memiliki kualitas udang yang berbeda.
1.2 Tujuan