Identifikasi titik kritis traceability menggunakan metode pendekatan Failure Modes Effects and Criticality Analysis (FMECA) pada industri pengolahan udang breaded di PT Y

(1)

Effects and Criticality Analysis (FMECA) PADA INDUSTRI

PENGOLAHAN UDANG BREADED DI PT Y

MOLLY HESAMESTYNA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI DAN HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

Menggunakan Pendekatan Failure Modes Effects And Criticality Analysis

(FMECA) pada Industri Pengolahan Udang di PT Y. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan AGOES M. JACOEB.

Identifikasi titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi di perusahaan dengan menggunakan metode Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menggunakan metode FMECA untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi udang

breaded di PT Y.

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pemahaman terhadap proses produksi (serta proses traceability di perusahaan), pembuatan outline

(skema) proses produksi dan analisis data. Tahapan penelitian pembuatan skema proses adalah mengumpulkan data yang berhubungan dengan tahapan proses selama proses produksi di perusahaan dan wawancara secara terstruktur. Pengumpulan data dan dokumen dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan manajemen TC dalam perusahaan serta mencatat informasi penting pada tiap tahapan proses (meliputi pengecekan dan pengamatan keadaan di lapangan terhadap tahapan proses yang didokumentasikan, dan metode pelabelan yang digunakan). Analisis data dilakukan berdasarkan Sistem Pakar dengan menggunakan aplikasi tehnik FMECA. Analisis FMECA terdiri dari dua tahapan analisis yaitu: Analisis ragam/ titik kegagalan dan analisis efek (Failure Modes and Effects Analysis/ FMEA). Analis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu: Analisis titik-titik kegagalan traceability (failure mode analysis) dan Analisis efek (efek lokal dan global). Sedangkan analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA) dilakukan melalui empat tahapan: Menentukan tingkat kepelikan (Severity/ S), Menentukan peluang terjadinya (Probability/ P), Menetukan nilai masing-masing titik kegagalan dengan menggunakan metode RPN dan Menentukan posisi dalam matriks kritikal (criticality matrix).

Hasil FMECA yang dilakukan pada manajemen sistem traceability

diperusahaan maka diperoleh bahwa PT Y memiliki 10 titik kegagalan yaitu pada

failure ID 1.10; 1.20; 1.30; 9.10; 16.10; 17.10; 19.10; 19.20; 25.10; 25.20. Penyebab-penyebab kegagalan adalah tidak ada pencatatan Surat perjanjian jual beli udang (1.10); tidak ada Nota pembelian produk (1.20); Tidak ada pencatatan Nota timbang produk saat di tambak/ tiba diperusahaan (1.30); Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan(9.10; 16.10; 17.10); Tidak diberikannya label (19.10); Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded (19.20); Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC (25.10); dan Misslabelling (25.20). Setelah diketahui kemungkinan-kemungkinan titik kegagalan traceability dalam perusahaan maka peneliti mengajukan proposal perbaikan struktural manajemen

taceability dalam perusahaan. Proposal ini bertujuan menurunkan level/ area kritis dari masing-masing failure ID tersebut sehingga mencapai keefektifan dan keefisienan sistem manajemen internal traceability perusahaan.


(3)

Effects and Criticality Analysis ) PADA INDUSTRI

PENGOLAHAN UDANG DI PT Y

MOLLY HESAMESTYNA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI DAN HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Identifikasi Titik Kritis

Traceability Menggunakan Pendekatan Failure Modes Effects And Criticality Analysis (FMECA) pada Industri Pengolahan Udang di PT Y adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun ke perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011


(5)

Nama : Molly Hesamestyna NRP : C34061993

Menyetujui:

Pembimbing I

Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc NIP. 19611101 198703 1 002

Pembimbing II

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol NIP. 19591127 1986010 1 005

Mengetahui

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 19580511 198503 1 002


(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1990. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Ir. Sanga P. Simanjuntak dan Dra. Herly Manurung. Penulis menempuh pendidikan di TK Agape Doulos, Jakarta pada tahun 1993-1994. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SD Katholik Nusa Melati, Jakarta Timur selama enam tahun pada tahun 1994-2000. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama di SMPN 9 Jakarta pada tahun 2000-2003 serta melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 64 Jakarta pada tahun 2003-2006.

Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program Strata 1 (S1) program studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama di IPB, penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB serta asisten mata kuliah Avertebrata Air pada periode 2008/2009 dan periode 2009/2010.

Penulis menyusun tugas akhir dengan judul Identifikasi Titik Kritis

Traceability dengan Menggunakan Pendekatan FMECA (Failure Modes Effects and Criticality Analysis pada Industri Pengolahan Udang di PT Y di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(7)

iv

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Pelaksanaan skripsi ini bertempat di PT Y. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS (Alm) selaku dosen pembimbing sekaligus dosen Pembimbing Akademik, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol selaku dosen pembimbing kedua dan Ketua Program Studi Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Ir. Dadi R.Sukarsa selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan pengarahan dalam skripsi ini.

5. Kedua orangtuaku tercinta serta seluruh keluargaku yang senantiasa memberikan doa, semangat dan dukungan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Bogor.

6. Pimpinan PT Adijaya Guna Satwatama, Cirebon, Jawa Barat yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melaksanakan penelitian. 7. Ibu Yeni selaku pembimbing di lapangan, yang telah banyak membantu

dan memberikan informasi, bimbingan dan pengarahan saat di lapangan. 8. Bapak Budi dan Bapak Fuad Sulaiman, atas segala bimbingan kepada

penulis saat melaksanakan skripsi di lapangan.

9. Mba Rika, mba Ruri, mba Naoki atas bantuannya selama penulis berada di lapangan.


(8)

v

11.K‟eka dan teman-teman di Perwira 43, terimakasih atas bantuannya selama ini.

12.Teman-teman KPS‟43 PMK, terimakasih atas kebersamaanya selalu. 13.Teman-teman seperjuanganku Holland, Cikui, Arin, Tika, Hilda, Septin

dan Idmar yang yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian.

14.Uuk, K‟era, Cece, Anggi, Ratna, Ratih, Achi, serta semua teman-temanku di THP‟43, 44, dan 45 yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian.

15.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya. Terima kasih.

Bogor, Juli 2011


(9)

vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ...3

2.1 Udang ... 3

2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi udang ... 3

2.1.2 Komposisi kimia udang ... 5

2.2 Proses Kemunduran Mutu Udang ... 5

2.3 Mutu dan Keamanan Pangan ... 7

2.3.1 Mutu Pangan ... 7

2.3.2 Keamanan pangan ... 8

2.4 Traceability (Mampu Telusur) ... 10

2.5 Dokumentasi dan Perekaman ... 13

2.6 Metode FMECA ... 16

3 METODOLOGI ...19

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.2 Kerangka Pemikiran ... 19

3.3 Tata Laksana Penelitian ... 20

3.3.1 Pemahaman terhadap proses produksi ... 20

3.3.2 Pembuatan outline (skema) proses produksi... 20

3.3.3 Analisis data ... 20

3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 22

3.5 Pakar ... 23

4 PEMBAHASAN ...25

4.1 Keadaan Umum Perusahaan ... 25

4.1.1 Sejarah dan perkembangan perusahaan ... 25

4.1.2 Struktur organisasi perusahaan ... 26


(10)

vii

4.2.3 Pencucian 1 ... 32

4.2.4 Potong kepala ... 33

4.2.5 Pencucian II ... 34

4.2.6 Sortasi ukuran ... 34

4.2.7 Sortasi final ... 35

4.2.8 Pencucian III ... 35

4.2.9 Kupas (peeled) ... 35

4.2.10 Pembuangan usus ... 36

4.2.11 Pencucian dan penimbangan ... 36

4.2.12 Gores perut ... 37

4.2.13 Stretching ... 37

4.2.14 Pencucian IV ... 37

4.2.15 Soaking ... 38

4.2.16 Pre-dust ... 38

4.2.17 Batter dan bread crumb ... 38

4.2.18 Penyusunan tray ... 39

4.2.19 Penimbangan ... 39

4.2.20 Pemeriksaan akhir ... 39

4.2.21 Pembekuan ... 40

4.2.23 Pengemasan ke dalam polybag ... 40

4.2.24 Pendeteksian logam ... 40

4.2.25 Pengemasan ke dalam Master Cartoon (MC) ... 42

4.2.26 Penyimpanan dalam ruang pendinginan (Cold Storage/ CS) ... 42

4.2.27 Stuffing dan distribusi ... 42

4.3 Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA) ... 48

4.4 Analisis FMEA ... 51

4.4.1 Pengangkutan bahan baku ... 53

4.4.2 Penerimaan bahan baku ... 53

4.4.3 Pencucian ... 54

4.4.4 Potong Kepala (PK) ... 55

4.4.5 Pencucian II ... 55

4.4.6 Sortasi size ... 55

4.4.7 Sortasi final ... 56

4.4.8 Pencucian III ... 56

4.4.9 Kupas ... 56

4.4.10 Pembuangan usus ... 56

4.4.13 Stretching ... 57

4.4.14 Pencucian IV ... 58

4.4.15 Soaking ... 58

4.4.16 Pemberian pre-dust ... 58

4.4.17 Pemberian batter dan breadcrumb... 59

4.4.18 Penyusunan tray ... 59


(11)

viii

4.4.23 Pengemasan primer ... 60

4.4.24 Pendeteksian logam ... 61

4.4.25 Pengemasan sekunder ... 61

4.4.26 Penyimpanan dalam Cold Storage (CS) ... 61

4.4.27 Stuffing dan distribusi ... 62

4.5. Analisis CA ... 62

5 KESIMPULAN DAN SARAN ...76

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 76


(12)

ix

Tabel 1 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia ...5

Tabel 2 Komposisi kimia daging udang mentah ...6

Tabel 3 Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL STD-1629A ... 23

Tabel 4 Daftar pemasok udang (Supplier) perusahaan ...33

Tabel 5 Kode jam/ waktu produksi ...42

Tabel 6 Outline dokumen perekaman perusahaan ...44

Tabel 7 Sortasi ukuran SF pada udang Black Tiger (Penaeus monodon) ...48

Tabel 8 Peluang terjadinya kegagalan (probability of occurence) ...64

Tabel 9 Tingkat kepelikan (severity classification) ...64

Tabel 10 Deteksi terjadinya kegagalan (detection) ...65

Tabel 11 Analisis FMECA dari kedua pakar ...67


(13)

x

Nomor Teks Halaman

Gambar 1 Identifikasi udang secara umum...3

Gambar 2 Matriks analisis kritikal... ...24

Gambar 3 Tagging pada proses penerimaan bahan baku... ...31

Gambar 4 Tagging pada tahap potong kepala... ...34

Gambar 5 Tagging pada tahap sortasi ukuran... ...35

Gambar 6 Pelabelan pada kemasan primer (polybag)... ...41

Gambar 7 Pelabelan pada kemasan sekunder... ...42

Gambar 8 Kisaran RPN pada masing-masing titik kegagalan traceability ...65

Gambar 9 Hasil analisis CA pada matriks kritikal... ...69


(14)

xi

Lampiran 1. Manajemen TC dalam proses produksi breaded ...82

Lampiran 2. Analisis Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) ...83

Lampiran 3. Analisis FMECA oleh Pakar 1 (perusahaan) ...90

Lampiran 4. Analisis FMECA oleh Pakar 2 (akademik) ...93


(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditas penting dalam perikanan Indonesia (KKP 2010). Selain itu, udang memiliki kandungan lemak yang rendah dan kandungan protein yang tinggi (Murty 1991). Negara tujuan utama ekspor produk udang Indonesia adalah Jepang, United States, dan UE (Gillet 2008).

Ekspor udang Indonesia ke luar negeri mengalami kendala yang diakibatkan masalah berkaitan dengan keamanan pangan. Keamanan pangan menjadi sangat penting saat ini bagi masyarakat internasional mengingat pangan dapat menjadi transmisi agen penyebab penyakit (bakteri, virus dan kuman lainnya) dari suatu negara ke negara lain. Mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang diterima dan dikonsumsinya (Hariyadi 2007). Saat ini, masyarakat Eropa mengembangkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) yaitu sistem yang dikembangkan masyarakat Eropa untuk menyediakan informasi secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan kesehatan pangan serta pakan. Pada kasus tahun 2008, masih ditemukan 3 notifikasi pada produk udang beku (frozen shrimps) yang berasal dari Indonesia (RASFF 2009).

Pada saat ditemukannya notifikasi ALERT pada suatu produk maka akan dilakukan langkah penahanan, pelepasan, atau pengendalian sesegera mungkin. Saat dilakukannya penarikan ulang terhadap produk, maka perusahaan memerlukan traceability untuk dapat menelusuri bahan baku produk. Traceability

dibutuhkan oleh produsen/ perusahaan, sehingga jika suatu permasalahan berkembang selama proses produksi maka produsen dapat menarik kembali hanya

batch yang terkena masalah dan bukan keseluruhan produk yang diproduksi bersamaan pada saat itu. Hal ini menjadi penting bagi produsen untuk membuat surat izin agar dilakukan penghentian proses produksi pada bagian lot yang bersangkutan sehingga mencegah produk yang berasal dari lot yang sama tersebut selesai di produksi (Martinez et al. 2005).

Sistem Mampu Telusur (traceability) merupakan salah satu tahapan dalam pelaksanaan persyaratan standar ISO 22000:2005. Acu silang antara HACCP dan ISO 22000:2005 menunjukkan bahwa dibutuhkannya tahapan dokumentasi dan


(16)

perekaman (record keeping). Pada saat terjadi penarikan produk dari pasar (recall product) maka perusahaan membutuhkan suatu sistem keterlusuran produk yang mampu mengidentifikasi lot bahan baku mulai dari pemasok langsung, proses produksi hingga distribusi produk. Sistem penelusuran produk (traceability system) membutuhkan dokumen dan rekaman saat pelaksanaan HACCP perusahaan yang berkaitan dengan analisis bahaya (misalnya: rekaman pemantauan CCP secara berkala) atau rekaman yang berkaitan dengan program verifikasi (misalnya: rekaman jadwal kalibrasi, sertifikat hasil kalibrasi, jadwal internal audit dan laporan internal audit) (Thaheer 2005).

Titik kritis traceability adalah tahapan proses produksi, yang tidak dilakukan proses pelabelan dan dokumentasi saat pelaksanaan sistem traceability

dalam perusahaan. Identifikasi terhadap titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi di perusahaan dengan menggunakan metode

Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat digunakan sebagai acuan bagi perusahaan untuk mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan internal traceability serta membuat pelaksanaan traceability menjadi efektif dan efisien (Bertolini et al.

2006). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008).

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dengan menggunakan metode FMECA dalam proses produksi udang breaded di PT Y.


(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang

Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi tinggi (Purwaningsih 1995). Udang merupakan salah satu ikan ekonomis penting dalam komoditas perikanan di Indonesia (KKP 2010).

2.1.1. Deskripsi dan klasifikasi udang

Udang diklasifikasikan ke dalam filum Crustacea dan genus Penaeus. Setiap udang kemudian dibagi-bagi kembali atas suku, marga dan jenis yang berbeda-beda. Udang juga dibedakan menurut tempat hidupnya yaitu udang laut dan udang darat (Purwaningsih 1995). Klasifikasi udang menurut Bailey-Brock dan Shaun (1992):

Filum : Crustacea Kelas : Malacostraca Sub-kelas : Eucarida Ordo : Decapoda Sub-Ordo : Natantia Famili : Penaeidae Genus : Penaeus

Gambar 1 Morfologi udang secara umum

(Sumber : King 2007 dalam Gillett 2008)

Ordo Decapoda memiliki 3 pasang apendik pada thorax pertama, sepasang maxiliped yang termodifikasi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut, serta


(18)

5 pasang apendik yang berfungsi sebagai kaki jalan (pereipod), sehingga dinamakan Decapoda bearati “10 kaki”. Abdomen udang terdiri dari 6 ruas dan memiliki 5 pasang kaki yang berfungsi sebagai kaki renang (pleopods), sepasang uropod yang berfungsi untuk mendayung udang saat berenang serta memiliki telson (Bailey-Brock dan Shaun 1992).

Penyatuan bagian kepala dengan beberapa ruas thorax/ ruas abdomen pada Crustacea dinamakan cephalothorax. Seluruh abdomen udang tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan kitin. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan sehingga memudahkan udang bergerak. Bagian kepala-dada tertutup oleh sebuah kelopak yang dinamakan kelopak kepala atau cangkang kepala (carapaceae). Pada bagian anterior cephalothorax terdapat cucuk kepala (rostrum) yaitu berupa “gigi” yang meruncing dan pinggirnya bergerigi (Suyanto dan Ahmad 2004).

Udang merupakan hewan nokturnal yaitu sifat binatang yang aktif mencari makan pada waktu malam. Pada waktu siang mereka lebih suka beristirahat, baik membenamkan diri di dalam lumpur maupun menempel pada suatu benda yang terbenam dalam air (Suyanto dan Ahmad 2004).

Udang merupakan salah satu ikan ekonomis penting dalam komoditas perikanan di Indonesia (KKP 2010). Tiga pangsa pasar utama ekspor produk udang Indonesia adalah Jepang, United States, dan UE (Gillet 2008). Data ekspor perikanan Indonesia yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa terdapat 665.274 ton atau 4.628.729.000 dolar AS udang dikirim ke berbagai negara di Uni Eropa, AS dan Jepang (KKP 2010). Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa ekspor udang Indonesia mengalami naik turun selama tahun 2005 hingga 2009. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa negara penghasil devisa terbesar bagi Indonesia adalah Amerika Serikat yaitu 2.080.839.000 US$. Data produksi udang di Indonesia dari tahun 2005 – 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.


(19)

Tabel 1 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia

Tahun

Negara tujuan

Total Jepang Amerika Serikat Uni Eropa

Volume (Ton)

Nilai (US$ 1.000)

Volume (Ton)

Nilai (US$ 1.000)

Volume (Ton)

Nilai (US$ 1.000)

2005 46.051 373.534 50.698 327.819 27.179 159.292 984.573 2006 50.581 420.252 61.235 418.556 35.232 196.430 1.182.286 2007 40.334 334.982 60.399 420.720 28.845 178.195 1.063.475 2008 39.582 337.681 80.479 550.773 26.825 177.855 1.213.195 2009 35.875 264.861 62.173 362.971 19.786 104.808 850.474 Total 212.423 1.731.310 314.984 2.080.839 137.867 816.580

Sumber: KKP (2010)

2.1.2 Komposisi kimia udang

Meningkatnya permintaan udang tidak terlepas dari mutu udang yaitu sebagai bahan pangan yang bergizi. Udang memiliki kandungan lemak yang rendah dan kandungan protein yang tinggi (Murty 1991). Udang seperti crustrasea pada umumnya mengandung asthaxantin, yaitu suatu jenis karotenoid yang berwarna merah muda atau merah. Warna kebiruan pada udang segar dihasilkan dari ikatan asthaxantin dengan protein. Jika terkena panas maka ikatan protein dengan asthaxanthin akan terputus sehingga menghasilkan warna merah kekuningan yang khas dari karotenoid bebas. Komposisi kimia daging udang dapat dilihat pada Tabel 2.

2.2 Proses Kemunduran Mutu Udang

Syarat bahan baku udang segar yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk harus memenuhi SNI 01-2728.2-2006. Bahan baku udang segar adalah semua jenis udang hasil perikanan yang baru ditangkap/ dipanen dan belum mengalami penanganan dan pengolahan. Mutu bahan baku yang harus dipenuhi adalah bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan (BSN 2006).


(20)

Tabel 2 Komposisi kimia daging udang mentah

Bahan gizi Satuan Kandungan gizi per

100 gram udang

Air g 75,86

Energi kkal 106

Energi kj 444

Protein g 20,31 Total lipid (fat) g 1,73 Abu g 1,20 Karbohidrat (by difference ) g 0,91 Serat (total dietary ) g 0,0 Gula g 0,00 Mineral Kalsium (Ca ) mg 52

Besi (Fe ) mg 2,41 Magnesium (Mg ) mg 37

Fosfor (P) mg 205

Kalium (K) mg 185

Natrium (Na) mg 148 Seng (Zn) mg 1,11

Tembaga (Cu ) mg 0,264

Mangan (Mn ) mg 0,050

Selenium (Se ) mcg 38,0

Vitamin

Vitamin C (total

ascorbic acid) mg 2,0

Thiamin mg 0,028

Riboflavin mg

Catatan: nilai dan berat gizi yang digunakan untuk edible portion (spesies udang campuran)

Sumber: Anonima (2010)

Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran seperti berikut (BSN 2006):

- Kenampakan : bening, cemerlang, antar ruas kokoh

- Bau : segar

- Tekstur : elastis, padat dan kompak.

Penurunan mutu pada udang terjadi secara autolisis, bakteriologis dan oksidasi. Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur dan rupa yang berubah (Purwaningsih 1995). Penurunan mutu secara autolisis adalah proses penurunan yang terjadi karena kegiatan enzim yang sudah secara alami sudah ada di dalam


(21)

tubuh udang. Enzim secara alami terdapat pada ikan hidup yaitu di dalam sistem pencernaan dan dalam daging. Kegiatan enzim pada ikan hidup dapat diatur oleh badan ikan dan kegiatannya menguntungkan bagi ikan. Saat ikan mati, enzim-enzim tersebut masih tetap aktif dan enzim-enzim proteolitis yang semula menguraikan bahan makanan yang masuk ke dalam perut ikan karena sudah tidak ada lagi makanan yang masuk lalu enzim tersebut akan menguraikan jaringan disekitarnya. Proses ini disebut autolisa, yaitu proses penguraian jaringan yang berjalan dengan sendirinya setelah ikan itu mati (Moeljanto 1992). Proses ini ditandai dengan perubahan rasa, warna, tekstur dan rupa ikan (Purwaningsih 1995).

Penurunanan mutu secara bakteriologis adalah proses penurunan mutu yang disebabkan kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir, permukaan tubuh, insang, dan saluran pencernaan. Penurunan mutu ini mengakibatkan daging udang terurai dan menimbulkan bau busuk (Purwaningsih 1995). Pencegahan atau usaha untuk menghentikan penurunan mutu ikan secara bakteriologis adalah pendinginan atau pembekuan ikan. Untuk mengurangi bakteri di dalam insang dapat dilakukan dengan mencuci atau membuang insangnya, lalu mencucinya dengan menggunakan air bersih. Pengurangan bakteri dari dalam rongga perut dilakukan dengan membuang semua isi perut dan mencucinya bersih-bersih (Moeljanto 1992).

Pencegahan terhadap terjadinya penurunan mutu secara oksidasi biasanya terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Penurunan mutu ini terjadi karena lemak udang dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga akhirnya menimbulkan bau dan rasa yang tengik (Purwaningsih 1995).

2.3 Mutu dan Keamanan Pangan 2.3.1 Mutu Pangan

Pemahaman perusahaan terhadap mutu sangat penting untuk memenuhi persyaratan mutu yang diminta oleh konsumen. J.M. Juran mendefinisikan mutu sebagai “fitness for use” (cocok atau layak untuk digunakan). Fitness for use juga memiliki arti yaitu suatu produk atau jasa harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan (Muhandri dan Darwin 2008). ISO 9000:2000


(22)

mendefinisikan mutu (quality) adalah derajat yang dicapai oleh karakteristik yang inheren dalam memenuhi persyaratan.

Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1996, pengertian mutu pangan berkaitan dengan keamanan pangan yaitu nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman. Sedangkan pada literatur lain, mutu adalah sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan, dan bukan pula oleh pemasaran atau manajemen. Mutu dapat didefinisikan sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan. Pengukuran terhadap mutu dilakukan dengan menentukan dan mengevaluasi hingga derajat atau tingkat suatu produk atau jasa mendekati keseluruhan gabungan ini (Feigenbaum 1983).

Pada industri pangan, mutu ditentukan oleh berbagai karakteristik yang terus berkembang mengikuti kebutuhan konsumen yang semakin luas spektrumnya. Salah satu karakteristik mutu yang menjadi isu dalam nasional dan internasional adalah karakteristik keamanan pangan (food safety). Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi suatu masyarakat, semakin tinggi pula kecenderungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dimakan (Muhandri dan Darwin 2008). Terdapat beberapa jenis bahaya dalam bisnis pangan yang dapat mempengaruhi secara negatif atau membahayakan konsumen, yaitu bahaya biologis, kimia, dan bahaya fisik (Winarno dan Surono 2004). Karakteristik keamanan ini dirasakan banyak menghambat ekspor produk pangan negara-negara dunia ketiga ke negara maju, misalnya Amerika serikat, Eropa, dan Jepang karena persyaratan yang diberlakukan secara ketat. Apabila produsen ingin mendapatkan pasar ke negara-negara tersebut, maka karakteristik ini harus ditangani secara intensif (Muhandri dan Darwin 2008).

2.3.2 Keamanan pangan

Mutu dan keamanan pangan ikan menjadi salah satu aspek penting saat mengekspor produk perikanan Indonesia. Definisi keamanan pangan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1996 tentang Pangan hampir senada dengan definisi FAO/WHO yaitu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk


(23)

mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pada literatur lain, yaitu Regulation (EC) No. 178/2002 (2002), definisi keamanan pangan adalah semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama proses produksi, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi kepada konsumen. Setiap tahapan tersebut harus diperhatikan dengan baik mengingat setiap tahapan tersebut dapat memiliki bahaya potensial terhadap keamanan pangan.

Keamanan pangan menjadi sangat penting juga karena pangan dapat menjadi transmisi agen penyebab penyakit (bakteri, virus dan kuman lainnya) dari suatu negara ke negara lain. Masyarakat internasional memperhatikan keamanan pangan yang dikonsumsinya, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang diterima dan dikonsumsinya. Bila masyarakat Indonesia terutama para eksportir bahan pangan belum memahami pentingnya keamanan pada pangan yang dijualnya, maka akan lebih banyak terjadi kasus penahanan dari negara importir (Hariyadi 2007).

Keamanan pangan juga menjadi aspek penting bagi masyarakat Eropa. Negara-negara Eropa memiliki ketentuan yang bersifat mandatory yang harus dipenuhi oleh semua komoditi pangan dan pakan yang masuk ke kawasan Eropa (RASFF 2009). Masyarakat Eropa mengembangkan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) yaitu sistem yang dikembangkan masyarakat Eropa untuk menyediakan informasi secepat mungkin mengenai bahaya keamanan dan kesehatan pangan serta pakan. Sistem tersebut menyediakan peralatan efektif sehingga dapat saling bertukar informasi dalam menjawab resiko serius pada pangan atau pakan (Regulation (EC) No. 178/2002). Sistem tersebut menyediakan lembaga yang berwenang dalam pertukaran informasi pada masing-masing negara meliputi Komunitas Eropa (Europa Commision/ UE), EFTA (European Free Trade Assocation), EFSA (European Food Safety Authority) serta negara lainnya yakni Austria, Belgia, Bulgaria, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Iceland, Ireland, Italy, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Malta, Netherlands dan Norway. Dasar hukum RASFF adalah Regulasi (EC) No. 178/2002 dengan pemberlakuan bersifat


(24)

mandatory bagi semua komoditi pangan dan pakan yang masuk ke kawasan Eropa.

RASFF disepakati dengan menerapkan dua macam notifikasi yaitu notifikasi ALERT dan notifikasi INFORMASI. Notifikasi ALERT adalah notifikasi yang bertalian dengan produk yang ada di pasar kawasan Eropa, yang beresiko serius bagi pengguna. Notifikasi INFORMASI adalah notifikasi yang berhubungan pada produk yang beresiko bagi pengguna, namun diasumsikan tidak beredar di pasar Eropa (misalnya tertahan di perbatasan, produk terlanjur kadaluarsa, ada periode waktu lama antara penemuannya dengan notifikasi). Notifikasi ALERT mengharuskan langkah penahanan, pelepasan, atau pengendalian sesegera mungkin. Sedangkan notifikasi INFORMASI tidak mengharuskan adanya langkah aksi secara cepat (RASFF 2009). Pada keseluruhan kasus notifikasi pada tahun 2000 keatas untuk kategori produk: Crustacea dan produk turunan Crustacea (Crustaceans and products thereof) terdapat 87 notifikasi. Pada tahun 2008, terdapat 3 notifikasi yang disebabkan oleh kondisi higiene yang buruk serta bahaya kimia (kloramfenikol dan merkuri).

2.4 Traceability (Mampu Telusur)

Pengertian traceability berdasarkan Derrick dan Dillon (2004) adalah kemampuan untuk menelusuri, mengikuti, dan mengidentifikasi unit/ batch produk “dengan unik” pada keseluruhan tahapan produksi, proses, dan distribusi. Menurut ISO 22005 (2007), sistem traceability merupakan alat yang berfungsi membantu suatu organisasi beroperasi dalam suatu rantai pasok pangan atau pakan untuk mencapai sasaran hasil yang didefinisikan dalam sistem manajemen.

Traceability adalah kemampuan untuk dapat mengikuti pergerakan pangan atau pakan pada setiap tahapan produksi, pengolahan, dan distribusi. Pergerakan pangan atau pakan tersebut juga termasuk asal bahan baku, riwayat selama pengolahan atau distribusi serta pada keseluruhan bagian produksi dan rantai proses produksi. Perusahaan harus melakukan perekaman terhadap pelaksanaan

traceability dan dokumen perekaman traceability tersebut harus tetap disimpan. Peraturan Uni Eropa No.178/ 2002 pada pasal 3 menyatakan bahwa


(25)

pangan, pakan, hewan yang menghasilkan pangan (food-producing animal), dan bahan tambahan yang akan dicampur ke dalam pangan/pakan pada keseluruhan tahapan proses produksi, pengolahan dan distribusi. Keseluruhan tahapan tersebut yaitu mulai pada saat produksi awal (dari kolam, tambak/ laut), proses produksi di pabrik, penyimpanan, distribusi penjualan hingga saat mencapai konsumen akhir (yaitu orang-orang yang tidak menggunkana pangan tersebut sebagai bagian dri operasi/ aktivitas dalam bisnis pangan/pakan) (Regulation (EC) No. 178/2002). CAC (2010) juga menyampaikan definisi traceability seperti pada UE No.178/ 2002, yaitu kemampuan untuk mengikuti pergerakan pangan secara spesifik pada masing-masing tahapan produksi, pengolahan dan distribusi. Moe (1998),

traceability merupakan salah satu subsistem penting dalam manajemen mutu. Pengembangan sistem internal traceability digunakan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan data, kontrol sistem (plant control) dan jaminan mutu produk.

Traceability menyediakan informasi sejarah produk yang menghubungkan antara bagian hulu (upstream) pada rantai pasok perusahaan (seperti pada saat proses pemesanan bahan baku) ke bagian hilir (downstream) (seperti proses pengiriman sesuai dengan karakter masing-masing produk), sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk tujuan pelaporan bagi kedua belah pihak ataupun bagi pihak ketiga (Regattieri et al. 2007).

Kemampuan sistem traceability dalam menelusuri produk yaitu mencakup

tracable dan trackable. Trackable (tracing) yaitu kemampuan sistem dapat mengikuti jejak produk dalam rantai produksi pangan mulai dari pemasok hingga mencapai konsumen/ke bagian hilir (downstream). Tracking menjadi salah satu faktor kritis efisiensi penarikan produk dari pasaran. Tracing merupakan kemampuan suatu sistem dalam mengidentifikasi asal dan karakteristik suatu bahan baku (tracing back)/ ke bagian hulu (upstream) (Dupuy et al. 2005). Sistem mampu telusur terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) Mampu telusur terhadap pemasok (supplier traceability) yaitu untuk menjamin bahwa asal bahan baku (ingredient) dapat diidentifikasi dari rekaman (record) dan dokumentasi; 2) Mampu telusur terhadap rantai proses (process traceability) yaitu untuk menjamin bahwa semua bahan-bahan (ingredient), rekaman proses dari suatu pabrik dapat


(26)

diidentifikasi; 3) Mampu telusur terhadap pelanggan (customer traceability) yaitu untuk menjamin bahwa pelanggan dari semua produk yang disuplai dapat diidentifikasi (Wiryanti 2009).

Moe (1998), sistem yang bagus dalam pengawasan kualitas dan

traceability dalam proses produksi dapat menghasilkan beberapa keuntungan kompetitif bagi perusahaan, yaitu:

a) Meningkatkan pengawasan terhadap proses, melalui petunjuk sebab-akibat (cause-and-effect) sehingga dapat diketahui produk yang tidak memenuhi standart perusahaan;

b) Menghubungkan secara langsung antara produk akhir dan data bahan baku, sehingga secara spesifik dapat meningkatkan proses produksi dan memberikan jaminan penggunaan bahan baku untuk menghasilkan produk akhir;

c) Mencegah pencampuran bahan baku yang berkualitas baik dengan bahan baku yang berkualitas rendah sehingga menghasilkan campuran (mixed) produk yang tidak menguntungkan bagi perusahaan;

d) Proses audit mutu menjadi lebih mudah.

Traceability berarti menyediakan informasi lebih bagi produsen/ perusahaan dalam menjamin mutu dan kemanan produk, serta adanya transparansi sistem perusahaan sehingga dapat membantu menemukan tahapan proses produksi yang bermasalah pada rantai produksi pangan (supply chain) yang kompleks.

Traceability menjadikan pemerintah lokal setempat dapat mengidentifikasi produk yang memiliki bahaya bagi kesehatan konsumen serta penarikan produk (jika diperlukan) (Schroder 2008).

Sistem perekaman (record keeping) yang merupakan salah satu dasar dari sistem Mampu Telusur (Traceability) sebenarnya telah ada dalam konsep Hazard Analysis Critical and Control Point (HACCP), yaitu pada prinsip keenam: penetapan sistem perekaman. Penerapan sistem HACCP ditekankan pada pelaksanaan Pre-requisite Program (PRP), analisis resiko bahaya (baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi) dan pengendalian titik kritis. Rekaman pada kegiatan pemantauan HACCP merupakan catatan dan dokumen untuk menjamin dan mengendalikan Titik Kendali Kritis (TKK)/


(27)

Critical Control Points (CCP) secara efektif sehingga produk tersebut aman dikonsumsi dan memenuhi batas keberterimaan (Thaheer 2005).

Penerapan ISO memadukan Standar Internasional yaitu prinsip-prinsip sistem dan tahapan penerapan HACCP yang dikembangkan oleh Komisi bersama antara FAO dan WHO dalam Codex Alimentarius Commission (CAC) dengan sistem Mampu Telusur (Traceability). Pada saat terjadi penarikan produk dari pasar (recall product) maka perusahaan membutuhkan suatu sistem keterlusuran produk yang mampu mengidentifikasi lot bahan baku mulai dari pemasok langsung, proses produksi hingga distribusi produk. Sistem penelusuran produk (traceability system) ini membutuhkan dokumen dan rekaman saat pelaksanaan HACCP perusahaan yang berkaitan dengan analisis bahaya (misalnya: rekaman pemantauan CCP secara berkala) atau rekaman yang berkaitan dengan program verifikasi (misalnya: rekaman jadwal kalibrasi, sertifikat hasil kalibrasi, jadwal internal audit dan laporan internal audit). Selain itu, rekaman identifikasi lot ingredient bahan pengemas dan produk akhir dari hasil perekaman pelaksanaan HACCP juga dapat digunakan untuk membantu saat terjadi recall product. Rekaman produk harus dipelihara pada periode tertentu untuk asessmen sistem sehingga memudahkan penanganan produk yang potensial tidak aman dan jika terjadi kasus penarikan produk (Thaheer 2005).

2.5 Dokumentasi dan Perekaman

Unsur utama pelaksanaan sistem traceability adalah melakukan dokumentasi dan perekaman. Dokumen merupakan data-data yang terdokumentasi, misalnya pedoman mutu, Prosedur mutu, log book, spesifikasi, instruksi kerja, dan formulir. Rekaman merupakan hasil dari sesuatu yang didokumentasikan, misalnya formulir pemantauan/ pemeriksaan yang telah diisi dan disahkan. Selain itu juga dibutuhkan penyimpanan rekaman. Penyimpanan rekaman dilakukan setidaknya selama „self life‟ produk. Penyimpanan rekaman

dibutuhkan untuk memudahkan penelusuran produk jika terjadi penyimpangan maupun memudahkan dalam menarik kembali (recall) produk di pasaran (Wiryanti 2009).


(28)

Proses dokumentasi dilakukan dengan mencatat “penanda khusus” atau berupa kode batch produk yang diproses pada tiap tahapan. Kode batch yang tertempel pada produk akan berbeda-beda pada tiap tahapan proses produksi dan tiap jenis produk (Derrick dan Dillon 2004). Kode batch dicantumkan pada keseluruhan jenis barang (sehingga mirip seperti label pada seluruh barang/produk) di dalam perusahaan sebagai informasi keseluruhan tahapan dalam rantai pasok yaitu asal bahan baku, proses produksi, pengemasan dan penyimpanan produk (Regattieri et al. 2007). Menurut Derrick dan Dillon (2004), ada tiga jenis metode yang dapat digunakan dalam melakukan sistem pelabelan: 1). Metode pelabelan dengan menggunakan kertas (paper-based traceability)

Sistem ini paling banyak digunakan pada keseluruhan industri, yakni pengkodean dengan menggunakan kertas. Langkah awal sebelum menerapkan sistem ini adalah membuat “kode identifikasi batch” produk,

sehingga QA dapat langsung mencatat tiap kode yang tertempel pada produk pada lembar dokumentasi tiap tahapan proses produksi (Derrick dan Dillon 2004).

Keuntungan penggunaan metode ini adalah murah dan sangat sederhana sehingga lebih fleksibel digunakan pada tiap tahapan proses produksi (Derrick dan Dillon 2004; Regattieri et al. 2007). Metode ini membutuhkan ketelitian yang tinggi dari operator dalam penulisan kode dilakukan secara manual (Regattieri et al. 2007). Proses recall akan menjadi lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama karena kemungkinan disintegritas data sangat tinggi (Derrick dan Dillon 2004; Regattieri et al. 2007).

2). Metode pelabelan dengan menggunakan bar-code/scanner (bar-code/scanner traceability)

Sistem ini menggunakan barcodes dan scanner untuk membaca serta memasukkan kode-kode tersebut ke dalam komputer. Metode ini menggunakan manajemen data sehingga tidak memakan waktu lama saat memberi kode dan memiliki tingkat ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan paper based system (Regattieri et al. 2007). Penggunaan barcodes,

scanner dan komputer membuat kode batch pada tiap tahapan proses tersebut dapat saling dihubungkan satu sama lain didalam basis data (Derrick


(29)

dan Dillon 2004). Proses scanning pada sistem ini masih menggunakan campur tangan manusia sehingga masih memungkinkan terjadinya kesalahan dan inefisiensi. Penyebab lain inefisiensi metode ini yaitu saat terjadinya kontak fisik pada label dan menyebabkan label rusak (“optical damage”)

(Regattieri et al. 2007).

3). Metode pengkodean dengan menggunakan teknologi modern yaitu ( radio-frequency identification/ RFID)

Perkembangan selama beberapa dekade terakhir sudah diimplementasikan sistem informasi teknologi (information technology/ IT). Inovasi teknologi serta tehnik banyak dikembangkan dan digunakan untuk sektor perikanan, misalnya dalam sistem pelaporan, manajemen perusahaan serta manajemen mutu. Selain itu juga digunakan untuk mengatur dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan (Derrick dan Dillon 2004).

Pusat dari penggunaan IT adalah penggunaan komputer di dalam perusahaan. Komunikasi IT dengan menggunakan intranet perusahaan akan memudahkan komunikasi informasi secara cepat. Penggunaan e-mail dan

Worl Wide Web juga akan mempermudah dan lebih mempercepat pemindahan informasi antara suplier dan customer (Derrick dan Dillon 2004). Sistem RFID menggunakan frekuensi gelombang radio tertentu untuk membaca, dan atau memodifikasi data yang dimasukkan ke dalam elctronic circuit atau microchip yang biasanya dibungkus dengan plastik yang tidak mudah rusak sehingga membentuk “tag”. Sistem RFID terdiri dari tiga

komponen yaitu transceiver yang berfungsi mengirimkan energi (dalam bentuk gelombang radio) melalui antena, kemudian bertemu dengan RFID tag, sehingga memancarkan sinyal radio yang ada didalam tag dan pada akhirnya diteruskan untuk menunjukkan informasi yang ada didalam tag. Transceiver dapat disatukan dengan berbagai macam peralatan mulai dari

portal (doorways); hand held scanner misalnya yang digunakan dalam bar-code scanner; atau peralatan lainnya (Derrick dan Dillon 2004). Implementasi RFID di dalam perusahaan akan membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Akan tetapi, penggunaan metode ini dapat mengurangi


(30)

kebutuhan tenaga kerja, waktu pengaplikasian kode yang cepat serta efisien (Regattieri et al. 2007).

2.6 Metode FMECA

Titik kritis traceability adalah tahapan proses produksi, yang tidak dilakukan proses pelabelan dan dokumentasi saat pelaksanaan sistem traceability

di dalam perusahaan. Identifikasi terhadap titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi di perusahaan dengan menggunakan metode

Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat digunakan sebagai acuan perusahaan untuk mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan internal traceability serta membuat pelaksanaan traceability menjadi efektif dan efisien (Bertolini et al.

2006). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008).

FMECA yang bagus menolong seorang analis mengidentifikasi kemungkinan titik kegagalan potensial, kegagalan yang umum yang terjadi serta penyebab (dan efek-efek yang ditimbulkan) dengan cara memberi skala prioritas pada titik-titik kegagalan yang berhasil diidentifikasi dan melakukan tindakan koreksi. Seorang analis menggunakan FMECA adalah mencegah terjadinya kemungkinan-kemungkinan kegagalan tersebut sebelum tiba di pelanggan/ konsumen (Kwai-Sang et al. 2009). Bertolini et al. (2006), analisis titik kegagalan (failure mode) menyediakan informasi penting dalam:

- Subsistem dan barang (produk) akhir sistem dalam susunan hierarki (analisis fungsional skema produksi)


(31)

- Berbagai kegagalan („failure’) atau „malfunctioning’ yang umum terjadi, serta daftar dan deskripsi seluruh titik kegagalan (failure mode) yang dianalisis berpotensi terjadi selama proses;

- Peluang kejadian (probability), tingkat kepelikan (severity) dan sampai sejauh mana masing-masing titik kegagalan tersebutdapat dideteksi;

- Analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA), yang mengklasifikasikan keseluruhan titik kegagalan tersebut berdasarkan kepentingannya.

Keuntungan penggunaan metode FMECA adalah metode ini merupakan

visibility tool yang dapat dengan mudah dimengerti dan digunakan (Braglia 2000). Metode FMECA merupakan metode yang mudah dioperasikan serta alat yang efektif untuk mengidentifikasi dan menilai bagaimana potensi terjadinya kegagalan dapat mempengaruhi kinerja proses atau produk. Analisis dengan metode FMECA memiliki dua macam pendekatan utama yang dapat digunakan untuk dapat melakukan FMECA yaitu hardware approach dan functional apprach. Hardware appraoch umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin (senjata) dapat diidentifikasikan secara unik dengan menggunakan bagan (alur proses), gambaran secara umum, dan desain data mesin lainnya. Hardware approach juga disebut bottom-up approach digunakan untuk mengidentifikasi kegagalan pada setiap tahapan proses berdasarkan klasifikasi tingkat kepelikan yang nantinya akan digunakan untuk menetapkan prioritas saat melakukan tindakan koreksi. Functional approach umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin (senjata) tidak dapat diidentifikasikan secara unik atau ketika kompleksitas sistem membutuhkan analisis dari awal dan dilakukan mengarah ke bawah (top-down approach). Functional approach digunakan untuk menganalisis akibat-akibat yang ditimbulkan hanya pada sistem-sistem utama yang ada (US

Military Standard 1983). Metode FMECA dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu: (i) Analisis awal, dikenal sebagai FMEA (Failure Modes and Effect Analysis),

yaitu mengidentifikasi penyebab-penyebab terjadinya kegagalan (cause of failures);

(ii) Tahap kedua, dikenal sebagai CA (Criticality Analysis), untuk menilai resiko kegagalan, serta menentukan peluang kejadian dan tingkat kepelikan,


(32)

berdasarkan pada masing-masing titik kegagalan (failure mode) yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya.

Evaluasi terhadap titik kegagalan (failure mode) dapat dilakukan dengan menggunakan 2 pendekatan yang berbeda yaitu Criticality Number (CN) atau mengembangkan Risk Priority Number (RPN) (Bertolini et al. 2006; Braglia 2000). Metode FMECA dapat digunakan jika sejarah data dan data statistik tidak tersedia di perusahaan. Pengaplikasian metode ini memerlukan perhatian khusus ketika menggunakan pendapat seseorang sehingga perlu dicegah hasil yang membahayakan dikarenakan subyektifitas hasil analisis (Carmignani 2009).

Metode FMECA menggunakan sistem Pakar. Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner (Marimin 2004). Penggunaan Pakar pada penelitian ini didasarkan pada penilaian orang yang dianggap ahli tentang traceability. Penilai tersebut didukung oleh keahlian, pengalaman, pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga penilaian yang diberikan tepat terhadap variabel keputusan yang dijadikan sebagai parameter (Eriyatno dan Fadjar 2007).

Pada proses akuisisi pengetahuan maka penetapan sumber informasi atau responden, yaitu pakar atau ahli terkait, didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: (1) keberadaan responden, keterjangkauan dan kesediaan untuk diwawancarai, (2) reputasi, kedudukan , dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar, dan (3) pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memberikaan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Seorang pakar dalam menyelesaikan suatu persoalan mempunyai tiga karakteristik, yaitu: efektif, efisien dan sadar akan keterbatasan. Metoda utama yang digunakan dalam menyerap pengetahuan dari seorang ahli adalah melalui wawancara secara langsung dan mendalam (in depth interview) (Eriyatno dan Fadjar 2007).


(33)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perusahaan pengolahan udang breaded di PT Y pada bulan Agustus 2010 hingga September 2010.

3.2 Kerangka Pemikiran

Sistem traceability dalam rantai pasok pangan menjadi semakin berkembang dan menjadi perhatian dalam industri pangan. Saat ini, produsen pangan mengembangkan dan mengadopsi sistem internal traceability untuk meningkatkan keamanan pangan, dimana traceability dapat menjadi subsistem yang penting dalam manajemen kualitas pangan.

Tujuan dari penelitian ini adalah menghadirkan pendekatan metodologi yang baru sehingga dapat melakukan analisis struktural yang sudah ada dalam perusahaan dengan mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan kegagalan

traceability yang dapat terjadi dalam perusahaan dengan aplikasi Failure Modes, Effects and Criticality Analysis (FMECA). Identifikasi titik kritis traceability

dilakukan melalui pengamatan dan pengecekan terhadap: kode traceability

(Traceability Code/ TC) dan dokumen perekaman. Traceability Code (TC) digunakan sehingga dapat membedakan setiap tahapan proses produksi di dalam perusahaan. Identifikasi titik kritis traceability digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi titik kritis pada implementasi internal traceability dalam proses produksi di perusahaan. Hasil dari identifikasi titik kritis metode FMECA dapat digunakan perusahaan sebagai acuan untuk mengambil tindakan koreksi terhadap pelaksanaan internal traceability yang efektif dan efisien (Bertolini et al. 2006). Keefektifan sistem (misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi penting) dan keefisienan sistem (misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan untuk melakukan perbaikan/ recover dan penggunaan kembali informasi yang dihasilkan) tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen (Bertolini et al. 2006; Schroder 2008).


(34)

3.3 Tata Laksana Penelitian

Tahapan penelitian dilakukan melalui tiga tahapan , yaitu:

3.3.1 Pemahaman terhadap proses produksi

Hal dasar yang harus dilakukan sebelum melakukan penelitian adalah memahami proses produksi di perusahaan. Pada tahapan ini juga dilakukan pemahaman terhadap proses traceability di perusahaan untuk mengetahui kegiatan di ruang produksi serta meminta penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas kepada pembimbing di lapangan dan pelaku proses produksi dalam hal ini adalah operator mesin. Peneliti juga melakukan pengamatan dan pengecekan terhadap kode traceability (Traceability Code/ TC), manajemen TC serta mengumpulkan dokumen perekaman.

3.3.2 Pembuatan outline (skema) proses produksi

Tahap awal sebelum dibuatnya outline (skema) proses produksi adalah mengumpulkan data yang berhubungan dengan tahapan proses selama proses produksi di perusahaan dan wawancara secara terstruktur. Pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan manajemen TC dalam perusahaan. Pengumpulan data dan dokumen dilakukan untuk mencatat informasi penting pada tiap tahapan proses (meliputi pengecekan dan pengamatan keadaan di lapangan terhadap tahapan proses yang didokumentasikan) dan metode pelabelan yang digunakan. Pengumpulan data selanjutnya akan digunakan untuk menentukan penyebab-penyebab terjadinya kegagalan (causes of failures) (pada masing-masing tahapan proses) untuk digunakan pada tahapan analisis FMEA serta melakukan penilaian titik kritis dengan menggunakan acuan pada Tabel 3.

3.3.3 Analisis data

Analisis data dilakukan berdasarkan sistem Pakar dengan menggunakan aplikasi tehnik FMECA. Analisis FMECA terdiri dari dua tahapan analisis yaitu: 1) Analisis ragam/ titik kegagalan dan analisis efek (Failure Modes and Effects

Analysis/ FMEA). Analis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu: a) Analisis titik-titik kegagalan traceability (failure mode analysis)

Pada tahapan ini dilakukan beberapa tahapan yaitu:

- Menentukan function ID


(35)

- Menentukan titik-titik kegagalan traceability (failure mode) dan penyebab terjadinya kegagalan-kegagalan tersebut (causes offailures) Penentuan failure mode dapat dilihat dari pengamatan secara langsung atau dari dokumen mengenai berapa kali/ intensitas terjadinya pada tahapan tersebut. Sedangkan penyebab terjadinya kegagalan diidentifikasi pada masing-masing tahapan proses (Bertolini et al. 2006; Braglia 2000). Evaluasi failure mode pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Risk Probbality Number (RPN). b) Analisis efek (effects analysis)

Analisis efek dibedakan menjadi dua macam yaitu:

- Analisis efek lokal (local effect)

Misalnya: salah satu penyebab terjadinya kegagalan (cause of failure) pada tahapan penerimaan bahan baku adalah kesalahan manusia/ pekerja (human error) maka efek lokal (local effect) yang terjadi adalah terjadinya kekeliruan atau kesalahan dalam pendokumentasian (recording error).

- Analisis efek global (global effect)

Misalnya: kehilangan informasi yaitu informasi pada perusahaan menjadi salah atau informasi produk menjadi kurang lengkap.

2) Analisis kritikal (Criticality Analysis/ CA)

Analisis kritikal dilakukan melalui empat tahapan: a) Menentukan tingkat kepelikan (Severity/ S) b) Menentukan peluang terjadinya (Probability/ P)

c) Menetukan nilai masing-masing titik kegagalan dengan menggunakan metode RPN (Bertolini et al. 2006; Bowles 2004; Carmignani 2009; Kwai-Sang et al. 2009).

RPN = S x O x D

d) Menentukan posisi dalam matriks kritikal (criticality matrix)

Analisis kegagalan secara kualitatif menggunakan matriks kritikal (Criticality matrix) terhadap tingkat kepelikan (severity classification) dan peluang terjadinya (probability of occurence level) menggunakan pakar. Informasi dalam failure criticality dapat dirangkum secara efisien dalam


(36)

criticality matrix, dimana setiap kolom dihubungkan untuk menunjukkan tingkatan kepelikan (severity level) dan tiap baris menunjukkan peluang terjadinya (occurence level). Semakin ke kiri kolom tersebut, maka menujukkan bahwa peluang terjadinya titik-titik kegagalan tersebut semakin tinggi (begitu sebaliknya) dan jika semakin ke atas baris tersebut, maka menunjukkan bahwa tingkat kepelikan kegagalan tersebut adalah semakin tinggi (begitu juga sebaliknya) (Bertolini et al. 2006; US Military Standard, MIL-STD-1629A 1983). Matriks analisis kritikal dapat dilihat pada Gambar 2.

e) Menentukan tingkatan/ area kritis (Criticality level)

Tahapan ini dilakukan untuk menentukan permasalahan tersebut berada pada salah satu tingkatan/ area kritis, yaitu:

- Unacceptable - Undesirable

- Acceptable with revision - Acceptable without revision

Menentukan tingkat kepelikan dan peluang terjadinya kegagalan dilakukan berdasarkan pada MIL-STD-1629A yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Hasil dari analisis menunjukkan perlu tidaknya tindakan koreksi dari perusahaan. Jika hasil dari analisis FMECA didapat bahwa tahapan tersebut berada pada area kritis (criticality level): unacceptable atau undesirable, maka sebaiknya dilakukan tindakan koreksi sehingga pada akhirnya diperoleh bahwa tahapan tersebut menjadi berada pada area kritis: acceptable with revision atau

acceptable without revision. Tindakan koreksi yang dilakukan dapat berupa :

- Adopsi prosedur baru untuk manajemen operasi atau

- Sejumlah perbaikan struktural skema proses sehingga adanya modifikasi dari skema produksi yang sudah ada sebelumnya di perusahaan.

3.4 Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data pada penleitian ini dilakukan melalui dua sumber yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari unit produksi pengolahan udang breaded beku SF PT Y, hasil kuesioner pakar serta


(37)

wawancara langsung kepada QC produksi dan staf-staf produksi. Data sekunder diperoleh dari PT Y, Studi pustaka serta berbagai informasi dari berbagai pihak yang berhubungan dengan kegiatan selama berlangsungnya pelaksanaan di PT Y.

3.5 Pakar

Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner (Marimin 2004). Pakar (misalkan: dari pihak akademik, manajer produksi, keamanan produk dan manajer mutu) merupakan sejumlah orang yang pendapatnya dapat digunakan untuk mengaplikasikan metode FMECA berdasarkan sistem Pakar. Pada saat penelitian digunakan dua pakar yaitu pakar dari pihak perusahaan dan pakar dari bidang akademik (dosen). Pakar dari pihak perusahaan terdiri dari QC yang berhubungan langsung pada saat proses produksi yaitu staf-staf QC dan staf-staf produksi. Eriyatno dan Fadjar (2007), penentuan pakar dari pihak perusahaan berdasarkan pengalaman pribadi pakar yang bekerja di dalam perusahaan sehingga dianggap mampu memberikaan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Braglia (2000), pakar juga dapat ditentukan menurut pengalaman dari staf yang berkaitan dengan traceability

di perusahaan.

Tabel 3 Klasifikasi tingkat kepelikan dan peluang terjadinya berdasarkan MIL-STD-1629A

Deskripsi Tingkat

kepelikan I II III IV Peluang terjadinya A B C D E

Catatstophic: tingkat kepelikan dimana menyebabkan kehilangan banyak informasi (total lost)

Critical: tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan berat dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi.

Marginal: tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan ringan dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi.

Minor: tingkat kepelikan dimana dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara langsung (tanpa perlu dijadwalkan).

Frequent: peluang terjadinya tinggi

Reasonably common: peluang terjadinya moderat (sedang)

Occasional: peluang terjadinya jarang

Rare: sangat tak mungkin terjadi

Extremely rare: peluang terjadinya kegagalan adalah nol. Sumber: (US Military Standard, MIL-STD-1629A 1983)


(38)

Level kemungkinan terjadinya kegagalan traceabilliy

(peningkatan level kemungkinan terjadinya kegagalan)

Area kritis

Gambar 2 Matriks analisis kritikal

A B C D E

I

II

III

IV

Unacceptable Undesirable

Acceptable with Revision

Acceptable Without revision

Klasif

ik

asi

tin

g

k

at

k

ep

elik

an

Klasifik

asi tin

g

k

at

k

ep

elik


(39)

4 PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Perusahaan

Lokasi PT Y terletak di Jalan Mundu Pesisir No. 33, Desa Mundu Pesisir, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Perusahaan ini memiliki lokasi yang strategis karena berada di depan jalan raya dan tidak jauh dari kota sehingga memudahkan akses transportasi. Perusahaan juga dilengkapi dengan fasilitas air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan jaringan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perusahaan juga mendapatkan kemudahan dalam mencari sumber daya manusia atau tenaga kerja dari wilayah sekitar karena letaknya yang berada di sekitar pemukiman penduduk. Luas bangunan yang dimiliki PT Y yaitu sebesar 2500 m2 yang terdiri atas 5 bangunan yaitu bangunan utama, gudang produksi, tempat pengolahan limbah, bengkel dan mess karyawan.

4.1.1 Sejarah dan perkembangan perusahaan

Salah satu anak cabang dari PT Japfa Comfeed Indonesia yang berpusat di Jakarta adalah PT Y. Perusahaan ini didirikan dengan akta notaris Teddy Anwar, SH No. 37 pada tanggal 4 Maret 1998 yang pada awalnya berkantor pusat di Wisma IWI, Jalan Perjuangan Jalur Lambat, Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan saat ini telah pindah di Jalan MT. Haryono kav. 16, Wisma Millenia lt. 8 Jakarta Selatan. Proses kegiatannya baru dimulai pada tanggal 26 Juli 1999.

Latar belakang didirikannya perusahaan yaitu dengan melihat potensi kota Cirebon sebagai kota penghasil udang, selain itu perusahaan pengolahan pembekuan udang yang belum terlalu banyak sehingga memungkinkan untuk menjadikan peluang bisnis yang baik. Perusahaan ini bergerak di bidang pengolahan udang beku, misalnya udang mentah beku (Frozen Shrimp), udang masak beku (Frozen Cooked Shrimp) dan udang breaded beku (Frozen Breaded Shrimp), akan tetapi sejak tahun 2007 kegiatan ekspor udang mentah beku dihentikan dan dialihkan dalam bentuk produk olahan udang masak beku dan

breaded yakni katei, tsummame, ebi katsu, dan ebi furai. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya permintaan dari konsumen di negara-negara pengekspor.


(40)

Perusahaan menyediakan kebutuhan ekspor maupun lokal. Saat ini negara tujuan ekspornya meliputi Jepang sebanyak 60% dari total produksi, USA sebanyak 20% dari total produksi dan negara-negara Uni Eropa sebanyak 20% dari total produksi. Perusahaan ini merupakan satu-satunya perusahaan perikanan di Cirebon yang bergerak di bidang pengolahan udang. Berdasarkan penilaian kelayakan dasar yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (KKP), saat ini perusahaan tersebut telah memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dengan nilai kelayakan dasar A. Sistem Hazard Analysis Critical Control Point

(HACCP) telah diterapkan di perusahaan, yaitu dalam melakukan proses produksi telah berpedoman pada manual HACCP (HACCP-Plan) dan diverifikasi secara internal maupun eksternal. Verifikasi internal dilakukan oleh tim HACCP perusahaan, sedangkan verifikasi eksternal dilakukan oleh pemerintah, yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan. Saat ini PT Y dilengkapi dengan surat dan sertifikat antara lain :

1. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) No. SIUP 0033/10-23/PB/VII/2009. 2. Surat Pernyataan Halal No. 025c/Per./LPPOM MUI/II/2009.

3. Sertifikat Halal No. 00030023510103.

4. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 277/PP/SKP/PB/V/8/07 untuk jenis produk Frozen Shrimp.

5. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 276/PP/SKP/PB/IV/8/07untuk jenis produk Frozen Breaded Shrimp.

6. Surat Kelayakan Pengolahan (SKP) No. SKP 91/PP/SKP/PB/V/6/08 untuk jenis produk Frozen Cooked Shrimp.

7. Sertifikat Penghargaan Departemen Kelautan dan Perikanan atas penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan Konsepsi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sebagai sistem jaminan mutu dalam pengolahan hasil perikanan.

4.1.2 Struktur organisasi perusahaan

Struktur organisasi yang dimiliki perusahaan ini disusun sebagai pelimpahan wewenang, tugas dan tanggung jawab yang ada pada setiap tingkat pemimpin dari yang teratas sampai yang terbawah. Struktur organisasi tersebut


(41)

menggambarkan garis instruksi yang mengindikasikan bahwa organisasi tersebut dijalankan dengan pembagian tugas ataupun pemberian mandat yang jelas.

Perusahaan dipimpin oleh seorang plant manager yang membawahi berbagai kepala bagian. Masing-masing kepala bagian mempunyai bawahan yang menjalankan tugas-tugasnya sampai kepada tingkat operasional. Struktur organisasi perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.1.3 Fasilitas produksi

Perusahaan menyediakan fasilitas produksi baik bahan maupun peralatan untuk memperlancar jalannya proses produksi. Peralatan produksi yang digunakan oleh PT Y, antara lain:

1. Meja kerja

Meja kerja merupakan meja yang digunakan untuk melakukan proses produksi udang. Meja kerja di ruang produksi berbeda-beda baik jenis maupun ukurannya. Hal ini disesuaikan menurut fungsi atau kegunaannya dalam proses produksi. Meja kerja terbuat dari bahan plastik, stainless steel dan fiber glass yang tahan karat dan mudah dibersihkan. PT Y memiliki 5 macam meja kerja, yaitu:

- Meja dengan ukuran (236 x 170 x 82) cm3, terbuat dari fiber, digunakan untuk tempat pemotongan kepala;

- Meja dengan ukuran (210 x 138 x 100) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk tempat melakukan sortasi yang meliputi ukuran, mutu dan warna;

- Meja dengan ukuran (210 x 138 x 100) cm3, terbuat dari fiber, digunakan untuk tempat melakukan sortasi final yang meliputi ukuran, mutu dan warna;

- Meja dengan ukuran (246 x 90 x 871) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk meja susun;

- Meja dengan ukuran (106 x 62 x 76) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk meja pengemasan.

2. Bak penampungan

Bak ini digunakan untuk menampung udang, es dan tutup long pan,terdiri dari 4 macam, yaitu:


(42)

- Bak plastik ukuran (90 x 35 x 42) cm3, digunakan untuk menyimpan tutup

long pan;

- Bak fiber ukuran (110 x 55 x 70) cm3, digunakan untuk menampung dan tempat mencuci udang pada saat pembongkaran;

- Bak fiber dan stainless steel ukuran (90 x 50 x 70) cm3, digunakan untuk menampung es;

- Bak fiber ukuran (360 x 60 x 75) cm3, digunakan untuk mencuci udang setelah dilakukan pemotongan kepala.

3. Keranjang plastik

Keranjang ini digunakan untuk menampung udang ketika proses produksi. Selain tidak berkarat, keranjang ini juga ringan dan mudah untuk dibersihkandan terdiri dari 3 macam keranjangplastik, yaitu:

- Keranjang ukuran (68 x 50 x 38) cm3, digunakan untuk mengangkut udang dari ruang penerimaan ke ruang pemotongan kepala;

- Keranjang ukuran (32 x 34 x 10) cm3, digunakan pada tahapan sortasi;

- Keranjang ukuran (38 x 30 x 14) cm3, digunakan untuk menampung kepala hasil pemotongan.

4. Timbangan

Timbangan digunakan untuk mengetahui berat udang awal, berat udang setelah diproses, serta berat udang pada saat proses pengepakan. Timbangan yang digunakan dalam proses produksi adalah timbangan digital. Timbangan ini dikalibrasi setiap tahunnya serta pada saat proses produksi berlangsung. Perusahaan memiliki 4 macam timbangan, yaitu:

- Timbangan besar berkapasitas 150 kg, digunakan untuk menimbang udang yang diterima dan setelah selesai pemotongan kepala;

- Timbangan kecil berkapasitas 10 kg, digunakan untuk proses pengambilan contoh (sampling) di ruang penerimaan dan ruang produksi;

- Timbangan kecil berkapasitas 3 kg dan 6 kg, digunakan untuk menimbang udang per pan.

5. Mesin pembeku (freezer)

Mesin pembeku ini digunakan untuk membekukan produk udang dan terdiri atas:


(43)

- Satu unit Contact Plate Freezer (CPF), berkapasitas masing-masing 336

inner pan x 1,8 kg, dengan media pendingin amoniak. Suhu pembekuan -30 0

C sampai -40 0C dengan waktu pembekuan selama 150 menit.

- Satu unit Air Blast Freezer (ABF), berkapasitas 2500 kg per hari dengan media pendingin amoniak. Suhu pembekuan -30 0C sampai -40 0C dan waktu pembekuan selama 25-30 menit. Mesin pembeku ini terdiri dari 5 rak bertingkat, masing-masing rak memiliki kapasitas 1080 tray, sehingga dalam 5 rak mampu menampung 5400 tray.

6. Bahan pengemas

Bahan pengemas yang digunakan PT Y terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

- Kemasan primer, terdiri dari plastik polyethylen dengan ukuran (48,5 cm x 45 cm).

- Kemasan sekunder, terbuat dari karton yang dilapisi lilin pada kedua permukaannya, disebut juga inner carton dengan ukuran (28 x 19 x 6) cm3. - Kemasan tersier, disebut juga master carton yang dilapisi lilin pada bagian

dalam dan mempunyai ukuran (39 x 30 x 20) cm3. 7. Ruang penyimpanan beku (cold storage)

Ruang penyimpanan beku yang dimiliki oleh perusahaan ada 3 buah. Kapasitas tiap ruang penyimpanan adalah 11.770 master carton dengan suhu operasi -25 ˚C. 8. Peralatan lain

- Lori atau kereta dorong, digunakan untuk mengangkat udang dari proses satu ke proses yang lainnya sehingga memudahkan jalannya produksi serta untuk mengangkut master carton yang berisi produk pada saat proses stuffing.

- Mesin pengikat (strapping machine), digunakan untuk mengikat master carton dengan lakban dan strapping band.

- Mesin vakum, digunakan untuk membuat kemasan plastik hampa udara sehingga plastik merekat padaudang.

- Metal detector, digunakan untuk mendeteksi bahan asing dan logam pada produk.

- Sekop, terbuat dari plastik untuk mengambil es keping. - Cukitan, digunakan untuk membuang usus pada udang.


(44)

- Fiber Boxes, merupakan wadah yang berbentuk persegi panjang dan terbuat dari bahan fiber. Fiber box ini digunakan untuk menyimpan es curai (flake ice) yang akan digunakan dalam proses produksi.

- Tong penampung air, digunakan untuk menampung air yang digunakan untuk mencuci alat-alat produksi.

- Pallet, digunakan sebagai alas lantai yang diletakkan di lorong yang menuju pintu masuk ruang produksi sehingga keranjang tidak bersentuhan langsung dengan lantai.

4.2 Proses Produksi dan Dokumentasi

Penerapan sistem traceability dalam perusahaan melalui dokumentasi dan perekaman. Dokumen (data-data yang terdokumentasikan) yang ada di dalam perusahaan berupa log book dan formulir dalam proses produksi. Rekaman yang dihasilkan dalam proses produksi adalah formulir pemantauan dalam tiap tahapan proses yang nantinya akan diperiksa oleh Staf QC.

Proses dokumentasi dilakukan dengan mencatat identitas bahan baku yang dicatat pada etiket berupa keterangan tanggal penerimaan bahan baku, supplier, serta jenis udang yang diterima. Etiket tersebut diikutkan pada setiap tahapan proses produksi. Kegiatan proses produksi udang breaded pada PT Y terdiri atas beberapa tahap proses yang dimulai dari pembelian hingga tahapan stuffing

(pengisian pada kontainer).

4.2.1 Pengadaan bahan baku

Pengangkutan bahan baku mencakup kegiatan pembelian yang dilakukan oleh perusahaan dengan pemasok serta diadakan perjanjian antara kedua belah pihak. Pihak perusahaan mengirimkan staf pembelian untuk melakukan perjanjian dengan pemasok agar dapat mengirimkan bahan baku bagi perusahaan serta dihasilkannya dokumen berupa Surat Perjanjian Jual Beli Udang antara kedua belah pihak. Surat Perjanjian Jual Beli Udang berisi keterangan: nama dan alamat penjual, nama pembeli, petak tambak yang akan dipanen, jenis udang, size udang, harga, keterangan, pelaksanaan panen, sistem pembayaran, no. rekening penjual, tanggal perjanjian, dan tanggal kedua belah pihak menandatangani perjanjinan tersebut.


(1)

23 Pengemasan

primer Tidak diberikannya label

23.10 IV 3 C 6 3 54

Kelalaian karyawan yang berasal dari karyawan

(rambut, benang dari pakaian atau robekan sarung tangan)

23.20 IV 3 C 6 3 54

24 Pendeteksian Logam

Tidak diberikannya label 24.10 IV 3 C 6 3 54

25 Pengemasan sekunder

Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit

menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC

25.10 III 6 C 6 5 180

Misslabelling 25.20 III 6 C 6 1 36

26 Penyimpanan

dalam cold

storage

Pencatatan serta manajemen terhadap master cartoon

produk udang yang masuk dan keluar (First In First

Out)

26.10 IV 3 C 6 3 54

27 Stuffing dan

Distribusi Pengemasan produk kurang baik

27.10 IV 3 C 6 1 18


(2)

Lampiran 4. Analisis FMECA oleh Pakar 2 (akademik) Failure

ID Tahapan proses Kemungkinan Kegagalan/ Penyebab

Failu

re S O D RPN

1 Pengangkutan bahan baku

 Tidak ada pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli

Udang

1.10 II 8 D 3 1 24

 Tidak ada Nota pembelian Produk 1.20 II 8 D 3 1 24

 Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di

tambak/ tiba diperusahaan

1.30 II 8 D 3 1 24

2 Penerimaan bahan baku

 Tidak diberikannya label pada saat penerimaan 2.10 II

I

6 D 3 2 36

 Tidak dilakukannya pengujian bahan baku yaitu uji

mikrobiologi dan uji antibiotik

2.20 II

I

6 D 3 1 18

3 Pencucian 1 Tidak diberikannya label 3.10 II

I

6 D 3 3 54

4 Potong Kepala  Tidak diberikannya label 4.10 II

I

6 D 3 3 54

 Tidak ada penimbangan rendemen udang setelah

potong kepala

4.20 I

V

3 D 3 3 27

5 Pencucian II Tidak diberikannya label 5.10 II

I

6 D 3 3 54

6 Sortasi size Tidak diberikannya label 6.10 II

I

6 D 3 3 54

7 Sortasi final Tidak diberikannya label 7.10 II

I

6 D 3 3 54

8 Pencucian III Tidak diberikannya label 8.10 II

I

6 D 3 3 54

9 Kupas (peeled)  Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing

karyawan

9.10 II

I


(3)

 Tidak diberikannya label 9.20 II I

6 D 3 3 54

10 Pembuangan usus Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing

karyawan

10.10 II

I

6 D 3 10 180

11 Pencucian III Tidak diberikannya label 11.10 II

I

6 D 3 10 180

12 Gores perut Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing

karyawan

12.10 II

I

6 D 3 10 180

13 Stretching Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing

karyawan

13.10 II

I

6 D 3 10 180

14 Pencucian IV Tidak diberikannya label 14.10 II

I

6 D 3 3 54

15 Soaking Tidak diberikannya label 15.10 II

I

6 D 3 3 54

16 Pemberian pre-dust Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing

karyawan

16.10 II

I

6 A 10 10 600

17 Pemberian batter dan bread crumb

Tidak ada tagging grup karyawan/ masing-masing karyawan

17.10 II

I

6 A 10 10 600

18 Penyusunan tray Tidak diberikannya label 18.10 II

I

6 D 3 3 54

19 Penimbangan  Tidak diberikannya label 19.10 II

I

6 D 3 3 54

 Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses

breaded

19.20 II

I

6 C 6 3 108

20 Pemeriksaan akhir  Pemeriksaan kadar mikrobiologi produk 20.10 II

I

6 D 3 1 18

 Tidak diberikannya label 20.20 II

I

6 D 3 3 54

21 Pembekuan  Tidak diberikannya label 21.10 II

I


(4)

 Human error (tidak didokumentasikan nomor rack yang masuk kedalam ruang ABF)

21.20 I

V

3 D 3 5 45

22 Pemeriksaan filth Tidak diberikannya label 22.10 II

I

6 D 3 3 54

23 Pengemasan primer  Tidak diberikannya label 23.10 II

I

6 C 6 3 108

 Kelalaian karyawan yang berasal dari karyawan

(rambut, benang dari pakaian atau robekan sarung tangan)

23.20 II

I

6 C 6 3 108

24 Pendeteksian Logam Tidak diberikannya label 24.10 II

I

6 C 6 3 108

25 Pengemasan sekunder

 Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit

menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC

25.10 I 10 C 6 5 300

 Misslabelling 25.20 I 10 C 6 1 60

26 Penyimpanan dalam

cold storage

Pencatatan serta manajemen terhadap master cartoon

produk udang yang masuk dan keluar (First In First

Out)

26.10 II

I

6 C 6 3 108

27 Stuffing dan Distribusi

 · Pengemasan produk kurang baik 27.10 I

V

3 C 6 1 18


(5)

(6)

Pengemasan ke dalam Master Cartoon (MC), Penyimpanan dalam Cold Storage dan Stuffing

Pendeteksian Logam Pengemasan dalam polybag

Pemeriksaan filth

Breading: Pre-dust, Batter dan Bread Crumb, Penyusunan di tray, Penimbangan, Pemeriksaan Akhir

Soaking Pencucian IV Stretching Gores Perut

Sortir final, Pencucian III, Kupas, Pembuangan usus, Pencucian

Sortir Ukuran Pencucian II Potong Kepala Pencucian I

Penerimaan bahan baku Supplier Supplier Suplier 1/ Ai BT/ 14 Ai BT/ 14 Ai 14 Ai BT/ HL 14 Ai BT/ HL 4L SF B

14/ Ai 4L SF B

14/ Ai 4L SF B

14/ Ai 4L SF B

14/ Ai 4L SF B 14/ Ai 4L SF B 14/ Ai Tagging: berupa nomor karyawan Pencatatan jumlah rak yang masuk dalam Form

8 Form

10

2010 08 20/ Ai

--2010 08 20/ Ai I.Ai.B Broken Broken 4L SF 14/ Ai 4L SF 14/ Ai 4L SF 14/ Ai 4L SF 14/ Ai 4L SF 14/ Ai 4L SF 14/ Ai 4L SF 14/ Ai 4L SF 14/ Ai Form 10 2010 08 20/ Ai

--2010 08 20/ Ai

I.Ai.B 3L SF B 14/ Ai 3L SF B 14/ Ai 3L SF B 14/ Ai 3L SF B 14/ Ai 3L SF B 14/ Ai 3L SF B 14/ Ai 3L SF B 14/ Ai 3L SF B 14/ Ai Form 10 2010 08 20/ Ai

--2010 08 20/ Ai

I.Ai.B 3L SF 14/ Ai 3L SF 14/ Ai 3L SF 14/ Ai 3L SF 14/ Ai 3L SF 14/ Ai 3L SF 14/ Ai 3L SF 14/ Ai 3L 14/ Ai Form 10 2010 08 20/ Ai

--2010 08 20/ Ai I.Ai.B 2L SF B 14/ Ai 2L SF B 14/ Ai 2L SF B 14/ Ai 2L SF B 14/ Ai 2L SF B 14/ Ai 2L SF B 14/ Ai 2L SF B 14/ Ai 2L SF B 14/ Ai Form 10 2010 08 20/ Ai

--2010 08 20/ Ai

I.Ai.B

L SF B 14/ Ai L SF B

14/ Ai L SF B 14/ Ai L SF B

14/ Ai L SF B

14/ Ai L SF B

14/ Ai L SF B

14/ Ai L SF B

14/ Ai Form 10 2010 08 20/ Ai

--2010 08 20/ Ai

I.Ai.B L SF 14/ Ai L SF 14/ Ai L SF 14/ Ai L SF 14/ Ai L SF 14/ Ai L SF 14/ Ai L SF B 14/ Ai L SF B 14/ Ai

Form 10 2010 08 20/ Ai

--2010 08 20/ Ai

I.Ai.B Afal 14/ Ai Broken 14/ Ai Suplier 2/ BU BT/ 14 BU BT/ 14 BU 14 BU BT/ HL 14 BU BT/ HL 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 4L SF B 14/ BU 2010 08 20/ BU

--2010 08 20/ BU

I.BU.E 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU 4L SF 14/ BU

2010 08 20/ BU

--2010 08 20/ BU

I.BU.E 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 3L SF B 14/ BU 2010 08 20/ BU

--2010 08 20/ BU

I.BU.E 3L SF 14/ BU 3L SF 14/ BU 3L SF 14/ BU 3L SF 14/ BU 3L SF 14/ BU 3L SF 14/ BU 3L SF 14/ BU 3L SF 14/ BU 3L SF 14/ BU 2010 08 20/ BU

--2010 08 20/ BU

I.BU.E 2L SF 14/ BU 2L SF 14/ BU 2L SF 14/ BU 2L SF 14/ BU 2L SF 14/ BU 2L SF 14/ BU 2L SF 14/ BU 2L SF 14/ BU 2L SF 14/ BU€ 2010 08 20/ BU

--2010 08 20/ BU

I.BU.E Afal 14/ BU

Broken 14/ BU


Dokumen yang terkait

Usulan tindakan perawatan mesin pengolahan air minum dengan metode failure mode effect and criticality analysis (FMECA) di PT.Muawanah Al Masoem Bandung

0 11 43

Usulan tindakan perawatan mesin pengolahan air minum dengan metode failure mode effect and criticality analysis (FMECA) di PT.Muawanah Al Masoem Bandung

0 6 43

Optimasi sistem traceability dalam industri pengolahan udang breaded black tiger (Penaeus monodon) dengan pendekatan konsep batch dispersion

12 87 122

Evaluasi Sistem Traceability pada Produksi Chewy Candy di PT Sweet Candy Indonesia Menggunakan FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis)

1 12 69

Studi Pemeliharaan Ketel Uap dengan Metode Reability Centered Maintenance (RCM) Menggunakan Pendekatan Failure Modes And Effects Analysis Fmea pada PTPN V Unit PKS Kebun Lubuk Dalam

10 48 89

Development Of An Integrated Failure Mode Effect And Criticality Analysis (FMECA) And Analytical Hierachy Process (AHP) For Automotive Stamping Part.

0 2 24

IDENTIFIKASI FAILURE MODES

0 0 1

View of PENERAPAN METODE FAILURE MODE, EFFECT AND CRITICALITY ANALYSIS (FMECA) PADA DRIVE STATION ALAT ANGKUT KONVEYOR REL

1 4 6

Analisa Keandalan Sistem Distribusi 20kV di PT. PLN (Persero) Area Tanjung Karang Menggunakan Metode FMEA (Failure Modes and Effects Analysis) - ITS Repository

0 1 99

TUGAS AKHIR - Analisa Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Proyek Reservoir Krembangan Surabaya Menggunakan Metode FMECA (Failure Mode And Effect Criticality Analysis) - ITS Repository

0 0 99