11 pendapatan dari usahatani, pemilikan peralatan pompa irigasi, serta luas dan
status garapan. Ketersediaan modal, peralatan, dan kepemilikan lahan pertanian berkaitan dengan keberhasilan dan keberlanjutan usahatani yang dijalankan.
Sedangkan kontribusi pendapatan usahatani terkait dengan bagaimana hasil kegiatan usahatani yang telah dijalankan mampu meningkatkan pendapatan
petani. Hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan pola tanam. Hama merupakan binatang pengganggu tanaman, seperti serangga, ulat, dan kutu tanaman. Sedangkan
penyakit adalah gangguan pada tanaman yang disebabkan oleh mikroorganise yang tidak terlihat oleh mata, seperti cendawan dan bakteri. Untuk mendapatkan
hasil produksi yang maksimal, pengendalian hama dan penyakit dalam kegiatan budidaya sayuran harus dilakukan dengan baik. Hal ini karena hama dan penyakit
tanaman berpotensi menyebabkan kegagalan panen dan berdampak pada pendapatan petani.
Selain itu, faktor lain yang menjadi pertimbangan petani dalam memilih pola tanam adalah ketersediaan dan aksesibilitas bahan tanaman, aksesibilitas dan
kelancaran pemasaran, karakteristik sosial budaya masyarakat terkait dengan adopsi teknologi. Ketersediaan dan aksesibilitas bahan tanam terkait dengan
ketersediaan input-input pertanian yang akan digunakan. Sedangkan aksesibilitas dan kelancaran pemasaran terkait dengan pemasaran penjualan hasil output
pertanian.
2.2 Analisis Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani merupakan besarnya balas jasa yang diterima oleh petani sebagai hasil dari usaha yang telah dilakukan dalam pengelolaan maupun
keikutsertaannya dalam menyediakan modal. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk melihat keadaan usahatani sekarang dan sebagai dasar dalam
perencanaan usahatani yang akan datang. Selain itu, pendapatan usahatani dapat digunakan untuk melihat berhasil atau tidaknya suatu kegiatan usahatani
Sunarno, 2004. Penelitian-penelitian tentang analisis pendapatan usahatani
12 sudah banyak dilakukan. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Yuningsih 1999, Wicaksono 2006, dan Sitanggang 2008. Yuningsih 1999 melakukan analisis optimalisasi pendapatan usahatani
pada keragaman jenis usaha petani nenas di Desa Buni Bayu, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Dalam penelitiannya, Yuningsih
menghitung pendapatan bersih dengan mengurangkan total penerimaan dengan total biaya usahatani tanaman nenas. Berdasarkan perhitungan yang telah
dilakukan, diperoleh hasil bahwa pendapatan bersih petani lahan sempit golongan pemilik-penyewa penggarap sebesar Rp 22.318.120 per hektar, Rp 14.324.883 per
hektar untuk petani lahan sempit golongan pemilik penggarap, dan Rp 11.753.807 per hektar untuk petani lahan sempit golongan penyewa penggarap. Sedangkan
petani lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap memperoleh pendapatan Rp 46.014.514 per hektar dan Rp 30.997.250 per hektar untuk petani luas
golongan pemilik penggarap. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa petani lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap memperoleh pendapatan
paling besar. Setelah melakukan analisis terhadap pendapatan usahatani, Yuningsih
kemudian melakukan analisis terhadap nilai RC ratio dan BC ratio untuk melihat efisiensi usahatani nenas. Nilai RC ratio dan BC ratio berturut-turut untuk petani
berlahan sempit adalah 2,02 dan 1,02 untuk petani pemiliki-penyewa penggarap, 1,64 dan 0,64 untuk petani pemilik penggarap, 1,40 dan 0,40 untuk petani
penyewa penggarap. Sedangkan untuk petani berlahan luas, nilai RC ratio dan BC ratio masing-masing adalah 4,22 dan 3,22 untuk petani pemiliki-penyewa
penggarap, 4,04 dan 3,05 untuk petani pemilik penggarap. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa usahatani nenas yang dilakukan oleh petani
lahan luas golongan pemilik-penyewa penggarap adalah yang paling efisien. Wicaksono 2006 melakukan analisis pendapatan usahatani dan
optimalisasi pola tanam sayuran di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Analisis pendapatan usahatani dilakukan dengan
menghitung selisih antara penerimaan dengan total biaya. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, pendapatan usahatani sayuran yang diperoleh
petani luas adalah Rp 2.747.675 untuk MT I, Rp 2.318.932 untuk MT II, dan Rp
13 2.831.588 untuk musim tanam III. Sedangkan petani berlahan sempit memperoleh
pendapatan sebesar Rp 1.254.366 untuk MT I, Rp 1.800.632 untuk MT II, dan Rp 1.964.352 untuk musim tanam III.
Wicaksono 2006 kemudian melakukan analisis RC ratio untuk melihat efisiensi usahatani sayuran di Desa Cipendawa. Nilai RC ratio yang diperoleh
untuk petani berlahan luas luas adalah adalah 2,03 untuk MT I, 1,89 untuk MT II, dan 2,14 untuk musim tanam III. Sedangkan petani berlahan sempit memperoleh
nilai 1,26 untuk MT I, 1,49 untuk MT II, dan 1,54 untuk musim tanam III. Sehingga, rata-rata nilai RC ratio untuk petani berlahan luas adalah 2,02 dan 1,41
untuk petani berlahan sempit. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa petani berlahan luas lebih efisien dibandingkan dengan petani berlahan sempit.
Sitanggang 2008 melakukan analisis usahatani dan tataniaga lada hitam di Desa Lau Simere, Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi. Dalam
menganalisis tingkat pendapatan petani, Sitanggang menggunakan metode penghitungan pendapatan usahatani terhadap 44 kepala keluarga petani, yakni
selisih antara total penerimaan dengan total biaya usahatani lada hitam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerimaan rata-rata yang diterima oleh setiap
petani per ha per tahun adalah Rp 15.367.666 dengan total biaya sebesar Rp 8.412.999, sehingga diperoleh pendapatan usahatani sebesar Rp 6.954.667.
2.3 Optimalisasi Pola Tanam