28
Gambar 4 Kalus embriogenik jeruk keprok SoE yang terdiri atas massakompleks pro-embrio a dan globular muda early globular b.
□ 1 mm. Setelah pengamatan 25 MST, ES hasil induksi yang terbentuk pada masing-
masing media perlakuan disubkultur ke media yang sama. Hasil subkultur ternyata memperlihatkan bahwa ES yang berasal dari media induksi 1 BAP 3
mg L
-1
tetap tumbuh dan berkembang menjadi banyak pada media baru yang sama. Subkultur
ES dari media induksi 2 dan 3 ke media baru yang sama memperlihatkan pertumbuhan yang lambat, berwarna putih, transparan dan tidak berkembang
menjadi banyak. Subkultur ES dari media induksi 4 ke media baru yang sama memperlihatkan tidak terjadi pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik ke
fase berikutnya, malah berubah warna menjadi coklat dan hitam yang pada akhirnya mati.
Sifat zat pengatur tumbuh BAP sitokinin dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada auksin dapat merangsang pembentukan tunas. BAP yang
merupakan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin memiliki sifat merangsang pertumbuhan tunas Gunawan 1992.
Zat pengatur tumbuh 2,4-D dari golongan auksin memiliki kemampuan memacu pembelahan sel dengan cepat dan dapat merangsang pembentukan akar
Gunawan 1992. Lee et al. 2011 meneliti pengaruh auksin, khususnya 2.4-D terhadap frekuensi induksi kalus embriogenik dan ES dari kultur akar
Chelidonium majus setelah 7 minggu dalam kultur. Mereka telah menemukan bahwa konsentrasi 2.4-D 0.1, 0.5 dan 4.0
mg L
-1
tidak menghasilkan KE dan ES, tapi pada level konsentrasi 2.4-D 1.0 dan 2.0 mgL masing-masing dapat
menghasilkan KE 15 dan 11, jumlah ES per eksplan sangat signifikan masing- masing 4.9 dan 4.5 buah. Pengatur tumbuh seperti 2.4-D dan BAP sering
digunakan secara umum. Perbedaan kombinasi 2.4-D dan BAP dapat memperlihatkan hasil yang bervariasi.
3.3.2 Proliferasi dan Sinkronisasi Kalus Embriogenik Jeruk Keprok SoE
Hasil analisis varian Anova percobaan penambahan ABA dengan kisaran konsentrasi 0
– 4
mg L
-1
tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap pembentukan diameter kalus embriogenik dan globular pada 4 minggu setelah
perlakuan MSPr. Sedangkan penambahan air kelapa konsentrasi 20 sangat berpengaruh nyata terhadap pembentukan globular Tabel 3.
29 Walaupun pengaruh perlakuan konsentrasi ABA tidak berbeda nyata,
namun tetap terlihat adanya perbedaan pada masing-masing perlakuan yang dapat dilihat pada diameter kalus embriogenik KE. Diameter terbesar pada perlakuan
ABA-1 rata-rata 0.98 cm, menyusul perlakuan ABA-0, ABA-0.5 dan ABA-2, masing-masing 0.84, 0.83 dan 0.78 cm. Diameter KE terendah pada perlakuan
ABA-4 yaitu 0.55 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi ABA 1
mg L
- 1
adalah konsentrasi ABA yang optimum untuk proliferasi KE. Sedangkan konsentrasi ABA kisaran 2 - 4
mg L
-1
adalah konsentrasi ABA tinggi yang dapat menghambat proliferasi KE jeruk SoE. Begitu pula dengan rata-rata jumlah
globular yang terbentuk. Perlakuan ABA-1 dapat menghasilkan jumlah globular rata-rata 3,65 buah, diikuti ABA 2, 4, 0,5 dan ABA-0 masing-masing 2.9, 2.25,
1.5 dan 1.45 buah. Oleh karenanya, konsentrasi ABA yang optimum untuk pendewasaan ES adalah 1
mg L
-1
. Konsentrasi ABA 2 - 4
mg L
-1
dapat menghambat pendewasaan ES.
Perlakuan penambahan air kelapa konsentrasi 0-20 per liter media MW sangat berbeda nyata pengaruhnya pada pertambahan diameter KE dan
pembentukan jumlah globular pada 4 MSPr. Rata-rata diameter KE yang paling besar adalah pada perlakuan AK0 0.39 cm. Jumlah rata-rata globular yang
paling banyak terbentuk adalah dari perlakuan AK20 air kelapa konsentrasi 20 yaitu sebanyak 3 buah globular.
Tabel 3 Analisis varian perlakuan media dengan penambahan Asam Absisat
ABA dan air kelapa AK terhadap rata-rata diameter kalus embriogenik dan jumlah globular akhir jeruk keprok SoEyang
dihasilkan pada 4 MSPr.
Perlakuan Taraf
Rata-rata Diameter Kalus Embrigenik
KE Rata-rata Jumlah
Globular akhir
mg L
-1
cm buah
Asam Absisat
ABA 0.84
1.45 0.5
0.83 1.50
1 0.98
3.65 2
0.78 2.90
4 0.55
2.25 Nilai F
1.61
tn
0.37
tn
cm Air
Kelapa AK
0.39 a 0.90 bc
5 0.29 ab
0.05 c 10
0.14 b 0.00 c
15 0.11 b
2.55 ab 20
0.27 ab 3.00 a
Nilai F 2.94
5.55
: Nilai F berbeda sangat nyata antar perlakuan pada taraf 1; : Nilai F berbeda nyata antar perlakuan pada taraf 5, tn: Nilai F tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5.
30
Gambar 5 Grafik hubungan antara rata-rata diameter kalus embriogenik dan jumlah globular jeruk keprok SoE pada media perlakuan ZPT-ABA
mg L
-1
.
0.84 0.83
0.98 0.78
0.55 1.45
1.5 3.65
2.9 2.25
1 2
3 4
ABA0 ABA0,5
ABA1 ABA2
ABA4 R
ata -r
ata d
iam e
te r
kal u
s
e m
b ri
o g
e n
ik d
an ju
m lah
g lo
b u
lar
Media perlakuan ZPT-ABA mg L
-1
Diameter Kalus Jumlah Globular
Gambar 6 Grafik hubungan antara rata-rata diameter kalus embriogenik dan jumlah globular pada media perlakuan air kelapa .
0.39 0.29
0.14 0.11
0.27 0.9
0.05 2.55
3
1 2
3 4
AK0 AK5
AK10 AK15
AK20 R
ata -r
ata d
iam e
te r
kal u
s
e m
b ri
o g
e n
ik d
an ju
m lah
g lo
b u
lar
Media perlakuan air kelapa
Diameter Kalus Jumlah Globular
Berdasarkan analisis uji lanjut DMRT 5, untuk rata-rata diameter KE, perlakuan AK0 yang paling besar diameternya rata-rata 0.39 cm tidak berbeda
nyata dengan perlakuan AK5 dan AK20, tapi berbeda nyata dengan perlakuan AK10 dan AK15. Untuk parameter rata-rata jumlah globular, perlakuan AK20
tidak berbeda nyata dengan perlakuan AK15, tapi berbeda nyata dengan perlakuan AK0, AK5 dan AK10. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan air kelapa
pada media MW sebanyak 15-20 per liter media MW dapat meningkatkan pembentukan jumlah ES globular. Sedangkan untuk proliferasi KE, tidak
memerlukan penambahan air kelapa.
Grafik batang digunakan untuk melihat lebih jelas pertambahan rata-rata diameter kalus embriogenik dengan jumlah globular yang terbentuk akibat dari
penambahan zat pengatur tumbuh ABA dan air kelapa AK Gambar 5 dan Gambar 6.
Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa penambahan ABA 1 mg L
-1
merupakan konsentrasi ABA optimum yang dapat meningkatkan jumlah kalus embriogenik dan globular transisi jeruk keprok SoE. Perlakuan kontrol tanpa