PENERIMAAN DIRI ANAK CEREBRAL PALSY(STUDI KASUS PENERIMAAN DIRI ANAK CEREBRAL PALSY YANG DISEBABKAN PENYAKIT TOKSOPLASMOSIS).

(1)

i

PENERIMAAN DIRI ANAK CEREBRAL PALSY

(STUDI KASUS PENERIMAAN DIRI ANAK CEREBRAL PALSY YANG DISEBABKAN PENYAKIT TOKSOPLASMOSIS)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Nurul Janah NIM. 12104244057

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

Orang tuaku

“ Bapak Jemirun dan Ibu Haryatun yang senantiasa mendoakanku, mendukungku (moril dan materiil), dan telah banyak berjuang demi aku, untuk kelulusanku dan

kesuksessanku.”

Kedua kakak perempuan dan adikku

“Tidak pernah letih mengingatkan dan membantuku saat melangkah dalam menjalani kehidupan.

Kehangatan, canda tawa serta kerja keras jangan sampai terhenti agar kita dapat hidup dengan keadaan yang lebih layak dan harmonis.

Demi dan untuk membahagiakan kedua orang tua kita.”

Mas Panji Putra Rizkiyanto

“Yang dengan rela membagi waktu dan tenaganya untuk mendukung serta membantu dalam setiap langkah mewujudkan harapan-harapanku.


(7)

vii

PENERIMAAN DIRI ANAK CEREBRAL PALSY

(STUDI KASUS PENERIMAAN DIRI ANAK CEREBRAL PALSY YANG DISEBABKAN PENYAKIT TOKSOPLASMOSIS)

Oleh Nurul Janah NIM 12104244057

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerimaan diri anak cerebral palsy yang disebabkan oleh penyakit toksoplasmosis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Sepuluh pertanyaan penelitian diajukan berhubungan dengan tujuan penelitian.

Subjek penelitian ini adalah seorang anak kelas VI SD Budi Mulia Dua Sedayu yang menyandang cerebral palsy dan menderita penyakit toksoplasmosis. Penelitian dilakukan di lingkungan sekolah SD Budi Mulia Sedayu, lingkungan kediaman subjek dan lingkungan kediaman nenek subjek. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Uji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data model Miles dan Huberman, yaitu dengan langkah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek belum sepenuhnya mampu menerima dirinya sendiri. Dukungan motivasi dari keluarganya yang sangat kuat, pola asuh orang tua yang baik serta peran keluarga yang harmonis dapat mempengaruhi penerimaan diri anak. MM tidak mudah marah saat diolok-olok dan berperilaku dengan mandiri, dapat menjalin hubungan baik dengan teman yang menerima keadaannya.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang telah melimpahkan kenikmatan, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Penerimaan Diri Anak Cerebral Palsy (Studi Kasus Penerimaan Diri Anak Cerebral Palsy yang disebabkan Penyakit Toksoplasmosis)”.

Dalam proses penulisan skripsi ini tidak banyak ada kendala, meskipun diakui penelitia ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun berkat Allah SWT, dapat terselesaikan skripsi ini. Penulisan ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 3. Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan

4. Bapak Sugiyanto, S.Pd., M.Pd., dosen pembimbing yang dengan baik serta sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi.

5. Subjek penelitian (MM) serta key informan atas kesediaannya memberikan informasi dan kerjasamanya membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian. 6. Bapak Jemirun dan ibu Haryatun tercinta yang tak pernah bosan mendoakan

dan mendukung memberi motivasi serta semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.


(9)

ix

7. Kedua kakakku yang selalu ku banggakan Ema dan Yeni serta adikku yang kusayangi selalu mendukung dan membantu setiap mengalami kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Mas Panji yang tidak pernah bosan mengingatkanku untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman terbaikku Arif, Dona, Etta, Wia, Nura, Viddya yang tidak pernah letih, bosan dan lupa untuk mengingatkanku bimbingan. Serta teman-teman yang selalu bersedia memberikan arahan dalam menyelesaikan skripsi Niken, Heni, Dita.

10. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan motivasi, saling mendukung dan telah turut membantu terselesaikannya penelitian ini.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi lembaga pendidikan, para pendidik serta para pembaca yang budiman.

Yogyakarta,12 Oktober 2016 Penulis


(10)

x DAFTAR ISI

hal HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PERNYATAAN ... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN MOTTO ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ... DAFTAR GAMBAR ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... B. Identifikasi Masalah ... C. Batasan Masalah ... D. Rumusan Masalah ... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ... BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri ... 1. Pengertian Penerimaan Diri ... 2. Aspek-aspek Penerimaan Diri …... 3. Ciri-ciri Penerimaan Diri ... 4. Faktor-faktor Penerimaan Diri ………... B. Cerebral Palsy ………...………... 1. Pengertian Cerebral Palsy ………...

i ii iii iv v vi vii viii x xiii xiv xv 1 13 13 14 14 14 17 17 20 25 26 31 31


(11)

xi

2. Klasifikasi dan Karakteristik Cerebral Palsy………... 3. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Cerebral Palsy ……….. C. Toksoplasmosis ...

1. Pengertian Toksoplasmosis…………... 2. Penularan Toksoplasmosis …………... 3. Epidemiologi ……….. D. Akhir Masa Kanak-Kanak Akhir...

1. Pengertian Masa Kanak-Kanak Akhir... 2. Karakteristik Masa Kanak-Kanak Akhir... 3. Tugas-tugas Perkembangan Masa Kanak-Kanak Akhir... E. Penerimaan Diri Anak Penderita Toksoplasma………. F. Pertanyaan Penelitian ... BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian ... B. Tempat Penelitian ... C. Objek Penelitian ... D. Subjek Penelitian ... E. Metode Pengumpulan Data ... 1. Observasi (Pengamatan) ... 2. Wawancara …………... 3. Dokumentasi ……….. F. Instrumen Penelitian ... G. Uji Keabsahan Data ... H. Teknik Analisis Data ... BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 1. Deskripsi Setting Penelitian ... 2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 3. Deskripsi Key Informan……….. 4. Reduksi Data (data reduction) ... 5. Penyajian Data (data display) ...

33 38 39 39 40 43 45 45 47 49 49 52 53 54 55 55 56 56 57 58 59 65 66 69 69 69 71 72 92


(12)

xii

6. Penarikan Kesimpulan (verification) ... B. Pembahasan ... C. Keterbatasan Penelitian ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

100 105 118

119 120 123 126


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Pedoman Observasi... 60

Tabel 2. Pedoman Wawancara... 63

Tabel 3. Pedoman Dokumentasi... ……….. 64

Tabel 4. Profil Key Informan……….... 71

Tabel 5. Display Data Aspek Persepsi Mengenai Diri dan Sikap terhadap Penampilan……… 92

Tabel 6. Display Data Aspek Sikap terhadap Kelemahan dan Kekuatan Diri Sendiri dan Orang Lain………... 93

Tabel 7. Display Data Aspek Perasaan Inferioritas sebagai Gejala Penolakan Diri………... 94 Tabel 8. Display Data Aspek Respon atas Penolakan dan Kritikan………... 94

Tabel 9. Display Data Aspek Keseimbangan Antara “Real Self” dan “Ideal Self”... 95

Tabel 10. Display Data Aspek Penerimaan Diri dan Penerimaan Orang Lain... 96

Tabel 11. Display Data Aspek Penerimaan Diri, Menuruti Kehendak, dan Menonjolkan Diri………... 97

Tabel 12. Display Data Aspek Penerimaan Diri, Spontanitas, dan Menikmati Hidup……… 98

Tabel 13. Display Data Aspek Moral Penerimaan Diri……….. 99


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Wawancara Subjek... 127

Lampiran 2. Pedoman WawancaraKey Informan... 130

Lampiran 3. Hasil Wawancara Subjek “MM”…......... 132

Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 1 ... 144

Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 2... 150

Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 3... 156

Lampiran 7. Hasil Wawancara Key Informan 4... 163

Lampiran 8. Hasil Wawancara Key Informan 5... 169

Lampiran 9. Hasil Wawancara Key Informan6……… 173

Lampiran 10. Hasil Wawancara Key Informan 7……….. 177

Lampiran 11. Hasil Wawancara Key Informan 8……….. 183

Lampiran 12. Hasil Wawancara Key Informan 9……… 185

Lampiran 13. Hasil Wawancara Key Informan 10……….. 187

Lampiran 14. Aktivitas MM……… 189

Lampiran 15. Surat Ijin Penelitian Fakultas ………... 193

Lampiran 16. Surat Ijin Penelitian BAPEDA ………. 194

Lampiran 17. Triangulasi Data Wawancara Subjek MM ……….. 195


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Komponen dalam analisis data (interactive model) Miles dan

Huberman ... 67

Gambar 2. Warna bolpoin sama dengan warna sampul buku... 189

Gambar 3. Menggunakan baju dan kerudung yang berwarna sama... 189

Gambar 4. Keseriusan MM saat pelajaran lukis……….... 189

Gambar 5. Mengekpresikan kreasi ………... 189

Gambar 6. Aktivitas saat berkelompok ………... 190

Gambar 7. Aktivitas saat jam istirahat ………... 190

Gambar 8. Presentasi hasil kelompok ……… 190

Gambar 9. posisi tempat duduk saat pelajaran... 190

Gambar 10. Aktivitas saat menunggu mapel selanjutnya... 190

Gambar 11. Aktivitas saat menunggu mapel selanjutnya ……….. 190

Gambar 12. Subjek mengikuti kelas pilihan seni lukis ……….. 191

Gambar 13. Subjek menyaksikan teman-temannya bermain ………. 191

Gambar 14. Lokasi rumah Subjek ……….. 191

Gambar 15. Subjek mendengar teman-temannya………... 192


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia terlahir dalam kondisi, karakter dan latar belakang yang penuh dengan perbedaan. Perbedaan kondisi perkembangan pada masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai masa tua. Perkembangan kondisi seseorang dapat dilihat dari segi fisik maupun psikologisnya. Dilihat dari kondisi fisik secara umum dapat dibedakan bagaimana bentuk hidung yang mancung dan pesek, mata sipit maupun belok, beralis tipis atau tebal , hingga tinggi badan seseorang dengan kasat mata. Menurut pendapat Hurlock (Muh. Farozin, 2004) bentuk tubuh mempengaruhi kepribadian secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan perkembangan psikologis menurut Monks (Abu Ahmadi & Munawar Sholeh, 2005) merupakan suatu proses yang dinamis. Dalam proses tersebut sifat individu dan sifat lingkungan akhirnya menentukan tingkah laku apa yang akan diaktualisasi dan dimanifestasi. Sehingga dalam perkembangan psikologis ini membutuhkan dan perlu didukung dengan melakukan suatu tes tertentu yang valid untuk menyatakan suatu keadaan psikologis seseorang agar tidak terjadi subjektifitas penilaian.

Setiap orang mengalami perkembangan yang tidak sama antara individu satu dengan yang lain. Tidak semua individu merasa beruntung dengan kondisi fisik maupun psikis yang diterimanya, karena suatu kekurangan yang dimiliki sehingga membuatnya berbeda dengan individu


(17)

2

lainnya. Menurut Rita Eka Izzaty (2008: 3) perkembangan individu ada dua istilah yang sering muncul, yaitu istilah pertumbuhan yang bersifat fisik (kuantitatif) sedangkan istilah perkembangan dititik beratkan pada aspek-aspek yang bersifat psikis (kualitatif). Kondisi fisik dan psikis individu sangat berkaitan, jika suatu kondisi fisik seorang individu sehat maka kondisi psikisnya akan baik namun bila kondisi fisik kurang sehat maka dimungkinkan akan kurang baik pula kondisi psikis individu tersebut. Sesuai dengan pernyataan Abu Ahmadi & Munawar Sholeh (2005: 2) pertumbuhan fisik memang mempengaruhi perkembangan psikologis. Namun hal ini akan tergantung pada individu itu sendiri dalam menerima dirinya.

Kondisi fisik yang tidak sempurna maupun cacat berkaitan dengan persepsi individu terhadap kemampuan pada dirinya. Begitupun ketidakmampuan intelektual menurut Rita Eka Izzaty (2008: 13) dapat disebabkan karena kerusakan system syaraf, kerusakan otak atau mengalami reterdasi mental. Permasalahan tumbuh kembang anak sering dijumpai dalam masyarakat salah satunya yaitu cerebral palsy (CP). Kecacatan yang dialami penyandang cerebral palsy akan berdampak pada ketidaksempurnaan fungsi motorik pada anak. Tidak hanya ketidaksempurnaan fungsi motorik namun juga terganggunya fungsi kognitif dan secara fisik anak cerebral palsy mengalami kelemahan dalam menggunakan tubuhnya. Sehingga pada anak CP mengalami gangguan pada saat melakukan aktivitas dibanding dengan anak normal lainnya


(18)

3

seperti dalam kemampuan berkomunikasi. Menurut Mardiani dalam Muh. Khairil Ichsan (2014: 4) CP dapat menyebabkan gangguan sikap (postur), control gerak, gangguan kekuatan otot yang biasanya disertai gangguan neorologik berupa kelumpuhan, spastik, gangguan basal ganglia, cerebellum, dan kelaianan mental (mental retardation).

CP termasuk dalam kelompok tunadaksa. Sujihati Somantri dalam Tin Suharmini (2009) mengatakan bahwa cerebral palsy dan tunadaksa harus dibedakan. Tunadaksa sama sekali tidak dapat menggerakkan bagian tubuhnya yang mengalami kerusakan, sedang cerebral palsy masih dapat menggerakkan tubuhnya yang terserang waluapun gerakannya terganggu karena ada kelainan pada otot. Menurut Nur Azizah (2005) cerebral palsy dapat diartikan sebagai kelumpuhan pada otak yang menyebabkan tidak adanya kontrol otot, kelainan postur dan hambatan gerak. Seseorang dapat menderita cerebral palsy dapat terjadi karena terdapat beberapa faktor pencetus, salah satunya faktor pencetus menurut A. Salim yang terjadi pada proses pertumbuhan dan perkembangan yaitu penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi menurut Heri Purwanta (2007: 21) yaitu infeksi TORCH (toksoplasma, rubella, cytomegalovirus, herpes).

Pengertian penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang menyebabkan ketidaknyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhinya menurut Soedarto (2011). Dalam ilmu kedokteran sangat banyak jenis-jenis penyakit yang telah ditemukan dan salah satu contohnya yaitu toksoplasmosis. Penyakit toksoplasmosis


(19)

4

ini sejatinya bukanlah penyakit yang menular dan sering terjadi di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Penyakit infeksi ini disebabkan parasit yang disebut Toxoplasma gondii, penyakit ini dapat menginfeksi manusia maupun hewan (zoonosis) melalui kucing (Felidae) sebagai hospes definitifnya.

Menurut Indra Chahaya (2003) penyakit toksoplasmosis harus mendapat perhatian lebih dikarenakan jumlah penderitanya diperkirakan telah mencapai sepertiga penduduk dunia. Sampai saat ini prevalensi toksoplasmosis di dunia terus mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut Soedarto (2011) data prevalensi serologi menunjukkan bahwa 30 sampai 40% penduduk dunia terinfeksi toksoplasma gondii, sehingga toksoplasmosis merupakan penyakit infeksi yang paling banyak diderita penduduk bumi. Infeksi banyak terjadi di daerah dataran rendah beriklim panas dibandingkan dengan daerah dingin yang terletak didataran tinggi. Perancis dan negara-negara yang penduduknya mempunyai kebiasaan makan daging mentah atau yang dimasak kurang matang, menunjukkan angka prevalensi toksoplasmosis yang tinggi.

Prevalensi toksoplasmosis di Indonesia menurut soedarto (2012: 60-61) menyatakan bahwa:

“ Pada penelitian prevalensi toksoplasmosis pada ibu hamil di Jakarta tahun 1991, hasilnya menunjukkan bahwa 14,3% serum yang diperiksa positif terhadap Toxoplasma gondii, sedangkan pada penelitiana atas perempuan yang pernah menderita abortus, sebesar 67,8% menunjukkan seropositif terhadap parasit ini. Penelitian pada tahun 2002 di Jakarta menunjukkan lebih dari 90% perempuan dalam usia subur yang diperiksa menunjukkan serum yang seropositif terhadap Toxoplasma gondii. Penelitian tersebut juga menunjukkan


(20)

5

bahwa pada ibu yang mengalami abortus menunjukkan prevalensi toksoplasmosis sebesar 21,5% sedangkan yang mengalami kelahiran mati bayi menunjukkan prevalensi sebesar 22,8%. Penelitian tahun 1994 di Mataram, Lombok, Indonesia pada perempuan hamil menunjukkan persentase antibody anti-toksoplasma IgG yang positif sebesar 38,3% pada ibu yang mengalami abortus 50%, pada ibu yang melahirkan bayi meninggal (still birth) 65,5% dan pada anak dengan kelainan congenital sebesar 40,2%”.

Penyakit toksoplasmosis ini tidak hanya menyerang pada ibu hamil saja, akan tetapi dapat juga menyerang pada anak-anak atau orang dewasa. Hal ini dapat terjadi, salah satu faktornya jika tidak mampu menjaga kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal. Tidak hanya lingkungan saja, akan tetapi seperti mengonsumsi daging dan air yang mentah dapat menjadi salah satu penyebabnya, karena menurut penemuan Cole et al., (2000) (Dubey, 2008) pada hewan laut telah tercemar parasit Toxoplasma gondii. (www.wisuda.unud.ac.id diakses pada tanggal 9 Februari 2016 pukul 17.33 WIB).

Secara fisik anak penderita toksoplasmosis dapat melakukan aktivitas seperti layaknya anak normal lainnya. Menurut Heri Purwanto (2007) infeksi toksoplasmosis merupakan penyebab baik langsung maupun tidak langsung terjadinya kelainan yaitu faktor seorang invididu disebut anak berkebutuhan khusus. Anak penderita toksoplasmasis ini mempunyai permasalahan utama yaitu psikologisnya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tin Suhamini (2009) yaitu masalah-masalah psikologis sering dijumpai anak-anak berkebutuhan khusus. Permasalahan psikologis tersebut mengenai penerimaan diri anak yang menderita penyakit toksoplasmosis. Hurlock dalam Fitri Listiani & Siti InanSahra, (2013)


(21)

6

salah satu faktor psikologis yang memberi kontribusi pada kesehatan mental individu adalah penerimaan diri. Salah satu contoh anak yang menderita penyakit toksoplasmosis karena kontak langsung dengan parasit

Toxoplasma gondii adalah MM. MM didiagnosis mengidap penyakit

toksoplasmosis pada umur 8 bulan, sedangkan ibu MM, menunjukkan hasil negatif pada toksoplasmosisnya. Infeksi yang berat dapat menyebabkan masalah pada organ mata, gangguan otak, kejang, dan menyebabkan kematian.

Toksoplasmosis ini telah membuat otak besar MM mengalami kelumpuhan sehingga saraf-saraf pada tubuhnya lemah. Berdasarkan wawancara langsung dengan ibu MM yaitu Ibu WW dan hasil laboraturium kesehatan MM. Kelumpuhan pada otak besar berdasarkan hasil CT Scan membuat MM mengalami gangguan penglihatan yang mana kondisi mata tidak mampu melihat tanpa ada bantuan kacamata, mata sebelah kanan minus 10 sedangkan minus 1 untuk mata yang sebelah kiri. Akibat rusaknya fungsi otak tersebut menjadikannya kesulitan dalam mengikuti pelajaran-pelajaran yang ada disekolah. Hasil Pemeriksaan Psikologi MM menunjukkan presentil 61 yang mana masuk dalam kategori Mild Retardation menurut Wechsler (Sugihartono,dkk, 2012). Selain itu, saraf lemah pada leher MM menyebabkan air liur keluar tidak terkontrol setiap waktu. Hingga lidahnyapun sulit untuk berbicara dan menelan makanan maupun minuman yang masuk. Memegang suatu benda dengan erat susah dilakukan oleh MM karena saraf tangan lemah.


(22)

7

Berdasarkan hasil observasi langsung, MM sering tertinggal dengan teman-teman lain yang normal dalam perkembangan akademik yaitu ketertinggalannya saat mencatat maupun mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, mudah lupa dengan materi-materi pelajaran yang telah diterima. Menurut Heri Purwanto (2007) dimana anak yang memiliki IQ pada posisi ekstrim -2 (IQ = 70) dan +2 (IQ = 130) standar deviasi kurve normal, maka perlu diperhatikan sebagai anak berkebutuhan khusus. Perbedaan ini tidak sekedar berbeda dengan rerata normal, tetapi perbedaan yang signifikan, sehingga anak tersebut memang memerlukan praktek pendidikan dan pengajaran yang khusus untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Penyakit toksoplasmosis dapat menjadi salah satu faktor seorang anak dalam kategori cerebral palsy. Hal ini dapat dilihat dari keadaan anak tersebut, bila kelainan anggota gerak, baik ditinjau dari segi gejala kelumpuhan maupun gejala gerakan otot, maka anak tersebut termasuk kelompok cerebral palsy (A. Salim (1996: 31).

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang hidup di alam semesta ini hakikatnya menginginkan kehidupan yang bahagia dan terbebas dari suatu penyakit. Namun semua kembali pada garis takdir yang telah ditentukan dari Tuhan. Untuk itu sebagai manusia hanya mampu menjalani dan menerimanya. Shaver dan Friedman (Akbar Heriyadi, 2013) menyebutkan bahwa beberapa esensi kebahagiaan atau keadaan sejahtera, kenikmatan atau kepuasan, di antaranya adalah sikap menerima (acceptance), kasih sayang (affection), dan prestasi (achievement)”. Dari


(23)

8

pendapat diatas dapat diketahui bahwa dalam mencapai kebahagiaan adalah dengan adanya rasa memiliki penerimaan diri (self acceptance).

Penerimaan diri menurut Akbar Heriyadi (2013) merupakan suatu keadaan dimana seseorang memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk yang ada pada diri dan memandang positif terhadap kehidupan yang telah dijalani. Seseorang yang memiliki penerimaan diri akan mengembangkan sikap positif terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan menurut Husniyati (Akbar Heriyadi, 2013: 4):

“Individu yang mempunyai penerimaan diri rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan dirinya, malu, rendah diri akan keadaanya, merasa tidak berarti, merasa iri terhadap keadaan orang lain, akan sulit membangun hubungan positif dengan orang lain, dan tidak bahagia”.

Penelitian mengenai penerimaan diri telah banyak dilakukan, salah satunya yaitu penelitian hubungan antara penerimaan diri dengan penyesuaian diri pada remaja difabel oleh Renaldhi Ardhian Putra (2014). Dalam penelitiannya memaparkan mengenai penerimaan diri beberapa remaja yang mengalami kecacatan tubuh karena suatu musibah yang menimpanya, sehingga harus kehilangan bagian-bagian tubuhnya yang biasa disebut dengan penyandang difabel. Penelitian ini menjelaskan bahwa remaja difabel fisik yang memiliki penerimaan diri yang rendah cenderung merasa tidak puas dengan diri sendiri, yang disebabkan oleh munculnya pikiran-pikiran negatif terhadap kondisi fisik yang dimiliki


(24)

9

remaja difabel pada saat ini, kemudian akan memunculkan perasaan minder terhadap kondisi fisik orang lain yang normal. Sebaliknya penerimaan diri yang tinggi pada remaja difabel fisik akan lebih mudah memahami realitas pada dirinya, hal ini disebabkan oleh remaja difabel fisik dapat menerima kekurangan dan kelebihan serta mampu memahami dan kemudian mengembangkannya. Remaja difabel fisik yang dapat menerima dirinya dengan baik maka akan mampu membuka diri dalam menjalin hubungan sosial dan pribadinya. Selain itu remaja difabel memiliki keaktifan yang akan mendorong untuk mudah bergaul serta keberanian dalam mengemukakan pendapatnya.

Manusia yang sehat akan dengan bebas dapat melakukan hal-hal yang disukai maupun digemari. Hurlock (Muh.Farozin, 2004: 19) menyatakan kesehatan yang baik memungkinkan seseorang ikut serta dalam kegiatan kelompoknya sehingga lebih diterima oleh kelompok dan pada akhirnya menentukan konsep diri positif yaitu sebagai individu yang diterima dengan baik oleh lingkungannya. Semakin rendah penerimaan lingkungan sosial terhadap kecacatan seseorang akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadiannya yang berkaitan dengan lingkungan sosialnya.

Seseorang melakukan interaksi sosial bersama teman-temannya dengan bergerak bebas dan melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti berlari, melompat, dan permainan lainnya. Hal ini dapat dilakukan oleh individu yang kesehatan ataupun fisiknya dalam kondisi baik. Pada


(25)

10

kenyataannya di lingkungan masyarakat tidak semua orang berada dalam kondisi yang sehat dan dapat bergerak bebas, hal ini disebabkan karena sedang menderita suatu penyakit tertentu.

MM (12 tahun) merupakan anak kedua dari dua bersaudara. MM tinggal bersama ayah, ibu serta kakak laki-lakinya yang berusia 14 tahun. Berdasarkan pengamatan langsung peneliti apabila dilihat dari segi ekonomi, MM hidup dalam keluarga yang sangat mampu dan sangat responsif dalam pemenuhan kebutuhan MM. Pekerjaan ibunya sebagai dosen di suatu universitas di Yogyakarta sedangkan ayahnya adalah seorang wirausaha. Seluruh keluarganya sangat memahami dan mengerti sakit yang di derita MM. Tidak hanya memahami penyakitnya saja akan tetapi mereka sangat mendukung kegiatan maupun hal-hal positif yang dilakukan oleh MM. Dalam kegiatan akademik MM tercatat cukup kurang dan tertinggal dibandingkan dengan anak lain yang normal.

MM saat ini duduk dibangku kelas enam SD swasta di daerah Bantul. Setiap tingkat di sekolah MM dibagi menjadi dua kelas, pada pergantian tahun ajaran baru memiliki sistem rolling siswa sesama kelas yang bersangkutan. Hal tersebut mengakibatkan MM tidak selalu satu kelas dengan kedua teman dekatnya yaitu NI, dan VL. Mereka telah menemaninya selama 3 tahun yaitu pada saat kelas 1, 3, 5 sampai saat ini di kelas 6 tanpa melihat kekurangan yang dimiliki MM. Berbeda dengan teman MM yang laki-laki, mereka menjadikannya sebagai bahan olokan selain itu juga menunjukkan sikap tidak suka dan penolakan terhadap


(26)

11

keberadaan MM. Penolakan dari teman-teman tentunya akan menghambat MM dalam bermain bersama dengan teman-temannya, karena anak seusia MM adalah usia senang bermain. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock dalam Rita Eka Izzaty (2008) bahwa pada masa sekolah dasar anak biasa disebut sebagai usia bermain dan berkelompok. Perlakuan ini benar adanya berdasarkan observasi langsung yang dilakukan peneliti. MM memiliki permasalahan pada sosialnya. Setiap kali MM melintas di depan, di dekat maupun di belakang teman-teman laki-laki MM, mereka akan menghindar sambil mengatakan “sing nduwe dalan” (yang punya jalan) dan “ces wugh”(air liur yang terus keluar sehingga diibaratkan seperti bom yang jatuh lalu meledak). Selain itu seluruh barang yang dipegang oleh MM dan tempat yang diduduki MM maupun singgahi mereka akan mengatakan bahwa hal itu menjijikan dan secara sengaja menghindarinya. Pernyataan guru pendamping MM, pada saat MM kelas 4 sering jadi bahan bullying yang mana teman laki-laki sering melempari kertas maupun barang-barang yang lain.

Selain pada permasalahan akademik dan sosial MM juga mengalami permasalahan pada pribadinya. Berdasarkan data yang didapat dari observasi langsung di rumah dan lingkungan rumahnya, perilaku dan sikap yang ditunjukkan akan berbeda saat MM berada di sekolah. Raut wajah bahagia dan semangat yang tinggi saat melakukan suatu kegiatan maupun tugas. Tertawa lepas, memiliki banyak teman bermain dan melakukan hal-hal yang di sukai oleh subjek. Yang mana hal ini jarang


(27)

12

dilakukan oleh MM pada saat dirinya berada di sekolah. MM selalu sendiri berada dalam kelas pada waktu istirahat, pendiam, dan pasif.

Sebagai seorang anak penyandang tunagrahita karena toksoplasmosis yang dideritanya juga mengalami proses pembentukan penerimaan diri. Jika anak mendapatkan respon negatif dari teman-temannya menurut Tin Suharmini (2009) seperti diejek, menolak untuk menjadi teman atau kelompoknya, menyebabkan anak merasa tersisih, dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Apabila anak tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang ada dalam dirinya, dan itu dapat menyebabkan anak menjadi tertekan, depresi, menyesali diri sendiri terus menerus dan jengkel, marah terhadap lingkungan tambah Tin Suharmini (2009). Mendapatkan pengakuan dari orang lain dengan memahami dan menerima kelebihan dan kekurangan kepada penyandang tunagrahita akan mempengaruhi penerimaan diri individu tersebut. Betapa pentingnya dan berpengaruh penerimaan diri bagi seseorang untuk kebahagiaan dalam menjalani kehidupan, begitu juga halnya anak penderita toksoplasmosis. Berdasarkan ragam kekurangan pada penyandang cerebral palsy karena penyakit toksoplasmosis, peneliti ingin mengetahui penerimaan diri anak cerebral palsy dengan studi kasus.


(28)

13 B. Identifikasi Masalah

1. MM termasuk anak berkebutuhan khusus kategori Cerebral Palsy yang disebabkan dari Toksoplasmosis yang dideritanya

2. Permasalahan sosial yang mana terjadi bullying pada MM dari teman-teman laki-laki, karena hambatan kondisi fisik yang kesulitan dalam menahan air liur yang sering keluar yang disebabkan saraf bagian leher lemah sehingga kesulitan dalam berbicara dan yang membuat dirinya dijauhi.

3. Hambatan dalam bidang akademik dengan IQ 61 yang membuat MM lemah dalam mengingat pesan-pesan maupun pelajaran yang diterima dan tertinggal dalam menyelesaikan berbagai tugas dari guru.

4. Perbedaan perilaku subyek pada saat berada di rumah dan sekolah, yang mana MM menjadi pribadi yang aktif saat berada di rumah dan akan menjadi pribadi yang pasif jika berada di lingkungan sekolah.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan, sebagai peneliti memberikan batasan masalah pada penelitian mengenai penerimaan diri anak cerebral palsy yang disebabkan oleh toksoplasmosis yaitu dengan subyek MM sehingga penelitian lebih fokus.


(29)

14 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasanya masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan masalahnya adalah “Bagaimana penerimaan diri MM anak cerebral palsyyang disebabkan oleh toksoplasmosis?”

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui dan mendeskripsikan penerimaaan diri anak cerebral palsy yang disebabkan oleh toksoplasmosis.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian dapat ikut serta menyumbangkan dalam pengembangan khususnya untuk keilmuan Bimbingan dan Konseling dan pada Psikologi Perkembangan anak mengenai penerimaan diri.

b. Hasil penelitian dapat membantu dalam bahan kajian penelitian mengenai anak cerebral palsy yang disebabkan oleh toksoplasmosis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Program Studi Bimbingan dan Konseling

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah terhadap pengembangan keilmuan psikologi pendidikan dan


(30)

15

bimbingan bidang pribadi dan sosial tentang penerimaan diri. Konselor diharapkan dapat membantu dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

b. Bagi Peneliti

1) Menerapkan teori-teori bimbingan dan konseling dalam menangani anak berkebutuhan khusus.

2) Memberikan motivasi pada anak berkebutuhan khusus khususnya anak cerebral palsy yang disebabkan oleh toksoplasmosis.

3) Memberikan wawasan dan pengalaman bagi pendidik yang akan mengajar anak berkebutuhan khusus.

c. Bagi Guru

Memberikan pemahaman dan informasi mengenai anak yang menderita toksoplasmosis hingga mampu dalam menghadapinya dan dapat memberikan pengajaran yang menunjang perkembangan anak dengan tepat khususnya anak cerebral palsy yang disebabkan oleh toksoplasmosis.

d. Bagi Orang tua

Diharapkan dengan penelitian ini orang tua lebih memahami kebutuhan dan hal yang dapat menunjang perkembangan psikologis anak cerebral palsy yang disebabkan oleh toksoplasmosis.


(31)

16 e. Bagi Sekolah

1) Meningkatkan pemahaman mengenai penerimaan diri ABK dan fasilitas bagi anak berkebutuhan khusus terutama anak cerebral palsy yang disebabkan oleh toksoplasmosis.

2) Menyusun dan menetapkan pembelajaran untuk ABK agar terakomodasi kebutuhan belajarnya sesuai dengan kemampuannya.

f. Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus

Siswa berkebutuhan khusus dapat memahami penerimaan diri yang dimiliki sehingga mampu dan mendorong dirinya untuk harus mengembangkan kelebihan yang dimiliki.

g. Bagi Siswa

Siswa dapat memahami penerimaan diri anak tunagrahita yang disebabkan oleh toksoplasmosis atau anak berkebutuhan khusus sehingga lebih mampu menghargai atas keterbatasannya serta mampu mendukung kelebihan yang dimiliki oleh ABK. h. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai penerimaan diri anak cerebral palsy, sehingga dapat dijadikan referensi untuk selanjutnya.


(32)

17 BAB II KAJIAN TEORI

A. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Penerimaan diri berkaitan dengan diri individu yang mana mampu menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya dan menjalankan hidup dengan baik. Hurlock dalam (Dewi Masyithah, 2012) mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara keseluruhan. Chaplin (2004) berpendapat bahwa penerimaan diri adalah sikap yang merupakan rasa puas pada kualitas dan bakat, serta pengakuan akan keterbatasan diri.

Menurut Ryff dalam (Muh Awi) penerimaan diri adalah keadaan dimana seorang individu memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Secara singkat Santrock dalam (Renaldhi, 2014) menyatakan bahwa penerimaan diri sebagai salah satu kesadaran untuk menerima diri sendiri dengan apa adanya. Penerimaan bukan berarti seorang individu menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa berusaha mengembangkan diri dengan lebih baik.


(33)

18

Penerimaan diri yang positif banyak dipengaruhi oleh rasa bangga terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliki, sedangkan penerimaan diri negatif terjadi jika hanya memikirkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya tanpa memikirkan kelebihan yang dimilikinya. Penerimaan diri memegang peranan penting dalam menemukan dan mengarahkan seluruh perilaku, maka sedapat mungkin individu harus mempunyai penerimaan diri yang positif menurut pendapat Renaldhi (2014).

Penerimaan diri yang baik hanya akan terjadi oleh individu yang dapat memahami dan menerima kekurangan dan kelebihn yang dimiliki dengan apa adanya dan hati yang lapang, sehingga mampu mengahadapi kenyataan hidup dengan lebih realistis. Hurlock (1993) menyatakan bahwa seorang individu dengan konsep diri yang yang menyenangkan dan rasional maka dapat dikatakan orang tersebut dapat menyukai dan menerima dirinya.

Menurut Hurlock (1980) anak yang tidak begitu diterima oleh teman-teman sebagaimana diharapkan, sering menjadi tidak puas terhadap diri sendiri dan iri kepada anak yang popular. Tanda-tanda umum ketidak puasan pribadi antara lain adalah kebiasaan menarik diri, sifat mudah dirangsang yang berlebihan, sangat membenci otoritas, depresi yang kronis, meninggikan diri sendiri dengan jalan merendahkan orang lain, dan hiperaktif. Anak yang pemalu, penyegan, menarik diri, misalnya akan meneruskan pola perilaku khas ini


(34)

19

sekalipun ia tahu bahwa perilaku seperti ini dapat memperkecil kemungkinan untuk memperoleh dukungan sosial.

Hurlock (1978) semakin banyak orang yang menyukai dan menerima mereka, semakin senang anak dengan dirinya dan semakin kuat menerima dirinya. Pada saat-saat tertentu anak dapat dengan mudah dapat menerima dirinya, pada saat lain hal itu hampir tak mungkin. Peneriman diri menjadi titik yang terendah akibat sikap sosial yang negatif. Hal ini disebabkan oleh cara anak diperlakukan orang yang berarti baginya dan sebagian dari kesenjangan antara kepribadian yang didambakan – konsep diri yang ideal – dan kenyataan yang dihadapi – konsep diri sebenarnya – yang didasarkan atas pendapat orang lain.

Telah didapat berbagai macam pernyataan pendapat mengenai pengertian penerimaan diri menurut para ahli. Dapat diperjelas kembali bahwa penerimaaan diri adalah suatu kondisi dimana individu dapat memahami kemampuannya, menerima kekurangan dan kelebihan pada dirinya sendiri sehingga dapat menjalani hidup dengan secara realistis. Yang mana penerimaan diri yang baik akan membawa individu ke dalam kehidupan yang bahagia dan dapat menikmati kehidupan pribadi, sosialnya dengan baik pula. Begitu sebaliknya jika individu tidak dapat menerima dirinya dan tidak tercapainya suatu harapan tertentu akan membuat ketidak bahagiaan pada hidupnya.


(35)

20 2. Aspek-aspek peneriman diri

Jersild dalam (Endah, 2013) mengemukakan beberapa aspek-aspek penerimaan diri sebagai berikut:

1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan

Individu memiliki pemikiran yang baik mengenai dirinya secara realistik tentang penampilan dan bagaimana ia terlihat dalam pandangan orang lain. Hal ini bukan berarti individu mempunyai gambaran bahwa dirinya sempurna, melainkan individu mampu melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik tentang keadaan diri yang sebenarnya.

2. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain Individu memiliki pandangan dan mampu menerima kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya sehingga dirinya lebih baik daripada individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu tersebut tidak menyukai hal-hal yang hanya membuang-buang energi untuk melakukan hal-hal yang tidak mungkin dan menyembunyikan segala kelemahan dirinya maupun orang lain. Sebaliknya individu akan melakukan hal-hal yang dapat ia lakukan dengan kemampuan maupun bakat yang dimilikinya dengan leluasa. Individu yang mampu menyikapi kelemahan dan kekuatannya dengan baik maka akan baik pula individu dalam menilai kelemahan dan kekuatan orang lain.


(36)

21

3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri

Individu yang memiliki perasaan inferioritas ialah individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan menunggu penilain yang realistik atas dirinya.

4. Respon atas penolakan dan kritikan

Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, akan tetapi ia mempunyai kemampuan dalam menerima sebuah kritikan untuk diambil hikmahnya. Individu berusaha untuk interokpeksi diri maupun koreksi diri dengan kritikan yang ia dapat. Hal ini penting karena sebagai proses perkembangan dalam mendewasakan inidvidu dan mempersiapkan diri dalam menghadapi masa depannya. Akan berbeda dengan individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru akan menanggapi sebuah kritikan sebagai penolakan terhadap dirinya.

5. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”

Individu yang memiliki penerimaan diri adalah ia mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas kemungkinan individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin untuk mencapainya walaupun dalam jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karena itu, untuk memastikan ia tidak akan kecewa saat nantinya.


(37)

22

6. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain

Kemampuan individu dalam menerima maupun menyukai dirinya sendiri, memungkinkan pula ia mampu menyukai orang lain. Hal ini tentunya membuktikan hubungan timbal balik tersebut mampu membuat individu merasa percaya diri dalam memasuki lingkungan sosial.

7. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri

Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila seorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti ia memanjakan dirinya. Akan tetapi, ia akan menerima bukan menuntut kelayakan dalam kehidupannya dan tidak akan mengambil yang bukan haknya dalam mendapatkan posisi yang menjadi incaran dalam kelompoknya. Individu dengan penerimaan diri menghargai harapan orang lain dan meresponnya dengan bijak. Namun, ia memiliki pendirian yang terbaik dalam berfikir, merasakan dan membuat pilihan. Ia tidak hanya akan menjadi pengikut apa yang dikatakan orang lain.

8. Penerimaan diri, spontanitas, dan menikmati hidup

Individu yang memiliki penerimaan diri akan mempunyai lebih banyak keluasaan untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Ia tidak hanya menikmati keleluasaan sesuatu yang dilakukannya, akan tetapi juga leluasa untuk menolak maupun menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.


(38)

23 9. Aspek moral penerimaan diri

Ia memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa ia nantinya, dan ia tidak menyukai kepura-puraan. Individu ini dapat secara terbuka mengakui dirinya sebagai individu yang pada suatu waktu dalam masalah, merasa cemas, ragu dan bimbang tanpa harus manipulasi diri dan orang lain. 10.Sikap terhadap penerimaan diri

Menerima diri merupakan hal penting dalam kehidupan seseorang. Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin dalam keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain. Hal tersebut merupakan arahan agar dapat menerima dirinya. Invidu yang memiliki penerimaan diri akan membangun kekuatanya untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasannya.

Sedangkan aspek-aspek penerimaan diri menurut Sheerer dalam (Rahayu Satyaningtyas & Sri Muliati A., 2015) dalam (Sulistya: 2005) dapat diukur menggunakan Skala Penerimaan Diri diantaranya sebagai berikut:

1. Memiliki keyakinan akan kemampuan dan sikap optimis menghadapi kehidupan yaitu yakin bahwa kesulitan yang dihadapi pasti mampu diatasi dan tidak mudah menyerah.


(39)

24

2. Berpikir positif terhadap diri sendiri dan tidak menganggap orang lain menolak dirinya yaitu memiliki rasa aman dalam diri sendiri dan dapat bergaul tanpa merasa curiga.

3. Menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan orang lain yaitu tidak takut bergaul pada situasi pergaulan yang berbeda dan tidak malu belajar pada orang lain.

4. Tidak malu dan tidak hanya memperhatikan dirinya yaitu dapat mengekspresikan perasaan dalam bentuk yang tepat dan berusaha memperhatikan orang lain.

5. Berani memikul tanggungjawab terhadap perilakunya yaitu mampu menguasai pikiran, perkataan, maupun perbuatan sebaik mungkin dan berani memikul tanggungjawab atas akibat yang terjadi.

6. Berperilaku menggunakan norma yaitu memiliki prinsip yang baik dan berguna bagi diri sendiri menjadi norma dalam berperilaku. 7. Mampu menerima pujian dan celaan secara objektif yaitu

melakukan evaluasi diri sendiri terhadap kritik yang diterima dan siap mendapat pujian atas prestasinya.

8. Tidak menyalahkan diri atas keterbatasan diri ataupun dalam mengingkari kelebihan yaitu sadar akan keterbatasan tanpa menjadi rendah diri dan berusaha aktif mengembangkan kelebihan yang dimiliki secara maksimal.


(40)

25

Berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri yang telah dijelaskan, peneliti menggunakan aspek-aspek penerimaan diri yang dikemukakan oleh Jersild dalam (Endah, 2013).

3. Ciri-ciri seseorang yang mempunyai penerimaan diri yang baik Allport dalam (Arry Avrilya P, 2015: 5-6) mengungkapkan bahwa seseorang akan menerima dirinya, jika seseorang tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memiliki gambaran yang positif tentang dirinya

Seseorang bisa mendapatkan sisi lain dari dirinya dan tidak berhenti pada kebiasaan dan keterbatasan serta aktivitas yang hanya berhubungan denngan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan sendiri.

b. Seseorang yang dapat mengatur dan bertoleransi dengan keadaan emosi

Dasar individu yang baik adalah kesan positif terhadap dirinya sendiri sehingga dengan demikian seseorang akan dapat bertoleransi dengan frustasi dan kemarahan atas kekurangan dirinya dengan baik tanpa perasaan yang tidak menyenangkan dan perasaan bermusuhan.

c. Dapat berinteraksi dengan orang lain

Dua hal yang menjadi kriteria hubungan interpersonal yang hangat dengan orang lain adalah keintiman dan kasih sayang.


(41)

26

d. Memiliki persepsi yang realistik dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah

Seseorang melihat pada hal-hal yang ada pada dirinya, bukan pada hal-hal yang diharapkan ada pada dirinya sehingga berpijak pada realistis, bukan pada kebutuhan-kebutuhan dan fantasi.

e. Memiliki kedalaman wawasan dan rasa humor

Pribadi dewasa yang mengenal dirinya tidak perlu melimpahkan kesalahan dan kelemahan kepada orang lain, melihat dirinya secara objektif, sanggup menerima dalam hidup dan memiliki rasa humor.

f. Memiliki konsep yang jelas tentang tujuan hidup

Tanpa ini wawasan mereka akan terasa kosong dan tandus. Ada rasa humor akan merosot, sikap religius dan filsafat hidup yang menyatukan memiliki suara hati yang berkembang baik dan mempunyai hasrat kuat untuk melayani orang lain.

4. Faktor faktor penerimaan diri

Hurlock dalam (Endah, 2013) mengemukakan tentang faktor-faktor yang berperan dalam penerimaan diri yang positif sebagai berikut: 1. Adanya pemahaman tentang diri sendiri

Timbul dari kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya serta mencoba menunjukkan


(42)

27

kemampuannya.Semakin individu memahaminya dirinya, maka semakin besar penerimaan individu terhadap dirinya.

2. Adanya harapan yang realistik

Timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain. dengan harapan realistik, akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan tersebut sehingga menimbulkan kepuasan diri.

3. Tidak adanya hambatan didalam lingkungan

Harapan individu akan sulit tercapai bila lingkungan di sekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi (walaupun harapan individu sudah realistik).

4. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan

Tidak adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan lingkungan.

5. Tidak adanya gangguan emosional yang berat

Tidak adanya gangguan emosional yang berat akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia.


(43)

28

6. Pengaruh keberhasilan yang dialami

Keberhasilan yang dialami dapat menimbulkan penerimaan diri (yang positif). Sebaliknya, kegagalan yang dialami mengakibatkan adanya penolakan diri.

7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Individu yang mengidentifikasi diri dengan orang yang well adjusted, dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik, yang dapat menimbulkan penerimaan diri dan penilaian diri yang baik.

8. Adanya prespektif diri yang luas

Yakni memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif diri yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar.

9. Pola asuh dimasa kecil yang baik

Anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai yang dapat menghargai dirinya sendiri.

10.Konsep diri yang stabil

Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil (misalnya, kadang menyukai diri dan kadang tidak menyukai diri), akan sulit menunjukkan pada orang lain siapa ia sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya.


(44)

29

Menurut Hurlock (1978: 259), faktor yang dapat meningkatkan penerimaan diri, antara lain:

a) Aspirasi realistis

Supaya anak menerima dirinya, ia harus realisitis tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai. Mereka harus menetapkan sasaran yang di dalam batas kemampuan mereka, walaupun batas ini lebih rendah dari apa yang mereka cita-citakan.

b) Keberhasilan

Anak harus mengembangkan faktor keberhasilan supaya potensinya berkembang secara maksimal. Memiliki inisiatif dan meninggalkan kebiasaan menunggu perintah apa yang harus dilakukan.

c) Wawasan diri

Kemampuan dan kemauan menilai diri secara realistis serta mengenal dan menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki, akan meningkatkan penerimaan diri. Dengan bertambahnya usia dan pengalaman sosial, anak harus mampu menilai dirinya lebih akurat.

d) Wawasan sosial

Kemampuan melihat diri seperti orang lain melihat mereka dapat menjadi suatu pedoman untuk perilaku yang memungkinkan anak memenuhi harapan sosial. Sebagai kontras perbedaan


(45)

30

mencolok antara pendapat orang lain dan pendapat anak tentang dirinya akan menjurus ke perilaku yang membuat orang lain kesal, dan menurunkan penilaian orang lain tentang dirinya.

e) Konsep diri yang stabil

Bila anak melihatnya dengan suatu cara pada satu saat dan cara lain pada saat lain kadang-kadang menguntungkan dan kadang-kadang tidak, mereka menjadi ambivalen tentang dirinya. Untuk mencapai kestabilan seperti halnya dengan konsep diri yang menguntungkan, orang yang berarti dalam hidupnya harus menganggap anak secara peruntungan sebagian besar waktu. Pandangan mereka membentuk dasar bayangan cermin anak tentang dirinya.

Penerimaan diri individu dapat ditingkatkan dengan adanya faktor-faktor antara lain: aspirasi realistis, keberhasilan, wawasan diri, wawasan sosial dan konsep diri yang stabil. Akan tetapi adapun faktor yang dapat menghambat penerimaan diri seseorang, seperti yang dikemukakan oleh Sheerer dalam (Sutadipura, 1984) antara lain:

a. Sikap anggota masyarakat yang tidak menyenangkan atau kurang terbuka

b. Adanya hambatan dalam lingkungan c. Memiliki hambatan emosional yang berat d. Selalu berfikir negatif tentang masa depan


(46)

31 B. Cerebral Palsy

1. Pengertian Anak Cerebral Palsy

Heri Purwanto (2007: 1) menyatakan anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus dapat diklasifikasi menjadi beberapa kelompok yaitu: Tunanetra, Tunarungu/Wicara, Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, anak gangguan belajar spesifik, slow learner, anak autis, dan anak ADHD. Ditinjau dari sudut statistika menurut Muljono, A & Sudjadi (1994) yang dimaksud dengan anak luar biasa ialah yang menyimpang dari kriteria normal atau rata-rata. Kirk dan Gallagher dalam Muljono, A & Sudjadi (1994: 10) mengklasifikasikan anak luar biasa ke dalam lima kelompok, yaitu:

1. kelainan mental, meliputi anak-anak

(a) yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (intellectually superior) dan

(b) yang lamban dalam belajar (mentally retarded) 2. kelainan sensoris, meliputi anak-anak dengan

(a) kerusakan pendengaran (auditory impairments) dan (b) kerusakan penglihatan (visual impairments)

3. gangguan komunikasi, meliputi anak-anak dengan (a) kesulitan belajar (learning disabilities) dan

(b) gangguan dalam berbicara dan bahasa (speech and lenguage impairments)


(47)

32 4. gangguan perilaku, meliputi

(a) gangguan emosional (emotional disturbance) dan

(b) ketidaksesuaian perilaku sosial atau tunalaras (social maladjustment) dan

5. tunaganda atau cacat berat, meliputi macam-macam kombinasi kecacatan, seperti : cerebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan tunagrahita, dan sebagainya.

Cerebral palsy menurut Heri Purwanta (2007) termasuk anak

berkebutuhan khusus dalam kelompok anak dengan gangguan anggota gerak (Tunadaksa) yang mana gangguan terjadi pada fungsi syaraf otak (cerebral palsy). Tunadaksa sama sekali tidak sama dengan cerebral palsy menurut Tin Suharmini (2009). Sujihati Somantri dalam Tin Suharmini (2009) mengatakan bahwa cerebral palsy dan tunadaksa harus dibedakan. Tunadaksa sama sekali tidak dapat menggerakkan bagian tubuhnya yang mengalami kerusakan, sedang cerebral palsy masih dapat menggerakkan tubuhnya yang terserang waluapun gerakannya terganggu karena ada kelainan pada otot.

Cerebral artinya otak, sedangkan palsy artinya ketidakmampuan motorik, sehingga cerebral palsy dimaksudkan sebagai ketidakmampuan motorik atau bergerak yang disebabkan karena tidak berfungsinya otak (Krik dalam Muljono, A & Sudjadi (1994: 80). Menurut academy of cerebral palsy (AACP) dalam A. Salim (1996: 13), bahwa CP adalah berbagai perubahan yang abnormal pada organ gerak atau fungsi motor


(48)

33

sebagai akibat dari adanya kerusakan/cacat, luka atau penyakit pada jaringan yang ada di dalam rongga tengkorak. Heri Purwanta (2007) menjelaskan bahwa Cerebral Palsy (CP) mengalami gangguan gerak karena kelayuan otot, atau gangguan fungsi syarat otak.

Jenis ini menurut Tin Suharmini (2009) mengalami kelambatan dalam perkembangan kognitif seperti halnya anak tunagrahita.

Tin Suharmini (2009: 47) menerangkan masalah perkembangan kognitif anak CP yaitu:

Deprivasi pengalaman ini menyebabkan struktur kognitif tidak dapat berkembang seperti halnya anak normal. Dalam teori Piaget dapat dikatakan anak mengalami gangguan untuk mengembangkan skema baru. Semakin besar hambatan anak untuk melakukan proses asimilasi dan akomodasi, maka akan mengalami hambatan yang besar pula dalam perkembangan kognitif.”

Masalah perkembangan sosial anak CP menurut Tin Suharmini (2009: 91) menjelaskan bahwa ;

“Pada anak CP hambatan sosial terjadi terutama dalam komunikasi. Hasil pemeriksaan terhadap anak CP menunjukkan gangguan pada artikulasi dan kemampuan bicara pada anak, bicara anak sulit dimengerti. Pada anak CP juga memerlukan sikap yang positif baik itu dari keluarga, teman-temannya, maupun masyarakat.”

2. Klasifikasi dan karakteristik Cerebral Palsy

Cerebral palsy adalah satu jenis gangguan atau kerusakaan fisik yang paling banyak dijumpai pada aak-anak usia sekolah (Heward & Orlansky dalam Muljono, A & Sudjadi (1994)). Cerebral Palsy dibedakan dalam 5 tipe yaitu:

a. Cerebral Palsy jenis spastik didapati pada sebagian besar anak CP. Spastik berarti mengejang. Anak yang spastic memiliki otot yang


(49)

34

keras dan kadang-kadang kaku serta tidak dapat menggerakkan anggota tubuh dengan baik, gerakannya sering tersentak-sentak (Heward & Orlansky).

Smith & Neisworth dalam Muljono, A & Sudjadi (1994: 82) memberikan ciri-ciri sebagai berikut :

1) Biasanya 40-60% dari anak-anak CP menderita spastik 2) Motor cortex dan pyramidal tract pada otak luka

3) Spastisitas ditandai dengna hilangnya kontrol terhadap kerja otot

4) Otot-otot flexor dan extensor mengkerut bersamaan 5) Gerakan tersentak-sentak dan tak ada koordinasi

b. Cerebral Palsy jenis Choreoathetoid, merupakan suatu istilah yang digunakan untuk seorang anak yang mempunyai gerakan-gerakan yang tiba-tiba dan tanpa disengaja. Pada seorang CP tipe ini, sukar sekali mnegontrol kaki dan tangan dalam melakukan aktivitas (Pueschel).

Heward & Orlansky mengemukakan bahwa ciri seorang anak atheoid :

1) mempunyai gerakan yang tidak beraturan, meliuk-liuk yang tidak dapat mereka kontrol.

2) Pada saat mereka istirahat atau tidur ada gerakan-gerakan kecil atau gerakan-gerakan yang tidak normal.


(50)

35

3) Suatu usaha untk memungut sebatang pensil saja misalnya, ia melakukan gerakan yang kasar, dengna wajah yang seram dan dengna menjulirkan lidah.

4) Anak-anak semacam ini tidak dapat mengontrol otot seperti urat bibir, lidah, tenggorokan, dan juga air liurnya.

5) Pada saat berjalan, tampaknya mereka sperti tersandung-sandung dan gerakan majunya secara tiba-tiba serta kelihatan janggal.

6) Kadang-kadang ototnya menjadi kaku dan pada suatu saat dapat menjadi seperti tidak bertenaga dan lembek; sering disertai dengan kesukaran yang luar biasa pada saat berbicara. 7) Seorang dengan atheoid masih dapat memasukkan jari

tangannya ke dalam mulutnya, akan tetapi dalam gerakan yang tidak terkontrol (Heward & Orlansky dalam Muljono, A & Sudjadi (2009)).

Smith & Neisworth Muljono, A & Sudjadi (2009: 83) menambahkan ciri-ciri tersebut sebagia berikut:

1) Biasanya 15-20% daria anak CP memderita athetosis

2) Karena luka pada bagian depan atau tengah otak dalam system extrapiramidal

3) Athetosis mempunyai cirri gerakan tersentak-sentak, di luar kemauan, lamban, tidak beraturan dan meliuk-liuk


(51)

36

5) Masalah utama serng terjadi pada tangan, pada bibir, dan lidah, dan terakhir pada kaki.

c. Seorang anak dengan CP ataxia memiliki indra keseimbangan dan posisi badan yang kurang baik.. Smith dan Neisworth dalam Muljono, A & Sudjadi (2009: 83) memberikan cirri-ciri ataxia sebagai berikut:

1) Ataxia disebabkan karena kerusakan di dalam cerebellum yaitu di bagian otak yang mengontrol koordinasi otot dan keseimbangan

2) Ditandai dengan terganggunya keseimbangan 3) Gerakan-gerakannya kaku

4) Serakan berjalannya sperti orang yang sedang pusing 5) Penderita ataxia mudah jatuh

6) Keadaannya tidak dapat didiagnosis sampai anak mulai berjalan

d. Cerebral Palsy tipe Rigid (kaku), memperlihatkan kekakuan yang ekstrim pada anggota tubuh dan sendi-sendi, dan sukar bergerak untuk waktu yang lama. Keadaan ini jarag terjadi (Hallahan & Kauffman).

e. Menurut Hallahan jenis CP ini jarang terjadi. Ciri CP jenis tremor ditandai dengna gerakan-gerakan yang tidka berirama, tidak terkontrol, dan tremornya meningkat apabila anak berusaha untuk


(52)

37

mengontrol gerakan-gerakannya. Selain itu Smith dan Neisworth memberikan ciri-ciri sebagai berikut :

1) tremor disebabkan karena luka pada system extrapyramidal 2) ditandai dengan gerakan-gerakan yang tidak disengaja dari

otot-otot flexor dan extensor

3) berbeda dengan athetoid, pada athetoid gerakan-gerakannya banyak danmudah berubah, sedangkan gerakan-gerakan pada tremor sedikit berirama.

Karakteristik Anak Cerebral Palsy menurut A. Salim (1996) sebagai berikut:

1. karakteristik CP ditinjau dari jumlah anggota badan yang berkelainan

a. kelumpuhan pada satu anggota gerak b. kelumpuhan pada dua anggota gerak c. kelumpuhan pada tiga anggota gerak d. kelumpuhan pada empat anggota gerak

2. karakteristik CP ditinjau dari gejala pergerakan otot a. gerakan otot yang kaku (rigid)

b. ada kekejangan otot (spasistik)

c. ada gerakan yang tidak disadari (athetoid)

d. ada gangguan koordinasi dan keseimbangan (ataksia) e. ada gerakan gemetar (tremor)


(53)

38

3. karakteristik penyerta pada anak CP a. karakteristik kecerdasan

b. karakteristik kemampuan bicara c. karakteristik kemampuan mendengar d. karakteristik kemampuan penglihatan e. karakteristik pada aspek tektil dan kinestetik 3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya CP

Faktor-faktor penyebab CP yang termasuk faktor pencetus, terbagi atas 3 macam menurut saat terjadinya menurut A. Salim (1996: 43), yaitu :

1. faktor penyebab sebelum kelahiran, meliputi : a. kalainan herediter

b. kelainan bawaan

c. gangguan lingkungan pada saat kelahiran

2. faktor penyebab yang terjadi saat kelahiran, meliputi : a. paranatal anoxia

b. pendaraha otak bayi

3. faktor penyebab yang terjadi pada proses pertumbuhan dan perkembangan, meliputi:

a. penyakit infeksi b. trauma

c. kecelakaan dan salah bentuk pembuluh darah d. keracunan


(54)

39

f. perkembangan yang terlambat C. Toksoplasmosis

1. Pengertian Toksoplasmosis

Toksoplasmosis menurut Konishi dalam (Indra Chahaya, 2003), suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan penyakit parasit pada manusia dan juga pada hewan yang menghasilkan daging bagi konsumsi manusia. Gibson, MD. (1996) Toxoplasmosis disebabkan oleh toxoplasma gondii, suatu protozoa yang ditemukan pada berbagai spesies burung, hewan dan reptil dengan penyebaran ke seluruh dunia. Menurut soedarto (2012: 2) menyatakan bahwa:

“Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi yang sangat penting baik di Indonesia maupun di dunia karena infeksi pada ibu hamil dapat menimbulkan abortus (keguguran), lahir mati atau kecacatan jasmani, kemunduran mental, dan kebutaan pada bayi yang dilahirkannya”.

Soedarto (2011) protozoa yang hidup di darah dan jaringan ini dapat menyebabkan penyakit toksoplasmosis pada manusia dan hewan. Toxoplasma gondii hidup intraseluler di dalam sel-sel sistem retikulo-enddotel dan sel parenkim manusia maupun hewan mamalia terutama kucing dan unggas. Parasit ini dapat timbul radang dan kerusakan pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, mata, otak dan selaput otak.

Protozoa ini hidup dalam sel epitel usus muda hospes definitif, sedangkan ookistanya dikeluarkan bersama tinjanya. Penularan parasit ini terjadi dengan tertelannya ookista dan kista jaringan dalam daging


(55)

40

mentah atau kurang matang serta transplasental pada waktu janin dalam kandungan (Indra Chahaya, (2003: volume 1)).

Remington & desmonts dalam (Indra Chahaya, (2003: volume 1)) menyatakan bahwa sebagai parasit, Toxsoplasma gondii ditemukan dalam segala macam sel jaringan tubuh kecuali sel darah merah. Tetapi pada umumnya parasit ini ditemukan dalam sel retikulo endotetial dan sistem syaraf pusat.

2. Penularan Toksoplasmosis

Pada manusia penularan toksoplasmosis dapat terjadi melalui cara dapatan (acquired) pada anak maupun orang dewasa dan secara congenital penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya. Penularan secara dapatan terjadi secara oral melalui makanan, melalui udara dan melalui kulit. Penularan per oral terjadi melalui makanan mentah dalam bentuk daging, susu sapi atau telur unggas yang tercemar psedokista parasit, penularan melalui udara atau droplet infection dengan bahan infeksi berasal dari penderita pneumonitis toksoplasmosis dan penularan melalui kulit terjadi akibat sentuhan atau kontak dengan jaringan misalnya daging yang infeksi atau ekskreta hewan yang sakit misalnya kucing, anjing, babi atau rodensia. Selain itu toksoplasmosis dapat ditularkan melalui transplantasi organ, transfusi darah atau masuknya takioit ke dalam tubuh melalui lecet atau luka pada kulit (Soedarto, 2011).


(56)

41

Soedarto (2011) menambahkan bahwa pada toksoplasmosis kongenital penularan pada janin terjadi melalui plasenta dari ibu hamil yang menderita toksoplasmosis. Penularan yang terjadi di awal kehamilan, akan menyebabkan terjadinya abortus pada janin, atau anak lahir dalam keadaan meninggal. Pada infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada trisemester akhir kehamilan, janin yang berada dalam kandungan tidak menunjukkan kelainan. Gejala-gejala klinis toksoplasmosis pada bayi baru terlihat dua tiga bulan pasca kelahiran. Selain melalui plasenta, Toxoplasma gondii dapat ditularkan dari ibu ke anak melalui air susu ibu, jika ibu tertular parasit ini pada masa nifas (puerperium).

Indra Chahaya (2003) menyatakan bahwa setelah tubuh terinfeksi T. gondii akan terjadi suatu proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Parasit memperbanyak diri dalam jumlah besar pada jaringan retikuloendotelial dan otak. Pada tahap kedua merupakan tahap pembetukan antibodi setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga merupakan fase kronik, terbentuknya kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.

Secara singkat menurut Gibson, MD., (1996) penularan pada manusia dapat terjadi:


(57)

42 a. Didapat:

Ditularkan dari hewan, misalnya sapi, domba, babi, kucing, anjing dan hewan pengerat lainnya.Transmisi dari hewan ke orang mungkin melalui pencernaan, inhalasi droplet yang infeksius. Penularan secara dapatan ini biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Namun menurut Zaman & Keong dalam (Indra Chahaya, 2003) gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala.

b. Kongenital:

Ditularkan dari ibu yang terindeksi kepada anaknya melalui plasenta. Jika ibu yang terinfeksi pada awal kehamilan, bayi akan mengalami abortus atau lahir mati, sedang jika ibu terinfeksi pada akhir kehamilan, bayi dapat lahir hidup, tetapi dapat menunjukkan tanda-tanda infeksi beberapa minggu atau bulan berikutnya. Ada kemungkinan penularan melalui air susu ibu. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata.

Menurut Zaman & Keong dalam (Indra Chahaya, 2003) gambaran klinis toksoplasmosis dapat bermacam-macam yakni ada yang nampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada


(58)

43

gambaran eritroblastosis, hidropsfetalis dan triad klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrade sabin yang disertai kelainan psikomotorik.

Toksoplasmosis dapatan maupun kongenital sebagian besar asimtomatis atau tanpa gejala. Namun keduanya dapat bersifat akut kemudian akan menjadi kronik dan laten. Gejalanya sulit dibedakan dengan penyakit lainnya karena gejala tidak nampak secara spesifik. Organisme diduga menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Jaringan yang biasanya terkena adalah otak, paru, hati, limpa, ginjal, kelenjar limfe, otot, sumsum tulang, kelenjar adrenal.

3. Epidemiologi

Toksoplasma gondii telah ditemukan di seluruh dunia termasuk di Indonesia baik manusia maupun hewan. Infeksi terjadi di mana kucing mengeluarkan ookista bersama tinjanya sebagai bentuk penularan pada manusia atau hewan lain. Gandahusada dalam (Indra Chahaya, 2003) ookista yang dihasilkan oleh seekor kucing dalam sehari mencapai 10 juta selama dua minggu. Ookista dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama sampai lebih dari satu tahun di keadaan tanah, lantai maupun tempat lain yang lembab dan teduh. Sedangkan tempat yang kering dan terpapar matahari langsung dapat memperpendek hidupnya. Ookista ini dapat hidup lebih dari satu tahun di tanah yang lembab. Bila ookista tertelan oleh tikus, tikus terinfeksi dan akan terbentuk kista dalam otot dan otaknya. Bila tikus dimakan kucing, maka kucing


(59)

44

akan tertular lagi. Bila ookista ini tertelan oleh manusia atau hewan lain, maka akan terjadi infeksi. Misalnya kambing, sapi dan kuda pemakan rumput yang mungkin tercemar tinja kucing yang mengandung ookista, dapat terinfeksi. Juga ayam dan burung yang mencari makan di tanah (misal cacing tanah) juga dapat terinfeksi. Manusia juga dapat tertular dengan ookista tanah, misalnya bila makan sayur-sayuran mentah yang tercemar tinja kucing, atau setelah berkebun lupa mencuci tangan sewaktu mau makan. Anak balita yang bermain di tanah juga dapat terinfeksi oleh ookista (Indra Chahaya, 2003).

Jewetz Ernest (1986) mengemukakan bahwa trofozoit (stadium perkembangan parasit) secara langsung merusak sel dan mempunyai predileksi sel parenkhim dan sel sistem retikuloendotel. Manusia relatif resisten, tetapi infeksi ringan kelenjar getah bening yang menyerupai monukleosus infeksidiosa dapat terjadi. Penyebab utama kebutaan dan cacat kongenital lain adalah toxoplasmosis prenatal. Infeksi waktu trismester pertama umumnya mengakibatkan lahir mati atau kelainan utama susunan saraf pusat, meskipun infeksi trismester-ketiga jauh lebih sering. Manisfestasi klinik ini dapat tertunda lama hingga setelah lahir, bahkan setelah lahir, bahkan setelah masa kanak-kanak. Masalah neurologik atau kesulitan belajar mungkin, memang disebabkan oleh efek toxoplasmosis prenatal yang tertunda-lama.


(60)

45 D. Akhir Masa Kanak-Kanak Akhir

1. Pengertian Masa Kanak-Kanak Akhir

Usia akhir masa kanak-kanak (Late childhood) berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Usia ini dimulai dengan seorang anak memasuki kelas satu. Sehingga anak mulai mengalami situasi yang baru dan menuntut untuk dapat menyesuaikan diri. Masuk kelas satu adalah suatu hal penting bagi masa kanak-kanak akhir sehingga dapat membuat suatu perubahan dalam bersikap, nilai dan perilaku.

Hurlock (1980) menjelaskan bahwa para ahli psikilogi mendefinisikan akhir masa kanak-kanak adalah usia berkelompok- suatu masa dimana perhatian pokok anak adalah dukungan dari teman-teman sebaya dan keanggotaan dalam kelompok. Akhir masa kanak-kanak juga dapat disebut sebagai usia kreatif yang mana kreativitas anak akan terlihat besar jika anak tidak dihalangi oleh rintangan-rintangan lingkungan, oleh kritik, atau cemoohan orang-orang dewasa atau orang-orang lain, akan mengarahkan tenaga ke dalam kegiatan-kegiatan kreatif. Usia bermain seringkali juga disebut untuk anak pada masa akhir kanak-kanak. Karena luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan kerana banyaknya waktu untuk bermain.

Masa kanak-kanak akhir dibagi menjadi dua fase menurut Rita Eka Izzaty, (2008: 116-117) :


(61)

46

a. Masa kelas-kelas rendah Sekolah Dasar yang berlangsung antara usia 6/7 tahun – 9/10 tahun, biasanya mereka duduk dikelas 1, 2 dan 3 Sekolah Dasar.

b. Masa kelas-kelas tinggi Sekolah Dasar, yang berlangsung antara usia 9/10 tahun – 12/13 tahun, biasanya mereka duduk di kelas 4, 5 dan 6 Sekolah Dasar.

Ciri-ciri khas anak masa kelas-kelas tinggi Sekolah Dasar adalah: a. Perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari b. Ingin tahu, ingin belajar dan realistis

c. Timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus

d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah

e. Anak-anak suka membentuk kelompok teman sebaya atau

peergroup untuk bermain bersama, mereka membuat peraturan

sendiri dalam kelompoknya.

Akhir masa kanak-kanak tidak dapat ditentukan selama kematangan seksual berakhir. Kriteria yang ditunjukkan setiap anak dalam memisahkan antara usia masa kanak-kanak dengan usia masa remaja timbulnya tidak selalu pada usia yang sama. Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam kematangan antara anak laki-laki dan perempuan.


(62)

47

2. Karakteristik Masa Kanak-Kanak Akhir

Ada tiga label yang menunjukkan karakteristik anak pada masa kanak-kanak akhir menurut Hurlock (1980), label orang tua, pendidik dan ahli psikologi antara lain :

a. Label yang digunakan oleh orang tua 1. Masa yang menyulitkan

Masa di mana anak tidak mau lagi menuruti perintah dan di mana ia lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya dari pada oleh orang tua dan anggota keluarga lain.

2. Usia tidak rapi

Suatu masa di mana anak cenderung tidak memperdulikan dan ceroboh dalam penampilan, dan kamarnya sangat berantakan. 3. Usia bertengkar

Suatu masa di mana banyak terjadi pertengkaran antarkeluarga dan suasana rumah yang tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga.

b. Label yang digunakan oleh para pendidik 1. Usia sekolah dasar

Pada usia tersebut anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu, baik keterampilan kurikuler maupun ekstra kurikuler.


(63)

48

2. Periode kritis dalam dorongan berprestsi

Suatu masa di mana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses. Sekali terbentuk, kebiasaan untuk bekerja dibawah, diatas atau sesuai dengan kemampuan cenderung menetap sampai dewasa.

c. Label yang digunakan ahli psikologi 1. Usia berkelompok

Suatu masa di mana perhatian utama anak tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota kelompok, terutama kelompok bergengsi dalam pandangan teman-temannya.

2. Usia penyesuaian diri

Masa di mana anak ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam penampilan, berbicara, dan perilaku. 3. Usia kreatif

Suatu masa dalam rentang kehidupan di mana akan ditentukan apakah anak-anak menjadi konformitas atau pencipta karya yang baru dan orisinil.

4. Usia bermain

Usia dimana luasnya minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyaknya waktu untuk bermain


(64)

49

3. Tugas-tugas Perkembangan Masa Kanak-Kanak Akhir

Adapun tugas-tugas perkembangan pada masa kanak-kanak akhir menurut Rita Eka Izzaty, (2008: 103-104)

a. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain

b. Sebagai makhluk yang sedang tumbuh, mengembangkan sikap yang sehat mengenai diri sendiri

c. Belajar bergaul dengan teman sebaya

d. Mulai mengembangkan perasaan sosial pria atau wanita

e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung

f. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari

g. Mengembangkan kata batin, moral dan skala nilai

h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga i. Mencapai kebebasan pribadi

E. Penerimaan Diri Anak Tunagrahita yang disebabkan oleh Toksoplasmosis

Pembentukan penerimaan diri setiap individu berbeda-beda begitupula pembentukan penerimaan diri MM yang menyandang sebagai anak berkebutuhan khusus dalam kelompok tunadaksa jenis cerebral palsy. Cerebral palsy yang disebabkan oleh infeksi, yaitu infeksi dari Toksoplasma gondii sehingga ia mengidap suatu penyakit toksoplasmosis


(65)

50

yang telah diderita semenjak dirinya masih kecil. Penerimaan diri suatu hal yang tidak dapat dihindarkan lagi bagi setiap individu. Menerima diri sendiri sebagai salah satu faktor yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapai sebuah kebahagian dalam hidup. Menerima dan mengakui kelemahan diri tentu bukan hal yang mudah bagi sebagian individu.

Individu yang tidak dapat menerima dirinya sendiri akan membuatnya sulit dalam menghadapi dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan bahagia dan merasa aman. Individu secara sengaja akan menarik diri dari kehidupan sosialnya terutama dalam hubungan sebuah pertemanan.

Menderita suatu penyakit yang tidak biasa sehingga membuatnya memiliki kekurangan dimana tak mampu berkomunikasi dengan baik layaknya teman-teman normal lain sudah menjadi suatu kendala bagi MM. Menjadi seorang individu yang berbeda dengan banyak kekurangan tentunya hal yang akan membuat beban pikiran tersendiri. Dipandang sebelah mata, dianggap menjadi seorang yang berbeda tentunya menjadi beban sosial bagi MM.

Dipandang lain atau sebelah mata dari lingkungan masyarakat maupun teman sepermainan berpengaruh pada kehidupan sosial seperti MM. Individu biasanya akan merasa rendah diri dengan masyarakat sekitar. Membuatnya tak mampu mengekspresikan perasaan dengan tepat.

Memiliki suatu kekurangan tertentu sudah menjadi beban tersendiri bagi individu. Kurang dapat memahami diri sendiri atas kekurangannya


(66)

51

tentu akan membuatnya kesulitan dalam mengekpresikan perasaan yang dirasakan. Memahami diri sendiri kesulitan kemungkinan dalam memahami orang lainpun juga tak mampu. Ketidakmampuan dalam memahami diri dan orang lain akan berpengaruh pula dalam berperilaku.

Pada hakikatnya sebagaimana individu yang hidup ditengah masyarakat harus mampu menempatkan diri dalam berperilaku dan mempertanggung jawabkan segala yang dilakukannya. Dimana hidup dalam bermasyarakat tidak lepas dari aturan maupun norma tertentu dalam berperilaku baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.

Tingkah laku yang ditunjukkan antara individu satu dengan individu lain tidak selalu sama. Tidak lain pula dengan perilaku yang ditunjukkan oleh individu yang dianugerahkan dalam keadaan sehat maupun mengidap suatu penyakit tertentu juga akan berbeda. Segala perilaku yang diperbuat individu akan mendapatkan suatu anggapan tertentu dari orang lain, baik itu sebuah pujian maupun celaan.

Individu yang dapat menerima kritik maupun sebuah pujian atas perilaku yang diperbuat akan membuat dirinya dapat mengevaluasi diri hal mana saja yang harus diperbaiki dan yang seharusnya ditingkatkan. Karena individu yang memiliki kekuranganpun juga pasti akan memiliki kelebihan, yang mana kelebihan tersebut jika ditingkatkan akan menuai sebuah prestasi tertentu. Tidak selamanya menjadi seorang yang memiliki banyak kekurangan dalam diri pasti memiliki seuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dimana semua yang ada di diri individu sudah menjadi


(67)

52

campur tangan Tuhan. Individu sendirilah yang menentukan jalan hidupnya.

F. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana persepsi MM mengenai diri dan sikap terhadap penampilannya?

2. Bagaimana sikap MM terhadap kelemahan dan kekuatan diri dan orang lain?

3. Bagaimana penilaian MM terhadap penerimaan dirinya? 4. Bagaimana respon MM terhadap kritikan yang diterimanya? 5. Bagaimana pandangan MM mengenai real self dan ideal self?

6. Bagaimana pandangan MM mengenai peneriman diri dan penerimaan orang lain?

7. Bagaimanakah cara MM dalam penerimaan diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri?

8. Bagaimana pandangan MM dalam menikmati hidup?

9. Bagaimana pandangan MM terhadap nilai moral dalam penerimaan diri?


(68)

53 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitan

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2010: 4) metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Salah satu jenis penelitian kualitatif adalah penelitian dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus (case study) menurut Ghony & Fauzan (2012) adalah penelitian yang diarahkan untuk menghimpun data, mengambil makna, dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut. Kasus yang diteliti dapat pula merupakan kasus tunggal (single case) atau kasus jamak (collective case). Kasus dapat satu orang, satu kelas, atau beberapa sekolah tetapi dalam satu kecamatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati penerimaan diri pada anak usia anak-anak akhir yang menderita penyakit Toksoplasma. Menurut Ghony & Fauzan (2012) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Satori & Aan (2011: 28) penelitian kualitatif bersifat deskriptif yang mana langkah kerja untuk mendeskripsikan suatu objek, fenomena, atau setting sosial terjawantah dalam suatu tulisan yang bersifat naratif. Artinya data, fakta yang dihimpun berbentuk kata atau gambar dari pada angka-angka dan menitikberatkan pendekatan pada pemahaman, pemikiran serta


(1)

199 diri selalu subjek

lakukan setiap berada dalam forum diskusi maupun musyawarah besar/kecil dilingkungan rumah maupun sekolah. Subjek jarang memberikan sebuah pendapat dalam forum diskusi maupun musyawarah dilingkungan sekolahnya. Jika subjek tidak ditanya ia jarang akan memberikan sebuah pendapatnya dan lebih sering untuk selalu mengikuti segala hasil yang telah disepakati. Namun saat ada diskusi kecil dalam lingkungan rumah, MM adalah anak yang dengan aktif selalu memberikan pendapatnya dan tidak selalu memaksa pendapat yang ia sampaikan untuk selalu pendapat lebih sering menanggapi dengan anggukan yang berarti iya, mengangkat bahu dan tangan yang berarti tidak tau dan ikut keputusan yang ada. Saat teman-temannya bercerita MM lebih sering mendengarkan cerita-cerita tersebut. Dan ia jarang untuk bercerita kepada teman-temannya. keputusan dalam kelompoknya dan akan berperilaku pasif.


(2)

200 dilakukan.

Dipandangan teman-temannya ia anak yang pasif dan tertutup. Penerimaan diri, spontanitas, dan menikmati hidup Subjek merasa tidak mampu menolak jika ia dipaksa untuk mewujudkan keinginan teman-temannya dan memilih untuk menjadi anak yang penurut. Hal ini sama dengan pendapat MRF bahwa MM kesulitan dalam menolak hal-hal yang seharusnya tidak harus dilakukan olehnya. Subjek sering mendapatkan pujian dari teman-temannya yang perempuan bahwa hasil lukisannya bagus dan ia akan tersenyum dan melukis dengan raut muka senang dan semangat saat menggoreskan pensil maupun pewarna. Saat temannya meminta isi pensil, makanan-makanan yang ia miliki ia diam dan tidak menolak saat temannya mengambil dalam porsi yang banyak. Lihat Lampiran 14 gambar 4 Subjek kesulitan dalam menolak keinginan temannya dan takut akan kehilangan teman tersebut. Aspek moral penerimaan diri

MM berusaha untuk diam, acuh serta berpura-pura tidak

mendengar dan mengabaikan ejekan-ejekan Teman-teman yang laki-laki sering mengolok-olok subjek dengan sebutan yang bermacam-macam, saat subjek Lihat Lampiran 14. Gambar 11 Subjek sering menarik dari dari keramaian dan memilih untuk berdiam diri menyaksikan kegiatan


(3)

201 yang

dilontarkan teman kepadanya. Subjek dikenal sebagai anak yang suka menutup diri serta

bersembunyi dibalik sosok pendamping dalam setiap kegiatan sekolah. melewati sekolmpok teman-teman laki-laki akan disebut dengan sing nduwe dalan. Jika saat membagikan selembar tugas dari guru disebut cesh wugh. Jika subjek melakukan kegiatan di dalam kelas disebut dengan sing nduwe kelas/dedengko t e. subjek menanggapi ejekan-ejekan dengan respon diam, senyum, menunduk. teman yang lainnya. Sikap terhadap penerimaan diri Ia memiliki semangat yang tinggi saat ia mendapat motivasi dan dukungan dari orang sekitar. Saat mendapatkan motivasi dari rumah subjek akan semangat saat pelajaran disekolah. Mengikuti perintah orang tua maupun saudara yang lainnya. Jika diminta guru untuk maju kedepan kelas harus berani dan tetap percaya diri. Lihat Lampiran 14. Gambar . 4,5,9 & 16

Semangat menegrjakan suatu tugas dengan senang dan semangat saat setelah diberi sanjungan maupun motivasi.


(4)

202 Lampiran 18


(5)

(6)