PENGEMBANGAN BUKU PANDUAN PELAKSANAAN KONSELING INDIVIDUAL DENGAN PENDEKATAN PERSON CENTERED.

(1)

PENGEMBANGA INDIVIDUAL

Di

gun

PROGRA JURUSAN P UN

i

GAN BUKU PANDUAN PELAKSANAAN K L DENGAN PENDEKATAN PERSON CEN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Ari Nugroho Agung Tri Prakoso NIM 09104241025

RAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELI N PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN NIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

JUNI 2015

KONSELING ENTERED

LING BINGAN


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Ada satu hal di dunia ini yang tak terbuat dari batu, tak dapat mereka lihat, tak dapat mereka sentuh, dan sepenuhnya milikmu.

Hal itu adalah Harapan.” (Andy Dufresne)

Mengapa harus sibuk menjadi seperti orang lain jika anda begitu berharga dan satu-satunya ?


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya Ilmiah ini disusun sebagai tanda terimakasih kepada:

Bapak, Ibu dan kakak-adikku tercinta dengan segala ketulusan do’a dan harapannya.

Almamater Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Ilmu Pendidikan, khususnya program studi Bimbingan dan Konseling

Sahabat-sahabatku yang telah memberikan berbagai macam warna dalam hidup.


(7)

vii

PENGEMBANGAN BUKU PANDUAN PELAKSANAAN KONSELING INDIVIDUAL DENGAN PENDEKATAN PERSON CENTERED

Oleh

Ari Nugroho Agung Tri Prakoso NIM. 09104241025

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan buku panduan pelaksanaan konseling individual dengan pendekatan person centered. Hal tersebut dikarenakan sebagian guru BK masih belum memahami teknik dan langkah praktik pelaksanaan konseling person centered, sehingga belum bisa secara tuntas menangani masalah siswa yang disebabkan kesenjangan antara real self dan ideal self.

Subjek penelitian ini adalah guru Bimbingan dan Konseling (BK) SMA di Kabupaten Klaten sebanyak 6 orang yang terdiri dari guru BK SMA Negeri 1 Klaten dan SMA Negeri 2 Klaten. Produk dari penelitian berupa buku panduan konseling person centered yang diujikan kepada ahli materi, ahli media dan pengguna dengan menggunakan instrumen berupa skala penilaian. Tahap penelitian yang dilakukan menggunakan tahap penelitian pengembangan R&D dari Borg & Gall yang terdiri dari 10 tahap, namun dalam penelitian pengembangan buku panduan konseling ini dilakukan hingga tahap ke tujuh Main Product Revision yaitu penyempurnaan produk berdasarkan hasil uji lapangan utama.

Setelah melalui hasil uji coba ahli dan pengguna, buku panduan konseling person centered dinyatakan layak sebagai panduan dalam pelaksanaan konseling individual. Adapun hasil penilaian dari ahli yaitu ahli materi dengan skor 3,54 (baik), dari ahli media dengan skor 2,91 (baik), sedangkan dari uji coba pengguna diperoleh skor 3,29 (baik).


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan nikmat sehat dari-Nya, skripsi yang berjudul “Pengembangan Buku Panduan Pelaksanaan Konseling Individual dengan Pendekatan Person Centered” ini dapat disusun dan diselesaikan. Adapun tujuan penyusunan skripsi ini adalah memenuhi salah satu tugas persyaratan guna memperoleh gelar sarjana SI kependidikan program studi Bimbingan dan Konseling. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas akhir ini diselesaikan berkat bantuan, bimbingan dan peran serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penyusunan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, yang telah berkenan memberikan ijin penelitian skripsi.

2. Ketua Jurusan PBB yang telah memberikan kemudahan dan berkenan memberikan ijin penelitian.

3. Ibu Rosita Endang Kusmaryani M.Si. selaku pembimbing I dan Bapak Agus Triyanto, M.Pd. selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, nasihat hingga penyusunan skripsi ini bisa selesai. 4. Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah berbagi ilmu

dan pengetahuan yang bermanfaat untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. 5. Guru BK SMA Negeri 1 Klaten dan guru BK SMA Negeri 2 Klaten yang


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Batasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Pengembangan ... 10

F. Spesifikasi Produk ... 10

G. Manfaat Pengembangan ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konseling Individual 1. Pengertian Konseling Individual ... 13

2. Tujuan Konseling Individual ... 17

3. Proses Konseling Individual ... 21

B. Teori Person Centered 1. Kedudukan Teori dalam Proses Konseling ... 28

2. Konsep Dasar Person Centered ... 30


(11)

xi

4. Tujuan Konseling Person Centered ... 34

5. Peran Konselor Person Centered ... 35

6. Proses Konseling Person Centered ... 37

7. Teknik Konseling Person Centered ... 38

C. Buku Panduan 1. Pengertian Buku Panduan ... 40

2. Aspek dalan Buku Panduan ... 41

3. Tujuan Buku Panduan ... 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 45

B. Prosedur penelitian ... 48

C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian ... 50

2. Waktu Penelitian ... 50

D. Uji Coba Produk ... 50

1. Uji Coba Tahap Pertama ... 50

2. Uji Coba Tahap Kedua . ... 50

E. Jenis Data Uji Coba ... 51

F. Subjek Penelitian ... 51

G. Metode Pengumpulan Data ... 53

H. Instrumen Pengumpulan Data ... 53

1. Instrumen untuk Ahli Materi ... 54

2. Instrumen untuk Ahli Media... 57

3. Instrumen untuk Pengguna Panduan ... 58

I. Tekhnik Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 63

1. Deskripsi Subjek... 63

2. Deskripsi Hasil Penelitian a. Tahap 1 (Pra Pengembangan) 1) Analisis Kebutuhan... 64


(12)

xii

2) Kajian Literatur... 65

3) Perencanaan Buku Panduan... 65

b. Tahap 2 (Pengembangan) 1) Penyusunan Buku Panduan... .. 66

2) Uji Coba Awal (Preliminary Test)... 67

a) Uji Coba Awal Tahap Pertama... 68

(1) Uji Coba Ahli Materi... 68

(2) Uji Coba Ahli Media... 69

(3) Revisi Awal... 73

b) Uji Coba Awal Tahap Kedua... 79

(1) Uji Coba Ahli Materi... 79

(2) Uji Coba Ahli Media... 79

3) Uji Coba Lapangan... 82

Revisi Akhir... 83

B. PEMBAHASAN... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 89

C. Keterbatasan Pengembangan ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Skala Penilaian... 61 Tabel 2. Hasil Uji Coba Awal Tahap Pertama oleh ahli Materi………... 71 Tabel 3. Hasil Uji Coba Awal Tahap Pertama oleh Ahli Media ……... 72 Tabel 4. Hasil Uji Coba Awal Tahap Pertama oleh Ahli Materi……….. 80 Tabel 5. Hasil Uji Coba Awal Tahap Pertama oleh Ahli Media …..…... 81 Tabel 6. Hasil Penilaian Uji Coba Lapangan oleh Guru BK... 84


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Langkah Penelitian Pengembangan Borg & Gall... 46

Gambar 2. Tahap Penelitian Pengembangan Produk Buku Panduan konseling Person Centered... 49

Gambar 3. Cover Buku Panduan Draft 1... 67

Gambar 4. Revisi Desain Cover Awal... 77

Gambar 5. Revisi Desain Halaman Tahap Pertama... 77

Gambar 6. Revisi Desain Cover Akhir... 85


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Kisi-kisi Instrumen Skala Penilaian Untuk Ahli Materi ... 94

Lampiran 2. Instrumen Skala Penilaian Untuk Ahli Materi ... 96

Lampiran 3. Kisi-kisi Instrumen Skala Penilaian untuk Ahli Media ... 99

Lampiran 4. Instrumen Skala Penilian untuk Ahli Media ... 101

Lampiran 5. Kisi-kisi Instrumen Skala Penilaian untuk Pengguna ... 103

Lampiran 6. Instrumen Skala Penilaian untuk Pengguna ... 105

Lampiran 7. Daftar Literatur... 108

Lampiran 8. Data Hasil Penilaian oleh Ahli Materi (tahap 1)... 110

Lampiran 9. Data Hasil Penilaian oleh Ahli Media (tahap 1)... 112

Lampiran 10. Data Hasil Penilaian oleh Ahli Materi (tahap 2)... 114

Lampiran 11. Data Hasil Penilaian oleh Ahli Media (tahap 2)... 116

Lampiran 12. Data Hasil Penilaian oleh Pengguna (tahap 1)... 118

Lampiran 13. Surat Izin Penelitian ... 120

Lampiran 14. Surat Keterangan Penelitian ... 121


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan ialah upaya memanusiakan manusia. Seorang bayi manusia hanya akan dapat menjadi manusia sesuai dengan tuntutan budaya hanya dengan melalui pendidikan (Prayitno dan Erman Amti, 1994: 183). Bimbingan dan konseling merupakan bagian dari pendidikan. Sebagai bagian dari pendidikan, bimbingan dan konseling tidak pernah keluar dari koridor tujuan dan ciri pendidikan itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, bimbingan dan konseling memiliki asas normatif sebagai bukti bahwa bimbingan dan konseling merupakan langkah nyata bagi tercapainya tujuan pendidikan serta menunjang proses dari pendidikan itu sendiri. Hal tersebut dapat diterima karena program-program bimbingan konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya yang berada dalam lingkup kematangan dan karir, kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial (Prayitno dan Erman Amti, 1994: 99).

Salah satu komponen layanan bimbingan konseling adalah konseling individual. Konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seorang guru bimbingan dan konseling yang terlatih dan berpengalaman, terhadap individu-individu yang membutuhkannya, agar individu-individu tersebut berkembang potensinya secara optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah (Sofyan S. Willis, 2004: 18).


(17)

2

Konseling dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling sebagai upaya membantu peserta didik untuk lebih memahami dirinya dan menemukan alternatif-alternatif penyelesaian atas masalah yang sedang dialaminya. Diharapkan dengan adanya layanan konseling peserta didik lebih mandiri dalam menyelesaikan permasalahan pribadi yang sedang dialami, sehingga peserta didik mampu mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah dengan baik tanpa terganggu oleh masalah pribadi yang sedang dialaminya.

Masalah yang dialami seorang konseli atau peserta didik sendiri sangat beragam dan memiliki karakteristik tersendiri. Dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi konseli atau peserta didik yang khas tersebut, membutuhkan berbagai pendekatan teori konseling yang harus diterapkan sesuai dengan karakteristik permasalahan itu sendiri. Konselor atau guru bimbingan dan konseling hendaknya menguasai berbagai teori konseling dan penerapannya terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi konseli atau peserta didik. Hal itu diperlukan agar tujuan dari konseling bisa tercapai. Tujuan konseling itu sendiri adalah kemandirian seorang konseli dalam menghadapi berbagai permasalahan yang datang padanya, serta tercapainya berbagai tahap perkembangan sesuai fase-fase perkembangan peserta didik.

Pada tanggal 5-7 Juni 2013 peneliti melakukan observasi di beberapa sekolah menengah atas negeri dan swasta di Kabupaten Klaten. Data-data yang diperoleh cukup mengejutkan. Di salah satu sekolah negeri, guru bimbingan dan konselingnya tidak mengetahui apa saja teori konseling dan praktik penerapannya. Beliau menuturkan bahwa hal itu disebabkan karena


(18)

3

lamanya beliau lulus dari bangku kuliah dan tidak mengikuti perkembangan teori konseling yang ada. Selain itu, Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) yang diikuti tidak memberikan banyak masukan selain teori konseling yang bersifat literal. Di lain pihak, di sekolah swasta yang peneliti kunjungi guru bimbingan dan konselingnya merupakan alumni bidang studi yang tidak berlatar belakang bimbingan dan konseling. Sehingga, ketika peneliti mencoba bertanya tentang teori konseling beliau terlihat kesulitan dalam menjelaskan. Tentunya berbagai problem tersebut bisa diatasi. Salah satunya dengan adanya buku panduan praktik konseling yang memenuhi standar kelayakan. Namun, berdasar hasil observasi dan wawancara peneliti di Kabupaten Klaten belum ditemukan buku panduan konseling yang memenuhi standar kelayakan.

Penelitian terkait teori konseling pernah dilakukan oleh Rine Medina (2006). Dalam penelitiannya mengungkap bahwa pemahaman yang lebih baik tentang teori konseling oleh konselor akan mempengaruhi efektifitas layanan konseling pada siswa. Dalam penelitiannya menghasilkan ada hubungan fungsional antara pemahaman konselor terhadap teori pendekatan dengan efektifitas layanan konseling. Penelitian ini dilakukan terhadap 30 siswa yang diambil secara acak dan hasilnya adalah 84% kasus ditangani lebih efektif oleh konselor yang memahami teori pendekatan. Terlihat bahwa penggunaan teori pendekatan dalam proses konseling juga sangat berpengaruh terhadap efektifitas layanan yang diberikan, sedangkan dalam kenyataannya sekarang ini masih banyak guru BK yang belum bisa menggunakan teori dalam


(19)

4

konseling secara maksimal. Hal tersebut menyebabkan layanan konseling yang dilakukan kurang efektif, bahkan terkadang guru BK belum bisa menyelesaikan masalah siswa secara tuntas.

Selain itu, penelitian serupa yang sudah dilakukan adalah pengembangan buku panduan konseling Rational Emotive Behaviour oleh Sri Ayu Pujiarti Lestari (2013). Hasil dari studi terhadap 25 guru BK yang tersebar di 10 SMA/SMK di Kabupaten Sleman (Oktober 2012), didapatkan data 72% guru BK yang menjadi responden mengetahui teori konseling dan memahami pentingnya teori dalam konseling individual, tetapi belum sepenuhnya mengaplikasikan teori-teori tersebut dalam pelaksanaan konseling. Hasil penelitian menghasilkan sebuah buku panduan konseling yang bertujuan untuk mempermudah guru BK dalam mengaplikasikan teori Rational Behaviour Theraphy. Namun, tentu saja buku panduan tersebut tidak mampu menjawab permasalahan kasus bercirikan Person Centered, karena antara Rational Emotive Behaviour dan Person Centered merupakan pendekatan yang berbeda dalam melihat dan menangani kasus konseli.

Dalam konseling terdapat berbagai macam teori konseling, salah satunya adalah teori Person Centered. Person Centered merupakan teori konseling yang berpusat pada manusia sebagai individu yang bertanggung jawab dan mandiri dalam mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya. Karakteristik individu bermasalah dalam pendekatan ini adalah terjadinya kesenjangan antara real self dan ideal self yang disertai dengan kecemasan. Individu dalam pendekatan Person Centered dilihat sebagai sosok yang


(20)

5

bertindak untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Pertama, kebutuhan untuk aktualisasi diri. Kedua, adalah kebutuhan untuk dicintai dan dihargai oleh orang lain (McLeod 2006: 185).

Di beberapa sekolah di Kabupaten Klaten peneliti mendapati permasalahan siswa yang terjadi karena pengaruh gaya hidup lingkungan dan menjadikan diri aktual dan diri idealnya tidak sejalan. Salah satu permasalahan yang menarik perhatian peneliti adalah banyaknya siswa-siswi yang menunggak biaya sekolah di SMA Negeri yang tergolong favorit. Berdasarkan penjelasan guru BK yang bersangkutan banyak hal yang menjadi latar belakang permasalahan tersebut, mayoritas adalah uang spp digunakan untuk keperluan lain oleh siswa yang bersangkutan. Siswa X menunggak uang spp karena uangnya digunakan untuk membeli smartphone terbaru. Siswi Y menunggak uang spp karena uangnya digunakan untuk berbelanja. Tentunya banyak faktor lain yang menjadi latar belakang masalah tersebut.

Gaya hidup yang semakin hedonis membuat siswa berusaha menuruti apa saja yang menjadi tuntutan lingkungan. Permasalahan yang mendasar dari beberapa kasus di atas adalah kebutuhan yang terlalu besar untuk aktualisasi diri. Kesenjangan antara real self dan ideal self membuat siswa cenderung melakukan segala cara untuk mencapai ideal self (diri idealnya). Sebagian siswa belum mampu mengenal diri sendirinya, tidak mengetahui apa kelebihan dan kelemahannya, tidak mengetahui cara membuat keputusan yang benar tanpa bantuan orang lain. Kebanyakan siswa lebih suka mengikuti apa yang menjadi gaya hidup di lingkungannya. Meskipun pada realitanya, gaya hidup


(21)

6

tersebut tidak sesuai dan tidak bisa diikuti oleh diri pribadinya dengan melihat kondisi fisik, psikis, sosial, ekonomi yang ada. Oleh karena itu, tugas seorang guru BK adalah membantu siswa untuk menyesuaikan antara real self dan ideal self-nya. Membantu siswa mengenali dan menerima kelebihan dan kelemahan diri, serta dapat mengaktualisasikan keduanya dengan baik.

Siswa bermasalah dari sudut pandang konseling person centered dilihat sebagai individu yang mencoba memenuhi kebutuhan utamanya akan penghargaan dan penerimaan. Namun, pengaruh lingkungan dan gaya hidup yang berkembang di masyarakat menyebabkan siswa merasa akan berharga hanya jika mereka mampu memenuhi syarat-syarat penerimaan dan penghargaan yang ada di lingkungan hidupnya. Di dalam konseling person centered terdapat teknik yang bernama penerimaan dan penghargaan tulus tanpa syarat. Dengan penerapan teknik tersebut konselor menerima dan menghargai konseli tanpa syarat tertentu, yang tentunya sangat baik mengingat hal itulah yang dibutuhkan siswa yang mengalami kondisi tidak kongruen. Dengan penerimaan dan penghargaan tanpa syarat, maka harga diri siswa akan tanpa syarat. Siswa akan mampu mengembangkan nilai yang baik bagi dirinya sendiri, merasa berharga, serta akhirnya akan berpenyesuaian dan beraktualisasi dengan lebih baik. Kesesuaian antara permasalahan di lapangan dan bagaimana teknik Person Centered bisa mengatasinya menarik minat peneliti untuk memilih mengembangkan buku panduan konseling Person Centered.


(22)

7

Menurut hasil observasi yang dilakukan di beberapa perpustakan, toko buku, serta sekolah negeri dan swasta di kabupaten Klaten, belum ditemukan adanya buku panduan pelaksanaan konseling dengan pendekatan konseling Person Centered. Padahal Guru bimbingan dan konseling memerlukan buku panduan tersebut sebagai upaya mendalami konseling Person Centered dan penerapannya secara praktis. Dengan adanya buku panduan konseling tersebut diharapkan Guru bimbingan dan konseling akan lebih efektif dalam menyelesaikan permasalahan siswa. Teori Person Centered memiliki beberapa kelebihan, antara lain adalah konseli dipandang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki tanggung jawab terhadap keputusan-keputusan yang telah dan akan dia ambil, serta konseli akan memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaikan masalahnya. Hal tersebut dimungkinkan dikarenakan Guru bimbingan dan konseling yang menerapkan teori Person Centered memiliki sikap penerimaan yang empatik, perhatian tulus tak bersyarat dan memfasilitasi konseli untuk mengekspresikan perasaan sedalam-dalamnya.

Guru bimbingan dan konseling di sekolah mengharapkan adanya pengembangan buku panduan pelaksanaan konseling yang memenuhi standar kelayakan. Buku panduan tersebut diharapkan menjabarkan langkah-langkah praktis berikut contoh nyata aplikasi keterampilan konseling dengan pendekatan teori Person Centered.


(23)

8 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :

1. Penyelenggaraan proses konseling oleh guru BK belum maksimal karena langkah konseling yang digunakan belum menggunakan kerangka kerja yang semestinya.

2. Permasalahan berkarakteristik Person Centered kerap dialami oleh siswa di sekolah. Kesenjangan antara real self dan ideal self sebagai salah satu gejolak dari fase perkembangan siswa yang masih dalam tahap remaja. 3. Sebagian guru bimbingan dan konseling di lapangan belum mengetahui

secara mendalam teori Person Centered dan pelaksanaannya dalam proses konseling, sehingga penanganan kasus tidak berdasarkan kesesuaian karakteristik permasalahan dengan teori pendekatan konseling yang ada.

4. Belum adanya buku panduan praktik pelaksanaan konseling dengan pendekatan Person Centered di lapangan, sehingga guru BK belum memiliki acuan yang praktis dalam melaksanakan praktik konseling dengan pendekatan tersebut di sekolah.

C. Batasan Masalah

Peneliti membatasi masalah pada belum adanya buku panduan praktik konseling dengan pendekatan Person Centered yang memenuhi standar kelayakan. Buku panduan ini dibutuhkan oleh praktisi bimbingan dan


(24)

9

konseling yang ingin secara mendalam mempelajari praktik konseling individual dengan pendekatan teori Person Centered. Pembatasan masalah dilakukan agar penelitian lebih fokus dan memperoleh hasil yang maksimal.

D. Rumusan Masalah

Terkait dengan kebutuhan guru bimbingan dan konseling di sekolah akan sebuah media buku panduan konseling dengan pendekatan Person Centered, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, apakah peneliti mampu mengembangkan buku panduan konseling Person Centered yang praktis, efektif, dan tepat guna ?

E. Tujuan Pengembangan

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah produk berupa buku panduan praktik pelaksanaan konseling individual dengan pendekatan teori Person Centered yang layak pakai, dikemas secara praktis, dan memiliki desain menarik agar mudah dipelajari dan diaplikasikan oleh Guru bimbingan dan konseling.

F. Spesifikasi Produk

Buku panduan konseling dengan pendekatan Person Centered yang dikembangkan dapat dilihat dari dua aspek dan memiliki spesifikasi sebagai berikut:


(25)

10 1. Tampilan fisik

a. Buku panduan ini dikemas dalam bentuk buku kecil dengan ukuran kertas A5, menggunakan jenis huruf Tahoma dipadu dengan jenis huruf Arial Black dengan ukuran bervariasi.

b. Jenis kertas dalam lembar halaman buku menggunakan kertas HVS berwarna putih, dan pada cover menggunakan kertas jenis Ivory 230. c. Pada lembar isi halaman, desain halaman dibuat semenarik mungkin

dengan penggunaan ilustrasi dan berbagai kombinasi warna. 2. Isi Panduan

a. Membahas tentang pendekatan konseling aliran humanistik yang mampu mengatasi permasalahan yang sering terjadi pada siswa sekolah, yaitu siswa yang mengalami kesenjangan antara diri aktual dan diri idealnya yang dikarenakan pengaruh lingkungan dan gaya hidup yang berkembang.

b. Terdapat materi untuk mengidentifikasi mengenai siswa yang dipandang tidak sehat dalam pendekatan person centered, sehingga guru Bk mampu menganalisa siswa mana yang bisa diselesaikan permasalahannya dengan pendekatan ini.

c. Teknik konseling pendekatan person centered dibahas satu per satu dengan menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga guru BK akan lebih mudah dalam memahami.

d. Terdapat materi contoh kasus dan percakapan wawancara konseling, sehingga memungkinkan guru BK memahami penerapan teknik


(26)

11

konseling dan bagaimana pendekatan person centered bisa mengatasi permasalahan yang ada.

e. Materi dalam buku panduan meminimalisir penggunaan istilah asing sehingga mampu mempermudah pengguna untuk memahami materi panduan secara lebih jelas dan mudah.

G. Manfaat Penelitian Pengembangan

Hasil dari peneilitian pengembangan yang berupa buku panduan konseling individual ini diharapkan bisa memberi manfaat, meliputi :

1. Manfaat penelitian secara teoritis :

a. Pengembangan buku panduan konseling individual dengan pendekatan Person Centered ini diharapkan dapat menambah infromasi atau pengetahuan bagi peningkatan layanan konseling.

b. Dapat menjadi bahan bacaan dan referensi untk pengembangan produk berikutnya agar lebih baik.

2. Manfaat praktis : a. Bagi guru

1) Sebagai panduan dalam melaksanakan proses konseling.

2) Sebagai panduan agar proses konseling dilakukan berdasarkan teori pendekatan yang sesuai, sehingga bisa memfasilitasi kebutuhan siswa.

3) Sebagai panduan agar proses konseling didasarkan pada kerangka kerja yang semestinya.


(27)

12 b. Bagi peneliti

Meningkatan pemahaman mengenai pendekatan dalam konseling khususnya pendekatan person centered dengan lebih mendalam.


(28)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konseling Individual

1. Pengertian Konseling Individual

Menurut Prayitno dan Erman Amti (2004: 99) secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu ”consiliuim” yang berarti ”dengan” atau ”bersama” yang dirangkai dengan ”menerima” atau ”memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari ”sellan” yang berarti ”menyerahkan” atau ”menyampaikan”.

Pada dasarnya layanan konseling berbeda dengan layanan bimbingan. Layanan konseling lebih berfokus pada tahap penyembuhan terhadap konseli yang memiliki masalah. Oleh karena itu, seorang konselor tidak hanya dituntut menguasai keterampilan dasar konseling namun juga harus menguasai teori dan teknik konseling tertentu. Seperti yang disampaikan oleh Gibson dan Mitchell (2011:205) “Konseling sebagai keterampilan dan proses yang harus dibedakan dari sekedar proses pemberian nasihat, memberi pengarahan, bahkan mungkin mendengarkan secara simpatik”. Senada dengan pernyataan diatas, menurut Mc. Leod (2007:12) konseling bukanlah suatu hal yang dilakukan oleh satu orang terhadap orang lainnya, tetapi konseling merupakan interaksi antara dua orang (konselor & konseli).


(29)

14

Mc. Leod (2007:132) juga menjelaskan prinsip dalam konseling, yang membedakan hubungan dalam konseling dengan hubungan-hubungan yang lain yaitu:

a. Being there for the person, seorang konselor tidak menggunakan sesi konseling untuk kebutuhan pribadinya, melainkan demi kesejahteraan hidup konseli.

b. Being trustworthy, konselor harus bisa menjadi seseorang yang bisa dipercaya oleh konseli.

c. Caring, konselor memberikan kepedulian yang tulus terhadap kebutuhan konseli.

d. Belief that change is possible, konselor meyakinkan kepada konseli bahwa segala perubahan adalah mungkin, sesuai harapan konseli. e. Reflexivity, konselor mampu mengendalikan segala macam reaksi

terhadap tingkah laku konseli dan mampu memanfaatkan informasi yang didapat untuk kepentingan konseling agar lebih efektif.

f. Collaborative Stance, apapun yang terjadi dalam proses konseling tergantung dari upaya dan tindakan antarakonselor dan konseli

Menurut Tolbert (Prayitno dan Erman Amti, 2004: 101), pengertian konseling yaitu :

“Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tetap muka antara dua orang dimana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk


(30)

15

memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaanya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan mengguankan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang.”

Bimo Walgito (2004: 7) menambahkan bahwa konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupannya dengan wawancara dan dengan cara yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi individu untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Sugihartono (1982: 20) juga mengungkapkan bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan kepada si terbimbing (individu maupun kelompok) didalam memecahkan problem hidupnya dengan wawancara secara berhadapan muka (face to face) dan dengan cara-cara yang sesuai dengan keadaan individu yang dihadapi, agar si terbimbing dengan kemampuannya sendiri mampu memecahkan problem hidupnya sehingga tercapai kebahagiaan hidupnya

Berdasarkan jumlah konseli, konseling dibedakan menjadi dua jenis yaitu konseling individu dan konseling kelompok. Dalam hal ini, peneliti hanya akan berfokus pada konseling individual. Menurut Gibson dan Mitchael (2011: 205) konseling individual sebagai sebuah hubungan yang melibatkan seorang konselor terlatih dan berfokus ke sejumlah aspek penyesuaian diri konseli, perkembangan atau kebutuhanya dalam


(31)

16

pengambilan keputusan. Konselor yang melakukan proses konseling merupakan orang yang sudah terlatih, sehingga kebutuhan konseli akan terpenuhi secara maksimal.

Sedangkan Prayitno (2001: 86) menyampaikan bahwa layanan konseling individual atau yang ia sebut konseling perorangan yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (konseli) mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi yang dideritanya. Akhmad Sudrajat (2011: 33) juga menambahkan bahwa konseling individual atau disebut juga konseling perorangan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh konsleor kepada konseli yang sedang mengalami suatu masalah, yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi konseli.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari konseling individual adalah proses bantuan yang dilakukan secara tatap muka oleh konselor kepada konseli, terkait pemahaman dan solusi dari masalah yang sedang dialami konseli dengan memaksimalkan potensi yang ada dalam diri konseli.


(32)

17 2. Tujuan Konseling

Secara umum Prayitno dan Erman Amti (2004: 114) menyatakan bahwa tujuan konseling adalah untuk membantu individu mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembanganya dan predisposisi yang yang dimilikinya. Sedangkan secara khusus tujuan dari konseling adalah untuk membantu individu yang mempunyai permasalahan sesuai dengan kompleksitas permasalahannya. Dalam hal ini setiap individu memiliki tujuan konseling yang berbeda karena adanya permasalahan yang berbeda-beda dan memiliki keunikan tersediri. Oleh sebab itu, dalam tujuan konseling tidak boleh menyamakan tujuan invidu (konseli) dengan invidu (konseli) yang lain karena setiap tujuan konseling yang diberikan masing-masing individu juga unik.

Sedangkan menurut Gibson, Mitchel, Basile (Gibson dan Mitchell, 2011: 87-89) beberapa tujuan konseling dapat dibagi sebagai berikut: a. Tujuan-tujuan Pengembangan

Dengan proses konseling, konseli akan dibantu untuk memenuhi atau meningkatkan potensinya dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dirinya (secara sosial, personal, emosi, kognitif, kesejahteraan fisik dan lain-lain)

b. Tujuan-tujuan Preventif

Konselor membantu konseli menghindari sejumlah hasil atau hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian konseling membantu konseli dalam memecahkan permasalahan yang sedang dialaminya.


(33)

18 c. Tujuan-tujuan Peningkatan

Keterampilan konseli dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi akan meningkat dengan adanya bimbingan konselor dalam sesi konseling.

d. Tujuan-tujuan Perbaikan

Konseli dibantu untuk mengatasi atau menangani perkembangan yang tidak diinginkan sehingga setelah sesi konseling kehidupan konseli menjadi lebih baik dan terarah.

e. Tujuan-tujuan Penyelidikan\

Tujuan ini untuk menguji opsi-opsi, pengetesan keahlian dan mencoba aktivitas, lingkungan, hubungan dan lain-lain yang baru dan berbeda. f. Tujuan-tujuan Penguatan

Penguatan digunakan ketika konseli membutuhkan dukungan terhadap apa yang sedang dikerjakan, dipikirkan dan atau di rasa bahwa hal itu adalah baik.

g. Tujuan-tujuan Kognitif

Membantu konseli dalam mencapai fondasi dasar pembelajaran dan keahlian kognitif. Konseli akan mendapatkan pemikiran-pemikiran baru dengan melakukan konseling bersama konselor sehingga tidak hanya terpaku terhadap pemikirannya sendiri. Hal tersebut memungkinkan konseli memiliki pemikiran baru yang lebih tepat dalam menyelesaikan permasalahannya.


(34)

19 h. Tujuan-tujuan Fisiologis

Membantu konseli dalam mencapai fondasi dasar pemahaman dan kebiasaan atau pola hidup yang baik sehingga berpengaruh positif terhadap kesehatannya pula.

i. Tujuan-tujuan Psikologis

Membantu dalam pengembangan keterampilan interaksi sosial yang baik, kontrol emosi dalam belajar, pengembangan konsep diri yang positif, dan lain-lain.

Di lain pihak Coleman (Prayitno dan Erman Amti, 2004: 112) menyatakan bahwa dalam proses konseling, konseli akan mendapatkan manfaat sebagai berikut:

1. Mendapat dukungan selagi konseli memadukan segenap kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pengambilan akhir suatu permasalahan yang diselesaikan dengan konseling ditentukan oleh konseli/ konseli itu sendiri, sedangkan konselor bertugas membimbing dan mendukung setiap langkah yang diambil oleh konseli/konselinya.

2. Memperoleh wawasan baru yang lebih segar tentang berbagai alternatif, pandangan dan pemahaman-pemahaman, serta keterampilan-keterampilan baru. Konseli/ konseli akan mendapatkan pemahaman baru dalam proses penyelesaian masalah yang dilakukannya dengan konselor, sehingga tidak hanya terpaku dengan pemahamannya sendiri.


(35)

20

3. Mampu menghadapi ketakutan-ketakutan sendiri, mencapai kemampuan untuk mengambil keputusan dan keberanian untuk melaksanakannya, kemampuan untuk mengambil resiko yang mungkin ada dalam proses pencapaian tujuan-tujuan yang dikehendaki. Konselor akan membantu konseli/ konseli untuk memahami dirinya sendiri mengenai apa yang terjadi dan potensi yang dapat dilakukan konseli sendiri dalam memecahkan permasalahannya.

Prayitno (1998 : 95) mengungkapkan bahwa tujuan dan fungsi layanan konseling perorangan yaitu memungkinkan siswa mendapatkan layanan langsung secara tatap muka dengan Guru Pembimbing dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahannya. Fungsi utama bimbingan yang didukung oleh layanan konseling perorangan ialah fungsi pengentasan. Kathryn Geldard dan David Geldard (2011: 19) menambahkan bahwa tujuan-tujuan proses konseling meliputi bekerja sama dengan konseli dalam rangka membantunya menghadapi problem-problem mereka dan menemukan penyelesaiannya, membantu konseli mengubah cara berpikir dan/ atau perilaku mereka, menguatkan konseli agar ia dapat mengandalkan diri mereka sendiri dan membantu konseli merasa lebih baik.

Berdasarkan pemaparan ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan konseling adalah membantu konseli menemukan jawaban atas permasalahan yang ia hadapi lewat solusi-solusi yang ia yakini baik bagi dirinya, serta lebih bertanggung jawab akan keputusan yang ia ambil agar


(36)

21

tercapai kepribadiannya yang mandiri dan mencapai kehidupan yang sejahtera.

3. Proses Konseling Individual

Menurut Brammer (dalam Sofyan S. Willis, 2010: 50) proses konseling adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi para peserta konseling tersebut (konselor dan konseli). Dalam terlaksananya proses konseling ini dibutuhkanya keterampilan-keterampilan khusus dan pendekatan teori yang tepat agar tercapai tujuan dari keberlangsungan konseling ini.

Secara umum menurut Sofyan S. Willis (2010: 50-54) proses konseling dibagi menjadi tiga tahapan yaitu:

a. Tahap Awal Konseling

Tahap ini terjadi sejak konseli menemui konselor hingga berjalan proses konseling sampai konselor dan konseli menemukan definisi masalah. Adapaun proses konseling tahap awal yang dilakukan koselor adalah:

1) Membangun Hubungan Konseling yang Melibatkan Konseli. Kunci dari keberhasilan tahap ini yaitu pertama, keterbukaan konselor, kedua, keterbukaan konseli atas isi hati, perasaan, harapan dan sebagainya, dan ketiga, konselor mampu melibatkan konseli terus menerus dalam proses konseling. Ketika sesi awal konseling, seringkali konseli masih menutup diri


(37)

22

terhadap permasalahan yang terjadi pada dirinya, pada konteks ini, seorang konselor hendakny/a mampu memancing konseli dengan membuka diri bisa dengan cara menceritakan kisah atau permasalahan yang terjadi pada orang lain dengan tetap menjaga asas kerahasiaan. Biasanya setelah hal itu dilakukan, konseli menjadi lebih terbuka dan mau mengungkapkan permasalahannya. Selanjutnya, konselor menjaga hubungan yang dinamis dengan konseli agar proses konseling terus berjalan efektif.

2) Memperjelas dan Mendefinisikan Masalah.

Tugas konselor membantu mengembangkan potensi, memperjelas masalah, dan membantu mendefinisikan masalah bersama-sama.Seringkali para konseli belum memahami penyebab dari permasalahan yang ia dialami dan hanya berkutat dengan akibat yang timbul dari permasalahan yang dialami. Dimungkinkan pula para konseli bingung menentukan prioritas masalah yang hendak di selesaikan. Oleh karena itu, pada tahapan ini, konselor membimbing konseli untuk menemukan akar permasalahan dan permasalahan mana yang hendak diprioritaskan untuk dipecahkan.

3) Membuat Penaksiran dan Penjajakan.

Konselor berusaha menjajaki atau menaksirkan kemungkinan pengembangan isu atau masalah, dan merancang


(38)

23

bantuan yang mungkin dilakukan yaitu dengan membangkitkan semua potensi konseli dan dia menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.

4) Menegosiasi Kontrak

Kontrak menggariskan kegiatan konseling, termasuk kegiatan konseli dan konselor. Layanan ini berarti urusan yang saling ditunjang, bukan pekerjaan konselor saja. Disamping itu juga mengandung makna tanggung jawab konseli, dan ajakan untuk kerjasama dalam proses konseling. Beberapa hal yang perlu dinegosiasikan yaitu waktu atau lamanya tiap sesi konseling dan jadwal hari jika dimungkinkan perlu diadakan proses konseling lanjutan, tempat pelaksanaan konseling dan lain-lain.

b. Tahap Pertengahan (Tahap Kerja) 1) Penjelajahan Masalah Konseli

Konselor agar konseliya mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalahnya. Konselor mengadakan reassesment (penilaian kembali) dengan melibatkan konseli. Setelah akar permasalahan ditemukan maka konselor perlu menggali informasi yang diperlukan kepada konseli sehingga berujung pada kemungkinan penemuan alternatif pemecahan masalah.


(39)

24

2) Bantuan Apa yang Akan Diberikan Berdasarkan Penilaian tentang Masalah Konseli.

Berdasarkan penilaian kembali permasalahan konseli yang melibatkan konselor dan konseli maka konseli akan melihat prespektif atau pandangan yang lain yang lebih objektif dan mungkin pula sebagai alternatif jalan keluar.

c. Tahap Akhir ( Tahap Tindakan)

Pada tahap ini konseling ditandai beberapa hal yaitu:

1) Menurunnya kecemasan konseli. Hal ini diketahui setelah konselor menanyakan keadaan kecemasan konseli atau dari bahasa tubuhnya.

2) Adanya perilaku konseli kearah yang positif, sehat, dan dinamik. Setelah pelaksanaan konseling, konseli mampu mengambil keputusan untuk kesejahteraan hidupnya.

3) Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.

4) Terjadinya perubahan sikap positif yaitu mulai dapat mengoreksi diri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, teman, keadaan tidak menguntungkan dan sebagainya. Jadi konseli sudah berfikir realistik dan percaya diri.


(40)

25

Senada dengan hal diatas, Akhmad Sudrajat (2011: 34) juga mengungkapkan bahwa secara umum terdapat tiga tahapan dalam proses konseling individual, yaitu :

a. Tahap Awal

Tahap ini dimulai sejak konseling menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan konseli menemukan masalah konseli. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan oleh konselor, diantaranya : a) Membangun hubungan konseling yang melibatkan konseli

(rapport).

Konselor membangun hubungan yang hangat, penuh kepercayaan kepada konseli agar konseli merasa percaya diri bahwa masalahnya bisa terselesaikan. Raport yang dimaksud akan membuat konseli lebih nyaman menceritakan permasalahan yang sedang dialami secara mendalam & detail.

b) Memperjelas dan mendefinisikan masalah.

Bersama dengan hubungan yang dengan baik tercipta sebelumnya, konselor harus bisa memperjelas akar permasalahan yang sedang dialami konseli.

c) Membuat penaksiran dan perjajagan.

Setelah konselor merumuskan apa yang menjadi permasalahan utama konseli, konselor memperkirakan alternatif solusi yang memberikan peran lebih kepada konseli dalam mennyelesaikan masalahnya.


(41)

26 d) Menegosiasi kontrak.

Membangun perjanjian antara konselor dengan konseli mengenai waktu (lama pertemuan & jumlah sesi), tugas dan tanggung jawab antara konselor dan konseli dalam proses konseling.

b. Inti (Tahap Kerja)

Proses konseling selanjutnya memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan konselor, diantaranya :

a) Menjelajah dan mengeksplorasi masalah konseli lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan untuk menemukan perspektif baru dalam menangani dan menemukan solusi yang bisa diambil dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang dialami konseli. b) Konselor melakukan penilaian kembali, bersama-sama konseli

meninjau kembali permasalahan yang dialami konseli.

c) Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara, hal ini dimungkinkan terlaksana dengan baik apabila konseli merasa senang terlibat dalam wawancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.

d) Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar-benar peduli kepada konseli.


(42)

27

e) Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun konseli.

c. Akhir

Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu:

a) Konselor bersama konseli membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.

b) Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.

c) Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera)

d) Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya. e) Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu :

1) menurunnya kecemasan konseli;

2) perubahan perilaku konseli kearah yang lebih positif, sehat dan dinamis;

3) pemahaman baru dari konseli tentang masalah yang dihadapinya; dan

4) adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.


(43)

28

Berdasarkan pemaparan kedua ahli diatas, peneliti cenderung lebih setuju terhadap pandangan Akhmad Sudrajat (2011: 34) yang secara rinci menyebutkan bahwa terdapat tiga tahapan dalam proses konseling, yaitu : 1) Tahap awal yang meliputi kegiatan membangun hubungan konseling yang melibatkan konseli (rapport), memperjelas dan mendefinisikan masalah konseli, memperjelas dan mendefinisikan masalah konseli, dan melakukan negosiasi kontrak. 2) Tahap kerja/ Inti meliputi kegiatan menjelajah dan mengeksplorasi masalah konseli lebih dalam, konselor menjalin hubungan yang dinamis dengan konseli. 3) Tahap akhir meliputi kegiatan membuat kesimpulan terhadap hasil pelaksanaan proses konseling, menyusun rencana lanjutan, evaluasi proses konseling dan membuat perjanjian pertemuan selanjutnya.

B. Teori Person Centered

1. Kedudukan Teori dalam Proses Konseling

Menurut Nelson-Jones (2011: 9), teori adalah formulasi prisip-prinsip yang mendasari fenomena terobservasi tertentu yang sampai tingkat tertentu telah diverifikasi. Salah satu kriteria keandalan sebuah teori adalah seberapa jauh ia menghasilkan prediksi-prediksi yang dikonfirmasi ketika data empirik yang relevan dikumpulkan. Jadi, data atau fakta bukanlah sebagai pengganti teori melainkan untuk memperkuat teori tersebut.


(44)

29

Nelson-Jones (2011: 9) juga menyebutkan bahwa terdapat tiga fungsi utama teori dalam proses konseling yaitu :

a. Memberikan kerangka kerja konseptual.

Teori memberikan konsep-konsep kepada terapis sehingga memungkinkan mereka untuk memikirkan secara sistematik tentang perkembangan manusia dan terapeutiknya. Terdapat empat dimensi yang menjadikan teori sebagai kerangka kerja konseptual meliputi : pernyataan tentang konsep-konsep dasar atau asumsi-asumsi yang mendasari teori tersebut, penjelasan tentang diperolehnya perilaku yang membantu dan tidak membantu, penjelasan tentang terpeliharanya perilaku yang membantu dan tidak membantu, dan penjelasan tentang cara membantu konseli mengubah perilakunya dan mengkonsolidasikan hal-hal yang telah berhasil dicapainya ketika terapi berakhir. Dengan kata lain, teori membantu konselor untuk dapat menyikapi permasalahan konseli dengan lebih terstruktur dan terarah sehingga proses konseling dapat berjalan efektif.

b. Teori sebagai bahasa.

Proses terapi adalah rangkaian percakapan yang membutuhkan bahasa. Bahasa, dalam hal ini merupakan kosa kata yang digunakan. Dalam setiap teori memiliki kosa kata tersendiri untuk menamai suatu sikap atau peristiwa.


(45)

30

Semua konselor atau terapis adalah peneliti. Ia membuat hipotesis tiap kali mereka memutuskan tentang cara menangani konseli/konseli tertentu dan cara merespons ucapan atau rangkaian ucapan konseli. Konseli juga peneliti yang membuat prediksi tentang bagaimana dirinya sebaiknya mengatur hidup. Oleh karena itu jika seorang konselor menggunakan teori secara tepat, konseli juga akan lebih percaya bahwa konsekuensi terhadap perilakunya kedepan mendapatkan kontrol yang baik dari konselor.

Berdasarkan pemaparan pada bagian latar belakang, menunjukkan bahwa kebanyakan para siswa mengalami permasalahan kesenjangan antara real self dan ideal self. Jika hal itu dibiarkan akan bekembang lebih jauh kearah perilaku negatif. Oleh karena itu, masalah yang bersumber dari kesenjangan antara real self dan ideal self, akan lebih tepat jika diselesaikan dengan konseling yang didukung teori person centered. Meskipun dalam beberapa pelaksanaan konseling perlu diadakan kombinasi antar teori agar konseling lebih berhasil optimal.

2. Konsep Dasar Person Centered

Person centered adalah teori yang dikembangkan oleh Carl Ransom Rogers yang merupakan bagian khusus dari terapi humanistik. Pada mulanya Rogers menyebutnya pendekatan client-centered therapy (terapi berpusat pada klien), tetapi kemudian dia menyadari pentingnya memperlakukan individu yang dibantunya sebagai personal, bukannya


(46)

31

seorang konseli. Maka dari itu ia selanjutnya memakai istilah person-centered therapy.

Pendekatan ini bertujuan untuk membina kepribadian konseli secara integral, berdiri sendiri, dan mempunyai kemampuan memecahkan masalahnya sendiri. Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah artinya sesuai antara gambaran tentang diri yang ideal (ideal self) dengan kenyataan diri sebenarnya (actual self). Kepribadian yang berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar tanggung jawab dan kemampuan. Sebelum menentukan pilihan tentu individu harus memahami dirinya (kekuatan dan kelemahan diri) dan keadaan diri tersebut harus diterima. Senada dengan pernyataan sebelumnya, Sofyan S. Willis (2010: 63) juga menyatakan bahwa person centered yang juga disebut client centered therapy adalah sebuah metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan konseli, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri konseli yang ideal) dengan actual self (diri konseli yang sebenarnya).

Richard Nelson-Jones (2011: 129) menambahkan bahwa person centered adalah pendekatan konseling dan terapi yang dimaksudkan untuk membantu konseli memenuhi potensi unik mereka dan menjadi pribadinya sendiri. Teori ini menentang kecenderungan otoritarian dalam terapi maupun parenting dan mendukung hak-hak konseli untuk menemukan arahnya sendiri. Gibson dan Mitchell (2011: 213) juga mengungkapkan bahwa pendekatan person centered menitikberatkan


(47)

32

kemampuan dan tanggung jawab konseli untuk mengenali cara pengidentifikasian dan cara menghadapi realitas secara lebih akurat. Semakin baik konseli mengenali dirinya, semakin besar kemampuan mereka mengidentifikasi perilaku yang paling tepat untuk dirinya.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan person centered adalah pendekatan yang menitikberatkan pada kemampuan konseli dalam memahami potensi yang dimiliki dan menjadikan potensi tersebut sebagai modal untuk mengidentifikasi perilaku yang paling tepat untuk dirinya. Pendekatan ini memandang individu sebagai pribadi yang mampu membuat keputusan-keputusan sendiri, mempunyai kelebihan dan kekurangan, serta memiliki kapasitas mengaktualisasikannya sebagai pribadi yang bertanggung jawab secara mandiri.

3. Ciri-ciri Pendekatan Person centered

Sofyan S. Willis (2010:64) menyatakan bahwa ciri-ciri pendekatan konseling person centered adalah sebagai berikut:

a. Ditujukan pada konseli yang sanggup memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian konseli yang terpadu. Konseli yang ditangani merupakan konseli yang masih memilki kesadaran penuh terhadap dirinya, sehingga Ia mampu untuk menentukan sikap terhadap dirinya kearah yang lebih baik.


(48)

33

b. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan (feeling) bukan segi intelektualnya. Proses konseling lebih mengutamakan pada kelelauasaan konseli dalam menyampaikan emosi dan perasaannya. c. Titik tolak konseling adalah keadaan individu termasuk kondisi sosial

psikologis masa kini (here and now) dan bukan pada pengalaman masa lalu. Dalam proses konseling dengan pendekatan ini, konseli akan dibawa untuk lebih mengutamakan kondisi saat ini, tidak hanya terbelenggu dengan peristiwa yang telah berlalu.

d. Proses konseling bertujuan untuk menyesuaikan antara ideal self dengan actual self/real self.

e. Peranan yang aktif dalam konseling dipegang oleh konseli, sedangkan konselor adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diam dan pasif akan tetapi berusaha membantu agar konseli aktif memecahkan masalahnya

Pendekatan konseling person centered bisa dikatakan sebagai pendekatan yang sangat humanis. Pendekatan ini memandang bahwa konseli sebagai individu yang penuh potensi dan mampu secara mandiri menemukan solusi atas permasalahan yang dialami. Konselor dalam pendekatan ini hanya berperan sebagai fasilitator konseli untuk mengenal dirinya lebih mendalam. Selain itu, yang membuat unik pendekatan ini adalah kenyataan bahwa pendekatan person centered tidak memiliki teknik tertentu dalam proses konseling. Teknik konseling person centered justru ada di dalam sikap konselor itu sendiri, yaitu memandang konseli


(49)

34

sebagai seorang yang positif, menerima dengan tulus terhadap siapa konseli berserta kelebihan dan kelemahannya, dan apa yang menjadi permasalahannya sehingga mengharuskan untuk datang kepada konselor

4. Tujuan Konseling dengan Pendekatan Person Centered

Konseling person centered bertujuan untuk membina kepribadian konseli secara integral, berdiri sendiri, dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri serta siap untuk menerima segala konsekuensi atas pilihan yang dia buat. Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah artinya sesuai antara gambaran tentang diri yang ideal (ideal self) dengan kenyataan diri sebenarnya (real self). Sedangkan kemampuan berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilhan sendiri atas dasar tanggung jawab dan kemampuan, tidak bergantung kepada orang lain. Oleh karena itu individu perlu memahami dirinya (kekuatan dan kelemahan diri) serta menerima kenyataan dirinya dengan penuh kesadaran.

Dalam hal ini, Rogers (Gibson dan Mitchell 2011: 215) mengungkapkan sejumlah perubahan yang diharapkan muncul dari penggunaan pendekatan person centered yaitu:

a. Konseli bisa melihat dirinya dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.

b. Konseli sanggup menjadi pribadi yang diinginkan.


(50)

35

d. Konseli mampu bersikap lebih dewasa.

e. Konseli menjadi lebih percaya diri (self confident) dan sanggap mengarahkan diri (self directing). Artinya konseli sudah lebih memahami potensi yang ada pada dirinya dan lebih mampu mengidentifikasi sikap atau perilaku yang baik untuk kehidupannya f. Konseli jadi lebih sanggup menerima keberadaan orang lain apa

adanya.

g. Konseli dapat menerima diri dan perasaannya lebih utuh.

h. Konseli berubah dalam karakteristik kepribadian dasarnya dengan cara-cara yang konstruktif.

i. Konseli menjadi lebih fleksibel dalam persepsinya dan tidak lagi keras ke diri sendiri.

5. Peran Konselor pada Pendekatan Person Centered

Gibson dan Mitchell (2011: 216) menyebutkan bahwa peran konselor adalah sebagai fasilitator dan reflektor. Disebut fasilitator karena konselor memfasilitasi atau mengakomodasi konseli mencapai pemahaman diri. Disebut reflektor karena konselor mengklarifikasi dan memantulkan kembali kepada konseli perasaan dan sikap yang diekspresikannya terhadap konselor sebagai representasi orang lain. Pada titik ini, konselor tidak berusaha mengarah kepada “dunia batin” konseli, melainkan lebih fokus ke penyediaan sebuah hubungan terapeutik yang di dalamnya konseli mampu membawa perubahan bagi dirinya.


(51)

36

Corey (1986) menyatakan bahwa dalam konseling dengan pendekatan ini seorang konselor perlu memenuhi fungsi sebagai berikut :

a. Menciptakan hubungan yang permisif, terbuka, penuh pengertian dan penerimaan agar konseli bebas mengemukakan masalahnya b. Mendorong kemampuan konseli untuk melihat berbagai potensinya

yang dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan

c. Mendorong konseli agar ia yakin bahwa ia mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

d. Mendorong konseli agar ia mampu mengambil keputusan dan bertanggungjawab sepenuhnya atas keputusan yang telah ditetapkannya.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa peran konselor dalam pendekatan person centered adalah memfasilitasi konseli dalam pencapaian pemahaman terhadap dirinya serta mendorong konseli bahwa ia mampu membawa perubahan yang lebih baik terhadap dirinya sendiri. Konselor bersikap hanya sebagai pendengar aktif dan sesekali memberikan umpan balik, karena arah dan tujuan konseling pada pendekatan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab konseli, bukan pada konselor.

6. Proses Konseling dengan Pendekatan Person centered

Menurut Willis (2010: 64) tahap-tahap konseling person centered sebagai berikut:


(52)

37

a. Konseli datang kepada konselor dengan sendirinya. Jika konseli datang dengan suruhan orang lain, makan konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar konseli memilih apakah ia akan terus minta bantuan atau akan membatalkanya. Karena pendekatan person centered menekankan pada kebebasan konseli mengungkapkan apa yang ingin Ia utarakan secara sukarela.

b. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab konseli,untuk itu konselor menyadarkan konseli. Pada tahap awal, diperlukan adanya kontrak yang menegaskan mengenai hak dan kewajiban baik konselor dan konseli . Salah satunya berupa penegasan bahwa pada proses konseling ini, kedudukan konseli sebagai pelaku utama dan bertanggung jawab terhadap semua keputusan yang akan diambil.

c. Konselor memberanikan konseli agar ia mampu mengungkapkan perasaanya. Konselor harus bersikap ramah, bersahabat, dan menerima konseli sebagaimana adanya. Langkah pertama yang konselor perlu lakukan yaitu menerima apa adanya. Dengan demikian konseli akan merasa nyaman mengutarakan isi hatinya tanpa keraguan.

d. Konselor menerima perasaan konseli serta memahaminya. Konselor mencoba merefleksikan perasaan yang sedang konseli alami.

e. Konselor berusaha agar konseli dapat memahami dan menerima keadaan dirinya. Dalam hal ini konselor diharapkan mampu membantu konseli memahami real self atau keadaan dirinya baik berupa kekurangan maupun kelebihan atau potensi yang ada pada diri konseli.

f. Konseli menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil (perencanaan). Dengan kemampuan konseli memahami keadaan dirinya sendiri, kedepannya ia akan lebih mampu menentukan sikap yang seharusnya dilakukan demi kebaikan masa depannya.

g. Konseli merealisasikan pilihanya. Setelah menentukan rencana sikap atau perilaku, selanjutnya konseli merealisasikannya dalam kehidupan.

Pemaparan proses konseling tersebut hanyalah gambaran secara umum saja. Proses konseling dengan pendekatan person centered akan berjalan dinamis karena arah dan tujuan konseling akan ditentukan oleh


(53)

38

apa yang disampaikan oleh konseli dan apa yang menjadi tujuannya dalam proses konseling.

7. Teknik – Teknik Konseling Person centered

Rogers (dalam Corey, 1986) menekankan bahwa yang terpenting dalam proses konseling ini adalah sikap konselor, bukan pada teknik yang didesain untuk membuat konselor “berbuat sesuatu” kepada konseli. Dengan adanya perkembangan yang menekankan sikap ini maka ada perubahan-perubahan di dalam frekuensi penggunaan bermacam teknik misalnya : bertanya, penstrukturan, interpretasi, memberi saran atau nasihat. Jadi, apa yang harus dilakukan oleh konselor adalah mewujudkan dan mengkomunikasikan penerimaan, pemahaman, dan penghargaan tulus tanpa syarat.

Rogers (dalam Corey, 1986) menambahkan bahwa terdapat tiga sikap yang perlu dimiliki konselor dan yang saling terkait yaitu :

a. Unconditional Positif Regard (Menerima/perhatian tanpa syarat) Perhatian tanpa syarat ini berarti tidak dicampuri oleh evaluasi dan penilaian-penilaian terhadap perasaan-perasaan, pemikiran-pemikiran, dan tingkah laku konseli sebagai baik atau buruk. Konselor menilai dan menerima konseli secara hangat tanpa syarat pada penerimnaanya. Konseli menerima konseli apa adanya dan mengajari konseli bahwa dia bebas untuk memiliki perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman tanpa merasa khawatir akan ditinggalkan


(54)

39

oleh konselor. Semakin besar kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka akan semakain besar pula peluang untuk menunjang perubahan pada konseli.

b. Congruence (genuineness, or realness) / Jujur

Kejujuran ini mengisyaratkan kepada konseli bahwa konselor tampil apa adanya,terintergrasi, dan otentik selama pertemuan konseling. Konselor yang otentik bersikap spontan dan terbuka dalam menyampaikan perasaan-perasaan dan sikap yang ada pada dirinya, baik negatif maupun positif.

c. Accurate Empatic Understanding (Kemampuan berempati yang tepat) Acurate empatic understanding adalah kemampuan konselor untuk mampu mengerti secara peka dan akurat pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan konseli sebagaimana pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan itu tampil secara interaksi dari sata kesaat dalam pertemuan konseling. Konselor memahami perasaan-perasaan konseli seakan-akan perasaan itu adalah perasaannya sendiri, tetapi juga tidak terlarut didalamnya. Pemahaman yang baik dari empati yang akurat ini mampu mengenali perasaan yang sesungguhnya yang dialami konseli. Konselor membantu konseli memperluas kesadaranya atau perasaanya yang diakui sebagian.

Dengan demikian teknik yang diperlukan dalam konseling dengan pendekatan person centered adalah sikap dari konselor itu sendiri. Sikap


(55)

40

yang dimaksud yaitu upaya konselor untuk membuat konseli merasa diterima serta dihargai sebagai individu yang berbeda, dalam upaya berpartisipasi memahamkan konseli mengenai keadaan dirinya dan membantu konseli untuk mampu menentukan sikap secara mandiri dan bertanggungjawab.

C. Buku Panduan

1. Pengertian Buku Panduan

Upaya memenuhi kompetensi profesional guru BK khususnya dalam pemberian layanan konseling akan lebih terbantu dengan adanya media. Media tersebut dapat berupa media audio, visual maupan kombinasi antar keduanya yaitu audio-visual. Namun. berdasarkan analisis kebutuhan yang peneliti lakukan, para Guru BK membutuhkan suatu media visual berupa buku panduan konseling person centered demi tercapainya upaya penanganan permasalahan yang bersumber dari kesenjangan antara real self dan ideal self.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:172) buku adalah lembar kertas yang berjilid berisi tulisan. Sedangkan panduan adalah pengiring atau petunjuk. Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa buku panduan merupakan sebuah buku yang berisikan petunjuk kepada pembaca untuk melakukan langkah-langkah yang disampaikan dalam buku panduan tersebut dengan mudah. Jadi, buku panduan pelaksanaan konseling person pentered merupakan buku yang


(56)

41

memberikan petunjuk kepada pembaca yaitu guru BK dalam melakukan praktik konseling dengan pendekatan person centered sesuai dengan standar kelayakan.

2. Aspek dalam Buku Panduan

Dalam pembuatan buku panduan, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan agar sesuai dengan kondisi dan keperluan untuk dapat membantu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat (Mulyati Arifin1995:191). Lebih lanjut juga dijelaskan ada 11 aspek golongan kriteria penilaian kualitas buku petunjuk, yaitu :

a. Aspek penulisan dan organisasi buku petunjuk

Organisasi buku petunjuk merupakan sistematika penulisan yang sesuai dan runtut. Bertujuan agar setiap tahap kegiatan tidak ada yang terlewatkan.

b. Aspek kebenaran konsep

Konsep yang dituliskan dalam buku panduan harus dijamin kebenarannya, karena ketika konsep tersebut salah, maka akan banyak pengguna buku panduan tersebut berjalan dengan salah. Hal ini akan sangat membahayakan subjek yang menjadi pelaku percobaan bahkan bisa berakibat fatal.


(57)

42

Keleluasaan konsep yang diterapkan dalam buku panduan bertujuan agar pembaca nantinya bisa mengembangkan lebih luas dari yang tertulis, selama masih dalam batasan-batasan konsep yang sebenarnya. d. Aspek kedalaman konsep

Jika konsep yang dijelaskan dalam buku panduan kurang mendalam, maka pengguna buku panduan akan merasa kebingungan. Idealnya dalam buku panduan dijelaskan konsep yang mendalam agar tidak terjadi kesalahpahaman penggunaan aturan yang tercantum dalam buku panduan.

e. Aspek kejelasan kalimat dan tingkat keterbacaan

Semakin jelas kalimat yang dituliskan dalam buku panduan, maka pembaca akan lebih mudah memahami isinya, sehingga akan terhindar dari kesalahpahaman pengertian petunjuk. Selain itu juga akanmemudahkan subjek untuk melakukan apa yang dituliskan dalam panduan tersebut.

f. Aspek kejelasan kegiatan

Kegiatan yang digambarkan dalam buku panduan harus jelas agar pembaca mengetahui arahan dari tujuan panduan tersebut.

g. Aspek muatan kurikulum.

Jika ada kurikulum yang harus diikuti dalam pembuatan buku panduan, maka rincian petunjuk yang dituliskan juga harus sesuai dengan kurikulum tersebut, agar sesuai dengan secara umum.


(58)

43

h. Aspek tingkat keterlaksanaan kegiatan.

Tingkat keterlaksanaan kegiatan dimaksudkan agar pembaca memahami dengan jelas kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan panduan yang tertulis.

i. Aspek evaluasi

Aspek evaluasi ditujukan agar pembaca bisa menilai sejauh mana keberhasilan yang sudah dicapai setelah melakukan kegiatan sesuai dengan yang dijelaskan dalam buku panduan.

j. Aspek tampilan fisik buku petunjuk.

Tampilan fisik buku panduan harus dibuat semenarik mungkin agar pembaca juga tertarik untuk terus membacanya.Selain itu, dengan tampilan yang menarik maka pembaca tidak cepat bosan.

3. Tujuan Buku Panduan

Mulyati Arifin (1995:201) mengungkapkan bahwa tujuan dari penyusunan buku panduan adalah untuk memudahkan seseorang belajar dan membantu dalam menerapkan metode yang akan digunakan, sehingga apapun yang dilakukan akan lebih terarah. Isinya sebatas mengajarkan sebagian materi dari seluruh materi pokok yang bertujuan untuk mengajarkan sebuah konsep.

Dari pemaparan tersebut yang disesuaikan dengan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa buku panduan pelaksanaan konseling individual dengan pendekatan person centered merupakan media yang bisa


(59)

44

digunakan sebagai pemandu yang sistematis yang didalamnya berisi langkah-langkah pelaksanaan konseling dengan pendekatan person centered.


(60)

45 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian dan pengembangan yang sering disebut Research and Development (R & D). Menurut Sugiyono (2010: 407) metode Research and Development (R & D) adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk dan menguji keefektifan produk tersebut. Borg & Cell (Punaji Setyosari, 2010: 215) mengungkapkan bahwa pengertian penelitian pengembangan adalah suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan memfasilitasi produk penelitian. Jadi, penelitian pengembangan berorientasi pada pengembangan sebuah produk dan mengadakan pengujian terhadap keefektifan produk tersebut agar dapat tepat guna.

Pengembangan buku panduan konseling person centered bagi guru BK SMA Negeri di kota Klaten ini menggunakan model pengembangan prosedural karena bersifat deskriptif, yaitu menggariskan langkah-langkah umum yang harus diikuti untuk menghasilkan produk. Produk yang dimaksud adalah buku panduan yang berisi materi-materi tentang konseling person centered.

Penelitian pengembangan ini menggunakan siklus penelitian dan pengembangan yang dikemukakan oleh Borg and Gall (Punaji Setyosari,


(61)

46

2010: 228) yang terdiri dari 10 langkah pengembangan yang bisa dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Langkah penelitian pengembangan menurut Borg and Gall Keterangan gambar :

1. Penelitian dan pengumpulan informasi awal, meliputi pengamatan atau observasi di lapangan sebagai langkah penelitian awal atau analisis kebutuhan, kajian pustaka dan literatur pendukung yang terkait.

2. Perencanaan, mencakup merumuskan konsep, merumuskan tujuan pengembangan dan penentuan urutan penyajian buku panduan.

3. Pengembangan format produk awal, mencakup penyiapan materi panduan dan penyusunan buku panduan.


(62)

47

4. Uji coba awal. Pada tahap ini dilakukan pengujian draft buku panduan oleh ahli yang berkompeten dibidang materi yang akan disajikan dan ahli rancangan produk. Hasil analisis dari uji coba awal ini menjadi bahan masukan untuk melakukan revisi produk awal.

5. Revisi produk.Tahap ini dilakukan berdasarkan hasil uji coba awal berupa saran dari ahli materi dan ahli rancangan panduan. Produk yang telah direvisi kemudian diadakan uji coba di lapangan.

6. Uji coba lapangan. Pada tahap ini dilakukan uji coba draft buku panduan kepada pengguna buku panduan dengan jumlah yang terbatas. Data kuantitatif yang didapat dari pengguna buku panduan kemudian dianalisis, sehingga diperoleh data untuk melakukan revisi produk lebih lanjut.

7. Revisi produk, yaitu penyempurnaan buku panduan berdasarkan hasil uji coba para pengguna buku uji coba di lapangan.

8. Uji lapangan. Setelah buku panduan di revisi, kemudian dilakukan uji pelaksanaan lapangan dengan jumlah responden yang lebih banyak yang disertai dengan penyampaian angket yang kemudian dilakukan analisis. Hasil analisis kemudian menjadi bahan untuk keperluan revisi produk berikutnya, atau revisi produk akhir.

9. Revisi produk akhir, yaitu revisi yang dikerjakan berdasarkan uji lapangan yang lebih luas. Revisi produk akhir inilah yang menjadi ukuran bahwa produk tersebut benar-benar dikatakan valid karena telah melewati serangkaian uji coba secara bertahap.

10.Desiminasi dan implementasi, yaitu menyampaikan hasil pengembangan kepada para pengguna dan profesional melalui forum pertemuan atau dalam sebuah jurnal.

Berdasarkan uraian prosedur di atas, dari 10 tahap yang ada peneliti akan melakukan dengan runtut tahap 1 sampai 7 saja. Hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti. Tahap ke


(63)

48

tujuh yaitu Main Product Revision akan menjadi produk akhir dari pengembangan buku panduan konseling person centered.

B. Prosedur Penelitian.

Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu : 1. Tahap Pra-pengembangan

Dalam tahap ini peneliti melakukan penelitian dan pengumpulan informasi awal serta perencanaan. Peneliti melakukan observasi dan wawancara kecil dilapangan untuk mengetahui kendala yang dialami guru BK di SMA Negeri di kota Klaten, khususnya dalam pemberian layanan konseling serta kebutuhan buku panduan guna mendukung pemberian layanan konseling dengan salah satu teori konseling yang dibutuhkan. Selanjutnya, peneliti melakukan perumusan konsep, perumusan tujuan pengembangan dan penentuan urutan penyajian buku panduan.

2. Tahap Pengembangan

Dalam tahap ini peneliti melakukan pengembangan bahan pembelajaran atau produk yaitu penyusunan materi buku panduan konseling pendekatan person centered. Buku panduan yang sudah disusun kemudian diuji cobakan kepada ahli materi dan ahli media, hasil dari uji ahli materi dan ahli rancangan produk kemudian menjadi bahan masukan untuk melakukan revisi produk awal. Setelah direvisi kemudian produk diujikan kepada pengguna, yaitu guru BK SMA


(64)

49

Negeri di kota Klaten yang berjumlah 6 orang. Data kuantitatif yang di dapat dari pengguna buku panduan kemudian dianalisis, sehingga diperoleh data untuk melakukan revisi produk lebih lanjut. Hasil analisis kemudian menjadi bahan untuk keperluan revisi produk akhir. Revisi produk akhir inilah yang menjadi ukuran bahwa produk tersebut benar-benar dikatakan valid karena telah melewati serangkaian uji coba secara bertahap. Lebih jelas mengenai tahap pengembangan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2.


(65)

50 C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian.

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Klaten dan SMA Negeri 2 Klaten,

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dimulai pada bulan Februari-Maret 2015.

D. Uji Coba Produk 1. Uji Coba Awal

Uji coba awal dilakukan sebanyak dua kali. Subjek pada uji coba ini adalah ahli materi dan ahli perencanaan produk, uji coba ini dimaksudkan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan panduan tersebut secara teori dan rancangan. Pada uji coba tahap pertama ini, materi yang sudah terangkum dalam buku panduan konseling berupa draft 1, diujicobakan kepada dua orang ahli yaitu ahli materi dan ahli media. Hasil dari uji coba kemudian direvisi dan menghasilkan draft 2. Draft 2 tersebut kembali diuji cobakan kepada ahli materi dan ahli media untuk penyempurnaan dan bahan penilaian layak tidaknya masuk tahap selanjutnya yaitu uji coba lapangan/uji coba pengguna.

2. Uji Coba Tahap Kedua (Main Field Testy).

Uji coba tahap kedua ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan dari subjek yang akan menjadi pengguna panduan. Aspek


(66)

51

yang dinilai meliputi kejelasan isi panduan dan penampilan fisik panduan. Subjek uji coba adalah guru BK di SMA Negeri 1 Klaten dan SMA Negeri 2 Klaten. Bahan yang diuji cobakan berupa draft buku panduan yang mendapatkan nilai baik dari ahli materi dan ahli media.

E. Jenis Data Uji Coba

Data yang diperoleh dari hasil uji coba meliputi penilaian yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif diperoleh dari saran, komentar atau kritik yang tertulis dari hasil uji coba oleh ahli maupun oleh calon pengguna. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dari penilaian yang diberikan oleh subjek uji coba dengan standar yang sudah ditentukan. Semua data yang diperoleh kemudian dijadikan bahan pertimbangan untuk merevisi dan menyempurnakan buku panduan konseling person centered.

F. Subyek Penelitian

Subjek yang digunakan peneliti dalam pengembangan panduan ini adalah:

1. Subjek Pra Penelitian. Subjek pada pra-penelitian adalah guru BK dari beberapa SMA di Kabupaten Klaten, yaitu guru BK dari SMA N 1 Klaten, SMA N 2 Klaten, SMA Muhammadiyah 1 Klaten dan SMA N 3 Klaten.


(67)

52

2. Subyek Preliminary Field Testy. Subyek pada uji ini adalah ahli yang kompeten dalam bidang teori konseling dan ahli dalam rancangan desain buku panduan. Dosen yang dipilih sebagai ahli materi adalah Rosita Endang Kusmaryani, M.Si., sedangkan dosen yang menjadi ahli media adalah Agus Triyanto, M.Pd. Kedua ahli tersebut berasal dari jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Yogyakarta .

3. Subyek Main Field Testy. Subyek pada uji ini adalah guru BK dari SMA Negeri di kota Klaten berjumlah 6 orang. Guru BK yang dijadikan subjek penelitian adalah guru BK dari SMA Negeri 1 Klaten dan SMA Negeri 2 Klaten. Teknik pemilihan sampel yang digunakan adalah dengan teknik random. Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 177) sampel random diberi nama demikian karena di dalam pengambilan sampelnya, peneliti “mencampur” subjek-subjek di dalam populasi sehingga semua subyek dianggap sama. Dengan demikian maka peneliti memberi hak yang sama kepada setia subjek untuk memeproleh kesempatan (chance) dipilih menjadi sampel. Oleh karena itu setiap subjek sama, maka peneliti terlepas dari perasaaan ingin mengistimewakan satu atau beberapa subjek untuk dijadikan sampel. Pemilihan subjek uji coba dilakukan dengan cara undian.


(68)

53 G. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala deskriptif yang mengikuti bentuk skala Likert. Menurut Sugiyono (2009:134), Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Selain itu, skala deskriptif yang digunakan berupa skala kombinasi berstruktur dan tidak berstruktur. Margono (2005:168) menjelaskan, skala kombinasi berstruktur dan tidak berstruktur adalah pertanyaan atau pernyataan yang disatu pihak memberikan alternatif jawaban yang harus dipilih tetapi di lain pihak memberi kebebasan kepada responden untuk menjawab secara bebas lanjutan dari jawaban pertanyaan sebelumnya. Hal ini bertujuan agar subjek penelitian bisa memberikan jawaban, saran maupun masukan yang lebih luas terkait buku panduan konseling person centered.

H. Instrumen pengumpulan data

Instrumen yang digunakan berupa skala penilaian kombinasi berstruktur dan tidak berstruktur. Pertanyaan atau pernyataan yang disusun disatu pihak memberikan alternatif jawaban yang harus dipilih, tetapi di lain pihak memberi kebebasan kepada responden untuk menjawab secara bebas. Instrumen ini nantinya akan diberikan kepada ahli materi, ahli media dan pengguna (guru BK). Tahap-tahap yang dilakukan dalam penyusunan instrumen penelitian pengembangan panduan konseling


(69)

54

person centered ini adalah sebagai berikut :

1. Mengadakan identifikasi terhadap variabel-variabel yang ada didalam rumusan judul penelitian atau yang tertera didalam problematika penelitian

2. Menjabarkan variabel menjadi sub atau bagian variabel. 3. Mencari indikator setiap sub atau bagian variabel 4. Menderetkan diskriptor dari setiap indikator

5. Merumuskan setiap diskriptor menjadi butir-butir instrumen.

6. Melengkapi instrumen dengan pedoman atau instruksi dan kata pengantar.(Suharsimi Arikunto, 2002:135)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penyusunan instrumen untuk ahli materi, ahli media dan pengguna (guru BK) dengan penjabaran sebagai berikut :

1. Instrumen untuk Ahli Materi

a. Mengidentifikasi variabel-variabel dalam rumusan judul penelitian. Judul penelitian Pengembangan Buku Panduan Konseling Person centered bagi Guru BK SMA Negeri di Kabupaten Klaten. Diketahui variabelnya adalah buku panduan konseling person centered.

b. Menjabarkan variabel menjadi sub variabel. Sub variabel dari panduan konseling person centered adalah komponen umum, teori


(70)

55

terson centered, proses konseling dengan pendekatan person centered dan contoh kasus person centered.

c. Mencari indikator dari setiap sub variabel. Indikator dari sub variabel penelitian ini adalah :

1) Komponen umum indikatornya cover, kata pengantar, daftar isi, dan pendahuluan.

2) Teori person centered indikatornya adalah kebenaran konsep dan redaksional.

3) Konseling dengan person centered indikatornya adalah kebenaran konsep dan redaksional.

4) Contoh kasus indikatornya adalah kebenaran konsep dan redaksional.

d. Menderetkan deskriptor dari setiap indikator. Selanjutnya dari setiap indikator tersebut dijabarkan menjadi bagian yang lebih kecil yaitu deskriptor,

1) Cover deskriptornya adalah kesesuaian cover dengan isi materi. 2) Kata pengantar deskriptornya adalah kejelasan isi kata

pengantar.

3) Daftar isi deskriptornya adalah kesesuaian daftar isi dengan isi panduan.

4) Pendahuluan deskriptornya adalah kesesuaian pendahuluan dengan materi panduan.


(1)

Coba kamu renungkan, sebenarnya apa sih yang kamu sangat ingin wujudkan atas keinginan kamu itu ? Apakah jika keinginan kamu terpenuhi kamu bakal lebih bahagia ?

... (terdiam dan menundukkan kepala)

... (diam, memberi kesempatan untuk berpikir dan menjawab) Hmmm....saya ingin lebih terbuka dan diterima teman-teman saya di sekolah dengan baik pak. Itu yang saya inginkan.

Lalu apakah hal itu dapat tercapai cukup dengan kamu bersekolah dengan pakai motor seperti yang kamu pikirkan ? Tidak cukup itu juga sih

Jika tidak cukup karena hal itu, menurutmu apakah ada hal lain yang kamu pikir bisa mendekatkan kamu ke teman yang lain ? Saya rasa saya terlalu pendiam saat di kelas. Mungkin harus lebih membuka diri dan berani memulai percakapan terlebih dahulu.

Ya, menurut Bapak itu pemikiran yang bagus. Sekali lagi, kamu menunjukan cara berpikir yang dewasa. ( penghargaan positif tak bersyarat)

Tapi Pak...

Saya tetap ingin bersekolah menggunakan motor. Karena diantar pakai mobil dan diawasi sopir saat sudah kelas dua SMA terlalu berlebihan.

Iya Rangga, Bapak bisa memaklumi harapanmu itu,apa rencana kamu mengenai hal tersebut?

Tapi apa, Rangga?

Mungkin saya harus mencari momen yang pas untuk membicarakan keinginan saya dengan nenek. Saya akan bercerita tentang kehidupan saya dan teman-teman di sekolah dan alasan saya menginginkan bersekolah menggunakan motor. Selain itu, saya sepertinya juga punya hutang untuk memohon maaf kepada nenek karena membolos sekolah. Saat ini pasti beliau sangat kawatir dengan keberadaan saya.

Bapak rasa itu rencana yang bagus nak. Namun, apakah kamu masih berpikir ingin pergi ke Amerika jika beliau tidak menuruti keinginanmu?


(2)

Tidak pak, saya percaya dengan kata-kata yang baik dan momen yang tepat beliau akan mewujudkan keinginan saya. Jika nanti permintaan saya belum bisa diwujudkan, saya tidak akan berhenti mencoba dan menunggu.

Bapak rasa hal tersebut pantas diperjuangkan Rangga.

Saat ini, apakah masih berpikir akan tidak berangkat sekolah jika kamu menemui permasalahan, Rangga ? (sambil tersenyum) Enggak Pak, saya sudah cukup malu ketangkap basah bolos di depan umum. Besok saya gangguin Bapak aja disini kalo ada masalah lagi.

Siap, memang itu tugas Bapak disini. Bagaimana perasaan kamu sekarang Rangga ? Sudah plong sekarang Pak. Jadi lebih terbuka pandangannya.

Bapak senang sekali mendengar hal itu. Terima kasih Pak, saya bersyukur ada seseorang yang mau mendengar dan menerima keluh kesah saya.

Dengan senang hati Rangga (sambil tersenyum)

CONTOH PERCAKAPAN 37


(3)

(4)

Sebelum kita akhiri sesi konseling hari ini, adakah hal lain yang ingin kamu sampaikan?

Saya rasa sudah cukup Pak.

Baiklah jika begitu, agar ke depannya lebih mantap dan percaya diri dalam bertindak mengambil keputusan, akan lebih baik jika kamu tegaskan lagi apa yang akan kamu lakukan ke depan untuk mengatasi persoalan yang kamu alami saat ini. Baik, pertama saya akan merubah sikap saya yang cuek dengan teman-teman saya. Saya akan mulai menyapa dan memulai percakapan agar mereka lebih mengenal saya sebagai seseorang yang sebenarnya tidak ingin terlihat angkuh. Lalu, mengenai keinginan saya yang ingin menggunakan motor untuk bersekolah akan saya bicarakan dengan Nenek saat ada waktu yang tepat. Oh ya, dan satu lagi Pak, saya akan meminta maaf kepada beliau karena telah membolos dan membuat beliau kawatir. Besok jika mengalami kesulitan saya akan datang ke Bapak lagi.

Bapak selalu siap disini untuk Nak Rangga. Percayalah bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kamu adalah pribadi yang dewasa dan bisa mengambil keputusan dengan matang. Bapak percaya jika kamu lebih membuka diri kamu akan diterima dengan baik oleh teman-teman kamu disini. Terima kasih, Pak. Saya rasa saat ini adalah saatnya mohon pamit, saya ingin segera pulang ke rumah dan menemui nenek saya.

Iya Nak Rangga, silahkan. Sekali lagi terima kasih banyak Pak. Selamat siang.

(sambil mengajak berjabat tangan) (menjabat tangan)

Selamat siang nak Rangga, hati-hati di jalan ya.


(5)

(6)