Kelembaban Relatif 40% Lebih Baik Daripada Kelembaban Relatif 50% Dan 60% Memperlambat Peningkatan Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, Dan Tekanan Darah Latihan Pada Mahasiswa IKIP PGRI Bali.

(1)

i

DARIPADA KELEMBABAN RELATIF 50% DAN 60%

MEMPERLAMBAT PENINGKATAN FREKUENSI

DENYUT NADI, SUHU TUBUH, ASAM LAKTAT DARAH,

DAN TEKANAN DARAH LATIHAN

PADA MAHASISWA IKIP PGRI BALI

I NENGAH SANDI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

DARIPADA KELEMBABAN RELATIF 50% DAN 60%

MEMPERLAMBAT PENINGKATAN FREKUENSI

DENYUT NADI, SUHU TUBUH, ASAM LAKTAT DARAH,

DAN TEKANAN DARAH LATIHAN

PADA MAHASISWA IKIP PGRI BALI

I NENGAH SANDI NIM: 0990271027

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

TEKANAN DARAH LATIHAN

PADA MAHASISWA IKIP PGRI BALI

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I NENGAH SANDI NIM 0990271027

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR


(4)

iv

TANGGAL 8 MARET 2016

Promotor

Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH NIP. 19471211 197602 1 001

Kopromotor I Kopromotor II

Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc. Prof. Dr. dr. I P. Gede Adiatmika, M.Kes

NIP. 19440201 196409 1 001 NIP. 19660309 199802 1 003

Mengetahui

Ketua Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. dr. Bagus Komang Satriasa, M.Repro. Prof. Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K).


(5)

v

Universitas Udayana No: 395/UN14.4/HK/2016 Tanggal 19 Januari 2016

Ketua: Prof. dr. Ketut Tirtayasa, M.Sc, AIF Anggota:

1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH

2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And

3. Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M.Kes 4. Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.Biok 5. Prof. dr. I Dewa Putu Sutjana, PFK, M.Erg

6. Prof. dr. N.Tigeh Suryadhi, M.PH. Ph.D


(6)

vi Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : I Nengah Sandi, S.Si, M.For

NIM : 0990271006

Program Studi : Doktor Ilmu Kedokteran

Konsentrasi : Fisiologi Olahraga

Alamat : Jalan Singasari Utara, Gang IV/ 24 Denpasar Utara

Telp/HP : (0361) 9961513 / 081805691913

Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang saya buat dalam rangka pendidikan Program Doktor Ilmu Kedokteran bukan merupakan jiplakan sebagian atau seluruhnya dari karya seseorang.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya unsur plagiat, maka gelar yang telah saya terima bersedia untuk dicabut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan dengan segala konsekuensinya.

Denpasar, 8 Maret 2016


(7)

vii

Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Disertasi ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai derajat strata tiga (doktor) pada Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana. Disertasi ditulis

dengan judul “Kelembaban Relatif 40% Lebih Baik daripada Kelembaban Relatif 50%

dan 60% Memperlambat Peningkatan Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam

Laktat Darah, dan Tekanan Darah Latihan pada Mahasiswa IKIP PGRI BALI”.

Penulisan disertasi ini tidak terlepas dari dorongan, semangat, petunjuk, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas segala kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor Ilmu Kedokteran Universitas Udayana. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Asdir I Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., Asdir II Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D, dan Ketua Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, atas kesempatan dan dorongannya untuk menuntut ilmu di Program Doktor Ilmu Kedokteran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes, atas dorongan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran Universitas Udayana.

Dalam penulisan disertasi ini penulis mendapat bimbingan, dorongan dan petunjuk dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, M.OH sebagai promotor dan penguji. Prof. Dr. dr. J. Alex


(8)

viii

dr. I Dewa Putu Sutjana, M.Erg dan Prof. Dr. Drs. I Made Sutajaya, M.Kes selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan saran.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IKIP PGRI Bali dan Dekan FPOK IKIP PGRI Bali, atas ijin yang diberikan kepada penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan semua peralatan laboratorium yang ada, yang melibatkan para mahasiswa pemain bulutangkis, kepada Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan pembantu Dekan III, serta kepada Pegawai dan mahasiswa IKIP PGRI Bali yang ikut terlibat dalam penelitian ini. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada para dosen dan mahasiswa Jurusan Keperawatan Poltekkes Negeri Bali, atas keikutsertaannya dalam pemeriksaan kesehatan dan pengukuran variabel penelitian.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar yang telah memotivasi dengan tulus serta istri tercinta Ni Ketut Murtini, anak Putu Dicky Heryawan, Kadek Dina Heryanti, dan Komang Della Trisnadewi yang telah memberikan dorongan dan semangat, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Penulis sadar bahwa isi dari disertasi ini masih jauh dari sempurna, sehingga bila terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan dan lain-lain yang tentunya dilakukan secara tidak sengaja, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. Sebagai penutup penulis sampaikan semoga disertasi ini bermanfaat bagi dunia pendidikan terutama bidang fisiologi olahraga.

Denpasar, Maret 2016 Penulis


(9)

ix

LAKTAT DARAH, DAN TEKANAN DARAH LATIHAN PADA MAHASISWA IKIP PGRI BALI

Pengeluaran cairan tubuh berlebih merupakan reaksi tubuh untuk mengeluarkan panas akibat dari latihan berkepanjangan pada kelembaban relatif (KR) yang tinggi. Keadaan ini dapat menyebabkan peningkatan frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, dan tekanan darah latihan apabila tanpa diimbangi dengan mengkonsumsi cairan yang cukup. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa KR 40% lebih baik daripada KR 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan frekuensi denyut nadi (FDN), suhu tubuh (ST), asam laktat darah (ALD), tekanan darah sistolik (TDS), dan tekanan darah diastolik (TDD) latihan.

Penelitian menggunakan rancangan randomized pre and post test control group design. Sampel berjumlah 54 mahasiswa IKIP PGRI Bali dibagi menjadi tiga kelompok, kemudian masing-masing kelompok diberikan latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2X30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit. Kelompok-1 bersepeda pada KR 40%, Kelompok-2 pada KR 50%, dan Kelompok-3 pada KR 60%. FDN, ST, ALD, TDS, dan TDD diukur sebelum dan saat latihan. Data dianalisis dengan uji One-way Anova yang dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) dan uji Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

Kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan, rerata FDN latihan Kelompok-1 = 139,00 ± 2,53 X/mt, Kelompok-2 = 148,89 ± 2,77 X/mt, dan Kelompok-3 = 159,22 ± 3,70 X/mt yang berbeda bermakna dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Rerata ST latihan Kelompok-1 = 36,63 ± 0,06 oC, Kelompok-2 = 36,89 ± 0,79 oC, dan Kelompok-3 = 37,26 ± 0,09 oC yang berbeda bermakna dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Rerata ALD latihan Kelompok-1 = 3,38 ± 0,19 mM/L, Kelompok-2 = 4,17 ± 0,16 mM/L, dan Kelompok-2 = 5,12 ± 0,31 mM/L juga berbeda bermakna dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Rerata TDS latihan Kelompok-1 = 153,56 ± 2,37 mmHg, Kelompok-2 = 153,22 ± 1,75mmHg, dan Kelompok-3 = 156,28 ± 2,08 mmHg yang secara statistik tidak berbeda bermakna dengan nilai p = 0,514 (p > 0,05). Rerata TDD latihan Kelompok-1 = 78,78 ± 1,58 mmHg, Kelompok-2 = 79,94 ± 1,63 mmHg, dan Kelompok-3 = 76,94 ± 1,53 mmHg yang tidak berbeda bermakna dengan nilai p = 0,406 (p > 0,05).

Disimpulkan bahwa KR 40% lebih baik daripada KR 50% dan KR 60% dalam memperlambat peningkatan FDN, ST, dan ALD latihan bersepeda selama 2X30 menit. Disarankan untuk dilakukan pada KR 40% apabila berlatih dalam waktu yang lama pada ruangan tertutup.

Kata Kunci: kelembaban relatif, frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, tekanan darah sistolik dan diastolik


(10)

x

BODY TEMPERATURE, BLOOD LACTIC ACID, AND BLOOD PRESSURE DURING EXERCISE OF IKIP PGRI BALI STUDENTS

Discharge of excess body fluid is a reaction of the body to remove the heat resulting from prolonged exercise at a high relative humidity (RH). This situation led to an increase in pulse rate, body temperature, blood lactic acid, and blood pressure during exercise if it is not offset by consuming enough fluids. The purpose of this study was to prove that a RH of 40% was better than RH of 50% and RH of 60% in inhibiting the increase of the pulse rate (PR), body temperature (BT), blood lactic acid (BLA), systolic blood pressure (SBP), and diastolic blood pressure (DBP) during exercise.

This study was an experimental research with randomized pre and posttest control group design. Samples numbered 54 of IKIP PGRI Bali students were divided into three groups, and each group was given cycling whit an exercises load 80 Watt for 2X30 minutes with rest between sets for five minutes. Group-1 cycling at 40% RH, Group-2 cycling at 50% RH, and group-3 cycling at 60% RH. PR, BT, BLA, SBP, and DBP measured before and during exercise. The Data were analyzed by One-way ANOVA test continued by Least Significant Difference test (LSD) and the Kruskal-Wallis test continued by Mann-Whitney test. Significance used was α = 0.05.

The Results showed, the mean of PR during exercise Group-1 = 139.00 ± 2.53 beats/minute, Group-2 = 148.89 ± 2.77 beats/minute, and Group-3 = 159.22 ± 3.70 beats/minute were significantly different with p = 0.000 (p < 0.05). The mean of BT during exercise Group-1 = 36.63 ± 0.06 °C, Group-2 = 36.89 ± 0.79 °C, and Group-3 = 37.26 ± 0.09 °C were significantly different with p = 0.000 (p < 0.05). The mean of BLA during exercise Group-1 = 3.38 ± 0.19 mM/L, Group-2 = 4.17 ± 0.16 mM/L, and Group-3 = 5.12 ± 0.31 mM/L also different significant with p = 0.000 (p < 0.05). The mean of SBP during exercise Group-1 = 153.56 ± 2.37 mmHg, Group-2 = 153.22 ± 1,75 mmHg, and Group-3 = 156.28 ± 2.08 mmHg were not statistically significantly different with p values = 0.514 (p> 0.05). The mean of DBP during exercise Group-1 = 78.78 ± 1.58 mmHg, Group-2 = 79.94 ± 1.63 mmHg, and Group-3 = 76.94 ± 1.53 mmHg which was not significantly different with p = 0.406 (p > 0.05).

It was concluded that the RH of 40% was better than 50% RH and 60% RH in inhibiting the increase of PR, BT, and BLA during cycling exercises for 2X30 minutes. Therefore, it was recommended for exercising for a long time in a close room with 40% RH.

Keywords: relative humidity, pulse rate, body temperature, blood lactic acid, systolic and diastolic blood pressure


(11)

xi

LEMBAR PRASYARAT ... ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BUKAN PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR .. ... ... xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 8

2.1 Aktivitas Fisik ... 8

2.2 Lingkungan Olahraga ... 11

2.2.1. Faktor Lingkungan Yang Harus Diperhatikan ... 12

2.2.2. Pengaruh Paparan Panas ... 14

2.2.3. Aklimatisasi pada Lingkungan Panas ... 15

2.3 Kelembaban Udara ... 17

2.3.1. Pengertian Kelembaban Udara ... 17

2.3.2 Alat Ukur Kelembaban Udara ... 18

2.3.3 Pengaturan Kelembaban Udara ... 19

2.3.4 Pengaruh Kelembaban Relatif Udara ... 20

2.4 Cairan Tubuh ... 24

2.4.1 Pengertian Cairan Tubuh ... 24

2.4.2 Fungsi Cairan Tubuh ... 25

2.4.3 Distribusi dan Kandungan Cairan Tubuh ... 28

2.4.4 Pengaturan Cairan Tubuh ... 29


(12)

xii

2.8.1 Anatomi Sistem Kardiovaskular ... 37

2.8.2 Kontrol Terhadap Sistem kardiovaskular ... 38

2.8.2.1 Kontrol sistem saraf terhadap kardiovaskular ... 38

2.8.2.2 Kontrol hormonal terhadap kardiovaskular ... 39

2.8.3 Adaptasi Sitem Kardiovaskular Dalam Olahraga ... 40

2.8.3.1 Efek akut latihan ... 41

2.8.3.2 Efek kronis latihan ... 51

2.6 Metabolisme Energi ... 52

2.6.1 Metabolisme Energi Secara Anaerobik ... 54

2.6.2 Metabolisme Energi Secara Aerobik ... 56

2.7 Asam Laktat ... 60

2.7.1 Pengertian Asam Laktat ... 60

2.7.2 Efek Positif Asam Laktat dalam Olahraga ... 60

2.7.3 Efek Negatif Asam Laktat dalam Olahraga ... 61

2.7.4 Latihan Fisik dan Asam Laktat ... 64

2.8 Suhu Tubuh . ... 66

2.8.1 Pengaturan Suhu Tubuh Tubuh ... 66

2.8.2 Prinsip Pertukaran Suhu Tubuh ... 66

2.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penampilan Fisik dalam Olahraga ... 69

2.9.1 Faktor Internal ... 69

2.9.2 Faktor Eksternal ... 72

2.10 Pemanasan ... 74

2.11 Pendinginan ... 76

BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 77

3.1 Kerangka Berpikir ... 77

3.2 Konsep ... 78

3.3 Hipotesis Penelitian ... 80

BAB IV METODE PENELITIAN ... 81

4.1 Rancangan Penelitian ... 81

4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian ... 82

4.3 Populasi Dan Sampel ... 83

4.3.1 Populasi... 83

4.3.2 Sampel ... 83

4.3.3 Besar Sampel ... 84

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 86

4.4 Variabel Penelitian ... 86

4.5 Definisi Operasional Variabel ... 87

4.6 Alat Pengumpulan Data ... 90


(13)

xiii

4.9 Analisis Data ... 103

BAB V. HASIL PENELITIAN ... 105

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 105

5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data ... 107

5.3 Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Sebelum dan Saat Lattihan ... 109

5.4 Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut Nadi Latihan antar Kelompok ... 111

5.5 Uji Beda Rerata Tingkat Zona Latihan antar Kelompok ... 111

5.6 Uji beda Rerata Suhu Tubuh Latihan Antar Kelompok ... 112

5.6 Uji Beda Rerata Asam Laktat Latihan antar Kelompok ... 113

BAB VI. PEMBAHASAN ... 114

6.1 Karateristik Subjek Penelitian ... 114

6.2 Perbedaan Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Sebelum Latihan ... 116

6.3 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Frekuensi Denyu Nadi ... .. 118

6.4 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Zona Latihan ... 122

6.5 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Suhu Tubuh ... 124

6.6 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Asam Laktat Darah ... 128

6.7 Perbedaan Efek Perlakuan Terhadap Tekanan Darah ... 132

6.8 Kebaruan Penelitian (Novelty) ... 137

6.8 Keterbatasan Penelitian ... 138

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 139

7.1 Simpulan ... 139

7.2 Saran ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 141


(14)

xiv

Tabel 2.1 Kategori Indeks WBGT ... 22

Tabel 2.2 Sumber Asupan Cairan Tubuh ….……….. 31

Tabel 2.3 Pengeluaran Cairan Tubuh ……… 32

Tabel 2.4 Pengeluaran Cairan Tubuh pada Perubahan Suhu dan Aktivitas ..…. 32

Tabel 2.5 Frekuensi Denyut Nadi Istirahat Sesuai Umur dan Jenis Kelamin …. 42 Tabel 2.6 Curah Jantung dari Berbagai Tingkat Latihan …..………. 43

Tabel 2.7 Klasifikasi Tekanan Darah Untuk Orang Dewasa ………. 45

Tabel 2.8 Pendistribusian Darah pada Berbagai Intensitas Latihan ……… 49

Tabel 5.1 Karakteristik Fisik Subjek Penelitian ...……… 105

Tabel 5.2 Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Sebelum Latihan ... ...………...…… 106

Tabel 5.3 Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Latihan ...………... 107

Tabel 5.4 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Sebelum Latihan .…. 108 Tabel 5.5 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Saat Latihan .…... 108

Tabel 5.6 Hasil Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Sebelum Perlakuan ... 110

Tabel 5.7 Hasil Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, Asam Laktat Darah, dan Tekanan Darah Latihan ... ..…………. 110

Tabel 5.8 Hasil Uji Beda Rerata Frekuensi Denyut Nadi Latihan antar Kelompok 111 Tabel 5.9 Hasil Uji Beda Rerata Tingkat Zona Latihan antar Kelompok ... 112

Tabel 5.10 Hasil Uji Beda Rerata Suhu Tubuh Latihan antar Kelompok ... 113


(15)

xv

Gambar 3.1 Konsep Penelitian …...………. 79

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ………... 81


(16)

xvi

< = lebih kecil

> = lebih besar

µL = mikro liter

AC = air conditioning

ADP = adenosine diphosphate

AL = asam laktat

ALD = asam laktat darah

AR = alokasi random

ATP = adenosine tri phosphate

BB = berat badan

BLA = blood lactic acid

BT = body temperature

Ca = kalsium

Cl = klorida

CO2 = karbon dioksida

DBP = diastolik blood pressure

dkk = dan kawan-kawan

DOMS = delayed onset muscle soreness

dt = detik

FAD = flavine adenine dinucleotide

FDN = frekuensi denyut nadi

FPOK = Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan

g = percepatan gravitasi

gr = gram

H = hidrogen

H2O = air

HCO3 = bikarbonat

HDL = high density lipoprotein

HPO42- = fosfat

HR-Max = heart rate maximum

IKIP = Institut Keguruan Ilmu Pendidikan

IMT = indeks massa tubuh


(17)

xvii

Klp-1 = kelompok-1

Klp-2 = kelompok-2

km = kilometer

Ko-A = koenzim-A

KR = kelembaban relatif

KTP = kartu tanda penduduk

L = liter

LDL = low density lipoprotein

LPT = luas permukaan tubuh

m = massa

m/dt = meter per detik

m/dt2 = meter per detik kuadrat

m3 = meter kubik

MENKES = Menteri Kesehatan

Mg = magnesium

mj = massa uap air udara jenuh

mL = mililiter

mM = milimol

mM/L = milimol perliter

mmHG = milimeter air raksa

MT = massa tubuh

Mt2 = meter persegi

n = jumlah sampel

Na = natrium

NAD = nicotinemide adenine dinucleotide

O2 = oksigen

o

C = derajat celsius

OVLT = organum vaskulasum laminae terminal

P = populasi

p = probabilitas

PC = pospokreatin

PGRI = Persatuan Guru Republik Indonesia


(18)

xviii

S = sampel

SBP = systolic blood pressure

Sig = significant

SO42- = sulfat

SON = supra optic neuron

ST = suhu tubuh

SV = stroke volume

TB = tinggi badan

TD = tekanan darah

TDD = tekanan darah diastolik

TDS = tekanan darah sistolik

th = tahun

USA = United State American

USATF = United State of Amecican Track and Field

VO2-Max = volume O2 maximum

WBGT = Wet Bulb Globe Temperature Index

Wita = Waktu Indonesia Tengah

α = alpha

β = beta

μ = mu


(19)

xix

Lampiran-1 Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearence) ……… 155

Lampiran-2 Surat Ijin Penelitian ……… 156

Lampiran-3 Inform Consent ……… 157

Lampiran-4 Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ……… 160

Lampiran-5 Data Hasil Penelitian Pendahuluan ……… 161

Lampiran-6 Data Karakteristik Fisik Subjek Penelitian ……… 162

Lampiran-7 Hasil Penelitian Tekanan Darah, Frekuensi Denyut Nadi, Suhu Tubuh, dan Kadar Asam Laktat Darah ……… 165

Lampiran-8 Hasil Analisis Data ………... 168


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat menjalani kehidupan sehari-hari seseorang perlu sehat, baik sehat fisik, mental, sosial, maupun terbebas dari segala penyakit. Untuk meningkatkan derajat kesehatan, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti berolahraga secara teratur dan terencana dengan memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adalah faktor lingkungan.

Lingkungan olahraga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan karena faktor lingkungan dapat mempengaruhi penampilan fisik. Faktor lingkungan ini menyangkut suhu lingkungan, kelembaban relatif udara, ketinggian tempat, dan lain-lain (Birch dkk., 2005). Pengaruh lingkungan terdiri dari suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan kecepatan angin (Powers dan Howley, 2009).

Suhu dan kelembaban relatif yang tinggi, akan meningkatkan indeks wet- bulb-globe-temperature (WBGT). Indeks WBGT merupakan bilangan yang menunjukkan peran dari suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi dan kecepatan angin. Indeks WBGT mencapai setinggi 28 oC dapat menyebabkan heat stress (Giriwijoyo, 2007). Peningkatan indeks WBGT menyebabkan dehidrasi dan diakhiri dengan tidak sadarkan diri, seperti yang dialami oleh pelari marathon Inggris Jim Peters pada Common Wealth Games tahun 1954 di Vancouver dan pelari marathon Gabriela Anderson-Hhiers pada Olimpiade Los Angeles 1984 (FPOK, 2010b).

Heat stress juga mengakibatkan berbagai permasalahan kesehatan hingga kematian. Pada tahun 1995 sebanyak 100 orang penduduk Chicago meninggal karena gelombang panas dan sebanyak 400 orang di Amerika meninggal setiap tahun akibat heat stress. Dari tahun 1995-2001 di Amerika tercatat 21 orang pemain sepak bola meninggal karena heat stroke. Di Jepang dari tahun 2001-2003 sebanyak 483 orang terkena heat stroke, sebanyak 63 orang meninggal (Fitrihana, 2008).


(21)

Keadaan heat stress akan diperberat apabila latihan dilakukan dalam ruangan tertutup seperti pada cabang bulutangkis. Hal ini disebabkan karena dalam ruangan tertutup jarang dilengkapi dengan sistem pengkondisian udara sehingga suhu udara menjadi tinggi, kelembaban relatif tinggi, dan tidak ada aliran udara yang dapat mempercepat pengeluaran panas tubuh. Apalagi permainan bulutangkis menuntut daya tahan tubuh karena pemainnya harus berlari, melompat, bereaksi dengan cepat, dan memukul dengan tepat. Di samping itu juga dituntut kecerdikan, ketelitian, kerjasama dengan pasangan, dan disiplin. Jadi permainan bulutangkis menuntut kebugaran fisik yang prima, yang merupakan kombinasi dari gerakan aerobik dan anaerobik (Nugroho, 2008; Subarjah, 2013).

Kenyataan di lapangan yang tidak tercatat pada beberapa pemain bulutangkis di Indonesia banyak yang meninggal pada saat berlatih. Kapolsek Kemuning di Riau Erwinsiah meninggal setelah latihan (Antara, 2010). Juga dilaporkan oleh KONI Surabaya (2011), ketua KONI Surabaya Horoe Pournomohadi meninggal setelah latihan. Fardi dari Banjarmasin mengalami kejang-kejang dan akhirnya meninggal setelah latihan (Metro-7 Online, 2013). Pada tahun 2014 tercatat beberapa kejadian saat bermain bulu tangkis seperti Kusudianto dari Jawa Timur meninggal setelah istirahat antar set (Hartono, 2014), Adam juga meninggal saat latihan (Humas Polres Kulon Projo, 2014). Di Sulawesi Barat, Karma juga meninggal saat pertandingan antar dusun (Polewati dan Junaedi, 2014). Dilaporkan juga di Jawa Barat seorang yang sedang berlatih muntah-muntah dan akhirnya meninggal (Primanna, 2014). Direktur Reskrim Khusus Polda Papua Ade Sutiana meninggal setelah latihan (Mikailfatihah, 2014). Kapolres Tapin di Riau juga meninggal setelah latihan (Rahma, 2014). Dilihat dari ciri-ciri kejadian, maka heat stress merupakan penyebab dari kematian.

Perubahan fisiologis tubuh saat latihan fisik dalam waktu yang lama disebabkan menurunya volume cairan tubuh melalui keringat bersamaan dengan pengeluaran panas tubuh (Cameron dkk., 2012). Hasil penelitian Cheuvront dkk. (2010), latihan secara aerobik dalam waktu yang lama akan menurunkan cairan tubuh. Menurunnya cairan


(22)

tubuh saat latihan menyebabkan meningkatnya viskositas darah yang meyebabkan meningkatnya kerja jantung (Gabriel, 2012). Kalau tidak diimbangi dengan mengkonsumsi cairan yang cukup, akan mempersulit pengeluaran panas tubuh melalui konveksi (Wilmore dkk., 2008; Almatsier, 2013).

Latihan fisik dalam waktu lama pada kelembaban relatif yang tinggi akan meningkatkan pengeluaran cairan tubuh dan berdampak terhadap peningkatan frekuensi denyut nadi (Janssen, 1993). Menurunnya cairan tubuh sebesar 2-6% mengakibatkan meningkatnya kerja jantung yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi denyut nadi (Wikipedia, 2014). Selanjutnya disampaikan oleh WHO (2011), bahwa kehilangan cairan tubuh berlebih saat latihan akan memperberat kerja jantung dan dapat menyebabkan kematian. Hasil penelitian Muplichatun (2006) terhadap 41 orang pekerja pamdai besi di Donorejo Batang, didapatkan terjadi hubungan bermakna antara paparan panas dengan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya Telan (2012) melakukan penelitian terhadap 50 pekerja pandai besi, didapatkan terjadi peningkatan frekuensi denyut nadi dibandingkan dengan sebelum diberikan paparan panas. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian Adiningsih (2013), terhadap 33 orang pekerja bahwa terjadi peningkatan frekuensi denyut nadi setelah diberikan paparan panas.

Meningkatnya frekuensi denyut nadi latihan akan meningkatkan tingkat zona latihan (McBrian, 2008). Tingkat zona latihan dapat diklasifikasikan menjadi lima tingkatan yaitu: healty training zone dengan denyut nadi antara 50-60% HR-Max, temperate zone (60-70% HR-Max), aerobic zone (70-80% HR-Max), anaerobic zone (80-90% HR-Max), dan red line zone (90-100% HR-Max) (Edward, 2007). HR-Max

dihitung dengan persamaan HR-Max = 220-umur (Robbins, 2008).

Suhu tubuh meningkat dari 37 oC mencapai 40 oC pada latihan berat selama 20 menit (Kusnanik dkk., 2011). Hasil penelitian yang mendukung adalah Gonzalez-Alonso dkk. (2003), bahwa suhu tubuh meningkat mencapai 40 oC saat latihan fisik berkepanjangan pada lingkungan lembab. Hasil penelitian Saunders dkk. (2005), terjadi peningkatan suhu tubuh pada kelembaban relatif 80% dibandingkan dengan


(23)

kelembaban relatif 59% terhadap sembilan subjek setelah bersepeda selama dua jam. Pernyataan ini didukung oleh Yashasi dkk. (2006) bahwa latihan fisik pada kelembaban relatif yang tinggi menyebabkan suhu inti tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan pada kelembaban relatif yang rendah.

Latihan fisik pada kelembaban relatif yang tinggi secara akut akan meningkatkan tekanan darah. Hal ini disebabkan karena tubuh kehilangan banyak cairan untuk memindahkan panas ke permukaan tubuh (Gawron, 2008; Ganong, 2012). Kehilangan cairan tubuh sebesar 2% dari berat badan mengakibatkan terganggunya penampilan fisik yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah (WHO, 2011). Hasil penelitian Cianci dkk. (2006) terhadap 28 penderita hipertensi, didapatkan terjadi peningkatan tekanan darah pada penurunan volume cairan tubuh. Terjadi peningkatan tekanan darah sistolik dari 120 mmHg menjadi 140-250 mmHg pada latihan daya tahan dengan intensitas maksimum (Kusnanik dkk., 2011). Menurunnya volume cairan tubuh, darah menjadi lebih pekat sehingga akan meningkatkan viskositas darah. Peningkatan viskositas darah akan meningkatkan tekanan darah (Irawati, 2010; Gabriel, 2012).

Hasil penelitian Bloomer dan Cole (2009) terhadap sekelompok laki-laki aktif pada latihan bench press, secara akut dapat meningkatkan asam laktat darah antara sebelum dengan sesudah latihan. Peningkatan asam laktat darah yang diikuti oleh

peningkatan CO2 dapat mengganggu kontraksi otot (Sharkey, 2012). Cairan

ekstraselular berfungsi sebagai pengangkut hasil metabolisme ke hati untuk segera didaur ulang sebagai sumber energi, sehingga asam laktat dalam darah menurun (Darwis dkk., 2007). Pendapat lain yang sejalan adalah, bahwa cairan tubuh berperan mengangkut hasil metabolisme seperti CO2 dan asam laktat (WHO, 2011; Syaifuddin, 2012). Kecepatan pengeluaran keringat akan menurunkan volume cairan tubuh, sehingga akan mempercepat peningkatan asam laktat darah (Janssen, 1993). Menurut Kusnanik dkk. (2011), penurunan cairan tubuh akan berakibat terhadap penurunan konsentrasi O2 darah. Penurunan konsentrasi O2 akan menurunkan glikolisis pada hati, sehingga asam laktat darah meningkat.


(24)

Penurunan kelembaban relatif dalam ruangan tertutup dapat diperoleh dengan menggunakan air conditioning (AC). Penurunan kelembaban relatif pada ruangan ber-AC disebabkan karena udara sebelumnya telah didinginkan pada sirip evaporator sampai mengembun. Embun tersebut berkumpul dan disalurkan keluar melalui saluran pipa. Dengan demikian kelembaban relatif udara yang masuk ke dalam ruangan menjadi berkurang (Gabriel, 2013).

Kelembaban relatif yang rendah akan mempercepat perpindahan panas tubuh ke lingkungan melalui evaporasi (Gabriel, 2012). Kelembaban relatif yang rendah akan mempercepat kehilangan panas tubuh sehingga panas tubuh masih dalam batas kenyamanan dan latihan masih tetap terasa nyaman (Giriwijoyo, 2007).

Oleh karena itu, dalam latihan dibutuhkan kelembaban relatif yang menyebabkan iklim nyaman terhadap tubuh seseorang. Kelembaban relatif yang nyaman dalam ruangan adalah antara 40 - 60% sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 1077/MENKES/PER /V/2011 (Menkes, 2011).

Kelembaban relatif merupakan hal yang harus diperhatikan karena kelembaban relatif dapat menyebabkan terjadinya pengeluaran keringat berlebih, sehingga dapat menimbulkan efek secara akut terhadap peningkatan frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, tekanan darah sistolik, dan tekanan darah diastolik latihan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka latihan fisik pada kelembaban relatif 40%, 50%, dan 60% di dalam ruangan tertutup perlu diteliti lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan frekuensi denyut nadi latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit?


(25)

2. Apakah kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan suhu tubuh latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit?

3. Apakah kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan asam laktat darah latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit?

4. Apakah kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menemukan kelembaban relatif tempat latihan yang paling baik untuk menurunkan pengeluaran keringat sehingga frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, tekanan darah sistolik, dan tekanan darah diastolik tidak terlalu tinggi peningkatannya pada saat latihan, sehingga latihan aman dilakukan dalam waktu yang lebih lama dan tidak berefek negatif terhadap perubahan fungsi tubuh.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban dari rumusan masalah di atas, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk membuktikan kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan frekuensi denyut nadi latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2X30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit.


(26)

2. Untuk membuktikan kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan suhu tubuh latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2X30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit.

3. Untuk membuktikan kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan asam laktat darah latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2X30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit.

4. Untuk membuktikan kelembaban relatif 40% lebih baik daripada kelembaban relatif 50% dan 60% dalam memperlambat peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik latihan bersepeda dengan beban 80 Watt selama 2 X 30 menit dengan istirahat antar set selama lima menit.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Secara teoritis memperoleh konsep ilmiah tentang lingkungan tempat latihan khususnya kelembaban relatif udara yang tepat untuk menurunkan pengeluaran keringat sehingga frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, tekanan darah sistolik, dan tekanan darah diastolik tidak cepat meningkat saat latihan yang dilakukan di dalam ruangan tertutup.

2. Secara praktis dapat dipergunakan sebagai pedoman oleh pelatih olahraga, guru olahraga, dan atlet serta masyarakat umum untuk diterapkan di dalam ruangan tertutup dalam rangka menurunkan pengeluaran keringat sehingga frekuensi denyut nadi, suhu tubuh, asam laktat darah, tekanan darah sistolik, dan tekanan darah diastolik tidak meningkat dengan cepat saat latihan.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah aktivitas yang terjadi sebagai akibat dari kontraksi otot dengan menggunakan energi secara proporsional, yang sangat erat kaitannya dengan kebugaran fisik. Aktivitas fisik menyangkut sistem lokomotorik untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas fisik tersebut dilakukan dengan tujuan dan aturan tertentu secara sistematis seperti adanya aturan waktu, target latihan, jumlah pengulangan, dan lain-lain. Ditambahkan juga aktivitas fisik yang dilakukan secara bertahap melalui suatu persiapan untuk mencapai penampilan puncaknya, disebut pelatihan (Bompa dan Haff, 2009). Pelatihan adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematik dan berulang-ulang dalam waktu lama dengan peningkatan pembebanan secara progresif dan individual, bertujuan untuk memperbaiki fungsi tubuh agar saat kompetisi mencapai kemampuan yang optimal (Ananto, 2000).

Selanjutnya Nala (2011) menyatakan, pelatihan fisik merupakan gerakan fisik dan atau aktivitas mental secara sistimatik dan berulang-ulang (repetitif), dalam waktu (durasi) lama dengan pembebanan meningkat secara progresif dan individual yang bertujuan untuk memperbaiki fisiologis dan psikologis tubuh agar pada saat latihan dapat mencapai penampilan yang optimal. Sistematis merupakan cara pelatihan yang teratur dan terencana. Repetitif adalah gerakan yang dilakukan secara berulang-ulang lebih dari satu kali gerakan. Durasi merupakan lamanya aktivitas yang dilakukan dalam satu sesi, termasuk pemanasan, latihan inti, istirahat dan pendinginan. Progresif adalah penambahan atau peningkatan beban pelatihan secara bertahap, yang diawali dengan menggunakan beban ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan atlet yang bersangktan dan. Individual adalah peningkatan pembebanan yang disesuaikan dengan kemampuan atlet yang dilatih, di mana pemberian beban tidak dapat disamakan antara atlet satu dengan yang lainnya walaupun berada pada cabang olahraga yang sama.


(28)

Kementrian Pelajaran Malaysia (2010) mengatakan, pelatihan fisik mempunyai lima prinsip yaitu: prinsip pembebanan berlebih, prinsip individual, prinsip spesialisasi/kekhususan, prinsip berkesinambungan, dan prinsip variasi. Nala (2011) berpendapat, pelatihan mempunyai beberapa prinsip di antaranya adalah: prinsip aktif dan bersungguh-sungguh, prinsip pengembangan multilateral, prinsip spesialisasi, prinsip individualisasi, prinsip variasi atau keserbaragaman, prinsip penggunaan model dalam pelatihan, dan prinsip peningkatan beban secara progresif.

Aktivitas fisik sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia sehari hari, di mana manusia sebagai makluk sosial perlu aktivitas. Tujuan dari aktivitas fisik dipisahkan menjadi tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang yang pada intinya adalah untuk menurunkan berat badan dan glukose darah (Barnes, 2012). Aktivitas fisik mengakibatkan terjadinya perubahan pada fungsi tubuh, baik secara sementara maupun secara menetap (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009). Aktivitas fisik secara teratur dalam waktu kurang lebih 30 menit dapat menurunkan tekanan darah dan denyut nadi istirahat (Divine, 2012). Peningkatan jumlah aktivitas fisik bermanfaat terhadap penurunan risiko penyakit jantung (Durstine, 2012). Aktivitas fisik juga meningkatkan konsumsi oksigen yang akan mencapai keadaan maksimal yang dikenal dengan konsumsi oksigen maksimal (VO2-Max). Keadaan ini dibatasi oleh sistem respirasi, kardiak output, dan kemampuan otot untuk berkontraksi (Bompa dan Haff, 2009).

Latihan fisik yang dilakukan secara teratur dan terprogram secara akut dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, dan suhu tubuh. Di samping itu secara kronis juga dapat meningkatkan massa otot dan massa tulang, pertahanan antioksidan dan penurunan frekuensi denyut nadi istirahat (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009).

Akibat dari aktivitas fisik yang diberikan, seseorang akan mengalami peningkatan kemampuan fungsionalnya. Peningkatan ini dapat berupa berbagai keadaan yang menyangkut 10 komponen biomotorik (Kementrian Pelajaran Malaysia,


(29)

2010), yaitu: daya tahan, kekuatan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan, waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi.

1. Daya tahan (endurance) menyangkut daya tahan umum dan daya tahan otot. Daya

tahan umum atau daya tahan respirasi-kardiovaskular adalah kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas dalam waktu lama yaitu lebih dari 10 menit tanpa kelelahan yang berarti. Daya tahan otot adalah kemampuan otot skeletal untuk melakukan kontraksi berulang-ulang dalam waktu yang lama.

2. Kekuatan (strength) adalah kemampuan otot skeletal untuk melakukan gerakan kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima pembebanan waktu melakukan aktivitas fisik.

3. Daya ledak (explosive strength) adalah kemampuan untuk melakukan gerakan atau aktivitas secara cepat dengan menggunakan seluruh kekuatan otot dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

4. Kecepatan (speed) kemampuan tubuh untuk melakukan gerakan berulang-ulang yang sama dan berkesinambungan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

5. Kelentukan (flexibility) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk melakukan penjuluran ke daerah tertentu atau menempuh beberapa sendi seluas-luasnya.

6. Kelincahan (agility) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk mengubah arah gerakan secara mendadak atau tiba-tiba dalam kecepatan yang setinggi-tingginya.

7. Ketepatan (accuracy) adalah kemampuan tubuh untuk melakukan atau

mengemdalikan gerakan menuju ke suatu sasaran tertentu.

8. Waktu reaksi (Reaction time) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk melakukan reaksi secepat-cepatnya ketika adanya rangsangan, baik mengenai rangsangan somatik, kinestetik, maupun rangsangan vestibular.


(30)

9. Keseimbangan (balance) adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan sikap dan posisinya dari berbagai keadaan sehingga tubuh tetap dalam keadaan stabil dan terkendali.

10.Koordinasi (coordination) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk mengkoordinasikan berbagai gerakan yang berlainan menjadikan suatu gerakan yang tunggal, harmonis, dan efektif.

2.2 Lingkungan Olahraga

Lingkungan olahraga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam berolahraga. Lingkungan olahraga menyangkut: suhu lingkungan, kelembaban relatif, ketinggian tempat dari permukaan laut, dan lain-lain (Birch dkk., 2005; Powers dan Howley, 2009). Menurut Giriwijoyo (2007), pengaruh lingkungan terdiri dari suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan kecepatan angin.

Lingkungan dalam olahraga terdiri dari lingkungan fisik, biologis, kimia, dan lingkungan sosial. Untuk dapat beraktivitas secara optimal, aspek lingkungan harus diperhatikan dan diperkenalkan kepada atlet sehingga terbiasa bekerja dalam lingkungan tersebut (Adiputra, 2010).

Dalam suatu aktivitas fisik, keadaan lingkungan ini dapat dioptimalkan dengan aklimatisasi terhadap lingkungan baru yang bertujuan untuk melatih dan membiasakan tubuh terhadap lingkungan tersebut (Giriwijoyo, 2007).

Suhu adalah suatu keadaan panas dinginnya sesuatu yang dinyatakan dengan thermometer (Muda, 2008). Suhu merupakan bentuk energi yang bisa berpindah dari suhu yang lebih tinggi ke suhu yang lebih redah (Gabriel, 2013). Suhu lingkungan adalah tingkat panasnya udara di suatu tempat yang dinyatakan dalam derajat celcius (oC) (Kanginan, 2000). Latihan pada lingkungan panas perlu memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah faktor lingkungan, pengaruh tekanan panas, dan aklimatisasi pada lingkungan olahraga.


(31)

2.2.1 Faktor Lingkungan yang Harus Diperhatikan

Ada dua hal yang harus diperhatikan terhadap faktor lingkungan yang menyangkut karakteristik lingkungan dan karakteristik indipidu.

a). Karakteristik lingkungan

Kondisi lingkungan yang panas dan kering seperti di padang pasirditandai oleh suhu udara yang tinggi dengan kelembaban relatif udara yang rendah dan radiasi matahari yang tinggi. Dalam keadaan ini, pembuangan panas melalui radiasi, konduksi dan konveksi menjadi sulit, tetapi udara yang kering memudahkan penguapan keringat (Kanginan, 2000). Kondisi panas dan lembab atau kondisi tropis, suhu lingkungan tinggi dan kelembaban udara tinggi, pembuangan panas melalui evaporasi keringat menjadi kurang efektif dan keringat menetes dari kulit tanpa menguap (FPOK, 2010b).

Skala yang dipakai untuk menilai tingkat kenyamanan lingkungan adalah index wet bulb-globe-temperature (WBGT). Indeks WBGT ini merupakan gabungan dari dampak radiasi matahari dan bumi, suhu lingkungan, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin. Index WBGT (di luar ruangan) = 0.7 X suhu bola basah + 0.2 X suhu bola hitam + 0.1 X suhu bola kering. Indeks yang sederhana ini penting untuk menilai jumlah dan tingkat latihan yang dapat dilakukan dalam kondisi panas untuk keselamatan atlet. Pada saat, dianjurkan untuk berhati-hati bila index WBGT mencapai 25 oC, dan olahraga dianggap tidak aman bila index WBGT mencapai 28 oC bagi yang tidak terlatih atau belum beraklimatisasi. Untuk kegiatan dengan tingkat aktivitas yang tinggi seperti lari jarak jauh diharapkan tidak dilakukan bila index WBGT > 28 oC (Giriwijoyo, 2007).

Faktor lain yang mempengaruhi kehilangan panas tubuh adalah kecepatan hembusan angin dan faktor air (Kusnanik dkk, 2011). Kecepatan hembusan angin yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan pembekuan jaringan. Cuaca dingin saja tidak terlalu membebani sistem pengaturan panas tubuh, akan tetapi lebih tinggi pembebanannya apabila cuaca dingin ditambah dengan kecepatan angin yang tinggi. Air mempunyai daya antar panas 26 kali lebih tinggi dari udara, yang berarti bahwa


(32)

kehilangan panas tubuh di air 26 kali lebih cepat dibandingkan dengan di udara. Akan tetapi transfer panas tubuh pada temperatur yang sama di dalam air empat kali lebih cepat dibandingkan dengan di udara.

b). Karakteristik individu

Karakteristik individu menyangkut bentuk tubuh, komposisi tubuh, umur, dan jenis kelamin. Bentuk tubuh yang umum dipergunakan dalam penelitian mengenai toleransi panas adalah rasio luas permukaan tubuh terhadap massa tubuh (LPT/MT). Anak usia pubertas mempunyai rasio sampai 50% lebih besar daripada laki-laki dewasa, sedangkan wanita, nilai itu dapat mencapai 10% lebih besar. Mereka yang mempunyai bentuk tubuh ramping (ectomorph) mempunayi rasio lebih tinggi dari pada yang berotot (mesomorph) apalagi dengan yang gemuk (endomorph). Bila berolahraga dengan beban yang sama, orang yang lebih besar akan membentuk panas lebih tinggi dari pada yang lebih ramping per satuan luas permukaan tubuhnya. Oleh karena itu pada kondisi yang panas dan lembab, orang yang lebih besar akan menimbun panas sedangkan yang lebih kecil dapat dengan mudah mempertahankan keseimbangan panas. Pada panas lingkungan yang ekstrim, orang dengan rasio LPT/MT yang lebih tinggi akan membentuk panas yang lebih sedikit daripada yang mempunyai rasio LPT/MT yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena produksi panas yang rendah dan pembuangan panas yang lebih baik pada semua cara (FPOK, 2010b).

Komposisi tubuh. Respon ini dikaitkan pada sejumlah faktor yaitu: rasio LPT/MT orang kurus lebih tinggi, panas jenis jaringan lemak jauh lebih rendah dari pada jaringan tanpa lemak. Dengan demikian muatan panas per satuan massa tubuh lebih meningkatkan suhu tubuh pada orang gemuk dari pada orang kurus. Kemampuan yang diberikan terhadap panas pada orang gemuk akan lebih besar (Gabriel, 2012).

Umur. Apabila berolahraga di tempat panas, orang yang lebih tua menunjukkan suhu rektal yang lebih tinggi dari pada orang muda; perbedaan ini menjadi lebih besar pada stress iklim yang lebih tinggi dan meningkatnya durasi pemaparan. FPOK (2010a) melaporkan, bahwa laki-laki umur 20 - 30 tahun dapat menguapkan keringat lebih


(33)

banyak per derajat peningkatan suhu rektal dan mempunyai suhu kulit yang lebih rendah daripada orang tua umur 45 - 70 tahun. Hal ini disebabkan karena pengeluaran keringat pada orang muda terjadi lebih awal sehingga aliran darah ke kulit berkurang.

Jenis kelamin.Wanita kurang toleran untuk berolahraga pada tempat panas oleh karena tingkat pengeluaran keringatnya yang lebih rendah. Akan tetapi wanita mempunyai keuntungan karena cairan tubuh lebih dihemat (Cameron dkk., 2012).

2.2.2 Pengaruh Paparan Panas

Tekanan panas yang mengenai tubuh dapat mengakibatkan permasalahan kesehatan hingga kematian. Kematian para atlet yang disebabkan karena latihan atau pertandingan ditempat panas dan lembab disebabkan karena sistem mekanisme pengaturan suhu tubuh tidak mampu dalam melindungi tubuh terhadap perubahan cuaca, sehingga diperlukanlah adaptasi dalam waktu yang pendek dan adaptasi dalam waktu yang lebih lama, beberapa bulan, beberapa tahun atau disebut dengan aklimatisasi (Kusnanik dkk., 2011).

Ada beberapa kelainan patologi tubuh yang diakibatkan oleh suhu dan kelembaban relatif yang tinggi di antaranya adalah (Arief, 2012)

1. Heat syncope (pingsan panas) adalah ganggunan induksi panas yang serius. Ciri dari gangguan ini adalah pening dan pingsan akibat berolahraga dalam lingkungan panas dan lembab dalam waktu yang lama. Kejadian ini timbul dengan adanya vasodilatasi sistemik berlebihan. Penanggulangannya adalah pendinginan dan diberikan minum air dingin dengan suhu antara 5-10 oC. Pendinginan ini akan menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah dan akhirnya akan menjadi normal.

2. Heat cramp (kejang panas). Gejala kelinan ini adalah rasa nyeri dan kejang pada kaki, tangan, dan perut dan ditandai dengan pengeluaran keringat yang banyak. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan cairan dan garam selama melakukan olahraga yang berat di lingkungan yang panas dan lembab. Olahraga


(34)

dalam waktu lama, mengeluarkan banyak garam yang keluar bersamaan dengan keringat yang hanya diganti dengan air putih.

3. Heat exhaustion (kelelahan panas) merupakan reaksi tubuh terhadap terpaan panas dalam waktu yang lama (dapat berjam-jam atau berhari-hari) yang diakibatkan oleh berkurangnya cairan tubuh atau volume darah. Kondisi ini terjadi jika jumlah keringat yang dikeluarkan melebihi air yang diminum selama terkena panas. Gejalanya adalah keringat sangat banyak, kulit pucat, lemah, pening, mual, pernapasan pendek dan cepat, pusing dan pingsan. Suhu tubuh berkisar antara 37 - 40 oC.

4. Heat stroke (kegawatan panas) adalah penyakit gangguan panas yang mengancam nyawa yang berkaitan dengan olahraga pada lingkungan yang panas dan lembab. Kelainan ini dapat menyebabkan koma dan kematian. Gejalanya adalah detak jantung cepat, suhu tubuh sekitar 40 oC atau lebih, kulit kering dan tampak kebiruan atau kemerahan, Tidak ada keringat di tubuh korban, pening, menggigil, mual, pusing, kebingungan dan pingsan.

Kelainan yang diakibatkan oleh stres panas ini disebabkan karena naik turunnya suhu inti tubuh. Bila berubah naik turun 2 oC dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh. Pada saat olahraga temperatur tubuh dapat mencapai 40 oC yang menyebabkan meningkatkan metabolisme pada otot. Akan tetapi suhu inti tubuh yang tinggi, akan mempengaruhi sistem saraf oleh hipotalamus yang menghambat pelepasan panas tubuh (Ganong, 2012; Guyton dan Hall, 2012).

2.2.3 Aklimatisasi pada Lingkungan Olahraga

Aklimatisasi adalah adaptasi fisiologis terhadap sifat-sifat alamiah lingkungan yaitu penyesuaian fungsi tubuh terhadap lingkungan yang baru yang berbeda dengan kawasan hunian sebelumnya. Toleransi terhadap paparan panas dan lembab meningkat dengan aklimatisasi sehingga diperlukan cukup waktu apabila seseorang melakukan olahraga di tempat panas dan lembab, setelah bermukim di tempat dingin. Proses ini meningkatkan respons sirkulasi dan pengeluaran keringat yang memfasilitasi


(35)

pembuangan panas dan menurunkan suhu tubuh. Perbaikan kapasitas berkeringat dan kemampuan berkeringat disertai dengan distribusi keringat yang lebih merata pada permukaan tubuh. Mekanisme ini meningkatkan perbedaan suhu antara inti tubuh dengan bagian perifernya. Dengan demikian pembuangan panas meningkat dengan aliran darah lebih sedikit ke kulit (Silverthorn, 2004).

. Suhu dan kelembaban relatif yang lebih tinggi mempercepat perubahan fungsi tubuh ke arah yang merugikan, sehingga orang yang belum teraklimatisasi dengan lingkungan baru, dapat mempercepat bahaya. Oleh karena itu, aklimatisasi terhadap lingkungan khususnya panas dan lembab perlu diperhatikan agar keadaan patologis dapat dihindari (Giriwijoyo, 2007). Pengaturan suhu tubuh penting untuk mempertahankan homeostasis yaitu pemeliharaan kondisi cairan tubuh agar tubuh berfungsi dengan baik dalam aspek fisik maipun psikis (Guyton dan Hall, 2012). Bersamaan dengan itu aliran darah yang lebih lancar dalam otot selama berolahraga memungkinkan penyediaan energi secara aerobik. Dengan demikian orang yang telah beraklimatisasi, selama olahraga yang intensif menurunkan pembentukan panas dan durasipun dapat ditingkatkan.

Pendinginan melalui evaporasi terhambat oleh pakaian yang digunakan. Meningkatnya kelembaban antara kulit dan pakaian, akan meningkatkan suhu kulit disertai peningkatan pengeluaran keringat. Peningkatan suhu kulit pada bagian tubuh yang ditutupi pakaian akan terjadi, diikuti kenaikan suhu rektal, pengeluaran keringat meningkat, dan denyut nadi meningkat. Penurunan suhu rektal akan dipercepat bila menggunakan pakaian kaos dari bahan jaring ikat (FPOK, 2010b).

Penggantian cairan yang hilang perlu dilakukan apabila volume cairan tubuh berkurang secara signifikan oleh karena dehidrasi atau bila aliran darah ke otot harus dibagi ke kulit seperti pada olahraga di tempat panas dan lembab, maka kerja fisik daya tahan, dan pengaturan suhu menjadi terganggu. Menurunnya penampilan terlihat setelah dehidrasi mencapai 2% dari berat badan. Pada tingkat dehidrasi yang lebih tinggi, akan terjadi penurunan penampilan daya tahan secara dramatis. Penggantian


(36)

cairan cukup 40-50% dari cairan yang hilang sudah cukup untuk mengurangi resiko overheating dan gangguan penampilan daya tahan. Hal ini disebabkan karena tubuh membentuk air selama olahraga (McArdle dkk., 2010).

Keringat mengandung berbagai elektrolit seperti Na dan Cl tetapi dalam kadar yang sangat rendah yaitu sepertiga dari kadarnya di dalam plasma darah. Pada orang yang terlatih, kadar garam keringat lebih rendah dan kadarnya meningkat pada olahraga berat bila keringatnya lebih banyak. Oleh karena tubuh kehilangan lebih banyak air dibandingkan elektrolit selama latihan, maka cairan tubuh menjadi lebih pekat dan mengganti air sangat diharapkan (FPOK, 2010b).

2.3 Kelembaban Udara

2.3.1 Pengertian Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah suatu besaran yang menunjukkan kandungan uap air di dalam udara, yang merupakan bagian dari komponen iklim. Kelembaban udara ini mempunyai pengaruh terhadap cuaca lingkungan. Ketika udara mengandung banyak uap air, maka dikatakan udara tersebut mempunyai kelembaban yang tinggi (Kanginan, 2000). Kelembaban udara adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara yang dinyatakan dalam gram per meter kubik atau dapat juga dinyatakan dalam persen. Kelembaban udara secara bersamaan dengan suhu udara, kecepatan angin, dan radiasi panas mempengaruhi tubuh dalam menerima panas dari lingkungan atau membuang panas ke lingkungan (Uhud dkk., 2008).

Kelembaban udara ada dua macam yaitu kelembaban mutlak dan kelembaban relatif. Kelembaban mutlak (absolute humidity) adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam satu meter kubik (m3) udara. Kelembaban ini dinyatakan dalam gram per meter kubik (g/m3). Kelembaban relatif (relative humidity) adalah bilangan persen yang menunjukkan perbandingan antara massa uap air yang berada dalam udara dan massa uap air yang terkandung dalam udara jenuh pada tekanan dan suhu yang sama (Bradshow, 2006). Kelembaban relatif udara biasa disebut dengan kelembaban udara (Kanginan, 2000).


(37)

RH = m/mj X 100%. di mana:

RH = kelembaban relatif

m = massa uap air udara

mj = massa uap air udara jenuh.

Kelembaban relatif meningkat apabila kandungan uap air atmosfer meningkat ditambah dengan meningkatnya permukaan air terbuka, seperti: laut, sungai, danau, dan permukaan air lainnya. Kelembaban udara juga berubah berbanding terbalik dengan perubahan suhu udara, yaitu ketika udara didinginkan maka kandungan uap air akan meningkat dan bila udara dipanaskan maka kandungan uap air akan menurun. Pendinginan udara lebih lanjut sampai lebih kecil dari 5 oC, menyebabkan terjadinya kelebihan uap air dalam udara dan akhirnya akan mengembun. pengembunan menyebabkan uap air dalam udara berkurang. Hal ini sering terjadi di daerah kutub dengan suhu udara di bawah 0oC tetapi mempunyai kelembaban relatif udara yang sangat rendah (Kanginan, 2000).

2.3.2 Alat Ukur Kelembaban Udara

Untuk mengukur kelembaban relatif udara umumnya digunakan psikrometer yang disebut dengan sling psychrometer (Suma’mur, 2014). Alat ini terdiri dari dua buah termometer yaitu termometer bola basah dan termometer bola kering yang dikemas dalam satu alat. Termometer kering mengukur suhu udara lingkungan dan termometer basah mengukur suhu pada kapas yang dibasahi dengan air. Kepala termometer basah ini dikipasi dengan cara memutar tombol kipas. Pengipasan ini bertujuan untuk mempercepat penguapan (Umar, 2010). Kecepatan angin yang dipakai dalam termometer basah ini berkisar antara 2 m/dt sampai dengan 5 m/dt (meter per detik) (Japanes Industrial Standard dalam Tristomo, 2007). Kelembaban relatif udara dapat ditentukan dengan menggunakan tabel, yaitu dengan mencari pertemuan antara suhu bola basah dengan selisih antara suhu bola kering dengan suhu bola basah. Alat ukur kelembaban yang lain adalah higrometer. Higrometer terdiri dari higrometer


(38)

analog dan hidrometer digital. Higrometer analog digunakan untuk mengukur kelembaban relatif udara dengan menggunakan pembacaan jarum penunjuk sedangkan higrometer digital menggunakan penunjuk angka (Sigar, 2010).

2.3.3 Pengaturan Kelembaban Udara

Di daerah tropis seperti Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa yaitu antara 6o lintang utara dan 11o lintang selatan dengan suhu udara yang tinggi dan kelembaban yang tinggi (Rosa dkk., 2010). Kondisi udara seperti ini sangat tidak cocok untuk olahraga atau latihan fisik dalam ruangan tertutup. Hal ini akan diperberat oleh jumlah penonton yang memenuhi kapasitas ruangan, sehingga peningkatan temperatur dan kelembaban udara akan terjadi (Giriwijoyo, 2007).

Peningkatan kelembaban relatif udara dapat menimbulkan masalah terhadap lingkungan sekitar, baik pada manusia, organisme maupun peralatan yang ada di dalamnya. Terhadap manusia kelembaban relatif udara yang tinggi dapat menyebabkan tekanan fisiologis berupa ketidaknyamanan dan dapat mengganggu kesehatan, sedangkan terhadap lingkungan menyebabkan percepatan pertumbuhan organisme seperti jamur dan spora serta dapat mempercepat mengkaratnya logam (Muchamad, 2006; Gabriel, 2013). Kelembaban relatif udara yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya pengeluaran keringat sehingga akan meningkatkan penurunan cairan tubuh yang berefek terhadap peningkatan beban kardiovaskular (Fajrin dkk., 2014). Selanjutnya Megasari dan Juniani (2010) menyatakan, kelembaban relatif yang tinggi merupakan beban bagi tubuh ditambah dengan meningkatnya beban kerja fisik. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesehatan dan stamina.

Oleh karena itu kelembaban udara dalam ruangan yang dipakai untuk latihan fisik perlu diatur pada kondisi nyaman. Menurut Menkes (2011), kelembaban relatif yang nyaman untuk beraktifitas di dalam ruangan adalah berkisar antara 40 - 60%. Untuk mendapatkan kelembaban udara di dalam ruangan sebesar itu maka perlu dilakukan pengkondisian udara buatan yaitu dengan menggunakan air conditioning (AC). Menurut Rosa dkk. (2010), orang yang berada dalam ruangan dibutuhkan suhu


(39)

udara dan kelembaban relatif udara yang benar sehingga merasa nyaman dan sehat. Oleh karena itu, perlu pengkondisian udara sesuai standar yang telah ditetapkan. AC berperan untuk mengatur suhu, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin sesuai dengan yang diinginkan. Di samping itu AC juga menjadikan udara bersih dari debu, melindungi peralatan, serta memberikan kenyamanan sehingga meningkatkan produktivitas kerja dalam ruangan (Eddy, 2004).

Untuk menurunkan kelembaban relatif udara, dapat dilakukan dengan cara menggunakan dehumidifier. Dehumidifier adalah proses yang dilakukan dengan melewatkan udara pada alat desiccant yang berfungsi sebagai penyerap uap air dengan menggunakan silica gel sehingga uap air yang berada dapam udara akan menerun (Brundrett dalam Mucchammad, 2006).

Pengkondisian udara pada AC dilakukan dengan evaporator yang berada pada bagian alat dalam ruangan (in-door). Apabila AC diaktifkan, maka kompresor bekerja dan mengalirkan zat pendingin (refrigerant) ke evaporator. Evaporator didinginkan oleh refrigerant dengan bantuan blower. Udara yang melewati evaporator, uap airnya akan diembunkan pada sirip evaporator dan disalurkan keluar lewat pipa. Pengembunan udara ini menyebabkan uap air udara dalam ruangan menjadi berkurang atau kelembabannya menurun (Anonim, 2008).

2.3.4 Pengaruh Kelembaban Relatif Udara

Kelembaban relatif udara sangat penting diperhatikan mengingat kelembaban ini sangat berpengaruh terhadap proses industri, kelangsungan hidup organisme, dan kesehatan. Dalam industri pengawetan dan pemrosesan makanan atau minuman seperti roti dan jenis kue membutuhkan kelembaban relatif antara 40 - 80%, penyimpanan alat-alat listrik membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 70%, sedangkan industri farmasi membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 50% (Carrier Air Conditioning Company dalam Muchammad, 2006).

Olahraga dalam ruangan tertutup seperti olahraga bulutangkis, bola voli, tenis meja, dan lain-lain kelembaban relatif udara sangat tinggi perannya. Hal ini terlihat dari


(40)

indeks WBGT yang ditentukan oleh suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan kecepatan hembusan angin. Indeks WBGT dapat dituliskan dengan persamaan (Muchammad, 2006):

WBGT oC = 0,7 WB + 0,2 G + 0,1 DB (di luar ruangan)

WBGT oC = 0,7 WB + 0,3 G (di dalam ruangan)

di mana:

WB = suhu bola basah

G = suhu bola hitam

DB = suhu bola kering

Suhu lingkungan ditunjukkan oleh suhu thermometer bola kering, daya pancaran matahari dan lingkungan ditunjukkan oleh thermometer bola hitam, sedangkan kelembaban relatif udara ditunjukkan oleh thermometer bola kering dan kecepatan angin (Megasari dan Juniani, 2010). Dari uraian tersebut, maka peran dari kelembaban relatif udara terhadap indeks WBGT sangatlah penting. Hal ini dinyatakan oleh (President Council on Physical Fitness and Sport (2007), bahwa kelembaban relatif udara adalah faktor terpenting yang mempengaruhi kejadian heat stress. Hal ini disebabkan karena apabila kelembaban relatif udara tinggi ditambah dengan tidak adanya aliran udara maka evaporasi keringat sangat rendah, yang menyebabkan suhu kulit meningkat. Tingginya suhu kulit menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh ke permukaan kulit menjadi tidak lancer. Gagalnya konduksi panas dari inti tubuh ke kulit dapat menyebabkan heat stress.

Selanjutnya Takarosha (2005) menyatakan, bahwa untuk menciptakan kenyamanan dalam beraktivitas di dalam ruangan tertutup perlu diperhatikan suhu udara, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin, serta faktor individual yang menyangkut aklimatisasi, pakaian, jenis kelamin, usia, tingkat kesehatan, tingkat kegemukan, warna kulit, serta minuman yang dikonsumsi.

Indeks WBGT sesuai dengan American Collage of Sport Medicin (ACSM) terbagi menjadi empat kategori dengan masing-masing disertai dengan tanda dan status


(41)

serta kejadian yang dapat atau akan dialami oleh peserta yang beraktivitas baik di dalam ruangan maupun dalam area terbuka (Fox, 1983). Kategori indeks WBGT ditampilkan seperti Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kategori Indeks WBGT

No: Tanda/Status Indeks WBGT Keterangan

1 Merah / Risiko tinggi 23 – 28 oC Peserta harus waspada akan

kemungkinan kegawatan panas. Orang yang peka terhadap suhu dan kelembaban tinggi

sebaiknya tidak diikutkan.

2 Jingga / Risiko sedang 18 – 23 oC Perlu diingat bahwa indeks

WBGT meningkat sesuai perjalanan waktu.

3 Hijau / Risiko rendah 10 – 18 oC Masih tidak dapat menjamin

tidak terjadi kegawatan panas

4 Putih / Risiko Rendah Di bawah 10 oC Kemungkinan hyperthermia

kecil tetapi dapat terjadi hypothermia.

Sumber: Fox (1983)

Kecepatan angin dalam ruangan juga berperan untuk menyatakan kenyamanan termal dalam ruangan. Semakin tinggi kelembaban dan suhu udara maka dibutuhkan kecepatan angin yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Macfarlane dalam Huda dan Pandiangan (2012), merumuskan sebuah persamaan untuk menentukan kecepatan angin yang dibutuhkan dengan memperhatikan kelembaban relatif dan suhu lingkungan:

CV = 0,15 (DBT – 27,2 ((RH - 60)/10) X 0,56) m/dt di mana:

CV = kecepatan hembusan angin yang dibutuhkan (m/dt)

DB = suhu bola kering (oC)


(42)

Kerlembaban Relatif udara berpengaruh langsung terhadap tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Hal ini dapat diterima karena pada kelembaban relatif udara yang tinggi terjadi peneluaran cairan tubuh saat latihan lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban relatif yang rendah. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatan kebutuhan darah ke kulit untuk mengeluarkan keringat (Fajrin dkk., 2014). Hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan darah saat aktivitas fisik pada kelembaban relatif yang melebihi nilai ambang batas (NAB) adalah penelitian Sugiyarto (2011), terhadap 42 pekerja yang diberikan tekanan panas dan sebelum tekanan panas.

Peningkatan juga terjadi terhadap prekuensi denyut nadi latihan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purnomo dan Rizal (2000), terhadap 30 mahasiswa yang berumur di atas umur 20 tahun yang diberikan latihan fisik pada suhu ruangan 22oC dan 27oC. Didapatkan semakin meningkat kelembaban relatif udara maka grekuensi denyut nadi semakin meningkat, sebaliknya semakin menurun kelembaban relatif maka frekuensi denyut nadi semakin menurun. Pernyataan lain yang mendukung adalah Budiman dalam Jamaludin dkk. (2012), bahwa meningkatnya tekanan panas akan meningkatkan frekuensi denyut nadi. Peningkatan frekuensi denyut nadi ini disebabkan karena menurunnya cairan tubuh. Wikipedia (2014) menyatakan bahwa bila cairan tubuh menurun sebanyak 2 - 6% akan meningkatkan kerja jantung, ditandai dengan meningkatnya frekuensi denyut nadi.

Peningkatan suhu tubuh terjadi saat atau setelah melakukan aktivitas fisik. Peningkatan suhu tubuh lebih tinggi terjadi apabila kelembaban relatif udara meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton dan Hall (2012), bahwa suhu tubuh akan meningkat mencapai 40 oC pada suhu dan kelembaban relatif udara yang tinggi dan menurun mencapai 35,3 oC bila suhu dan kelembaban udara rendah. Selanjutnya Wilmore dkk. (2008) menyatakan, bahwa meningkatnya kelembaban relatif udara sangat berperan dalam peningkatan suhu tubuh dan menurunnya kelembaban relatif udara akan mempercepat penurunan suhu tubuh saat latihan.


(43)

Kelembaban relatif udara yang tinggi akan meningkatkan paparan panas, sebaliknya pada kelembaban relatif yang rendah suhu kulit akan menurun. Penurunan suhu kulit menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh meningkat dan tubuh menjadi lebih dingin (Cameron dkk., 2012). Pendapat ini didukung oleh McArdle (2010), bahwa konduksi panas dari inti tubuh ke kulit akan meningkat pada kelembaban yang rendah. Hal ini disebabkan karena terjadinya penguapan keringat pada kulit yang menyebabkan permukaan kulit menjadi dingin. Selanjutnya Janssen (1993) menyatakan, olahraga dalam kelembaban udara tinggi akan meningkatkan pengeluaran keringat yang berdampat terhadap peningkatan suhu tubuh.

Di samping terjadi peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan suhu tubuh, latihan berkepanjangan pada kelembaban relatif tinggi juga meningkatkan kadar asam laktat darah. Hal ini didukung oleh Sugiharto dan Sumartiningsih (2012), bahwa meningkatnya frekuensi denyut nadi akan diikuti dengan peningkatan kadar asam laktat darah. Peningkatan kadar asam laktat darah sangat berkaitan dengan peningkatan viskositas darah setelah terjadinya pengeluaran keringat berlebih. Peningkatan viskositas darah ini menyebabkan pasokan O2 ke bagisan tubuh yang aktif berkurang, yang menyebabkan pasokan energi aerobik menurun dan pasokan energi anaerobik meningkat. Peningkatan pasokan energi anaerobik akan meningkatkan asam laktat darah (Purnomo, 2011). Selanjutnya Brun dkk (1995) melalui penelitiannya, setelah latihan sepak bola dengan intensitas maksimum viskositas darah akan menurun. Didapatkan terjadi hubungan antara viskositas darah dengan kadar asam laktat darah dengan hubungan berbanding terbalik.

2.4 Cairan Tubuh

2.4.1 Pengertian Cairan Tubuh

Cairan tubuh (tissue fluid) adalah cairan suspensi dari tubuh yang berfungsi mengangkut nutrisi baik karbohidrat, vitamin, dan mineral serta O2 ke sel-sel tubuh yang membutuhkannya. Cairan tubuh juga sebagai pengangkut produk samping


(44)

metabolisme, dan beberapa fungsi lainnya. Semua sel mengambil nutrisi dan O2 dan mengeluarkan hasil metabolism juga melalui cairan ini (Irianto, 2010).

Manusia mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya dari berbagai perubahan iklim, baik dari suhu panas ke dingin dan sebaliknya dari suhu dingin ke suhu panas. Jadi manusia memiliki sistem regulasi yang baik untuk mengantisipasi setiap perubahan karakteristik lingkungan. Adaptasi ini dilakukan oleh mekanisme homeostatis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan cairan, elektrolit, dan berbagai zat yang terdapat dalam cairan tubuh (Hasin, 2009).

Dalam aktivitas fisik, tubuh selalu menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan harus segera dikeluarkan dari dalam tubuh melalui cairan tubuh, akibatnya cairan tubuh dan elektrolit berkurang. Kehilangan cairan tubuh dan elektrolit pada saat berolahraga menyebabkan dehirasi yang dapat mengganggu penampilan fisik (Wilmore dkk., 2008). Kehilangan cairan tubuh berlebihan berakibat fatal terhadap kinerja fungsi tubuh, tentunya harus segera dikembalikan ke tingkat sebelumnya. Keadaan ini disebut dengan rehidrasi. Kehilangan cairan tubuh ini dapat mempengaruhi penampilan fisik, memperberat kerja jantung, dan dapat menyebabkan kematian (WHO, 2011).

Pada saat berolahraga diharapkan minum air secukupnya dengan jumlah disesuaikan dengan cairan tubuh yang hilang. Cepatnya cairan tubuh hilang tergantung dari intensitas latihan. Intensitas latihan yang lebih tinggi meningkatkan pengeluaran keringat. Begitu juga sebaliknya, intensitas latihan yang rentah pengeluaran keringat akan menurun. Tidak cukup hanya air putih yang diminum apabila berolahraga dalam waktu yang lama, akan tetapi perlu minuman olahraga dengan tambahan glukose dan garam (UNICEF, 2012).

2.4.2 Fungsi Cairan Tubuh

Dalam metabolisme yang terjadi di dalam tubuh manusia, air mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai pembawa zat-zat nutrisi seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral serta berfungsi sebagai pembawa oksigen (O2) ke dalam sel-sel tubuh. Selain itu, air di dalam tubuh juga berfungsi untuk mengeluarkan produk


(45)

samping hasil metabolisme seperti karbon dioksida (CO2 ) dan senyawa nitrat (Syaifuddin, 2012).

Selain berperan dalam metabolisme, air juga memiliki fungsi penting antara lain sebagai pelembab jaringan-jaringan tubuh seperti mata, mulut dan hidung, pelumas dalam cairan sendi tubuh, katalisator reaksi biologik sel, pelindung organ dan jaringan tubuh serta membantu dalam menjaga tekanan darah dan konsentrasi zat terlarut konstan. Selain itu agar fungsi-fungsi tubuh dapat berjalan dengan normal, air di dalam tubuh juga berfungsi sebagai pengatur panas tubuh (Guyton dan Hall, 2012).

Air memiliki fungsi vital di dalam tubuh. Menurut Almatsier (2013), air berperan dalam melarutkan zat-zat gizi serta mengangkut zat gizi tersebut ke seluruh bagian tubuh. Air berperan dalam mengangkut sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh melalui paru, kulit, dan ginjal. Air adalah media utama reaksi intrasel. Juga dinyatakan air merupakan katalisator dalam berbagai reaksi biologi dalam sel, termasuk dalam saluran pencernaan. Air merupakan pelarut terbaik pada solut polar dan ionik. Air merupakan media transpor pada sistem sirkulasi, ruang intravaskular, intersistium, dan intraselular (Darwis dkk., 2007).

Air berperan dalam memecah atau menghidrolisis zat gizi kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana dan sebagai pelumas cairan sendi. Sebagai bagian dari jaringan tubuh, air bahkan diperlukan sebagai zat pembangun. Sebagian panas yang dihasilkan dari metabolisme energi diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh sehingga kinerja enzim didukung secara optimal. Kelebihan panas dari metabolisme energi perlu segera disalurkan ke luar (Almatsier, 2013).

Cairan intraselular berperan untuk menghasilkan, menyimpan, menggunakan energi, serta dalam proses perbaikan sel. Cairan intraselular juga berperan dalam proses replikasi serta sebagai cadangan air untuk mempertahankan volume dan osmolalitas cairan ekstraselular. Cairan ekstraselular berperan sebagai pengantar semua keperluan sel, seperti zat gizi dan oksigen. Cairan ekstraselular juga berperan sebagai pengangkut karbon dioksida, sisa metabolisme, serta bahan-bahan toksik (Darwis dkk., 2007).


(1)

melakukan kegiatan sehari-hari tanpa merasa lelah berlebihan dan masih memiliki cadangan tenaga untuk menikmati waktu luang dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendadak (Nala, 2011). Daya tahan umum yang menyangkut kemampuan paru, jantung dan pembuluh darah (Respiratio Cardiovascular Endurance) adalah merupakan salah satu unsur utama kebugaran fisik. Daya tahan paru, jantung, dan pembuluh darah dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan tugas-tugas berat yang melibatkan kelompok-kelompok otot besar untuk jangka waktu yang lama. Tingginya tingkat daya tahan umum menunjukkan tingginya kapasitas kerja fisik, yang merupakan kemampuan untuk melepaskan jumlah energi yang relatif tinggi dalam jangka waktu yang lama (Ananto, 2000). Kebugaran fisik didapat dari olahraga yang meningkatkan HDL yaitu pada model olahraga yang lebih aktif atau aerobik yang membuat terjadi peningkatan denyut jantung dan memerlukan pergerakan tubuh yang berirama dan napas dalam (Neil-Nedley, 2009). Kebugaran fisik dapat diukur dengan berlari secepat-cepatnya sejauh 2,4 km yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit, ketelitian 0,01 menit.

7. Intensitas latihan. Intensitas latihan ditentukan oleh besar daya yang diperlukan dan dapat disediakan oleh mekanisme metabolisme anaerobik persatuan waktu. Secara subjektif dintensitas latihan itentukan oleh besar kesenjangan antara metabolisme aerobik (kemampuan memasok O2) terhadap metabolisme

anaerobik (tanpa tuntutan akan O2) yang terjadi (Giriwijoyo, 2007).

8. Teknik. Teknik sangat menentukan penampilan dalam berolahraga. Tanpa penguasaan teknik yang memadai sulit untuk memperoleh prestasi yang diharapkan. Dalam penelitian ini semua sampel dianggap mempunyai teknik yang sama karena semua sampel sebelumnya telah diajarkan teknik. Sebelum pengambilan data diajarkan teknik dasar dengan volume, waktu dan teknik yang sama dan telah dicoba dengan kesempatan yang sama setiap sampel.


(2)

9. Mental. Mental tidak kalah pentingnya dibandingkan faktor-faktor di atas karena betapapun sempurnanya fisik, teknik dan taktik apabila mentalnya kurang bagus penampilan puncak tidak mungkin tercapai. Oleh karena itu mental perlu ditingkatkan dengan cara pelatihan. Pelatihan mental ini penekanannya pada perkembangan kedewasaan serta emosional dan impulsif misalnya; semangat bertanding, sikap pantang menyerah, sportivitas, percaya diri, dan kejujuran. Dengan memberikan pelatihan maka fungsi fisiologis dan fsikologis tubuh meningkat sehinga mampu mencapai puncak penampilannya (Pinel, 2009). 10.Motivasi. Motivasi untuk berprestasi setinggi-tingginya atau ingin sukses

merupakan faktor yang menentukan prestasi atlet dengan cara memakai daya dan upaya yang ada. Dengan motivasi yang tinggi dapat meningkatkan besar dan frekuensi infuls saraf sehingga membangkitkan tenaga yang tinggi dan akan mempercepat pelaksanaan gerak (Narendra, 2008).

11.Disiplin. Faktor disiplin juga penting diperhatikan untuk mencapai penampilan puncak. Disiplin ini termasuk dalam pelatihan, kehadiran dalam berlatih dan disiplin dalam pengambilan data. Tanpa disiplin yang tinggi atlet sulit untuk mencapai prestasi yang diinginkan (Narendra, 2008).

12.Pengalaman. Pengalaman juga ikut berperan dalam mencapai penampilan puncak, baik menyangkut teknik, mental maupun kemampuan dalam mengatasi hambatan eksternal seperti hambatan udara (Enamait, 2005).

2.9.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlet. Faktor tersebut menyangkut; suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan angin, dan ketinggian tempat.

1. Suhu dan kelembaban relatif udara. Pada umumnya orang Indonesia beraklimatisasi pada suhu tropis antara 18-30 oC dengan kelembaban relatif bervariasi antara 40-60%. Bila atlet biasa berlatih pada suhu lingkungan sebesar 29 oC kemudian akan bertanding pada tempat panas dengan temperatur lebih


(3)

tinggi, maka harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan selama 12-14 hari dan bila temperatur tempat bertanding lebih kecil dibandingkan tempat latihan penyesuaian hanya dibutuhkan beberapa hari saja. Penyesuaian ini dilakukan dengan cara berlatih di tempat bertanding dalam waktu tertentu atau membuat ruangan tempat berlatih suhunya sama dengan di tempat bertanding (Giriwijoyo, 2007). Penurunan atau peningkatan suhu udara secara langsung akan mempengaruhi kelembaban relatif udara dengan perbandingan berbanding terbalik (Kanginan, 2000). Perubahan ini akan mempengaruhi penampilan fisik atlet bila berada di luar batas kenyamanan.

2. Arah dan kecepatan angin. Arah dan kecepatan angin tidak berpengauh bila aktivitas dilakukan di dalam ruangan (indor). Arah angin diukur dengan bendera angin atau kantong angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer (Kanginan, 2000). Arah dan kecepatan angin tempat penelitian berada pada batas toleransi, apalagi penelitian dilakukan di dalam ruangan. Diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecilnya atau tempat pengambilan data berada pada kondisi yang sama.

3. Ketinggian tempat. Setiap peningkatan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut terjadi penurunan percepatan gravitasi sebesar 0,3 cm/dt2 (Cameron dkk., 2012). Hal ini akan mempengaruhi penampilah fisik. Tempat yang percepatan gravitasinya rendah akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan kerugian yang lebih besar yaitu setiap ketinggian 100 meter di atas permukaan laut akan terjadi penurunan tekanan udara sebesar 6-10 mmHg (Gabriel, 2013; Pulung dan Ika, 2006). Penurunan tekanan udara ini akan menurunkan kadar O2. Sehingga bila atlet biasa berlatih di dekat permukaan laut

kemudian bertanding di tempat tinggi dengan kadar O2 rendah, maka frekuensi

pernapasannya akan meningkat karena konsumsi O2 sama dengan saat berlatih


(4)

menjadi beban yang cukup besar. Ketinggian tempat pengambilan data antara 0-75 meter di atas permukaan laut (Wikipedia, 2011). Ketinggian tempat dianggap tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian karena subjek terbiasa beraktivitas tidak jauh dari tempat penelitian dan pada tempat yang sama pada ke dua kelompok.

2.10 Pemanasan

Pemanasan yang cukup memadai dalam suatu aktivitas fisik, baik kerja atau olahraga sangat perlu dilakukan, karena ketika beristirahat sistema tubuh berada dalam keadaan tidak aktif. Untuk itu perlu diadakan adaptasi selama beberapa menit, baik fisik maupun fsikologis dari sikap pasif ke sikap aktif. Pemanasan yang dilakukan akan meningkatkan suhu tubuh terutama otot skeletal meningkat dengan cepat (McGowan dan Castolli, 2007). Jumlah darah yang mengangkut oksigen ke otot skeletal meningkat pula yang akan mengaktifkan sumber energi di dalam otot dan merangsang keluarnya hormon serta meningkatkan kerja enzim (Nala, 2011). Pemanasan akan membantu berlatih lebih baik dan mengurangi rasa sakit yang biasanya dirasakan. Pemanasan bertujuan untuk menyiapkan otot menjalani pelatihan inti dan memungkinkan persediaan oksigen mempersiapkan diri untuk menghadapi latihan. Diuraikan bahwa otot akan berfungsi lebih baik jika suhu tubuh telah meningkat dari normal (Burke (2001). Pendapat di atas didukung oleh Brick (2002), yang menyatakan ada lima alasan dilakukannya pemanasan, yaitu; 1). berangsur-angsur menaikkan denyut jantung, 2). Mempersiapkan otot-otot dan sendi, 3). Meningkatkan suhu inti tubuh, 4). Meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh, dan 5). Mempersiapkan diri secara psikologis dan emosional.

Pemanasan ini sangat bermanfaat untuk menunjang kinerja sel otot skeletal, otot jantung, paru, dan pembuluh darah. Selain itu pemanasan juga mengaktifkan sistem saraf yang mengkoordinasikan kinerja sistem tubuh lainnya sehingga menjadi lebih baik. Meningkatkan kecepatan infuls saraf yang merambat melalui rangsangan dari pusat rangsangan menuju saraf motorik dan tujuan akhirnya otot skeletal. Akibatnya


(5)

adalah mempercepat reaksi motorik, meningkatkan reflek dan kontraksi otot serta koordinasinya, sehingga penampilan atlet akan diperbaiki, cedera dikurangi, dan mental menjadi tambah siap untuk bertanding.

Pemanasan yang umum dilakukan dalam olahraga adalah pemanasan aktif, yaitu dengan aktivitas fisik, bukan pemanasan pasif seperti; mandi uap, menggunakan selimut panas, sinar inframerah, dengan bahan kimia yang efeknya sangat terbatas pada organ tubuh, tidak setinggi aktivitas fisik yaitu dengan kontraksi otot (Chandler dan Broown, 2008; Guyton dan Hall, 2012).

Intensitas dan durasi pemanasan bervariasi tergantung dari aktivitas yang dilakukan. Pemanasan untuk mengerahkan seluruh otot tubuh berkisar antara 20-30 menit atau 10-20 menit (Bompa dan Haff, 2009) sedangkan Powers dan Howley (2009) menyatakan, denyut jantung meningkat 20-40 persen dari denyut jatung istirahat dengan 5 menit terakhir digunakan untuk pemanasan khusus. Menurut Burke (2001) serta Thomas dkk. (2008), waktu yang dibutuhkan untuk pemanasan kira-kira 5-10 menit, atau jika menggunakan patokan denyut jantung telah mencapai 50-60% denyut nadi maksimum. Patokan lain adalah keluarnya keringat yang tergantung dari berbagai faktor yaitu; suhu dan kelembaban lingkungan, umur, kebugaran fisik, berat ringannya aktivitas dan lain-lain.

Tipe pemanasan yang dilakukan tergantung dari cabang olahraganya. Menurut Nala (2011), tipe pemanasan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu:

1. Peregangan, merupakan aktivitas otot yang pertama kali dilakukan dalam pemanasan. Gerakannya tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, tetapi perlahan-lahan untuk mengindari cedera. Pada setiap akhir peregangan posisinya ditahan selama 20-30 detik. Peregangan membantu darah kembali ke jantung, menurunkan risiko cedera dan merasakan diri santai (Brick, 2002).

2. Kalisthenik, adalah menggerakkan sekelompok otot yang secara aktif berulang-ulang dengan tujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada otot yang


(6)

terlibat. Misalnya gerakan baring-duduk (sit-ups) untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada perut dan pinggang, yang dilakukan cukup 5-10 kali.

3. Aktivitas spesifik, merupakan gerakan pemanasan yang disesuaikan dengan aktivitas yang dilakukan. Jadi disesuaikan dengan olahraga spesialisasinya.

2.11 Pendinginan

Pendinginan adalah bagian dari sesi latihan yang berperan khusus sebagai proses tubuh kembali ke kondisi normal, termasuk kondisi biomekanis, fisiologis, psikologis dan spiritual atau keadaan sebelum latihan (Brick, 2002). Bila latihan dilakukan, sangat penting untuk kembali pada tahap semua organ tubuh berada pada tingkat normal mereka. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kekuatan otot, relaksasi, teknik dan koordinasi, ketepatan gerakan, dan kondisi mental. Arti psikologis dari pendinginan baik setelah olahraga sehari-hari maupun setelah pertandingan sering diabaikan, walaupun sebetulnya sangatlah penting dilakukan (Giriwijoyo, 2007).

Pendinginan bentuknya kurang lebih sama dengan pemanasan yaitu berupa gerakan-gerakan ringan yang menyerupai peregangan dan pelemasan. Latihan pendinginan adalah gerakan ringan yang untuk membantu melancarkan sirkulasi darah (mengaktifkan pompa pena), sehingga akan membantu mempercepat pengangkutan sisa metabolisme dari otot yang aktif saat melakukan aktivitas berat sehingga rasa pegal-pegal dapat dikurangi. Pada hakekatnya pendinginan merupakan auto massage yaitu memijat oleh diri sendiri (Giriwijoyo, 2007). Pendinginan dilakukan dengan menurunkan intensitas latihan secara berangsur-angsur selama beberapa menit hingga mencapai denyut jantung 50% dari denyut maksimum (Burke, 2001).

Jadi pendinginan merupakan latihan multi-dimensi dan harus dilakukan secara serius sebagai bagian utama dari sesi latihan. Bagian ini tidak memakan waktu banyak, tetapi bisa sedikit lebih lama dari pemanasan, karena kembalinya fungsi tubuh ke normal bisa menjadi merupakan proses yang lebih dituntut dibandingkan pemanasan. Bila ada lebih banyak kesempatan, pendinginan bisa dilakukan lebih lama dibandingkan waktu yang digunakan untuk pemanasan (Narendra, 2008).