Studi deskriptif problem-problem yang dihadapi para tuna wisma di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) dalam proses resosialisasi.

(1)

ABSTRAK

Emilius Kristiadi Cahyana (2009), STUDY DESKRIPTIF PROBLEM-PROBLEM YANG DIHADAPI PARA TUNA WISMA YANG TINGGAL DI PERKAMPUNGAN SOCIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) DALAM PROSES RESOSIALISASI. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitain kualitatif ini bertujuan mengetahui konflik warga tuna wisma di PSP YSS yang merupakan problem di dalam menjalani proses resosialisasi. Penelitian ini juga akan memuat sikap-sikap keluarga jalanan dalam menghadapi problem terberatnya. Latar belakang permasalahan yang terjadi adalah banyaknya warga Pingit yang keluar dari PSP YSS dengan tidak menyelesaikan proses resosialisasi dengan baik.

Responden penelitian ini adalah warga PSP YSS yang sedang menjalani proses resosialisasi. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah tiga keluarga yang merupakan pasangan suami-istri. Metode yang digunakan adalah mengunakan study deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumen hasil evaluasi para relawan PSP YSS divisi orang tua.

Hasil penelitan memperlihatkan bahwa problem-problem yang dialami keluarga tuna wisma cukup beragam. Problem yang mereka alami mencakup konflik interpersonal, konflik intrapersonal dan konflik organisasi. Problem terberat yang dialami keluarga tunawisma di PSP YSS memiliki 2 ciri, yaitu keluarga-keluarga tuna wima memiliki kecenderungan munculnya konflik lanjutan dari konflik utama dan cenderung berlangsung lama atau tidak sebentar. Sikap keluarga-keluarga tuna wisma dalam menghadapi problem mengalami perubahan dari sikap negatif menuju sikap positif yang merupakan hasil dari proses belajar.

Kata kunci : tuna wisma, resosialisasi, problem, konflik,


(2)

viii ABSTRACT

Emilius Kristiadi Cahyana (2009), A DESCRIPTION STUDY: PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) HOMELESS COMMUNITY’S PROBLEMS IN THEIR PROCESS OF RESOCIALITATION. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

This qualitative research is aimed to know the conflict life of homeless people as the member of PSP Pingit community in their process of resocialization seen from the way they resolve their daily problems.This research also describes homeless people attitude when facing their difficult problem. The background of the problem is the increasing number of Pingit’s homeless community who are moving out from the community because they are not able to finish their process of resocialization.

The respondent of the research is the member of Pingit’s community who still involves in the process of resocialization. The writer uses three couples in the community as the respondent. The method that is used in the research is the descriptive study. The writer takes interview as the technique of this research added by the data from the volunteer’s evaluation from adult division in the community.

The result of this research shows that many problems are faced by the homeless family in PSP Pingit. The problems are interpersonal conflict, intrapersonal conflict, and organizational conflict. There are two characteristics that can be found in the most complicated organizational conflict. The conflict that arise from the main conflict and the conflict is happened in a sequenced of time, not in a short time.

The homeless family has the change in their behavior towards the problems that they had, from being negative to be positive behavior due to the result from their learning process.


(3)

STUDI DESKRIPTIF PROBLEM-PROBLEM YANG DIHADAPI PARA TUNA WISMA DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT

YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) DALAM PROSES RESOSIALISASI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Emilius Kristiadi Cahyana NIM : 019114025

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

HALAMAN MOTTO

biasanya harus bersusah payah melaluinya, dengan tubuh yang penuh luka goresan duri semak belukar

(Kamijyo akimine)

walaupun begitu

akan kucintai dan kuhadapi apa yang sudah kupilih

karena semua itu

Ad Maiorem Dei Gloriam

(Demi kemulian Allah yang lebih besar)


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi dengan Judul

STUDI DESKRIPTIF PROBLEM-PROBLEM YANG DIHADAPI PARA TUNA WISMA DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT

YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) DALAM PROSES RESOSIALISASI

Saya persembahkan kepada

:

 

 

YESUS

 

KRISTUS

 

DAN

 

BUNDAKU

 

MARIA

 

BAPAK

 

V.

 

WARTADI

 

IBU

 

MG.

 

SITI

 

SUWARINI

 

ADIKKU

 

PAULA

 

KRISTIANI

 

RAHAYU

 

dan

 

CLARA

 

KRISTINA

 

WARTADI

 

 

 

Serta

 

semua

 

TEMAN

 

dan

 

SAHABAT

 

yang

 

terlibat

 

di

 

Perkampungan

 

Sosial

 

Pingit

 

Yayasan

 

Sosial

 

Soegiyapranata

 

 

 

 

 


(8)

(9)

ABSTRAK

Emilius Kristiadi Cahyana (2009), STUDY DESKRIPTIF PROBLEM-PROBLEM YANG DIHADAPI PARA TUNA WISMA YANG TINGGAL DI PERKAMPUNGAN SOCIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) DALAM PROSES RESOSIALISASI. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitain kualitatif ini bertujuan mengetahui konflik warga tuna wisma di PSP YSS yang merupakan problem di dalam menjalani proses resosialisasi. Penelitian ini juga akan memuat sikap-sikap keluarga jalanan dalam menghadapi problem terberatnya. Latar belakang permasalahan yang terjadi adalah banyaknya warga Pingit yang keluar dari PSP YSS dengan tidak menyelesaikan proses resosialisasi dengan baik.

Responden penelitian ini adalah warga PSP YSS yang sedang menjalani proses resosialisasi. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah tiga keluarga yang merupakan pasangan suami-istri. Metode yang digunakan adalah mengunakan study deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumen hasil evaluasi para relawan PSP YSS divisi orang tua.

Hasil penelitan memperlihatkan bahwa problem-problem yang dialami keluarga tuna wisma cukup beragam. Problem yang mereka alami mencakup konflik interpersonal, konflik intrapersonal dan konflik organisasi. Problem terberat yang dialami keluarga tunawisma di PSP YSS memiliki 2 ciri, yaitu keluarga-keluarga tuna wima memiliki kecenderungan munculnya konflik lanjutan dari konflik utama dan cenderung berlangsung lama atau tidak sebentar. Sikap keluarga-keluarga tuna wisma dalam menghadapi problem mengalami perubahan dari sikap negatif menuju sikap positif yang merupakan hasil dari proses belajar.

Kata kunci : tuna wisma, resosialisasi, problem, konflik,


(10)

viii ABSTRACT

Emilius Kristiadi Cahyana (2009), A DESCRIPTION STUDY: PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) HOMELESS COMMUNITY’S PROBLEMS IN THEIR PROCESS OF RESOCIALITATION. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

This qualitative research is aimed to know the conflict life of homeless people as the member of PSP Pingit community in their process of resocialization seen from the way they resolve their daily problems.This research also describes homeless people attitude when facing their difficult problem. The background of the problem is the increasing number of Pingit’s homeless community who are moving out from the community because they are not able to finish their process of resocialization.

The respondent of the research is the member of Pingit’s community who still involves in the process of resocialization. The writer uses three couples in the community as the respondent. The method that is used in the research is the descriptive study. The writer takes interview as the technique of this research added by the data from the volunteer’s evaluation from adult division in the community.

The result of this research shows that many problems are faced by the homeless family in PSP Pingit. The problems are interpersonal conflict, intrapersonal conflict, and organizational conflict. There are two characteristics that can be found in the most complicated organizational conflict. The conflict that arise from the main conflict and the conflict is happened in a sequenced of time, not in a short time.

The homeless family has the change in their behavior towards the problems that they had, from being negative to be positive behavior due to the result from their learning process.


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Yang Baik dan Bunda Suci Maria karena berkat kasih-Nya yang begitu besar, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tanpa bimbingan-Nya, tentulah skripsi ini tidak akan tersusun dengan baik.

Skripsi ini disusun selama lebih dari tiga setengah tahun. Sebuah proses yang panjang untuk sebuah penulisan skripsi. Selama itu pula penulis mengalami berbagai dinamika yang tentunya sangat berharga. Dinamika untuk mengalahkan diri sendiri, melatih fokus terhadap sebuah tujuan dan menghargai pentingnya arti sebuah kesetian akan pilihan. Semua tantangan dan hambatan itu sudah dilalui dan kini tiba saatnya bagi peneliti untuk mempertanggungjawabkannya. Meskipun demikian, peneliti menyadari berbagai kekurangan yang masih ada dalam skripsi ini, oleh karenanya berbagai masukan sangat diharapkan untuk menjadikannya semakin baik dan sempurna.

Atas semuanya itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan waktu, informasi, dan dukungan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, secara khusus kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dalam penyusunan skripsi ini


(13)

2. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya selaku pembimbing skripsi, yang dengan teliti memeriksa dan senantiasa memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si dan Ibu Titik Kristiyani, M.Psi selaku dosen penguji. Terimakasih atas masukannya

4. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing akademik 5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi USD Yogyakarta; Ibu MB.

Rohaniwati, Mas Gandung Widiyantoro, Mas P. Mujiono, Mas Doni, dan Bpk Giyono yang dengan setia senantiasa melayani kami para mahasiswa. 6. Fr. Vincent SJ sebagai koordinator PSP YSS yang selalu memberikan

masukan dan menyediakan waktunya untuk kita berdiskusi sehingga tersusunlah skripsinya. Trimakasih atas sumbang sarannya dan kritiknya. 7. Keluarga-keluarga di Pingit yang telah bersedia menjadi responden dalam

penelitian ini. Terimakasih, saya banyak belajar tentang hidup dari mereka semua. Mereka merupakan sahabat yang tak terlupakan bagi saya.

8. Teman-teman frater Jesuit yang berada di Kolese Santo Ignatius di Kotabaru, terimakasih atas kesempatan bersama yang dapat kita jalani di kemping bersama dan obrolan-obrolan yang terjadi di refter. Ternyata itu semua berguna untuk meningkatkan asa saya lho.

9. Buat teman-teman Volunteer PSP YSS: Gembong, Leo, Bu Sum, Lisa, Dina, Eko Sulistyo, Riri, Kreteng, Eko kodok dan teman-teman dari PBM USD yang datang silih berganti, kalian telah memberikan warna dan kehidupan yang lain di Pingit dengan kehadiran dan gerak kalian


(14)

10.Buat keluarga V. Wartadi yang setia selalu memberikan dukungan melalui senyuman dan sapaan-sapaan yang hangat dan mententramkan hati.

11.Buat teman-teman yang ada di sering main ke rumahku: Eko, Baba, Kreteng, Oho, Leo, Gembong, Devi, Seno terimakasih atas kehadirannya datang di rumahku yang tidak hanya sekedar bermain tetapi juga mengerjakan tugas. Itu semua membantu mengingatkan bahwa masih ada tanggungjawab yang belum ku selesaikan.

12.Theresia Dwi Susanti terimkasih atas cinta, dukungan, kesetiaan dan kesabarannya yang kamu limpahkan pada saya. Kamu salah satu motivatorku bahwa ini harus terselesaikan.

13.Buat Silvanus Sri Bahagya, terimaksih atas waktunya yang telah kita lalui. Segala pengalaman bersama yang pernah kita lalui ternyata menyenangkan. Semoga persahabatan kita tetap terjalin.

14.Buat Benedikta Dina Fibirani, terimakasih waktu dan ceritanya dan pengalaman memasak yang kamu ajarkan kepadaku. Itu sangat berguna. Terimaksih juga buat kedekatan sebagai sahabat yang pernah kita lalui bersama.

15.Buat teman-teman SWB: Tomce, Firlan, Jempol, Acoy, Muber, Hosea, Ito, Lisong, Retta, Male, Wacu, Eko homo, dan semuanya, saya mengucapkan terimakasih atas dukungan dan semangatnya walaupun kita berjauhan satu sama lain tetapi kedekatan tetap terjalin. Memang pengalaman muda hidup bersama selama 4 tahun tidaklah sia-sia.


(15)

xiv

16.Terimakasih buat Adi Gendut dan Pati Bangsat yang selalu setia dengan SMS dan pesan-pesannya via Facebooknya yang intinya memberikan semangat dan celaan. Ha..ha..ha saya perlu itu juga.

17.Buat teman-teman klub bakmi godog dan kopi tubruk, yang selalu menjadi teman dikala malam minggu. Terimakasih atas traktirannya yang membuatku tetap kenyang.

18.Tidak terlupakan juga kepada semua dosen, karyawan, teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi USD dan juga teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang senantiasa selalu menyemangati saya dengan cara mereka masing-masing yang unik.

Akhirnya, saya sampaikan salam bangga kepada semua yang pernah memperkaya hidup saya. Karena merekalah, saya dapat menjadi pribadi yang semakin bertumbuh dari hari ke hari. Tuhan, mohon berkat bagi mereka semua.

Yogyakarta, 15 Mei 2009

Hormat saya,


(16)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...…...……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... ii

MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN DATA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... xii

DAFTAR ISI... xv

DAFTAR TABEL... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian...8

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II LANDASAN TEORI... 10

A. Proses Resosialisasi... 10

1. Sikap... 11


(17)

2. Nilai...12

3. Kebiasaan... 13

B. Problem... 13.

1. Konflik... 14

2. Komponen-komponen konflik... 15

3. Jenis-jenis Konflik... 18

C. Keluarga Jalanan... 21

1. Keluarga... 21

2. Keluarga Jalanan... 21

D. Keluarga-keluarga Jalanan di PSP YSS... 24

E. Resosialisasi Keluarga Jalanan... 26

F. Problem-Problem Proses Resosialisasi Keluarga Jalanan di PSP YSS 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis Penelitian... 35

B. Fokus Penelitian... 36

C. Lokasi dan Subyek Penelitian... 38

1. Lokasi Penelitian... 38

2. Subyek Penelitian...40

D. Teknik Pengumpulan Data... 41

1. Wawancara... 41

2. Dokumen... 42

E. Pemeriksaan Keabsahan Data... 43

F. Analisis Data... 44


(18)

1. Organisasi data... 45

2. Pemilihan Teori... 46

3. Koding dan Kategorisasi... 46

4. Interpretasi... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 51

A. Identitas dan Deskripsi Informan... 51

1. Identitas Informan... 51

2. Deskripsi Informan... 52

B. Tahap Pengumpulan Data... 61

C. Deskripsi Hasil Penelitian dan Pembahasan... 63

1. Keluarga pertama... 63

2. Keluarga kedua... 68

3. Keluarga ketiga... 74

D. Pembahasan...82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

A. Kesimpulan... 100

B. Saran... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104

LAMPIRAN ... 107


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identitas informan ... 47 Tabel 2. Tahap pengumpulan data... 62 Tabel 3. Konflik-konflik keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi... 82 Tabel 4. Sikap-sikap keluarga jalanan dalam menghadapi konflik... 92


(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Ringkasan Verbatim Subyek………. 107

Evaluasi Divisi Orang Tua Perkampungan Sosial Pingit………. 144

Denah Perkampungan Sosial Pingit………. 147


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan orang jalanan dalam satu sisi terdapat kebebasan. Bersamamaan dengan itu juga terdapat suatu ketidakamanan. Kehidupan tanpa tuntutan dan tanpa batasan norma masyarakat yang mengatur merupakan salah satu kebebasan yang diterima dalam kehidupan jalanan. Kehidupan tanpa naungan atap, garukan dari pemerintah kota, keadaan tanpa identitas diri, kekerasan dan kejahatan hidup di jalanan merupakan sebagaian dari ancaman dari kehidupan di jalanan.

Kehidupan jalanan tidak memberikan rasa nyaman kepada orang yang tinggal di dalamnya. Mereka yang tinggal di jalan tidak memiliki alamat yang jelas, tidak memiliki KTP. Ini membuat mereka tidak dapat mengakses berbagai fasilitas sosial. Sebuah peristiwa gelandangan sakit di Jakarta Timur, Jatinegara memberikan gambaran bagaimana tidak nyamannya kehidupan jalanan. Saat itu ada seorang tunawisma yg sedang sakit/sekarat terkapar di trotoar dekat rel tembok rel kereta. Dari kondisi memang mengenaskan, dikerubuti lalat karena BAB/BAK di celananya. diduga korban sudah tewas. Keadaannya memang sudah parah. Orang tersebut. tidak bisa makan lagi. Tak jauh ada seorang polantas yang sedang sibuk bekerja. Ada seseorang berinisiatif melaporkan kepada polantas dan minta pertolongan agar bisa dibawa ke panti jompo. Ternyata, sampai dengan keesokan harinya tunawisma


(22)

tsersebut masih teronggok di tempat semula. Belum tampak dilakukan evakuasi terhadap korban (http://www.jakarta.go.id/forum/display_topic_threads). Peristiwa yang terjadi di atas menggambarkan betapa tidak ramahnya kehidupan jalanan, terlebih bagi mereka yang terpinggirkan dan hidup di jalan. Tidak ramahnya kehidupan jalanan menunjukkan bahwa tidak adanya perlakuan yang manusiawi terhadap korban. Peristiwa diatas menggambarkan segelintir dari pahitnya kehidupan jalanan. Kisah diatas dapat menggambarkan bahwa orang-orang yang menjalani kehidupan jalanan adalah orang yang tersingkir dari sesamanya. Orang-orang yang hidup menjalani kehidupan jalanan bukan merupakan bagian dari suatu masyarakat. Realitas diatas tampak jelas terdapat diskriminasi dalam kehidupan sesama manusia antara mereka yang hidup di masyarakat dan di luar masyarakat.

Setiap orang berhak untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik orang perlu diakui sebagai bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu kehidupan jalanan perlu diubah keadalam kehidupan yang merupakan bagian dari suatu masyarakat. Hidup di dalam suatu bagian masyarakat memberikan rasa aman karena dilindungi oleh masyarakat tersebut. Masyarakat tersebut mau melindungi karena diakui sebagai bagian dari masyarakat tersebut.

Kehidupan jalanan tidak dapat memberikan jaminan orang dapat hidup secara manusiawi bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Salah satu cara hidup yang manusiawi bisa didapat dengan adanya rasa aman dan diakui dalam bagian suatu masyarakat. Rasa aman dan rasa diakui bisa dicapai. Orang-orang yang hidup di


(23)

jalanan bergabung kembali di dalam masyarakat agar mendapatkan rasa aman dan rasa diakui. Resosialisasi adalah salah satu cara untuk membuat bagaimana orang-orang yang hidup di jalanan dapat kembali ke masyarakat.

Proses resosialisasi adalah proses yang memberikan suatu pemahaman baru. Resosialisasi adalah pembelajaran tentang sikap, nilai, dan kebiasaan yang baru yang berbeda dari pengalaman dan latar belakang seseorang (Abarca, 2005; Lonsdale, 2005; Schaefer, 2001). Proses ini membutuhkan pengalaman langsung yang perlu dijalani oleh mereka yang menjalani proses resosialisasi untuk merasakan manfaatnya. Oleh sebab itu proses ini bukanlah proses yang mudah dan cepat, karena proses ini lebih menekankan bagaimana mengubah kebiasaan lama.

Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Sogiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta adalah suatu gerakan sosial yang membantu kehidupan keluarga jalanan. YSS berdiri pada tahun 1967, yang didirikan oleh seorang frater Jesuit, sekarang ini telah menjadi Romo. PSP YSS adalah suatu lembaga di bawah SPM (Seksi Pengabdian Masyarakat) Realino. YSS memiliki lahan sebagai tempat relokasi para keluarga jalanan, yaitu PSP YSS di bantaran Kali Winongo, Kampung Pingit, Yogyakarta. Proses resosialisasi adalah salah satu cara yang digunakan PSP YSS untuk memperbaiki kehidupan keluarga-keluarga yang hidup di jalanan.

Keluarga-keluarga yang hidup dijalan tinggal di PSP YSS selama kurang lebih 2 tahun. Mereka akan mengalami proses resosialisasi sebagai salah satu program di PSP YSS. Mereka adalah keluarga-keluarga yang tidak memiliki rumah


(24)

dan hanya tinggal di emperan toko dan selalu berpindah tempat. Selama program proses resosialisasi mereka akan mengalami proses bersama dengan masyarakat sekitar atau beradaptasi dengan masyarakat sekitar dalam kegiatan bersama masyarakat seperti kliwonan, kerja bakti. Selain itu terdapat proses resosialisasi yang sifatnya lebih di dalam keluarga yang bertujuan menciptakan suatu kebiasaan dan pemahaman bahwa mereka yang berproses dalam program resosialisasi adalah bagian dari masyarakat. Proses yang sifatnya lebih di dalam keluarga diterapkan dalam bentuk bagaimana menciptakan kebiasaan hidup sehat, kebiasaan menabung dan memberikan pemahaman pentingnya tabungan, pentingnya pendidikan anak, dan pemahaman perlunya sebuah piranti identitas yang legal seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah, Kartu Kelahiran, Akte Kelahiran Anak. Tujuan program proses resosialisasi yang dibuat PSP YSS agar para keluarga-keluarga jalanan dapat mengalami kehidupan yang lebih baik, aman, dan merasa sebagai bagian dari anggota masyarakat. Adanya pencapaian ini semua keluarga-keluarga jalanan nantinya akan dapat menggunakan fasilitas sosial yang ada di masyarakat.

Keluarga yang dimaksud adalah pasangan yang memiliki sejarah anak secara biologis atau dua generasi yang memiliki garis keturunan secara langsung (Earl W. Morris Winker 1978:46). Keluarga-keluarga yang tinggal di PSP YSS merupakan pasangan sudah menikah ataupun pasangan hanya hidup bersama dan memiliki anak dari hubungan mereka. . Keluarga jalanan yang tinggal di PSP YSS terdiri dari ayah, ibu dan anak yang tinggal di jalanan. Keluarga jalanan yang tinggal di PSP YSS


(25)

karena mereka merupakan pasangan yang tidak memiliki tempat tinggal. Mereka tidur di jalanan dan selalu berpindah-pindah tempat agar mendapatkan penghasilan.

Di PSP YSS saat ini terdapat 6 keluarga yang sedang menjalani program proses resosialisasi. Kehidupan 6 keluarga jalanan sebelum mengalami proses resosialisasi adalah kehidupan yang jauh dari kehidupan masyarakat dan kehidupan yang sangat minim dalam pemenuhan kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Tuntutan untuk belajar kembali dalam proses resosialisasi keluarga jalanan tidaklah sedikit. Realitas-realitas keluarga jalanan di dalam program resosialisasi tidak sedikit. Banyaknya realitas yang harus mereka jalani dalam program resosialisasi berarti besar tantangan yang harus mereka hadapi. Realitas-realitas ini adalah interaksi keluarga jalanan dengan dunia yang baru di PSP YSS. Interaksi dengan lingkungan terjadi antara keluarga jalanan dengan sesama keluarga jalanan yang juga menjalani proses resosialisasi, penduduk sekitar PSP YSS, pihak administratif pemerintahan paling terkecil (RT/RW), otoritas PSP YSS. Interaksi juga dapat terjadi di dalam keluarga jalanan sendiri. Interaksi keluarga jalanan dengan lingkungan baru di dalam proses resosialisasi memunculkan problem-problem. Problem-problem dan hambatan-hambatan harus dihadapi oleh para keluarga jalanan selama di dalam proses resosialisasi.

Problem adalah segala sesuatu permasalahan yang membutuhkan suatu jawaban dan keputusan (Neumeyer 1953:20). Dalam konteks PSP YSS, problem-problem dilihat sebagai segala masalah-masalah yang sifatnya menghambat dalam


(26)

bentuk konflik-konflik, yang dihadapi oleh keluarga jalanan dalam menjalani proses resosialisasi. Konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (Pruitt 1986:21). Konflik-konflik yang dihadapi dan diselesaikan para keluarga jalanan yang menjalani proses resosialisasi di PSP YSS merupakan bagian dari proses belajar untuk merubah dari kehidupan kehidupan jalanan menjadi bermasyarakat.

Dalam tulisannya Sowondo dalam Studi Kancah YSS dan Gelandangan: Sebuah kerja Pemanusian (Widiastyo 1985:71) mengatakan bahwa keluarga jalanan setelah dimukimkan, diharapkan mereka dapat membantu kampungnya yang baru dan belajar bersama masyarakat dan menjadi bagian masyarakat. Selain itu juga Suwondo mengatakan lagi bahwa satu tahun seseorang menjadi keluarga jalanan, mungkin 10 tahun baru bisa diharapkan perubahan yang nyata kalau pendekatan dan penyuluhan dilakukan secara terus-menerus. Merubah kehidupan keluarga jalanan yang bebas tanpa harus bepikir pajak, bisa tidur di mana saja, kerja mencari uang hanya pada saat lapar tidaklah mudah. Problem-problem muncul pada saat keluarga jalanan memulai belajar kembali kehidupan yang baru di masyarakat. Problem ini muncul akibat interaksi para keluarga jalanan dengan lingkungan sekitarnya di dalam proses resosialisasi. Problem selama proses program resosialisasi dapat saja terjadi di dalam keluarga sampai, problem yang berbenturan dengan kehidupan bertetangga, problem yang terjadi dengan antara pihak PSP YSS ataupun pihak administratif suatu wilayah ataupun dengan lingkungan di luar PSP YSS ataupun pihak administratif suatu wilayah.


(27)

Keluarga-keluarga jalanan yang pernah menjalani proses resosialisasi di PSP YSS tidaklah semuanya akan menjadi keluarga yang berhasil. Berhasil yang dimaksud di sini adalah dapat meninggalkan kehidupan jalanan dan kembali hidup bermasyarakat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses mereka dalam proses resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS. Pada saat keluarga-keluarga jalanan dalam proses belajarnya menciptakan keberhasilan kembali kepada kehidupan yang merupakan bagian dari masyarakat, maka seiring dengan itu berbagai problem muncul. Problem-problem muncul dapat terjadi dalam bentuk konflik. Hasil penelitian A. Eko Widyantyo (2007:67)menyatakan bahwa mampu mengatasi tiap konflik dalam proses resosialisasi merupakan salah satu faktor dalam keberhasilan proses resosialisasi di PSP YSS. Keberhasilan menyelesaikan konflik merupakan salah satu tahapan yang harus dipenuhi untuk berhasil dalam proses resosialisasi PSP YSS. Dalam penelitian Eko Widyantyo tidak menjelaskan secara detil konflik apa sajakah yang dialami keluarga jalanan dalam proses resosialisasi. Salah satu dari hasil penelitiannya lebih menceritakan bagaimana keluarga jalanan bersikap dalam menghadapi konflik sebagai suatu akibat dalam membaur dengan masyarakat dan persinggungan budaya yang berbeda. Oleh sebab itu penelitian ini berusaha mendeskripsikan problem di dalam proses resosialisasi yang belum terungkap dalam penelitian Eko Widyantyo. Problem dalam proses resosialisasi yang dimaksud adalah konflik apa sajakah yang dialami keluarga jalanan, konflik yang manakah yang merupakan problem terberat yang dialami keluarga jalanan, bagaimana sikap


(28)

keluarga jalanan dalam menghadapi problem terberat di dalam proses resosialisasi di PSP YSS.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibuat rumusan masalahnya sebagai berikut :

1. Problem-problem apa sajakah yang dialami keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi PSP YSS?

2. Konflik-konflik apa yang menjadi problem terberat yang dialami keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi di PSP YSS?

3. Bagaimana para keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi menyikapi problem-problem terberat yang mereka alami dalam proses resosialisasi di PSP YSS?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang problem-problem dalam bentuk konflik-konflik yang terjadi pada keluarga jalanan di dalam proses resosialisasi di PSP YSS dan dinamika sikap-sikap dalam menghadapi konflik terberatnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sumbangan manfaat dalam dua bentuk manfaat. Manfaat-manfaat tersebut adalah sebagai berikut :


(29)

Penelitian ini memberikan sumbangan kepada perkembangan Psikologi Sosial, lebih spesifik lagi mengenai problem-problem yang terjadi di keluarga jalanan.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan langsung kepada YSS mengenai problem-problem keluarga jalanan yang terjadi, sehingga dapat menganalisa kebutuhan-kebutuhan pendampingan keluarga-keluarga jalanan dalam proses resosialisasi..

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi kepada para relawan YSS, agar dapat menentukan langkah-langkah pendampingan kepada keluarga-keluarga jalanan yang disesuaikan dengan latar belakang dan problem-problem yang dihadapi dari tiap keluarga jalanan dalam proses resosialisasi.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Resosialisasi

Sosialisasi (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1991) adalah proses belajar seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat lingkungannya. Resosialisaasi merupakan salah satu bentuk dari sosialisasi sekunder. Sosialisasi sekunder merupakan proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan ke dalam sektor baru dari dunia obyektif masyarakat (Berger dan Luckman, 1967:130).

Resosialisasi adalah pembelajaran tentang sikap, nilai, dan kebiasaan yang baru yang berbeda dari pengalaman dan latar belakang seseorang (Abarca, 2005; Lonsdale, 2005; Schaefer, 2001). Lonsdale (2005) mengkategorisasikan resosialisasi menjadi dua: (1) resosialisasi sukarela yang terjadi dimana seorang individu dengan sukarela memilih untuk mengubah sikap dan kebiasaannya, (2) resosialisasi paksaan yaitu resosialisasi yang terjadi melawan sikap bebas seseorang dan pada umumnya berlangsung pada suatu institusi. Berdasarkan definisi di atas, resosialisasi sukarela lebih didasarkan kepada pilihan dan kesadaran dari individu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Resosialisasi paksaan lebih didasarkan pada pemaksaan terhadap individu. Resosialisasi ini lebih dikenal di dalam kalangan ilmuwan sosial sebagai praktek cuci otak

(brainwashing).


(31)

Proses belajar adalah proses perubahan yang relatif permanen dalam tingkah laku, sebagai hasil dari praktek atau hasil pengalaman (Chaplin 1981:272). Tidak jauh berbeda dengan Winkel (1987: 59) yang merumuskan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap. Perubahan dalam belajar yang dirumuskan oleh Winkel bersifat relatif konstan dan berbekas. Resosialisasi menuntut adanya suatu proses belajar dalam belajar bermasyarakat. Belajar bermasyarakat adalah bentuk belajar yang bertujuan mengekang dorongan spontan, demi kehidupan bersama dan memberikan kelonggaran kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini mencakup cara-cara kehidupan bersama untuk saling menjaga sopan-santun, penghargaan dan kerukunan terhadap yang lain. Jadi problem proses belajar dapat diartikan sebagai suatu masalah-masalah yang menghambat dalam proses perubahan yang relatif permanen dalam tingkah laku, pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap di dalam interaksi dengan lingkungan atau pengalaman dengan lingkungan.

Jadi proses resosialisasi adalah proses-proses belajar untuk menanamkan sikap, nilai, dan kebiasaan baru yang digunakan untuk menginterpretasikan dan menghadapi dunia di sekeliling mereka yang baru.

1. Sikap

Menurut J.P Chaplin definisi sikap, adalah satu predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk


(32)

bertingkah-laku atau untuk mereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu (J.P Chaplin, 2002:43). Sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familial, dan personal. Yaitu, cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam kebudayaan selaku tempat kita dibesarkan akan tetapi beberapa dari tingkah laku juga dikembangkan selaku orang dewasa, berdasarkan pengalaman kita sendiri. Sumber-sumber penting dari sikap-sikap orang dewasa adalah propaganda dan sugesti dari penguasa, kaum usahawan, lembaga pendidikan dan agensi lainnya, yang berusaha mempengaruhi tingkah laku orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan bertindak berkenaan dengan objek tertentu. Sikap bukanlah tindakan nyata (overt) melainkan masih bersifat tertutup (covert behavior). Sikap dapat dikatakan sebagai arah tindakan seseorang yang berkenaan dengan suatu objek. Arah tersebut dapat mendekati atau menjauhi. Tindakan mendekati atau menjauhi suatu objek (orang, benda, ide, lingkungan, dan lain-lain), dilandasi oleh rasa penilaian individu yang bersangkutan terhadap objek tersebut (Djaali 2007:115).

2. Nilai

Nilai adalah suatu sasaran sosial atau tujuan sosial atau insentif sosial yang dianggap pantas dan berharga untuk dicapai (J.P Chaplin, 2002:527). Klinger (1977) mengatakan bahwa insentif adalah objek atau kejadian yang memiliki nilai dalam individu. Sedangkan tujuan adalah objek, kejadian atau pengalaman yang akan atau ingin dicapai oleh individu karena tingkah lakunya. Tidak ada


(33)

organisme yang hidup dan terpisah dari tujuan-tujuannya, sebab dalam kehidupan organisme, tujuan-tujaun itu memiliki nilai (Koeswara 1989:97).

3. Kebiasaan

Menurut J.P Chaplin (1981:219) kebiasaan adalah suatu kegiatan atau prilaku yang relatif otomatis setelah melewati praktek yang panjang (J.P Chaplin, 1981:219). Andi Mappiare (1983:34) mengartikan tidak jauh berbeda dengan Chaplin, yaitu sebagai cara bertindak yang diperoleh melalui belajar berulang-ulang, yang akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis. Kebiasaan sebagai perilaku yang relatif otomatis akibat proses belajar berulang-ulang dapat berjalan terus tanpa konsentrasi perhatian dan pikiran yang intensif dalam melakukannya. Kebiasaan dapat berjalan terus sementara individu memikirkan atau memperhatikan hal-hal lain

B. Problem

Problem-problem dalam proses resosialisasi menuntut adanya proses pembelajaran dari nilai, kebiasaan, dan sikap yang lama menjadi yang baru. Menurut J.P. Chaplin (2002: 387) dalam Kamus lengkap Psikologi, problem didefinisikan sebagai sebarang situasi yang mengandung sifat khusus yang tidak diketahui atau yang baru untuk diketahui secara pasti. Sifat khusus yang tidak diketahui dapat dikatakan sebagai suatu permasalahan. Ini semua terlihat dalam definisi bahwa problem adalah segala sesuatu permasalahan yang membutuhkan suatu jawaban dan keputusan ataupun penyelesaian ( Neumeyer 1953:20).


(34)

Konflik melibatkan adanya tindakan atau cara tertentu untuk mengatasinya (Pruitt dan Rubin 1986:4). Konflik dan problem memiliki sifat yang sama yaitu membutuhkan adanya suatu penyelesaian. Jadi dapat dikatakan bahwa konflik merupakan bagian dari problem.

1. Konflik

Pruitt dan Rubin (1986:28-39) menjelaskan konflik sebagai perbedaan persepsi kepentingan. Pruit dan Rubin menambahkan pula bahwa kepentingan dapat diartikan sebagai nilai-nilai atau kebutuhan-kebutuhan.

Pruitt dan Rubin (1984:148) menambahkan bahwa konflik merupakan suatu yang bersifat abnormal karena yang normal berupa keselarasan. Konflik dianggap sebagai gangguan akan kestabilitasan sehingga perlu dilakukan penanganan sesegera mungkin apapun penyebabnya.

Budiharjo (1992:65) mengemukakan pendapat bahwa konflik merupakan keadaan yang terjadi karena dua bentuk keinginan atau lebih secara acak memiliki kekuatan yang sama dan saling berlawanan. Konflik yang terjadi dapat bersumber dari tuntutan yang terjadi dalam diri sendiri dan juga berasal dari norma-norma yang terjadi di masyarakat. Kedua hal ini dapat muncul bersamaan. Hal ini membuat seseorang di dalam konflik harus memilih salah satu dari yang muncul bersamaan.

Pruitt dan Rubin (1986:28-39) mendefinisikan konflik dalam dua hal. Kedua hal itu adalah:

a. Konflik merupakan suatu yang bersifat abnormal karena yang normal berupa keselarasan. Konflik dianggap sebagai gangguan


(35)

akan kestabilitasan sehingga perlu dilakukan penanganan sesegera mungkin apapun penyebabnya.

b. Konflik sebagai suatu perbedaan atau kesalahpahaman. Terjadinya sebuah konflik dikarenakan kegagalan dalam berkomunikasi. Adanya konflik hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh orang yang bersangkutan. Konflik dalam artian ini tidak dapat dipahami maksud dan keinginan dari orang yang mengajak berkomunikasi (orang yang mengalami konflik).

Pada dasarnya konflik terjadi karena perbedaan pandangan terhadap suatu hal mengenai suatu kepentingan, kebutuhan dan tuntutan, saat masing-masing tuntutan memiliki kekuatan yang sama untuk mencapai sebuah pemenuhan dari tuntutan-tuntutan yang berbeda tersebut.

2. Komponen-Komponen Konflik

Reaksi dalam menanggapi konflik memunculkan berbagai bentuk respon. Bentuk-bentuk respon dapat berbentuk emosi-emosi yang tinggi yang dapat menimbulkan perilaku tidak beralasan dan terkadang pemikiran-pemikiran yang tidak logis. Ungkapan perasaan pun muncul sebagai sentimen-sentimen terhadap lawan konfliknya (Winardi 1994:25). Inilah yang dimaksud sebagai komponen-komponen konflik. Komponen-komponen-komponen yang dimaksud dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu: komponen kognitif, komponen emosional, komponen perilaku. Definisi dari setiap komponen yang dimaksud adalah sebagai berikut:


(36)

Komponen kognitif berupa pemikiran-pemikiran bersifat positif maupun negatif, keyakinan, harapan-harapan yang bisa merubah. (Huffman 1997:386), persepsi-persepsi, nilai-nilai. Ada yang secara lebih matang mengolah konflik dengan pemikiran-pemikiran jernih. Orang yang mengolah dengan pemikiran jernih berusaha menempatkan diri ke dalam perspektif yang tepat dengan masalahnya (Winardi 1994:26). Sebagian orang lainnya yang tidak mampu mengolahnya secara baik menjadikan frustrasi dan strees

b. Komponen emosional

Komponen emosional yang dimaksud adalah berbagai perasaan-perasaan yang muncul dalam menghadapi konflik. Perasaan tersebut dapat berbentuk ungkapan kemarahan, ketakutan, sedang merasa cemas, kebingungan, bimbang atau bahkan menjadi sangat gembira (Winardi 1994:25). Keadaan emosional dapat terlihat melalui ungkapan yang muncul secara verbal maupun non verbal. Ungkapan verbal adalah keadaan perasaan tidak ditutupi dan disampaikan secara secara spontan. Keadaan emosi yang terungkap melalui perubahan fisik (fisiologis) adalah ungkapan emosi yang disampaikan secara non verbal. Misalnya kemarahan akan memunculkan perubahan fisik seperti warna mata menjadi merah serta keruh, wajah menjadi dingin, detak jatung meningkat, nafas menjadi cepat, dan suara menjadi berat (Huffman 1997:386)


(37)

c. Komponen prilaku

Bila seseorang mengalami konflik maka akan langsung terlihat dalam sikap dan perilakunya. Seseorang akan menjadi agresif atau cenderung berdiam diri. Reaksinya sikap bermusuhan, agresi dan penyerangan secara verbal atau fisikal; ataupun reaksinya beralih yang lain yang menarik diri, bungkam seribu bahasa. Reaksi-reaksi perilaku yang muncul dan timbul dalam menghadapi konflik dapat dipengaruhi perasaan saat berkonflik (Winardi 1994:25). Misalnya, orang yang cenderung berperilaku menarik diri dan bungkam atau cenderung pasif menghadapi konflik bisa saja perilaku tersebut karena dipengaruhi perasaan takut atau cemas. Semakin kompleks konfliknya, maka kecenderungan perilaku seseorang semakin dipengaruhi emosi semakin tampak dalam setiap tindakannya (Winardi 1994:24-25).

Hardjana (1994:62) mengemukakan bahwa perlu adanya sikap-sikap yang positif dalam mengolah konflik. Sikap-sikap positif tersebut, seperti: pandangan yang sehat, perasaan positif, itikad yang baik untuk menyelesaikan konflik dan prilaku yang konstruktif.

a. Pandangan yang sehat

Dalam mengolah konflik orang atau pihak yang terlibat di dalam konflik harus memandang bahwa konflik yang terjadi bukan merupakan suatu malapetaka melainkan sebagai suatu tantangan.


(38)

Konflik yang terjadi bukan sebagai suatu yang jahat dan merugikan tetapi memandang bahwa konflik sebagai sebuah pengalaman yang positif sehingga tidak takut untuk menghadapi konflik.

c. Itikad yang baik

Sikap yang cenderung tidak memiliki itikad baik dan berencana buruk seperti merusak, menghancurkan, menyingkirkan, memusnahkan dapat berubah menjadi kecenderungan yang positif dengan memiliki niat untuk meperbaiki dan menjaga kebaikan, tidak terprovokass, dan berencana menciptakan kebahagian dan kemajuan bersama.

d. Perilaku konstruktif

Orang yang terlibat konflik cenderung berusaha membangun, membentuk dan memelihara hubungan baik. Orang yang terlibat konflik cenderung tidak mengambil tindakan yang semakin merusak kepentingan dan mempertahankan hubungan baik yang telah terjalin. 3. Jenis-Jenis Konflik

Winardi (1994) mengungkapkan bahwa jenis konflik dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu konflik peran, konflik organisasi, dan konflik antar pribadi. Jenis-jenis konflik adalah sebagai berikut:

a. Konflik Intrapersonal

Konflik yang terjadi karena ketidakkonsistenan seseorang. Menurut Winardi (1994) bahwa keyakinan yang selalu berubah-ubah akan membuat resah individu itu sendiri. Hal tersebut membuat konflik timbul karena munculnya banyak beban peran dan ketidakmampuan seseorang


(39)

mengambil peran tersebut akibat terlalu banyaknya tanggung jawab. Resksohardiprojo (2001:228-229) juga menyatakan konflik peran (personal konflik) terjadi karena diri seseorang tidak dapat memenuhi tuntutan dirinya berkaitan status sosial. Konflik intrapersonal juga terjadi karena adanya konflik nilai (Hardjana, 1994:36), dimana seseorang memandang suatu nilai tertentu memiliki kapasitas yang tinggi dan di sisi lain pada saat yang bersamaan harus menangani sesuatu yang juga memiliki nilai tinggi juga. Hal ini menimbulkan bentrokan dua nilai yang tinggi dari bidang tertentu. Konflik peran dapat disimpulkan konflik peran, dimana terdapat ketidak konsistenan elemen-elemen kognitif, bentrokkan dua nilai yang memerlukan sebuah keputusan yang cepat dan tepat, dan juga konflik bagaimana dapat memenuhi peran dirinya di lingkungan sosial.

b. Konflik Organisasi

Konflik prilaku antar kelompok-kelompok dalam organisasi. Kelompok yang satu menunjukkan ‘keakuan kelompok’ dan membandingkan kelompok lain yang dianggap sebagai pengganggu. Winardi (1994:4) mengungkapkan idenya bahwa konflik yang terjadi dalam organisasi terdiri dari dua hal, yaitu:

1. Konflik Substantif. Konflik ini meliputi ketidaksesuaian atau kesalahpahaman tentang hal-hal yang terkait dengan kegiatan dalam organisasi. Kegiatan-kegiatan dalam organisasi tersebut


(40)

seperti pengalokasian sumber daya, distribusi imbalan, kebijaksanaan serta prosedur.

2. Konflik emosional. Konflik ini timbul karena adanya perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut, sikap menentang.

c. Konflik Antar Pribadi (Interpersonal).

Konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan yang lain. Konflik ini terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki kepentingan sama tetapi memiliki cara pandang yang berbeda untuk memenuhi keperntingan tersebut. Konflik ini dapat juga berarti terjadi karena kesalahpahaman antar individu dalam menanggapi sesuatu. Konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan yang lain. Konflik antar pribadi dapat terjadi antara individu dengan rekan-rekan bermain, bekerja atau seprofesi, bahkan anggota keluarga. (Reksohadiprojo, 2001:237).

Konflik pribadi, konflik organisasi dan konflik antar pribadi merupakan jenis-jenis konflik yang dapat terjadi. Konflik pribadi merupakan konflik yang terjadi karena adanya dua atau tiga bahkan lebih keinginan yang muncul secara bersamaan dan harus menentukan dan memutuskan salah satu di antaranya. Konflik organisasi timbul karena adanya pertentangan yang melibatkan suatu pihak dengan kelompok lain, yang mengakibatkan ketidakcocokkan pada kedua kelompok tersebut. Konflik antara pribadi terjadi antara dua orang atau lebih yang sama-sama memiliki kepentingan, yang dapat memberikan akibat atau dampak positif bahkan negatif bagi individu, antar individu yang berkonflik.


(41)

C. Keluarga Jalanan 1. Keluarga

Keluarga adalah pasangan yang memiliki sejarah untuk menghasilkan anak atau dua generasi yang memiliki garis keturunan secara langsung baik secara nyata maupun legal (Earl W Morris 1978:20). Keluarga dapat terdiri dari pasangan yang menikah, pasangan yang hidup bersama, keluarga dapat juga terdiri dari ibu dan anak, ayah dan anak, nenek dan cucu atau kakek dan cucunya. Keluarga didefinisikan sebagai institusi paling mendasar dalam semua kelompok masyarakat (Rodney Stark, 1988). Jadi dari definisi di atas keluarga dapat disimpulkan, terdiri dari pasangan pria (ayah) dan wanita (ibu) dan anak-anaknya. Menurut H. Heumeyer (1953:184) terdapat enam fungsi keluarga, yaitu:

a. Fungsi biologis dari reproduksi dan memiliki anak.

b. Fungsi pendidikan informal dan melatih anak-anak, termasuk transfer kebudayaan.

c. Fungsi sosial kontrol dan perlindungan. d. Fungsi ekonomi di dalam keluarga.

e. Fungsi Faktor psikologi sosial yang memberi peranan dalam mengembangkan pribadi yang bersosialisasi, seperti persahabatan, pertemanan, aktivitas rekreasi, dan beragam faktor sosial psikologis lainnya.

f. Fungsi kepastian status dan pemberian status. 2. Keluarga Jalanan


(42)

sama-sama tidak memiliki alamat yang jelas, tidak memiliki KTP, sehingga tidak dapat mengakses berbagai fasilitas sosial (Suara Merdeka, Indonesia Belum Punya Peraturan Ketunawismaan: Rabu, 26 Januari 2005) para tunawisma selalu tidak diakui sebagai warga sebuah kota karena tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, untuk mengurus KTP, seseorang harus memiliki alamat yang jelas. Tunawisma dapat diartikan sebagai gelandangan, pengemis, pemulung. Tunawisma tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Tunawisma pun ada yang berbentuk pasangan (pria-wanita) bahkan ada yang berbentuk keluarga (bapak- ibu dan anak). Tunawisma yang berbentuk keluarga sering dikatakan sebagai keluarga jalanan.

Keluarga jalanan sendiri terdiri dari ayah, ibu dan anak, saat kehidupan mereka berlangsung di jalanan. Keluarga jalanan juga dapat dikategorikan sebagai keluarga tuna wisma. Tuna wisma merupakan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal oleh karena itu mereka selalu berpindah-pindah tempat, saat mereka mencari tempat yang dapat memberikan pekerjaan yang halal (Emil Salim Lembaga Studi Pembangunan, 1985:11). Keluarga jalanan dapat disimpulkan merupakan keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal dan selalu berpindah-pindah tempat agar mendapatkan penghasilan yang dapat mencukupi buat hidup.

Menurut Patrick Guiness (Nasib Gelandangan Bertahan Seadanya, 1985:16-17), keluarga jalanan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Keluarga jalanan merupakan penduduk kota yang paling miskin. Ini yang menyebabkan keluarga jalanan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.


(43)

Biasanya mereka tidur di emperan toko, pasar, di bawah jembatan, gerbong kereta api.

b. Keluarga jalanan bermukim di luar batas pembagian kekuasaan administratif (RT/RW). Bermukim di luar batas kekuasaan batasan administratif menyebabkan mereka dianggap liar, merusak pemandangan. Ini yang menyebabkan kehidupan mereka yang tidak aman akan ancaman penggusuran, pemindahan, garukkan oleh penguasa kota.

c. Sterotipe negatif diberikan kepada keluarga jalanan dari masyarakat. Sterotipe negatif itu adalah licik, tidak dapat dipercaya, mengganggu ketertiban, sampah masyarakat, tidak memiliki cita rasa susila. Cap-cap ini menyebabkan mereka cenderung memiliki pribadi defensif terhadap orang di luar mereka yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi. Soewondo (1985:69) mengemukakan ciri-ciri keluarga jalan. Ciri-ciri keluarga jalanan tersebut sebagai berikut:

a. Keluarga jalanan tidak memiliki identitas diri yang jelas atau KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang jelas. Ini dikarenakan mereka tidak terdaftar dan terlibat dalam kekuasaan administratif.

b. Pekerjaan dari sektor informal merupakan lapangan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh keluarga jalanan. Keluarga jalanan biasanya bekerja sebagai pemulung, pengamen, tukang becak.


(44)

D. Keluarga-keluarga Jalanan di PSP YSS

Yayasan Sosial Sogiyapranata (YSS) Yogyakarta adalah suatu gerakan sosial yang membantu kehidupan keluarga jalanan. YSS berdiri pada tahun 1967, yang didirikan oleh seorang frater Jesuit. Frater Jesuit yang mendirikan PSP YSS sekarang sudah menjadi Romo, yaitu Benhard Kieser, SJ. YSS memiliki lahan sebagai tempat relokasi para keluarga jalanan, yaitu PSP YSS (Penampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyopranoto) di bantaran Kali Winongo, Kampung Pingit Yogyakarta.

Adapun visi PSP YSS adalah menjadi sahabat bagi keluarga-keluarga jalanan yang terpinggirkan dari masyarakat. Misi PSP YSS adalah mendampingi keluarga keluarga jalanan sehingga mereka dapat menata hidup sebagai keluarga dan mandiri secara ekonomi dan kembali menjadi bagian masyarakat (A. Dewanto, 2001: 2-3). PSP YSS menekankan pendampingan proses resosialisasi keluarga-keluarga jalanan melalui dua hal, yaitu:

a. Pendampingan interpersonal, pendampingan ini menekankan pada peningkatan kualitas di dalam keluarga seperti pendidikan anak-anak, kesehatan keluarga, dan juga, pekerjaan yang menetap, serta kebiasaan menabung. Pendampingan ini lebih menekankan cara membuat perencanaan dan menjalankan perencanaan di dalam keluarga yang nantinya dapat mengakomodasi kebutuhan di dalam keluarga.

b. Pendampingan bermasyarakat, lebih menekankan keterlibatan di dalam masyarakat sekitar dan beradaptasi dengan masyarakat. Pendampingan ini berfungsi untuk melatih keluarga-keluarga jalanan menyadari bahwa


(45)

mereka memiliki peran di masyarakat. Pendampingan ini seperti

sarasehan bersama warga PSP YSS sebagai bentuk masyarakat kecil untuk melatih kebersamaan mereka, dan mereka dilibatkan juga di dalam masyarakat yang lebih besar seperti masyarakat RT. Keterlibatan di RT dibutuhkan agar mereka mengerti pentingnya piranti legal dan mengerti proses untuk mendapatkan seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Nikah, Kartu Keluarga, Akte kelahiran,

Di dalam PSP YSS Yogyakarta, keluarga jalanan diberikan rumah yang dioperasionalkan sebagai rumah mereka sementara selama dua tahun. Mereka diminta mengatur kehidupan rumah tangga mereka, seperti penataan rumah, pembagian kerja di dalam keluarga. Selain itu juga disadarkan memiliki tetangga, saat mereka perlu terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. PSP YSS sendiri membantu keluarga jalanan untuk kembali bermasyarakat, dan melihat sisi positif dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut hasil wawancara pribadi dengan koordinator PSP YSS mengatakan bahwa yang pertama, keluarga-keluarga jalanan yang ada di PSP YSS adalah keluarga yang pergi dari tempat tinggalnya untuk hidup dan tidur di jalanan. Keluarga-keluarga ini pergi dari tempat tinggalnya karena mengalami problem seperti konflik keluarga, konflik dengan masyarakat, dan problem ekonomi. Kedua, keluarga jalanan dapat terbentuk dari dua orang jalanan yang saling bertemu, saling berbagi sebagai pasangan, dan berorientasi membentuk sebuah keluarga walaupun tanpa legalisasi sebagai keluarga.


(46)

Keluarga jalanan PSP YSS adalah keluarga jalanan yang berada di PSP YSS. Keluarga jalanan PSP YSS ini terlibat penuh dalam segala kegiatan yang diadakan oleh PSP YSS. Keluarga jalanan yang berada di PSP YSS tidak lagi bertempat tinggal di jalan, melainkan mereka mendiami rumah yang telah disediakan YSS. Keluarga yang berada di PSP YSS adalah keluarga yang sedang menjalani proses resosialisasi, dimana proses ini membantu mereka untuk kembali bermasyarakat.

E. Resosialisasi Keluarga Jalanan

Keluarga-keluarga jalanan yang tinggal di YSS adalah mereka yang menjalani proses resosialisasi secara sukarela. Hal ini ditunjukkan dengan cara keluarga-keluarga jalanan datang kepada pengurus YSS, terlibat dan berproses bersama. Resosialisasi sukarela yang terjadi di YSS didasarkan pada kesadaran keluarga-keluarga jalanan melihat pentingnya hidup di dalam masyarakat.

Bagi kehidupan keluarga jalanan proses resosialisasi adalah proses memasyarakatkan kembali mereka kedalam kehidupan yang memberikan rasa aman. Hal ini menunjukkan cara keluarga jalanan dengan kebiasaan kehidupan di jalan berusaha masuk dan berproses dalam kebiasaan masyarakat pada umumnya. Ini menunjukkan adanya proses belajar. Proses belajar adalah proses yang dilakukan seseorang dalam membentuk sebuah perilaku baru. Proses belajar merupakan proses hasil interaksi resiprokal yang terus-menerus dari faktor

behavioral, kognitif dan lingkungan tempat dalam hasil akhir mereka dapat bertingkah laku seperti yang terjadi dalam lingkungannya (Koeswara 1986:138).


(47)

Proses belajar dalam resosialisasi yang dialami keluarga jalanan memiliki dinamika yang beragam. Muncul problem-problem di dalam proses resosialisasi yang dihadapi keluarga jalanan. Ini terjadi karena persinggungan budaya yang berbeda dan usaha penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Realitas prilaku jalanan dan perilaku yang merupakan bagian dari masyarakat adalah bertolak belakang. Oleh sebab itu perlu mengetahui bentuk karakteristik kebiasaan dalam kehidupan di jalanan. Adapun perilaku hidup kehidupan keluarga jalanan yang menonjol sebagai berikut:

a. Bebas tanpa peraturan dan norma (Kompas, 2002). Hal ini bisa berdampak pada hubungan dengan norma sosial yang ada sangat longgar bahkan cenderung tidak ada. Hal ini dikuatkan oleh Indrawati (2004) bahwa kehidupan di jalanan merupakan kebudayaan non-normatif.

b. Jika mereka membentuk suatu keluarga, mereka cenderung mengganggap biasa masalah berganti-ganti pasangan begitu pula perilaku seks bebas (Indrawari, 2004).

c. Mereka cenderung berkerja sebagai pemulung, pengemis, pengamen, dan tukang becak (Soewondo, 1985). Pekerjaan dalam sektor informal yang biasa dilakukan dijalanan. Pekerjaan yang dilakukan sebenarnya pada intinya bekerja apa saja agar dapat menyambung hidup sehari-hari (Indarwati 2004). Pekerjaan sektor informal dijalanan tidak menghasilkan penghasilan yang cukup maka dapat dikatakan bahwa mereka memiliki keadaan sosial-ekonominya sangat lemah (Soewondo, 1985)


(48)

d. Hukum rimba (Indrawati, 2004), pergaulam keluarga jalanan di jalanan memiliki nuansa bahwa orang yang paling kuat maka dia yang memegang ‘kekuasaan’ dan orang yang lemah adalah objek. Ini terjadi karena persaingan di antara mereka cukup ketat dan penuh potensi konflik.

e. Tidak adanya kepemilikan identitas yang jelas. Menurut Soewondo (1985) bahwa posisi keluarga dinyatakan sebagai kehilangan kepercayaan di masyarakat, karena tidak memiliki identitas yang jelas. Jika terdapat program-program yang dicanangkan pemerintah kepada masyarakat, para keluarga jalanan ini tidak akan terkena, baik secara fisik dan mental. f. Hidup berpindah-pindah tempat. Para keluarga jalanan cenderung hidup

berpindah-pindah tempat tinggalnya. Mereka tinggal di emperan toko, pasar-pasar, gerbong kereta yang tak terpakai, timbunan sampah, terminal, stasiun, taman-taman kota (Soewondo, 1985 dan Indrawari, 2004). Hal inilah yang menyebabkan bantuan dari pemerintah tidak pernah sampai ke mereka.

g. Hidup jorok, mereka berpenampilan kumuh dan berbau yang terkadang dianggap hanya merusak keindahan (Indrawati 2004). Penampilan kumuh ini menunjukkan tingkat kebersihan diri yang rendah. Keadaan penampilan kotor yang rentan terhadap kesehatan diri. Selain itu juga, ditambah keadaan mereka yang tidak mudah mendapatkan akses pelayanan kesehatan karena tidak memiliki identitas yang jelas dan tingkat ekonomi yang rendah yang kurang memungkinkan untuk mendapatkan gizi makanan yang sehat.


(49)

F. Problem-Problem dalam Proses Resosialisasi Keluarga Jalanan di PSP YSS

PSP YSS sebagai penyelenggara resosialisasi keluarga jalanan, mendampingi keluarga-keluarga jalanan sehingga mereka dapat menata hidup sebagai keluarga dan mandiri secara ekonomi dan kembali menjadi bagian masyarakat.

Ada dua program pendampingan yang dimiliki PSP YSS bagi keluarga-keluarga jalanan yang mengalami proses resosialisasi. Pertama, pendampingan interpersonal menekankan pada peningkatan kualitas di dalam keluarga seperti pendidikan anak-anak, kesehatan keluarga, dan juga, pekerjaan yang menetap, kebiasaan menabung. Kedua, pendampingan bermasyarakat yang menekankan pada keterlibatan di dalam masyarakat sekitar dan beradaptasi dengan masyarakat. Pendampingan ini berfungsi untuk melatih keluarga-keluarga jalanan menyadari bahwa mereka memiliki peran di masyarakat, kewajiban dan hak sebagai bagian masyarakat.

Resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS sebagai suatu proses pembelajaran kembali dari kehidupan jalanan menuju kehidupan bermasyarakat. Realitas keberhasilan dalam resosialisasi PSP YSS bahwa 60,6% keluarga-keluarga jalanan yang terlibat dari tahun 2000-2007 adalah kembali ke jalan. Hal ini menunjukkan bahwa proses resosialisasi tidaklah suatu proses yang mudah. Ada banyak problem yang dialami keluarga jalanan di dalam menjalani proses


(50)

resosialisasi. Problem-problem yang dialami keluarga jalanan bentuknya berupa konflik-konflik yang dialami keluarga jalanan.

Proses pembelajaran ini menuntut adanya perubahan dalam aspek sikap, nilai dan kebiasaan. Terjadi bentrokan dalam proses belajar keluarga-keluarga jalanan dalam menjalani proses resosialisasi, antara nilai, sikap dan kebiasaan yang telah di jalani di kehidupan jalanan dengan nilai, sikap dan kebiasaan yang ada di masyarakat dan sedang dipelajari kembali. Ini akibat dari perbedaan sikap, nilai dan kebiasaan antara kehidupan jalanan dengan kehidupan di masyarakat. Perubahan yang mencakup aspek sikap, nilai dan kebiasaan yang saling berbeda berdampak munculnya berbagai macam problem. Problem-problem yang dialami keluarga jalanan dalam proses resosialisasi adalah usaha menanggapi proses belajar mereka dalam mencapai sikap, nilai dan kebiasaan yang sesuai dengan masyarakat pada umumnya.

Problem-problem keluarga jalanan terlihat melalui konflik-konflik yang mereka hadapi selama proses resosialisasi di PSP YSS. Problem-problem para keluarga jalanan di PSP YSS sebagai upaya perubahan sikap, kebiasaan dan nilai dapat terlihat melalui dua program pendampingan yang dimiliki PSP YSS. Program dalam peningkatan kualitas keluarga, dinamika para keluarga jalanan selama hidup dijalan yang tanpa norma, berpindah-pindah tempat, hidup jorok, dan hidup yang tak teratur dihadapkan pada bentuk baru. Bentuk baru dimana mereka diharapkan untuk lebih menetap, mengatur kehidupan keluarganya dengan hidup yang lebih bersih, menabung, dan memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Realitas problem-problem ini memunculkan adanya konflik-konflik


(51)

dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Problem dalam proses ini dapat terjadi di dalam relasi keluarga. Problem ini merupakan konflik intrapersonal yang berkaitan dengan peran dan fungsi sebagai bagian sebuah keluarga.

Di dalam kehidupan para keluarga jalanan di PSP YSS terkadang terjadi benturan. Ini merupakan usaha penyesuaian diri dengan masyarakat sekitar. Penyesuain diri ini mengalami benturan. Benturan ini bisa terjadi karena masalah iri akan kelurga yang lain ataupun tidak adanya kesepahaman ide atau pendapat dalam memajukan PSP YSS. Ketidaksepahaman antara keluarga jalanan biasa terjadi dalam acara sarasehan bersama para warga PSP YSS. Keirian antar warga PSP YSS muncul dari dinamika kehidupan bertetangga antara keluarga jalanan di PSP YSS karena adanya rasa ingin memiliki atau rasa untuk mencapai seperti yang tetangga keluarga jalanan raih. Konflik interpersonal muncul karena adanya problem benturan antara warga PSP YSS sebagai usaha saling memahami dalam kehidupan bertetangga. Walaupun demikian konflik konflik interpersonal tidak hanya terjadi antara antar warga PSP YSS. Konflik interpersonal dapat juga terjadi dengan warga sekitar, relawan PSP YSS ataupun dengan anggota keluarga jalanan sendiri. Konflik ini pada intinya terjadi karena adanya ketidaksepahaman dalam memandang sesuatu kepentingan. Kepentingan tersebut dianggap penting dan perlu dipenuhi.

Pendampingan seperti sarasehan bersama warga PSP YSS sebagai bentuk masyarakat kecil, dan dilibatkan juga di dalam masyarakat yang lebih besar seperti masyarakat RT dalam acara arisan warga RT. Kehidupan jalanan yang bersifat hukum rimba, tidak memiliki identitas diri, perilaku seks bebas


(52)

(berganti-ganti pasangan), merupakan kehidupan yang dianggap sampah oleh masyarakat pada umumnya. Kehidupan jalanan adalah kehidupan yang jauh dari pengakuan bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat. Kehidupan bersama masyarakat, memiliki peran, kewajiban dan hak sebagai bagian dari masyarakat, memiliki identitas diri merupakan hidup yang jauh dari kehidupan jalanan yang dialami keluarga-keluarga jalanan. Kehidupan keluarga-keluarga jalanan yang belajar menjadi bagian dari masyarakat mengalami problem-problem. Konflik antar organisasi muncul sebagai bagian dari usaha menidentifikasikan diri mereka yang merupakan bagian dari masyarakat. Keluarga sebagai salah satu bentuk organisasi terkecil. Problem keluarga jalanan dengan pihak warga RT merupakan bagian dari sebuah konflik organisasi yang terjadi. Konflik organisasi dapat saja terjadi antara keluarga jalanan dengan pihak RT setempat, pengurus PSP YSS, dan lingkungan masyarakat lebih luas dari RT maupun pengurus PSP YSS.

Problem-problem dalam proses resosialisasi terjadi karena proses memahami akibat perbedaan pandangan terhadap suatu kepentingan antara kehidupan jalanan dan hidup bermasyarakat. Kepentingan yang diharapkan dilihat sebagai kebutuhan akan rasa aman, identitas, social approval, kebahagian, kejelasan tentang dunianya, dan beberapa harkat kemanusian yang bersifat fisik yang ada di masyarakat. Konflik terberat muncul dalam kaitannya keluarga jalanan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan dan beradaptasi dalam proses resosialisasi.

Suatu permasalahan tentunya akan ditanggapi atau direaksi oleh individu yang mengalaminya. Demikian pula dengan problem-problem yang terjadi dalam


(53)

proses resosialisasi akan direspon atau direaksi oleh keluarga-keluarga jalanan. Sikap sebagai suatu kecenderungan dalam mananggapi atau mereaksi terhadap objek, pribadi lain ataupun persoalan tertentu (J.P Chaplin, 2002:43). Bermacam-macam sikap yang muncul dalam kaitannya menanggapi problem yang terjadi. Sikap-sikap yang muncul dalam mereaksi probelm-problem yang dialami keluarga-keluarga jalanan merupakan komponen-komponen konflik yang mereka rasakan.

Reaksi muncul terhadap problem sebagai usaha menanggapi konflik yang mereka alami. Reaksi dapat terjadi dalam segi kognitif, psikologis dan juga perilaku. Reaksi kognitif, psikologis dan perilaku yang muncul dalam problem merupakan komponen-komponen dalam konflik.

Dari sekian banyak problem yang dialami para keluarga jalanan terdapat konflik yang dianggap terberat oleh keluarga jalanan. Konflik terberat adalah problem yang dianggap oleh keluarga jalanan sebagai yang paling menyita keadaan kognitif, emosional dan perilaku keluarga jalanan. Konflik terberat secara komponen kognitif tidak akan menimbulkan pengolahan konflik secara lebih matang dengan pemikiran-pemikiran yang jernih, sehingga tidak menjadikan pengalaman yang menyenangkan dan hanya pengalaman yang menyita pikiran. Konflik terberat secara komponen kognitif hanya dapat menimbulkan frustasi dan stres. Konflik terberat secara komponen emosional akan selalu menimbulkan perasaan yang berkaitan dengan reaksi emosi yang tertekan, seperti rasa marah, rasa cemas, rasa bingung dan rasa bimbang. Konflik terberat secara komponen perilaku dapat terjadi melalui tindakan langsung dengan sikap yang dekstrutif dan


(54)

memperkeruh keadaan konflik yang terjadi ataupun tindakan yang tidak menciptakan penyelesaian suatu problem. Konflik terberat secara komponen perilaku dapat terlihat melalui perilaku agresif dan perilaku dekstruktif

Pengalaman-pengalaman yang dialami keluarga-keluarga jalanan selama mengalami proses resosialisasi, dapat memberikan gambaran-gambaran problem dalam bentuk konflik yang dialami selama proses resosialisasi. Problem-problem yang terberat yang dialami dapat menjelaskan cara mereka bersikap terhadap konflik dengan lebih jelas, baik sikap positif ataupun sikap negatif. Sikap-sikap yang muncul dalam menanggapi konflik merupakan sikap keluarga jalanan yang digunakan dalam menanggapi problem-problem keluarga-keluarga jalanan dalam proses resosialisasi.


(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Menurut Cresswell (1998) penelitian kualitatif digunakan untuk melihat suatu fenomena dalam konteks alamiah dan berusaha menggambarkan suatu fenomena atau peristiwa yang terjadi terjadi sekarang ini. Prosedur penelitian ini menghasilkan data deskripsi yang dihasilkan dari ucapan, tulisan atau perilaku yang dapat diamati dari subjek itu sendiri (Bogdan dan Taylor 1975 dalam Moleong, 2000:3). Jenis data yang dapat dikumpulkan mempunyai sifat deskriptif seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, rekaman (Poerwandari, 1998:29). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan tentang berbagai jenis problem yang dialami dan keluarga jalanan di dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Sebagaimana dijelaskan Suryabrata (2002), penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

Data-data deskriptif bertujuan menggambarkan sifat atau keadaan subjek penelitian pada saat penelitian sedang berlangsung. Data-data deskriptif yang ada dapat menggambarkan macam-macam konflik yang dialami subjek dalam proses resosialisasi di PSP YSS.


(56)

B. Fokus Penelitian

1. Problem-problem apa sajakah yang dialami keluarga-keluarga jalanan dalam proses resosialisasi PSP YSS. Problem-problem tersebut meliputi:

a. Konflik intrapersonal :

Ini lebih dikenal sebagai konfllik peran. Konflik yang berkaitan dengan tanggungjawab anggota keluarga di dalam keluarga. Konflik ini terjadi di internal keluarga jalanan. Konflik timbul karena ketidakmampuan tiap anggota keluarga jalanan dalam menjalani peran di keluarga.

b. Konflik interpersonal :

Konflik ini terjadi antara individu yang satu dengan yang lain. Konflik ini disebabkan kesalahpahaman dalam menanggapi sesuatu. Konflik ini bisa terjadi antara anggota keluarga jalanan dengan anggota keluarga jalanan yang lain yang tidak sekeluarga, anggota keluarga jalanan dengan anggota masyarakat sekitar, anggota keluarga jalanan dengan relawan PSP YSS, anggota keluarga jalanan dengan anggota keluarga jalanan yang sekeluarga. c. Konflik organisasi :

Konflik yang terjadi dengan keluarga jalanan dengan kelompok lain. Konflik ini terjadi karena adanya kesalahpahaman, sikap menentang, ketidakpercayan, ketidaksenangan terhadap kegiatan di dalam organisasi. Kelompok lain yang


(57)

dimaksud adalah pihak pengurus PSP YSS, pihak RT sekitar PSP YSS sebagai otoristas administratif setempat, dan masyarakat umum.

2. Konflik-konflik yang menjadi problem terberat yang dialami keluarga-keluarga jalanan dalam proses resosialisasi di PSP YSS. Problem terberat adalah konflik yang dianggap oleh keluarga jalanan sebagai yang paling menyita keadaan kognitif, emosional dan perilaku keluarga jalanan.

a. Komponen kognitif :

pengolahan konflik secara lebih matang dengan pemikiran-pemikiran yang jernih, sehingga tidak menjadikan pengalaman yang menyenangkan dan hanya pengalaman yang menyita pikiran.

b. Komponen emosional :

reaksi emosi yang muncul dalam menghadapi konflik. Reaksi emosi tertekan dapat berbentuk: kemarahan, rasa cemas, kebingungan dan rasa bimbang atau bahkan menjadi sangat gembira.

c. Komponen perilaku :

Reaksi yang perilaku dan sikap yang muncul dalam menghadapi konflik. Reaksinya dapat berbentuk sikap bermusuhan, agresi dan penyerangan secara verbal atau fisikal; ataupun reaksinya beralih yang lain yang menarik diri, bungkam seribu bahasa. Reaksi-reaksi perilaku dan sikap yang muncul dan timbul dalam menghadapi konflik dapat dipengaruhi perasaan saat berkonflik.


(58)

3. Bagaimana para keluarga-keluarga jalanan menyikapi problem-problem terberat yang mereka alami dalam proses resosialisasi di PSP YSS? Sikap positif maupun sikap negatif yang dimunculkan keluarga jalanan dalam menghadapi konflik. Sikap positif adalah sikap seperti, pandangan yang sehat, perasaan yang positif, itikad yang baik, perilaku konstruktif. Sikap negatif adalah seperti, memandang konflik sebagai hambatan, perasaan bahwa konflik merugikan, sikap cenderung desktruktif, sikap yang cenderung merusak kepentingan berasama dan hubungan yang terjalin.

C. Lokasi dan Subyek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Subjek penelitian berada di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS). PSP YSS secara geografis terletak di bantaran Kali Winongo. PSP YSS secara administratif termasuk dalam wilayah RT 1 RW 1, Kampung Pingit, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis, Jogyakarta. PSP YSS secara geografis berbatasan dengan RT 3 di sebelah utara, RT 2 dan RT 1 di sebelah timur, RT 1 di sebelah selatan dan kali Winongo di sebelah barat. Sebelah timur PSP YSS berbatasan dengan Kali Winongo. Lebih tepatnya PSP YSS terletak dibantaran Kali Winongo.

PSP YSS berdiri pada tahun 1966. PSP YSS bagi para keluarga jalanan dipandang sebagai tempat mengubah nasib, saat mereka mengharapkan memiliki


(59)

rumah, entah di kampung asal atau mengontrak rumah di kota. Yang jelas, mereka tidak ingin kembali ke jalan dan hidup sebagaimana masyarakat lain. (YSS Selayang Pandang Ultah ke-35, 2001).

Penduduk dari luar daerah Pingit sering menyebutnya sebagai “daerah hitam” karena terkenal dengan banyaknya pelaku tindak kriminal berasal dari daerah ini. Mayoritas penduduk Pingit menghidupi keluarganya dengan bekerja keras sebagai pengemis, pemulung, tukang becak, bahkan pekerja seks (Sindhunata, 2001:5). RT 1 merupakan administratif dari PSP YSS yang memiliki mayoritas penduduk RT 1 termasuk dalam ketegori ekonomi menegah ke bawah (Ouda Teda Ena, 2001). Sindhunata (Bermimpi Bersama Anak-anak Tepi Kali Winongo, 2001:5) mengatakan bahwa Pingit adalah lingkungan yang tidak berpendidikan. Orang tua mendidik anak-anaknya dengan keras, membentak-bentak penuh kemarahan dan caci maki.. Wilayah Pingit terutama RT 1 ini merupakan wilayah yang padat penduduk. Keadaaan antara rumah penduduk RT 1 saling berdempetan, bahkan satu rumah bisa dihuni antara 2-3 keluarga.

Subjek penelitian adalah keluarga yang tinggal di YSS. Mereka tinggal di dalam rumah-rumah bambu semi permanen yang sudah disediakan oleh PSP YSS. Secara administratif, mereka termasuk dalam wilayah RT 1 dan juga didaftarkan sebagai warga RT 1. Mayoritas diantara mereka tidak memiliki KTP. Dilihat dari segi ekonomi, mereka termasuk dalam kategori ekonomi lemah. Pekerjaan mereka sebagai


(60)

pengamen, tukang becak, pemulung dan pengemis. Mayoritas diantara mereka tidak berpendidikan.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah keluarga jalanan yang sedang berproses di PSP YSS di Yogyakarta. Keluarga jalanan yang sedang manjalani proses resosialisasi. Keluarga jalanan yang berada di PSP YSS terdiri dari lima keluarga, lalu tiga keluarga di antara ini yang akan menjadi subjek dalam penelitian. Setiap keluarga akan diwakili oleh pasangan suami-istri, dari merekalah data-data akan didapat.

Paton (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu, seperti latar-latar, peristiwa-peristiwa dan proses-proses sosial (Miles dan Huberman, 1992) dan berdasarkan penelitian agar sampel benar-benar mewakili (representatif) terhadap fenomena yang dipelajari. Teknik yang dipakai adalah criterion sampling. Menurut Hammersley dan Atkinson (dalam Creswell, 1998) criterion sampling adalah cara menentukan informan penelitian berdasarkan kriteria tertentu. Hal paling penting adalah semua informan memiliki pengalaman atas fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 1998). Kriteria informan yang akan diteliti adalah :

1. Keluarga yang sedang tinggal di PSP YSS minimal selama 3 bulan. 2. Mempunyai pengalaman hidup bersama dengan pasangan di jalan. 3. Bekerja dalam sektor informal, seperti pemulung dan tukang becak


(61)

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara

Wawancara kualitatif adalah percakapan tanya jawab yang dilakukan peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna informatif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut (Banister et al., seperti dikutip Poerwandari, 1998). Lincoln dan Guba (seperti dikutip Moleong, 1989) menjelaskan bahwa Wawancara digunakan untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain kebulatan; merekonstruksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.

Teknik wawancara yang digunakan adalah semi terstruktur, artinya bahwa peneliti tetap membuat panduan wawancara, tetapi tidak menutup kemungkinan akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan di luar pertanyaan formal apabila dirasa perlu guna mendukung pengumpulan informasi. Pedoman wawancara yang disusun ini berdasarkan kerangka teori yang sudah dijelaskan dalam bab 2, yaitu mengungkap dinamika problem-problem yang terjadi dalam proses resosialisasi di PSP YSS.Hasil


(62)

dari wawancara kemudian akan dicatat/ditranskripsikan kata per kata (verbatim). Panduan wawancara adalah sebagai berikut:

1. Latarbelakang: berisi tentang pekerjaan, lama tinggal di jalan, jenis kelamin, keadaan fisik dan demografi rumah, keadaan rumah tangga dari subjek.

2. Problem-problem apa saja yang dialami baik konflik interpersonal, konflik intrapersonal, dan konflik organisasi.

3. Penggambaran problem seperti apakah yang pernah dialami dan paling mempengaruhi yang dalam terlihat melalui konflik terberat di kehidupan keluarga jalanan dalam proses resosialisasi di PSP YSS

4. Komponen-komponen konflik yang muncul selama menghadapi problem yang terberat dalam proses resosialisasi di PSP YSS baik komponen kognitif, komponen psikologis dan komponen prilaku

5. Cara keluarga jalanan di PSP YSS menyikapi konflik yang paling mempengaruhi dalam proses resosialisasinya di PSP YSS

2. Dokumen

Dalam penelitian kualitatif, observasi dan wawancara memang merupakan cara yang banyak digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti lebih banyak menggunakan metode wawancara. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan menggunakan metode lain. Salah satunya adalah dokumen sebagai sumber data pendukung yang relatif mudah didapatkan, walaupun terkadang memang membutuhkan waktu untuk memperoleh dan menelitinya secara cermat.


(63)

Dokumen yang digunakan adalah rangkaian evaluasi pendampingan bersama relawan pendamping keluarga dan hasil dari acara sarasehan bersama seluruh warga PSP YSS yang keduanya terjadi sekali dalam tiap bulannya.

Hasil evaluasi bersama relawan berisi kesepakatan-kesepakatan bersama mengenai dinamika keluarga dampingan baik dalam problem-problem yang dihadapi, evaluasi perkembangan dari tiap keluarga dalam usaha menangani problem-problem yang dihadapi, dan rencana-rencana serta harapan-harapan di masa depan.

Sarasehan warga PSP YSS adalah suata acara yang berfungsi sebagai wadah komunikasi dan alat untuk menyelesaikan problem dalam kehidupan warga PSP YSS terutama konflik-konflik antar warga dan juga dan juga sebagai cara mengetahui problem-problem dalam menjalani progaram yang diberikan dari pihak PSP YSS terhadap warga. Hasil dari acara sarasehan warga PSP YSS berupa kesepakatan bersama yang bisa menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan problem dalam kehidupan warga PSP YSS. Data dokumen dari sarasehan bersama berguna dalam mengungkapkan sikap warga dalam menghadapi problem-problem yang terjadi dalam kehidupan antar warga PSP YSS dan juga sikap-sikap mereka dalam menghadapi problem-problem di dalam keluarga yang berkenaan dalam menanggapi program-program dari PSP YSS.


(64)

Moustakas mengatakan bahwa teknik verifikasi data pada data penelitian fenomenologi menggunakan intersubjective validity yakni dengan membagikan salinan deskripsi dari hasil interview (Humprey dalam Moutakas, 1994). Kemudian setiap subjek diminta untuk secara hati-hati memeriksa deskripsi tersebut. Selama memeriksa, mereka dapat memberikan tambahan masukan dan pembetulan. Terakhir, peneliti merevisi pernyataan sintesisnya. Tujuan dari intersubjective validity yaitu menguji kembali pemahaman peneliti dengan pemahaman subjek melalui proses timbal balik (back-and-forth) (Creswell, 1998).

Selain itu, peneliti menggunakan sumber data dokumen dari sarasehan

bersama berguna dalam mengungkapkan sikap warga dalam menghadapi problem-problem yang terjadi dalam kehidupan antar warga PSP YSS dan juga sikap-sikap mereka dalam menghadapi problem-problem di dalam keluarga yang berkenaan dalam menanggapi program-program dari PSP YSS.

Sumber data dokumen digunakan sebagai pengecekan atau sebagai pembanding dari data utama. Sumber data dokumen diasumsikan dapat memberikan informasi tambahan ataupun informasi pendukung perihal data yang akan di-cross check.

F. Analisi Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 1989).


(65)

Dalam penelitian ini, peneliti mengombinasikan metode analisis isi (content analysis)

dengan metode ilustratif (illustrative method) serta analisis struktur kejadian (event structure analysis) dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Organisasi data

Organisasi data merupakan tahap awal dalam kegiatan mengolah dan menganalisis data. Dalam tahap ini, peneliti mengumpulkan dan menyusun secara rapi berbagai data yang diperoleh antara lain transkrip wawancara, dokumen-dokumen.

Poerwandari (1998) menjelaskan hal-hal penting yang disimpan dan diorganisasikan adalah catatan lapangan, transkrip wawancara dan catatan refleksi peneliti, dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis, serta data yang sudah diberi kode-kode tertentu guna kemudahan dalam mencari data.

Data yang diperoleh diorganisassikan dengan rapi dan sistematis sehingga memungkinkan peneliti memperoleh kualitas data dan memudahkan untuk melakukan penelusuran data. Data yang akan disimpan adalah:

a. Kaset rekaman dan verbatim

b. Verbatim akan dikoding dan disesuaikan dengan tema-tema yang telah ditentukan

c. Kategori data yang merupakan hasil dari penyusunan koding sebelumnya. kategori data dilakukan untuk mengurangi jumlah unit yang harus


(66)

dikerjakan (Creswell, 1998). Kategori data adalah proses pengelompokan konsep yang berhubungan dengan fenomena yang sama (Strauss dan Corbin 2003)..

2. Pemilihan teori

Dalam analisis data kualitatif ini, peneliti telah mempersiapkan berbagai teori yang diperlukan di bab II yaitu sebagai landasan teori. Landasan teori ini berisi teori tentang Konflik-konflik yang berfungsi sebagai “kotak penampung” berbagai data yang diperoleh di lapangan penelitian antara lain berupa data verbatim wawancara, dokumen-dokumen, maupun data hasil triangulasi sumber.

3. Koding dan kategorisasi

Dalam tahap ini, peneliti melakukan klarifikasi data melalui kegiatan pengkodingan sehingga pada akhirnya data-data lapangan akan dipisahkan menurut kategorinya masing-masing. Pengkodingan menurut Poerwandari (1998) dilakukan dengan cara membuat tabel dengan tiga kolom untuk memudahkan dalam mengkategorikan verbatim wawancara dalam tema-tema tertentu sehingga data nantinya memunculkan gambaran yang akan diteliti.

Langkah koding:

a. Menyusun transkrip data hasil wawancara dan memberi satu ruang di sebelah kiri dan kanan kolom verbatim dimana ruang di sebelah kiri digunakan untuk mencatat beberapa hal yang memuat catatan, kesimpulan, serta penyataan dari peneliti mengenai pernyataan-pernyataan responden.


(67)

b. Melakukan penomeran dimana untuk pertanyaan diberi kode huruf dan abjad secara kontinyu sedangkan untuk pernyataan responden diberi nomer secara kontinyu setiap baris transkrip.

c. Memberi nama masing-masing berkas dengan kode tertentu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemberian data ketika hendak dilakukan. Pada penelitian ini dipakai kode Keluarga 1/P..(inisial nama) 16Juni08, artinya wawancara pada keluarga pertama laki-laki (ayah) dilakukan di Perkampungan Sosial Pingit pada tanggal 16 Juni 2008 dan kode Keluarga 1/B..(inisial nama) 16Juni08, artinya wawancara pada keluarga pertama perempuan (ibu) dilakukan di Perkampungan Sosial Pingit pada tanggal 16 Juni 2008.

Setelah semua langkah dilakukan, peneliti mulai membaca beberapa kali dengan tujuan untuk menganalisa. Kata-kata kunci yang ditemukan dituliskan pada bagian kolom kanan/kiri yang telah disediakan.

Substansi dalam koding ini diperhatikan dengan cara sebagai berikut:

a. Membaca transkrip, begitu transkrip selesai dibuat untuk mengidentifikasikan tema-tema yang dibuat. Tema-tema ini seringkali memodifikasi proses pengambilan data selanjutnya.

b. Membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema.

c. Membaca kembali data-data dan catatan analisis secara teratur, membuka kategori serta menampilkan pola hubungan antar kategori (cross cases).


(68)

Fokus penelitian ini adalah kedalaman sehingga analisis dilakukan terlebih dahulu pada data dari tiap subjek. Setelah dinamika setiap subjek terbentuk maka akan dilakukan analisis keseluruhan subjek yang diperoleh. Dengan demikian gambaran yang diperoleh peneliti lebih mendalam dan komprehensif. Dalam pelaksanaannya, peneliti melakukan sedikit perubahan terhadap letak dan fungsi kolom. Peneliti menambah kolom nomor untuk meletakkan nomor urut dan halaman verbatim. Selain itu letak kolom verbatim bukan lagi di tengah (sebagaimana yang dikemukakan Poerwandari, 1998) melainkan diletakkan setelah kolom nomor sehingga pengkodingan terdiri dari kolom nomor, verbatim, refleksi peneliti dan koding. Perubahan ini pada dasarnya tidak merubah prinsip pengkodingan sesuai yang telah diajukan di awal, melainkan hanya dilakukan penyesuaian untuk memudahkan peneliti dalam proses analisis.

Dalam pengkodingan ini, peneliti menemukan banyak sekali tema. Untuk mengantisipasi hal tersebut, peneliti kemudian membuat tema yang lebih umum yaitu tentang problem-problem, konflik-konflik terberat dan sikap-sikap menghadapi konflik. Tema-tema lain yang tidak termasuk dalam ketiga tema besar tersebut tidak langsung dibuang melainkan disimpan dahulu sebagai bahan tambahan jika diperlukan. Keseluruhan proses koding dan kategorisasi ini sekaligus sebagai proses reduksi data yaitu merangkum dan memilih tema-tema pokok yang fokus pada tujuan penelitian yang disusun secara sistematis agar mudah dikendalikan (Nasution, 1988). 4. Interpretasi


(69)

Setelah proses organisasi, koding dan kategorisasi dilakukan, peneliti kembali membaca hasilnya berulang-ulang untuk semakin mempertajam pemahaman terhadap hasil penelitian sementara tersebut. Setelah itu kemudian melakukan interpretasi data atau yang distilahkan Moleong (1989) sebagai penafsiran data yang bertujuan untuk mendeskripsikan.

Kvale (dalam Poerwandari, 1998) membedakan istilah analisis dan interpretasi. Menurutnya, interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensi sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasikan data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui hal yang secara langsung dikatakan oleh subjek penelitian, untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera ditampilkan dalam teks (data mentah/transkrip wawancara).

Kvale (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa interpretasi memang tidak tunggal. Adalah sah-sah saja (legitimate) bila satu pihak dengan pihak lain mengembangkan interpetasi berbeda tentang data yang sama, dan hal itu tidak langsung berarti bahwa metode kualitatif tidak ilmiah. Kvale (dalam Poerwandari, 1998) menguraikan konteks-konteks situasi dan komunitas validasi dalam mana muncul interpretasi yang berbeda.

Konteks interpretasi pemahaman diri terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk lebih pada (condensed) hal yang oleh subjek


(70)

penelitian sendiri dipakai sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subjek penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian subjek penelitian tersebut.

Konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis terjadi bila peneliti beranjak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti menggunakan pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subjek. Walaupun demikian, hal ini tetap di tempatkan dalam konteks penalaran umum, peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subjek penelitian berada.

Konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkatan ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subjek ataupun penalaran umum. Penelitian ini menggunakan teori konflik-konflik untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada. Meskipun ada tingkatan-tingkatan, Kvale (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa ketiganya dapat berbaur satu sama lain, dan harus dilihat saling terkait. Poerwandari (1998) mengatakan bahwa suatu penelitian berakhir pada kesimpulan pemahaman teroritis.yang baik akan mencakup semua tahapan interpretasi, tetapi tetapi berakhir pada kesimpulan pemahaman teroritis.


(1)

143 Udin) sering meminjam barang-barangnya dan tidak dikembalikan. Y(28-29) 8. Ditegur frater

karena sering pulang tengah malam dari berjualan Angkringan. V10-W18 Konflik organisasi

pernah ditanya dan dicurigai tetangga sekitar karena pulang tengahj malam dan dianggap tidak benar-benar berjualan angkringan. W(6-10)

merasa cuek saja dengan gosip orang-orang sekitar karena merasa tidak

membuat masalah dan memang benar-benar berjualan. W(14-18)

Tidak merasa marah tentang gosip yang dibuat oleh Agus karena tidak

mendengar langsung gosipnya dari Agus. V(12-14)

merasa cuek saja dengan gosip orang-orang sekitar karena merasa tidak

membuat masalah dan memang benar-benar berjualan. W(14-18) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Peningkatan minat belajar anak-anak jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta melalui bimbingan belajar : penelitian tindakan bimbingan dan konseling pada anak jalanan kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit, Yogyakarta.

1 12 228

Kebutuhan anak dampingan Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS) Kampung Pingit yang memiliki kecenderungan berperilaku agresif.

0 1 174

Perilaku agresif anak-anak Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegijapranata (PSP YSS).

0 5 111

Problem-problem yang muncul dalam proses penyesuaian sosial pada mahasiswa pendatang yang melanjutkan studi di Yogyakarta.

0 0 173

Faktor-faktor keberhasilan resosialisasi bekas keluarga jalanan di perkampungan sosial pingit yayasan sosial Soegiyapranata [PSP YSS] Yogyakarta.

0 3 127

Kebutuhan anak dampingan Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS) Kampung Pingit yang memiliki kecenderungan berperilaku agresif

0 0 172

PROBLEM-PROBLEM SOSIAL DALAM NASKAH LAKON “AUM” KARYA PUTU WIJAYA

2 18 96

Faktor-faktor keberhasilan resosialisasi bekas keluarga jalanan di perkampungan sosial pingit yayasan sosial Soegiyapranata [PSP YSS] Yogyakarta - USD Repository

0 1 125

PERILAKU AGRESIF ANAK-ANAK PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIJAPRANATA (PSP YSS) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

0 0 109

Studi deskriptif problem-problem yang dihadapi para tuna wisma di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) dalam proses resosialisasi - USD Repository

0 0 166