Peningkatan minat belajar anak-anak jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta melalui bimbingan belajar : penelitian tindakan bimbingan dan konseling pada anak jalanan kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit, Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

PENINGKATAN MINAT BELAJAR ANAK-ANAK JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YOGYAKARTA

MELALUI BIMBINGAN BELAJAR

(Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling pada Anak Jalanan SD-Besar di Kelompok Belajar Perkampungan Sosial Pingit, Yogyakarta)

Yustina Dauk Bria Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2015

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan minat belajar anak-anak jalanan dan mengetahui seberapa tinggi peningkatan minat belajar tersebut pada setiap siklus layanan bimbingan belajar dengan model bimbingan belajar berbasis pendidikan anak jalanan.

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling (PTBK) yang dilaksanakan dalam 3 siklus. Setiap siklus dilaksanakan dalam 3 pertemuan dengan alokasi waktu 35 menit setiap pertemuan. Subjek penelitian ini adalah 6 siswa kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit. Data diperoleh dengan lembar pengamatan, kuesioner minat belajar anak jalanan, dan didukung oleh wawancara, dan pengolahan dokumentasi lembar kerja siswa yang bersifat reflektif.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan minat belajar anak jalanan yang mengikuti layanan bimbingan belajar dengan rincian: 1) Hasil analisis lembar pengamatan perilaku berminat menunjukkan: persentase skor kelas meningkat dari 44,4% pada pra penelitian, 66% pada siklus I, 84% pada siklus II, dan menjadi 92,2% pada siklus III. Sebaliknya, perilaku kurang berminat menurun dari 56,7% pada pra penelitian, 42% pada siklus I, 26% pada siklus II, dan menjadi 12% pada siklus III. 2) Hasil analisis kuesioner minat belajar menunjukkan: a) pada pra penelitian terdapat 2 siswa (33,3%) berminat belajar sedang dan 4 siswa (77,7%) berminat belajar tinggi; b) pada siklus I terdapat satu siswa (16,7%) berminat belajar sedang, 4 siswa (77,7%) berminat belajar tinggi dan satu siswa (16,7%) berminat belajar sangat tinggi; c) pada siklus II terdapat satu siswa (16,7%) berminat belajar sedang, 4 siswa (77,7%) berminat belajar tinggi dan satu siswa (16,7%) berminat belajar sangat tinggi; d) pada siklus III terdapat satu siswa (16,7%) berminat belajar tinggi dan 5 siswa (83,3%) berminat belajar sangat tinggi. Hasil wawancara dan studi lembar kerja siswa mengungkapkan adanya peningkatan ketertarikan dan keyakinan positif siswa terhadap kegiatan belajar.


(2)

ABSTRACT

INCREASING THE STREET CHILDREN’S LEARNING INTEREST THROUGH STUDY CLUB IN PINGIT SOCIAL VILLAGE

YOGYAKARTA

(Guidance and Counseling Action Research on Elementary School Street Children in Pingit Social Village, Yogyakarta)

Yustina Dauk Bria Sanata Dharma University

Yogyakarta 2015

This research aims at increasing street children learning interest and knowing how much the increase of such learning interest at each cycle of study club using an educational model for street children.

This is a Guidance and Counseling Action Research done in research of 3 cycles. Each cycle is conducted for 3 meetings, 35 minutes per meeting. The subject of this research was 6 students of SD-Besar group in Social Village Pingit Yogyakarta. The research data was gathered from observation sheet, student learning interest quetionnaires and supported by interview and analysis on documentation of student reflective worksheets.

The result of research shows that there is some increase in learning interest among street children through the provision of study club as follows: 1) The result of observation sheet analysis on interested behavior shows that the percentage of class score increased from 44.4% on pre research, 66% on cycle I, 84% on cycle II, and 92.2% cycle III. On the contrary, the result of observation sheet analysis on uninterested behavior shows that the percentage of class score decreased from 56.7% on pre research, 42% on cycle I, 26% on cycle II, and 12% cycle III. 2) The result of analysis on learning interest questionnaires shows that: a) in pre research 2 students (33.3%) had medium learning interest, 4 students (77.7%) have high learning interest; b) in cycle I one student (16.7%) has medium learning interest, 4 students (77.7%) had high learning interest, dan one student (16.7%) had very high learning interest; c) in cycle II student (16.7%) had medium learning interest, 4 students (77,7%) have high learning interest, dan one student (16.7%) had very high learning interest; d) in cycle III one student (16.7%) had high learning interest and 5 students (83.3%) had very high learning interest. 3) The result of interview and students reflective worksheet also comfirms that there was some increase of learning interest among street children as shown by the positive confidence on learning activity.


(3)

PENINGKATAN MINAT BELAJAR ANAK-ANAK JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YOGYAKARTA

MELALUI BIMBINGAN BELAJAR

(Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling pada Anak Jalanan Kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit, Yogyakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Yustina Dauk Bria NIM 091114059

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

PENINGKATAN MINAT BELAJAR ANAK-ANAK JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YOGYAKARTA

MELALUI BIMBINGAN BELAJAR

(Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling pada Anak Jalanan Kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit, Yogyakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Yustina Dauk Bria NIM 091114059

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

(6)

(7)

iv MOTTO

Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya,

dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya,

tetapi dengan setia ia akan menyatakan hukum.


(8)

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan dengan tulus dan sederhana untuk Tuhan Penciptaku Yang telah mencintaiku melalui orang tuaku terkasih: Bapak Benediktus Bria dan Ibu Viktoria Hoar Asa, serta Bapak Leonardus Taek (alm.) dan Ibu Margareta Luruk. Untuk semua pecinta ilmu bimbingan dan konseling agar semakin banyak

orang yang tersapa dan termotivasi terutama mereka yang miskin dan tersisih.


(9)

vi

Pernyataan Keaslian Karya

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang lazim.

Yogyakarta, 19 Maret 2015 Penulis


(10)

vii

Pernyataan Persetujuan Publikasi

Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Yustina Dauk Bria

Nomor Induk Mahasiswa : 091114059

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PENINGKATAN MINAT BELAJAR ANAK-ANAK JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YOGYAKARTA

MELALUI BIMBINGAN BELAJAR

(Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling pada Anak Jalanan Kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit, Yogyakarta) beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan ini saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, 19 Maret 2015 Yang menyatakan


(11)

viii ABSTRAK

PENINGKATAN MINAT BELAJAR ANAK-ANAK JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YOGYAKARTA

MELALUI BIMBINGAN BELAJAR

(Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling pada Anak Jalanan SD-Besar di Kelompok Belajar Perkampungan Sosial Pingit, Yogyakarta)

Yustina Dauk Bria Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2015

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan minat belajar anak-anak jalanan dan mengetahui seberapa tinggi peningkatan minat belajar tersebut pada setiap siklus layanan bimbingan belajar dengan model bimbingan belajar berbasis pendidikan anak jalanan.

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling (PTBK) yang dilaksanakan dalam 3 siklus. Setiap siklus dilaksanakan dalam 3 pertemuan dengan alokasi waktu 35 menit setiap pertemuan. Subjek penelitian ini adalah 6 siswa kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit. Data diperoleh dengan lembar pengamatan, kuesioner minat belajar anak jalanan, dan didukung oleh wawancara, dan pengolahan dokumentasi lembar kerja siswa yang bersifat reflektif.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan minat belajar anak jalanan yang mengikuti layanan bimbingan belajar dengan rincian: 1) Hasil analisis lembar pengamatan perilaku berminat menunjukkan: persentase skor kelas meningkat dari 44,4% pada pra penelitian, 66% pada siklus I, 84% pada siklus II, dan menjadi 92,2% pada siklus III. Sebaliknya, perilaku kurang berminat menurun dari 56,7% pada pra penelitian, 42% pada siklus I, 26% pada siklus II, dan menjadi 12% pada siklus III. 2) Hasil analisis kuesioner minat belajar menunjukkan: a) pada pra penelitian terdapat 2 siswa (33,3%) berminat belajar sedang dan 4 siswa (77,7%) berminat belajar tinggi; b) pada siklus I terdapat satu siswa (16,7%) berminat belajar sedang, 4 siswa (77,7%) berminat belajar tinggi dan satu siswa (16,7%) berminat belajar sangat tinggi; c) pada siklus II terdapat satu siswa (16,7%) berminat belajar sedang, 4 siswa (77,7%) berminat belajar tinggi dan satu siswa (16,7%) berminat belajar sangat tinggi; d) pada siklus III terdapat satu siswa (16,7%) berminat belajar tinggi dan 5 siswa (83,3%) berminat belajar sangat tinggi. Hasil wawancara dan studi lembar kerja siswa mengungkapkan adanya peningkatan ketertarikan dan keyakinan positif siswa terhadap kegiatan belajar.


(12)

ix ABSTRACT

INCREASING THE STREET CHILDREN’S LEARNING INTEREST THROUGH STUDY CLUB IN PINGIT SOCIAL VILLAGE

YOGYAKARTA

(Guidance and Counseling Action Research on Elementary School Street Children in Pingit Social Village, Yogyakarta)

Yustina Dauk Bria Sanata Dharma University

Yogyakarta 2015

This research aims at increasing street children learning interest and knowing how much the increase of such learning interest at each cycle of study club using an educational model for street children.

This is a Guidance and Counseling Action Research done in research of 3 cycles. Each cycle is conducted for 3 meetings, 35 minutes per meeting. The subject of this research was 6 students of SD-Besar group in Social Village Pingit Yogyakarta. The research data was gathered from observation sheet, student learning interest quetionnaires and supported by interview and analysis on documentation of student reflective worksheets.

The result of research shows that there is some increase in learning interest among street children through the provision of study club as follows: 1) The result of observation sheet analysis on interested behavior shows that the percentage of class score increased from 44.4% on pre research, 66% on cycle I, 84% on cycle II, and 92.2% cycle III. On the contrary, the result of observation sheet analysis on uninterested behavior shows that the percentage of class score decreased from 56.7% on pre research, 42% on cycle I, 26% on cycle II, and 12% cycle III. 2) The result of analysis on learning interest questionnaires shows that: a) in pre research 2 students (33.3%) had medium learning interest, 4 students (77.7%) have high learning interest; b) in cycle I one student (16.7%) has medium learning interest, 4 students (77.7%) had high learning interest, dan one student (16.7%) had very high learning interest; c) in cycle II student (16.7%) had medium learning interest, 4 students (77,7%) have high learning interest, dan one student (16.7%) had very high learning interest; d) in cycle III one student (16.7%) had high learning interest and 5 students (83.3%) had very high learning interest. 3) The result of interview and students reflective worksheet also comfirms that there was some increase of learning interest among street children as shown by the positive confidence on learning activity.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang berlimpah kepada Tuhan Allah Mahakasih atas rahmat dan anugerah-Nya yang telah menyertai dan menuntun penulis hingga menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis telah menerima begitu banyak dukungan, bimbingan, bantuan, motivasi, dan doa dari berbagai pihak selama proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan setulus hati, penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Gendon Barus, M.Si. selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dan memperlancar proses penyelesaian skripsi ini.

2. Juster Donal Sinaga, M.Pd. selaku sekretaris Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah membantu dan memperlancar proses penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. selaku dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran, ketulusan hati, ketekunan dan ketelitian telah membimbing dan mendampingi penulis pada setiap tahap dan proses penyusunan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas

Sanata Dharma yang dengan sepenuh hati telah membagikan ilmunya sehingga berguna untuk bekal hidup dan karya penulis.


(14)

xi

5. Fr. Lestanto, SJ dan para frater Serikat Yesus di Kolese St. Ignasius Loyola selaku pengelola dan penanggungjawab Perkampungan Sosial Pingit yang telah berkenan menerima dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

6. Para sukarelawan di PSP khususnya penanggungjawab kelompok SD-Besar yakni saudari Dewi Mustika Sihite dan saudara Yohanes Arga Pribadi yang telah bersedia menjadi rekan kerja dan teman diskusi selama penelitian.

7. Seluruh siswa SD-Besar di PSP atas penerimaan, kerja sama, keterbukaan, kebersamaan dan persahabatan yang telah mempermudah pelaksanaan penelitian ini.

8. Orang tuaku tercinta, Ama-ku Benediktus Bria dan Ina-ku Viktoria Hoar Asa serta Bapak Leonardus Taek (alm.) dan Mama Margareta Luruk yang tak pernah berhenti memberikan cinta dan kasih sayang melalui doa, nasihat, dorongan, pengorbanan dan kerja keras hingga menguatkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kakakku tersayang Aurelius Teluma yang setiap hari memberikan semangat, dukungan, nasihat, bimbingan penulisan serta telah menjadi teman diskusi yang menyenangkan dan mencerahkan.

10. Adik-adikku tersayang Yan, Fridus, Fin, Veto, Meri dan Damy beserta kedua keponakanku yang lucu, Gio dan Nona Aurelia atas dukungan, motivasi, canda tawa dan hiburan yang menguatkan hati.

11. Para sahabat di kampus dan di kost AN-NISA Maguwoharjo yang telah menjadi saudara dan keluargaku: Sr. Siska, SSpS, Sr. Felis, JMJ, adik San


(15)

xii

Muhsanah, Suryati Murni, Rahma, Siska, Ria, Nisa, Kiki, Dini dan teman-teman BK USD angkatan 2009 serta Ibu Kost-ku yang baik, Ibu Nurbaiti yang telah mendukung dengan rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang luar biasa hangat dan indah dalam canda tawa dan sapaan.

12. Mas A. Priyatmoko di sekretariat BK USD atas kesabaran dan kerelaan hati dalam membantu penulis mengurus berbagai administrasi perkuliahan serta penyelesaian skripsi ini.

13. Perpustakaan USD beserta karyawan perpustakaan atas pelayanan pada penulis selama penulis menyelesaikan studi.

14. Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna sehingga masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Karena itu, segala kritik, saran dan masukan dari para pembaca sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi kemajuan keilmuan Bimbingan dan Konseling.


(16)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GRAFIK ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Variabel Penelitian dan Batasan Istilah ... 10

BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN A. Minat dan Minat Belajar ... 11

1. Pengertian Minat ... 11

2. Belajar dan Minat Belajar ... 13


(17)

xiv

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Belajar ... 20

B. Anak Jalanan PSP dan Minat Belajarnya ... 27

1. Pengertian dan Kategorisasi Anak Jalanan ... 27

2. Minat Belajar Anak Jalanan ... 30

C. Merancang Bimbingan Belajar untuk Anak Jalanan ... 33

1. Pendidikan bagi Anak Jalanan ... 34

2. Bimbingan Belajar untuk Anak Jalanan ... 36

3. Tujuan Bimbingan Belajar ... 36

4. Fungsi Bimbingan Belajar... 39

D. Kerangka Pikir ... 41

E. Hipotesis Tindakan... 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 44

B. Subjek Penelitian ... 45

C. Desain Penelitian ... 45

D. Prosedur Penelitian dan Pelaksanaan Tindakan ... 46

1. Perencanaan... 46

2. Pelaksanaan Tindakan ... 48

3. Langkah-langkah Tindakan ... 49

4. Siklus-Siklus ... 52

5. Pelaksanaan Setiap Siklus ... 53

E. Teknik Pengumpulan Data ... 57

F. Instrumen Penelitian... 59

G. Teknik Analisis Data ... 65

H. Kriteria Keberhasilan Tindakan ... 73

BAB IV PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Kegiatan Rutin di PSP ... 75

B. Pelaksanaan Tindakan ... 77


(18)

xv

2. Proses Implementasi Tindakan ... 79

a. Siklus Pertama ... 79

b. Siklus Kedua ... 86

c. Siklus Ketiga ... 92

C. Hasil Penelitian ... 98

1. Minat Belajar Anak pada Kondisi Awal ... 99

2. Minat Belajar Anak Jalanan pada Siklus Pertama ... 103

3. Minat Belajar Anak Jalanan pada Siklus Kedua ... 110

4. Minat Belajar Anak Jalanan pada Siklus Ketiga ... 117

5. Ketercapaian Kriteria Keberhasilan ... 122

D. Pembahasan ... 126

E. Keterbatasan Penelitian ... 131

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 132

B. Keterbatasan Penelitian ... 133

C. Usul-Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 135


(19)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rencana Topik dan Pelaksanaan Setiap Siklus ... 53

Tabel 2. Kisi-Kisi panduan Observasi Perilaku Anak Jalanan ... 60

Tabel 3.Kisi-kisi Skala Minat Mengikuti Kegiatan Bimbingan Belajar. 61 Tabel 4. Daftar Indeks Korelasi Reliabilitas ... 64

Tabel 5. Pertanyaan Wawancara Terstruktur Berbentuk Terbuka ... 65

Tabel 6. Kategorisasi Skor Minat Belajar Kelas Menurut Lembar Pengamatan ... 68

Tabel 7. Kategorisasi Skor Minat Belajar Subyek Menurut Lembar Pengamatan ... 69

Tabel 8. Kategorisasi Skor Minat Belajar Subyek Menurut Angket ... 70

Tabel 9. Kategorisasi Skor Minat Belajar Kelas Menurut Angket ... 71

Tabel 10. Kriteria Keberhasilan Tindakan ... 74

Tabel 11. Daftar Siswa Kelompok SD-Besar ... 79

Tabel 12. Statistik Minat Belajar Kondisi Awal ... 102

Tabel 13. Statistik Minat Belajar Siklus I ... 107

Tabel 14. Statistik Minat Belajar Siklus II ... 114


(20)

xvii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Hasil Perbandingan Skor Subyek Kondisi Awal ... 101

Grafik 2. Hasil Perbandingan Skor Minat Belajar Subyek Siklus I ... 105

Grafik 3. Perbandingan Skor Minat Belajar Subyek Siklus II ... 113

Grafik 4. Perbandingan Skor Minat Belajar Subyek Siklus III ... 119

Grafik 5. Perubahan Skor Perilaku Berminat vs Kurang Berminat ... 124


(21)

xviii

DAFTAR GAMBAR


(22)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Silabus ... 139 Lampiran 2. Satuan Layanan Bimbingan ... 142 Lampiran 3. Instrumen Penelitian ... 163 Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Data Pengamatan... 170 Lampiran 5. Tabulasi Data & Statistik Minat Belajar... 180 Lampiran 6. Hasil Uji Reliabilitas & Validitas Skala Minat Belajar .. 193 Lampiran 7. Presensi Siswa ... 198 Lampiran 8. Foto-Foto Penelitian ... 202 Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian ... 206


(23)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, ada sekitar 230.000 anak jalanan di Indonesia. Data dari Dinas Sosial Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menunjukkan bahwa jumlah anak jalanan meningkat setiap tahun. Pada tahun 2009 tercatat jumlah anak jalanan sebanyak 3.724 orang, tahun 2010 berjumlah 5.650 orang, dan pada tahun 2011 berjumlah 7.315 orang (Kompas, 24/8/2011). Di Yogyakarta, menurut data dari Dinas Sosial Propinsi DIY, pada tahun 2009 tercatat 499 anak, tahun 2010 sebanyak 481 anak (BPPM DIY, 2011: 74). Pada tahun 2011, sebanyak 400 anak jalanan yang terdaftar di Dinas Sosial DIY, namun menurut data harian Kompas, diperkirakan total anak jalanan yang berada di jalan-jalan protokol Yogyakarta mencapai jumlah 800 anak (Kompas, 11/4/2011).

Sebagaimana telah diketahui secara umum, sebutan anak jalanan dialamatkan pada anak-anak yang menghabiskan waktunya di jalanan dan tempat umum lainnya untuk mencari nafkah hidup dengan bekerja sebagai pengemis, pemulung, pengamen, hingga pencopet dan pencuri. Pemerintah Propinsi DIY dalam Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan, pasal 1 ayat 4, mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang berusia di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian waktunya di jalan dan di tempat-tempat umum yang meliputi anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau anak yang bekerja dan hidup di jalanan serta


(24)

menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari. Secara lebih detil, anak jalanan menurut kriteria Dinas Sosial antara lain: 1) Anak yang rentan bekerja di jalanan karena suatu sebab; 2) Anak yang melakukan aktivitas di jalanan; 3) Anak yang bekerja atau dipekerjakan di jalanan; 4) Jangka waktu di jalanan lebih dari 6 jam per hari dan dihitung untuk 1 bulan yang lalu.

Dalam kaitan dengan keluarga, secara konkrit ada anak yang secara periodik kembali ke keluarganya, ada yang tidak sama sekali dan kebanyakan adalah yang bersama keluarganya hidup di jalanan. Oleh karena itu, anak jalanan ini begitu rentan terhadap berbagai persoalan sosial, ekonomi, pendidikan bahkan politik. Secara teritorial, kebanyakan mereka hidup di wilayah kumuh sebuah kota sehingga secara fisik mereka pun rentan terhadap aneka penyakit. Mereka juga cenderung mendapat stigma negatif dari masyarakat umum dan rawan terjerumus dalam tindakan yang tergolong kriminal. Akibatnya, mereka cenderung dihindari oleh masyarakat dalam pergaulan hingga dikejar aparat atas nama operasi penertiban kota.

Selain aneka persoalan tersebut, salah satu persoalan yang sangat memprihatinkan bagi anak jalanan adalah persoalan pendidikan. Kebanyakan dari mereka tidak bersekolah atau putus sekolah. Bahkan jika ada yang masih bisa sekolah, kebanyakan mereka akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk bekerja di jalanan daripada bersekolah. Dengan berbagai fakta ini, sangat diperlukan perhatian dari pemerintah dan berbagai pihak untuk membantu anak jalanan ini dalam berbagai aspek hidup mereka seperti kesejahteraan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Kesejahteraan ekonomi diperlukan agar kebutuhan


(25)

pokok mereka terpenuhi, kesehatan mereka terjaga dan memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sementara itu, jika mereka memiliki pendidikan yang cukup maka mereka dapat memperoleh pekerjaan yang lebih layak sehingga kesejahteraan hidup mereka menjadi semakin meningkat.

Secara formal, persoalan pendidikan anak jalanan di DIY diatur dalam Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2011 pasal 29, 30, 31 dan 32. Menurut Perda tersebut, setiap anak jalanan berhak mendapat pemenuhan hak pendidikan melalui layanan pendidikan khusus yang diselenggarakan baik pada jalur formal, informal maupun non-formal. Salah satu pihak yang dapat menyelenggarakan pendidikan khusus tersebut adalah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), yakni organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial anak yang dibentuk oleh masyarakat baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang berada di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti panti sosial anak, panti asuhan anak, rumah singgah, dan rumah perlindungan sosial anak. Pemerintah DIY mewajibkan satuan pendidikan dan dinas pendidikan untuk menerima hasil binaan LKSA sesuai kriteria setiap jenjang yang mau diikuti.

Di kota Yogyakarta, salah satu pihak yang berkecimpung dalam usaha sosial untuk mendidik anak-anak jalanan adalah komunitas Perkampungan Sosial Pingit (selanjutnya disingkat: PSP) di pinggiran Kali Code Yogyakarta. PSP dirintis oleh Dr. Bernhard Kieser, SJ pada tahun 1968 sebagai bentuk tanggapannya terhadap situasi hidup yang memprihatinkan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Anak-anak yang tinggal di PSP pada umumnya


(26)

bersekolah seperti anak-anak pada umumnya. Pagi sampai siang hari mereka gunakan untuk sekolah. Setelah itu mereka turun ke jalanan membantu orang tua mencari uang. Hal tersebutlah yang membuat mereka dipandang sebagai anak jalanan oleh masyarakat umum. Kondisi ini mendorong terciptanya program bimbingan belajar untuk anak-anak usia pra sekolah sampai sekolah yang dilakukan oleh PSP dengan bantuan tenaga sukarelawan (volunteer) yang mau bergabung dalam kegiatan pelayanan ini. Kegiatan bimbingan belajar dilaksanakan setiap hari Senin dan hari Kamis pada sore hari pukul 19.00-21.00 WIB. Kegiatan ini difokuskan pada anak yang memiliki keinginan untuk belajar tetapi tidak mendapatkan di rumah mereka masing-masing.

Proses belajar mengajar yang dikembangkan para sukarelawan di PSP bersifat kompleks, karena mencakup aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis agar dapat menjawab kebutuhan anak-anak jalanan yang hidup dalam kondisi sosial-ekonomi yang khusus tersebut. Aspek pedagogis merujuk pada kenyataan bahwa belajar mengajar terutama di kelas berlangsung dalam kerangka proses pendidikan sehingga pendampingan belajar tersebut hendaknya membantu perkembangan anak-anak menuju kedewasaan pribadi yang siap menjawab segala kebutuhan hidupnya di tengah masyarakat. Aspek psikologis merujuk pada kenyataan bahwa anak-anak jalanan yang belajar di kelas memiliki kondisi fisik dan psikologis yang berbeda dengan anak-anak lain yang tidak hidup dalam lingkungan kumuh. Aspek didaktis menekankan pendidikan karakter dan keteladanan hidup di tengah masyarkat. Sementara itu, anak-anak jalanan tetap dituntut untuk menguasai berbagai teknik dan materi belajar yang bervariasi dan


(27)

umum, misalnya menghafal dan memahami konsep, mengenal dan mempraktekkan sikap-sikap hidup baik, serta menguasai aneka keterampilan motorik. Oleh karena kondisi psikologis yang berbeda namun tuntutan belajar di sekolah formal yang tidak sesuai dengan dunia sehari-hari mereka tersebut menuntut suatu program dan aktivitas bimbingan belajar yang berbeda pula.

Di PSP ini, selain anak-anak diberi kesempatan untuk melanjutkan pembelajaran di sekolah formal, mereka juga diupayakan dapat memiliki ketrampilan lain seperti keterampilan otomotif, seni kerajinan dan tata boga serta memperolah modal usaha sesuai dengan potensi dan minat yang dimilikinya. Sekalipun demikian, lembaga pendidikan informal ini tidak bisa memberikan ijazah seperti lembaga pendidikan formal karena sistem pendidikan nasional yang hanya memperkenankan penerbitan ijazah yang legal oleh sekolah formal. Mengatasi kesulitan ini, anak jalanan yang menetap di PSP dibiayai penuh oleh pihak pengelola PSP untuk melanjutkan pendidikan di sekolah-sekolah formal. Anak jalanan ini disekolahkan sesuai dengan tingkat usia mereka di lembaga pendidikan formal yang memiliki jaringan khusus dengan PSP tersebut.

Dengan berbagai program dan aktivitas pendidikan yang kelola oleh PSP, sejumlah besar anak jalanan yang dibimbing sudah mampu meninggalkan dunia jalanan dan mulai bekerja di tempat-tempat kerja yang formal. Bagi yang masih bersekolah, beberapa anak terlihat memiliki motivasi yang kuat untuk belajar secara formal di sekolah. Sekalipun demikian, menurut penulis yang menjadi salah seorang sukarelawan di PSP sejak bukan Januari 2012, beberapa anak jalanan memang terdaftar sebagai siswa di lembaga pendidikan formal, namun


(28)

tidak sedikit pula yang mencari alasan setiap harinya untuk membolos, sehingga pihak sekolah seringkali menanyakan keberadaan siswa kepada pihak PSP. Rata-rata dalam setiap minggunya anak jalanan yang masih terdaftar di sekolah membolos tiga hingga empat hari. Ada anak menyatakan bahwa tiga bulan adalah waktu yang paling lama bagi anak jalanan tersebut untuk tidak mengeluh mengenai beratnya bersekolah. Setelah itu mereka sering membolos lalu menginginkan keluar dari sekolah. Bahkan ada yang dari awal dengan tegas menyatakan bahwa mereka menolak untuk sekolah.

Pengurus PSP Yogyakarta menyadari bahwa mereka tidak dapat memaksa anak jalanan yang diasuhnya untuk tidak hidup jalan lagi. Karena kuatnya keinginan anak-anak kembali ke jalan, maka pengurus PSP Yogyakarta memberi dispensasi untuk mengamen setelah selesai sekolah. Pengelola PSP Yogyakarta ingin agar anak-anak tinggal dan belajar di PSP setiap sore dan bersekolah, namun anak jalanan tersebut lebih memilih bekerja, mengerjakan hobi, dan melaksanakan ketrampilannya daripada mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Di sinilah telihat betapa motivasi dan minat belajar anak-anak yang rendah menjadi kendala baik bagi para pengelola PSP tetapi juga bagi perkembangan pendidikan anak-anak jalanan.

Sejumlah pertanyaan mengemuka, bagaimana potret sebenarnya minat belajar anak-anak jalanan di PSP tersebut; apa saja faktor yang mempengaruhi rendahnya minat belajar tersebut; dan bagaimana menumbuhkan dan meningkatkan minat belajar anak-anak tersebut. Bahkan, secara lebih umum, bagaimana menjelaskan hubungan antara realitas kemiskinan dan kesulitan hidup


(29)

sebagai anak jalanan dengan rendahkan minat belajar mereka serta bagaimana mengatasinya.

Sebagai salah seorang sukarelawan yang berkarya untuk anak-anak PSP tersebut penulis terdorong untuk melakukan sebuah pembelajaran dan penelitian perihal minat belajar anak-anak jalanan tersebut. Penulis berasumsi bahwa karena harus menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk bekerja, maka anak-anak tersebut pasti memerlukan pendampingan tertentu untuk dapat menumbuhkan, mempertahankan bahkan memperbesar minat belajar mereka. Atas latar belakang inilah maka penulis memilih topik meningkatkan minat belajar anak-anak jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta melalui program bimbingan belajar.

Bimbingan belajar merupakan pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik kelompok ataupun perorangan agar dapat belajar secara lebih optimal. Bimbingan belajar berdasarkan topik-topik bimbingan serta metode bimbingan tertentu seperti menonton film, melakukan permainanan (game), menyusun puzzle dan sebagainya dapat meningkatkan minat belajar anak jalanan di PSP Yogyakarta. Adapun subyek penelitian ini adalah 6 anak jalanan PSP yang sedang duduk di kelas 4-6 SD di sekolah formal. Di PSP, anak-anak jalanan usia ini tergabung dalam kelompok belajar SD-Besar. Kelompok ini menjadi kelompok yang paling tampak dinamikanya karena keberadaan mereka sebagai remaja awal yang semakin berani memperlihatkan rasa suka atau tidak suka pada kegiatan belajar baik di sekolah maupun di kelompok belajar PSP Yogyakarta. Selain itu, kelompok ini merupakan kelompok yang paling tinggi tingkatnya di PSP Yogyakarta.


(30)

B. Rumusan Masalah

1. Apakah minat belajar anak-anak jalanan kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta dapat ditingkatkan melalui program bimbingan belajar?

2. Seberapa tinggi peningkatan minat belajar anak-anak jalanan kelompok SD-Besar Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta melalui pelaksanaan program bimbingan belajar pada setiap siklus?

3. Apakah terdapat peningkatan minat belajar secara signifikan pada anak-anak jalanan kelompok SD-Besar melalui pelaksanaan program bimbingan belajar antar siklus?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk meningkatkan minat belajar anak-anak jalanan khususnya kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta melalui program bimbingan belajar.

2. Untuk mengetahui seberapa tinggi peningkatan minat belajar anak-anak jalanan khususnya kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta melalui program bimbingan belajar pada setiap siklus.

3. Untuk mengetahui seberapa signifikan peningkatan minat belajar anak-anak jalanan kelompok SD-Besar di Perkampungan Sosial Pingit melalui pelaksanaan program bimbingan belajar antar siklus.


(31)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan penjelasan dan masukan dalam bidang bimbingan dan konseling bahkan sosiologi pendidikan khususnya tentang kaitan antara kondisi sosial-ekonomi yang rendah terhadap minat belajar remaja awal dan bagaimana merancang sebuah model bimbingan belajar yang kontekstual dengan kondisi tersebut agar dapat meningkatkan minat belajar para remaja awal. Dengan kata lain, penelitian ini merupakan suatu usaha membangun sebuah gagasan bimbingan belajar di atas kajian sosiologis-psikologis pendidikan

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh:

a. Para penanggung jawab PSP dan pemerhati pendidikan anak jalanan lain untuk mengetahui bagaimana tingkat minat belajar anak jalanan terhadap pelajaran yang diberikan dan bagaimana meningkatkannya. b. Para volunteer atau sukarelawan mampu mengembangkan kegiatan

bimbingan belajar yang sesuai dengan konteks bagi anak jalanan di PSP agar semakin memperbesar minat belajar mereka.

c. Peneliti dan peneliti lain untuk mempertimbangkan faktor kondisi sosial-ekonomi peserta didik seperti kondisi siswa SD-Besar di PSP dalam penyusunan program bimbingan belajar agar dapat meningkatkan minat belajar anak yang hidup dalam kondisi yang demikian.


(32)

E. Variabel Penelitian dan Batasan Istilah 1. Minat Belajar Anak Jalanan

Minat belajar anak jalanan adalah ketertarikan seorang anak jalanan dengan segenap kegiatan pikiran dan kehendaknya untuk memperoleh pengetahuan, dan mencapai pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang dituntutnya di sekolah formal yang ditandai dengan peningkatan frekuensi kehadiran dan kedisiplinan di sekolah serta kesediaan menyediakan waktu untuk belajar di rumah di antara waktu kerja di jalanan.

2. Anak Jalanan PSP Yogyakarta

Adalah anak-anak yang menghabiskan waktunya di jalanan dan tempat umum lainnya di kota Yogyakarta yang setiap hari setelah kegiatan di sekolah untuk mencari nafkah hidup dengan bekerja di jalanan dan mereka tinggal di Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta.

3. Program Bimbingan Belajar

Adalah upaya proaktif dan sistematik untuk meningkatkan minat belajar anak jalanan di PSP yang diberikan oleh peneliti selama satu bulan dengan frekuensi tiga kali pertemuan dalam seminggu dan alokasi waktu 35 menit untuk setiap pertemuan.

4. Siswa SD-Besar

Adalah anak-anak jalanan di PSP yang berusia sekitar 11-14 tahun dan kebanyakan masih duduk di bangku kelas 4, 5 dan 6 di beberapa Sekolah Dasar sekitarnya. Dalam sistem pembagian kelompok belajar di PSP, anak-anak ini tergabung dalam kelompok SD-Besar.


(33)

BAB II

LANDASAN TEORI

Sebagai landasan teori, bab ini akan memaparkan beberapa gagasan, konsep dan hasil penelitian yang berkaitan dengan minat belajar, hubungan antara minat belajar dengan kondisi sosial-ekonomi para siswa terutama anak-anak jalanan dan konsep, strategi serta topik bimbingan belajar yang dapat menjawab kesulitan minat belajar anak-anak jalanan. Alur kajian bab ini terbagi dalam tiga pokok bahasan. Pertama, pembahasan tentang minat pada umumnya dan minat belajar pada khususnya yang mencakup pengertian, aspek-aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhi minat belajar. Kedua, berdasarkan pengertian, aspek dan faktor-faktor yang berkaitan dengan minat belajar tersebut, akan diberikan gambaran minat belajar anak jalanan khususnya di PSP Yogyakarta. Uraian diawali dengan pengertian dan kategorisasi anak jalanan secara umum dan anak jalanan PSP khususnya serta gambaran aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhi minat belajar anak jalanan PSP Yogyakarta. Ketiga, pembahasan tentang bimbingan belajar yang sesuai dengan konteks pendidikan anak jalanan pada umumnya dan anak jalanan PSP Yogyakarta pada khususnya.

A. Minat dan Minat Belajar 1. Pengertian Minat

Dalam pengertian sehari-hari, minat diartikan sebagai ketertarikan terhadap sesuatu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI (Pusat Bahasa, 2011), minat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi terhadap


(34)

sesuatu; gairah; keinginan. Menurut Padmowihardjo (1999:154) minat merupakan sifat hati nurani yang timbul dengan sendirinya dan memiliki daya dorong. Minat yang besar akan melahirkan keinginan yang besar untuk mewujudkan atau meraih apa yang diinginkan tersebut.

Sejumlah tokoh lain juga memberikan penjelasan tentang minat. Minat adalah sesuatu pemusatan perhatian yang tidak disengaja yang lahir dengan penuh kemauannya dan yang tergantung dari bakat dan lingkungannya (Agus Sujanto, 1991: 92). Menurut Winkel (1996: 105) minat adalah kecenderungan subjek yang mantap untuk merasa tertarik pada bidang studi atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi itu. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Slameto (1995: 57) bahwa minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa senang.

Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri (Slameto, 1995: 180). Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, maka semakin besar minat yang akan tumbuh. Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai suatu hal dari pada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas siswa yang memiliki minat terhadap subjek tersebut.

Sedangkan Doyles Freyer (dalam Wayan Nurkancana, 1986: 229) mengemukakan bahwa minat atau interest adalah gejala psikis yang berkaitan dengan objek atau aktifitas yang men-stimulir perasaan senang pada individu.


(35)

Minat sangat erat hubungannya dengan kebutuhan, karena minat yang timbul dari kebutuhan ajakan merupakan merupakan faktor pendorong bagi seseorang dalam melaksanakan usahanya. Selain itu, menurut The Liang Gie (1988: 28) minat berarti sibuk, tertarik, atau terlibat sepenuhnya dengan sesuatu kegiatan karena menyadari pentingnya kegiatan itu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa minat merupakan ketertarikan dan keinginan yang kuat dalam diri seseorang terhadap sesuatu sehingga menimbulkan reaksi berupa daya dari dalam maupun dari luar diri untuk mendapatkan sesuatu yang diminati tersebut. Dalam perspektif inilah minat belajar akan diuraikan.

2. Belajar dan Minat Belajar

Berdasarkan pengertian tentang minat, maka secara sederhana minat belajar dirumuskan sebagai ketertarikan dan keinginan yang kuat untuk belajar. Namun pertanyaan yang harus dijelaskan terlebih dahulu adalah perihal apa yang dimaksud dengan belajar.

Ngalim Purwanto (1992: 85) mengemukakan pendapat mengenai pengertian belajar:

a. Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang buruk.

b. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh


(36)

pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar, seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.

c. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus merupakan akhir dari pada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lama periode itu berlangsung sulit ditentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun.

d. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian maupun psikis.

Menurut Slameto (1995: 2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sementara itu Sudirman A.M. (1996: 231) berpendapat bahwa belajar sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psikofisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Hal ini senada dengan Witherington seperti yang dikutip oleh Usman Effendi dan Juhaya S. Praja (1989: 103) bahwa belajar adalah suatu perubahan dalam kepribadian, sebagaimana yang tampak pada perubahan penguasaan pola-pola respon atau tingkah laku yang baru, dalam perubahan keterampilan kebiasaan, kesanggupan dan pemahaman akan sesuatu. Dalam hal ini Moh. Uzer Usman (1999: 34) memberikan batasan belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu lainnya


(37)

serta individu dengan lingkungannya, sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses usaha atau interaksi yang dilakukan individu untuk memperoleh sesuatu yang baru dan perubahan keseluruhan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman itu sendiri. Perubahan tersebut akan nampak dalam penguasaan pola-pola respons yang baru terhadap lingkungan berupa keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan, kecakapan dan sebagainya.

Dengan demikian, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan minat belajar? Berdasarkan konsep tentang belajar di atas maka minat belajar adalah keterlibatan sepenuhnya seseorang dengan segenap kegiatan pikiran secara penuh perhatian untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang dituntunnya. Minat terhadap sesuatu dipelajari dan mempengaruhi terhadap belajar selanjutnya serta mempengaruhi penerimaan minat-minat baru. Jadi, minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan menyokong belajar selanjutnya.

Minat memegang peranan penting dalam proses belajar mengajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan ini Ahmad Tafsir (1992: 24) menyatakan bahwa minat adalah kunci dalam pengajaran. Bila murid telah berminat terhadap kegiatan belajar mengajar, maka hampir dapat dipastikan proses belajar mengajar akan belajar dengan baik. Dengan demikian, maka tahap-tahap awal suatu proses belajar mengajar hendaknya dimulai dengan usaha membangkitkan minat. Minat harus senantiasa dijaga selama proses belajar


(38)

mengajar berlangsung. Karena minat itu mudah sekali berkurang atau hilang selama proses belajar mengajar.

Selain itu juga, minat sangat berpengaruh terhadap belajar, sebab bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, maka siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya. Karena tidak ada daya tarik baginya (Slameto, 1995: 57). Hal ini senada dengan pendapat Usman (1998: 27):

Kondisi belajar mengajar yang efektif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar. Minat merupakan suatu sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat ini besar sekali pengaruhnya terhadap belajar sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya, tanpa minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa minat belajar adalah ketertarikan dan keterlibatan perhatian seseorang terhadap kegiatan belajar sehingga memperoleh pengetahuan dan mencapai pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan mencapai pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang dituntutnya.

3. Aspek-Aspek Minat Belajar

Berdasarkan uraian tentang minat, belajar dan minat belajar di atas serta sebagai suatu proses ketertarikan dan keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan keahlian maka minat belajar memiliki sejumlah aspek.

Dalam artikelnya, Motivational Effects of Interest on Student Engagement

and Learning in Physical Education: A Review, Subramaniam (2009)

mengeksplorasi dan membedakan sekaligus menekankan kesatuan erat dua aspek minat belajar yakni minat belajar individual (individual interest) dan minat belajar


(39)

situasional (situational interest). Minat individual merujuk pada kecenderungan psikologis seseorang untuk secara relatif terlibat dalam sebuah kegiatan, obyek atau isi pembelajaran yang spesifik. Minat individual ini berkembang sebagai suatu kombinasi antara pengetahuan dan sistem nilai seorang individu serta biasanya bertahan lama atau stabil. Sementara itu, minat situasional menunjuk pada reaksi afektif terhadap rangsangan dari luar yang bersifat sesaat dan biasanya berjarak terhadap pengetahuan dan sistem nilai individu. Pada momen tertentu, seseorang tertarik untuk mengetahui bahkan melakukan sesuatu yang jauh dari pengetahuan dan sistem nilai yang dianutnya. Namun Subramaniam menegaskan, minat belajar individual dan situasional bukanah fenomena yang terpisah (not

dichotomous phenomena) secara jelas. Minat, baik individual maupun situasional

sama-sama merupakan komponen kognitif dan afektif yang menyangga motivasi belajar seseorang.

Dalam rumusan yang berbeda, Wasti Sumanto (1984) menggambarkan aspek afektif dan kognitif dari minat yang saling berkaitan tersebut dengan perhatian, perasaan dan motivasi.

a. Perhatian

Ketertarikan seorang siswa pada proses dan kegiatan belajar (baca: minat belajar) pada awalnya ditandai dengan adanya perhatian terhadap kegiatan belajar tersebut. Menurut Wasti Sumanto (1984: 32), “perhatian adalah pemusatan tenaga atau kekuatan jiwa tertentu kepada suatu obyek, atau pendayagunaan kesadaran untuk menyertai suatu aktivitas.” Dengan


(40)

demikian, seorang siswa dikatakan memiliki minat belajar yang besar jika siswa tersebut memberikan perhatian yang besar terhadap kegiatan belajar. b. Perasaan

Unsur pokok minat belajar yang kedua adalah perasaan senang atau tidak senang terhadap kegiatan belajar. Minat belajar yang tinggi ditandai dengan perasaan senang dan antusiasme terhadap kegiatan belajar yang telah, sedang dan akan dilakukan. Sebaliknya, minat belajar yang rendah diketahui dari hadirnya rasa tidak senang terhadap kegiatan pembelajaran. c. Motivasi

Sebagaimana dibahas dalam pengertian tentang minat, unsur motivasi atau daya dari dalam diri sendiri maupun dari luar untuk mengetahui dan melakukan sesuatu merupakan unsur pokok dari minat belajar. Minat belajar yang tinggi ditandai dengan motivasi belajar yang tinggi. Sebaliknya, jika motivasi belajar seorang siswa rendah maka minat belajarnya pun dipastikan rendah.

Selain itu, dalam rumusan yang berbeda, Slameto (2003:58) memberikan gambaran bahwa siswa yang berminat dalam belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Mempunyai kecenderungan yang tetap untuk untuk memperhatikan dan mengenang sesuatu yang dipelajari secara terus-menerus.

b. Ada rasa suka dan senang pada sesuatu yang diminati.

c. Memperoleh suatu kebanggaan dan kepuasan pada sesuatu yang diminati. Ada rasa keterikatan pada suatu aktivitas belajar yang diminati.


(41)

d. Lebih menyukai suatu hal yang menjadi minatnya daripada yang lainnya. e. Dimanifestasikan melalui partisipasi pada aktivitas dan kegiatan.

Berdasarkan uraian ketiga tokoh di atas serta dengan mengadaptasi identifikasi indikator motivasi belajar menurut Makmun (2009: 40), maka perihal minat belajar dapat dilihat dengan beberapa indikator berikut sesuai level kognitif, afektif hingga aksi atau perilaku.

a. Afektif

1) Memiliki keterarahan perasaan dan sikap terhadap sasaran kegiatan (belajar) berupa rasa suka (like) atau tidak suka (dislike), sentiment positif atau negatif terhadap kegiatan belajar.

2) Merasa puas atau tidak puas dengan kegiatan belajar yang sudah atau pernah dilakukan.

3) Memiliki ketabahan, keuletan dan daya tahan emosional dalam menghadapi rintangan untuk mencapai tujuan belajar.

b. Kognitif

1) Memiliki perhatian atau pemusatan kapasitas kognitif (dan afektif) terhadap kegiatan belajar.

2) Memiliki tingkatan aspirasi (pengetahuan dan sistem nilai) terhadap kegiatan belajar berupa persepsi, maksud, cita-cita atau harapan, serta target dari kegiatan belajar.

c. Aksi atau sikap

1) Durasi kegiatan: berapa lama kemampuan penggunaan waktunya untuk melakukan kegiatan belajar.


(42)

2) Frekuensi kegiatan: berapa sering kegiatan belajar dilakukan dalam periode waktu tertentu.

3) Tingkat kualifikasi atau produk atau output yang dicapai dari kegiatan belajarnya: berapa banyak, memadai atau tidak, memuaskan atau tidak. Menurut Makmun (2009: 40-41), indikator-indikator tersebut dapat didekati dengan berbagai teknik pengukuran dan pendekatan yakni tes tindakan

(performance test) disertai observasi, kuesioner dan inventori, mengarang bebas

serta tes prestasi dan skala sikap.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Belajar

Berdasarkan pengertian dan aspek-aspek minat belajar, dapat diperoleh garis besar faktor yang berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya minat belajar. Faktor-faktor tersebut bersifat individual atau internal maupun situasional atau eksternal; serta baik berada pada level afektik, kognitif, fisikal maupun sikap. Berikut ini adalah penjabaran eberapa faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya minat belajar seorang siswa, yakni:

a. Faktor internal

Faktor internal merupakan faktor yang mempengaruhi minat belajar siswa yang berasal dari individu siswa itu sendiri. Menurut Sugihartono dkk, (2007 : 76: bdk Muhibbin 2003: 131) faktor internal terdiri dari faktor jasmaniah atau fisiologis dan faktor psikologis. Faktor jasmaniah atau fisiologis meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh, sedangkan faktor psikologis meliputi intelegensi, perhatian, bakat, motivasi, kematangan dan kelelahan.


(43)

1) Faktor fisiologis atau jasmaniah

Secara jasmaniah, kesehatan fisik menjadi faktor utama yang berpengaruh terhadap minat belajar seseorang. Menurut Muhibbin (2003), kondisi fisiologis sangat berpengaruh terhadap minat belajar, sebab seorang siswa yang sehat jasmani dan rohani maka akan giat dalam belajar (tanpa adanya rintangan), sedangkan bila siswa tersebut sakit maka akan merasa malas dalam belajar sehingga berpengaruh terhadap gairah atau minat belajarnya. Kondisi tubuh yang lemah akan menurunkan kemampuan untuk menerima pelajaran sehingga materi yang dipelajari kurang atau tidak dapat masuk. Kondisi organ-organ khusus seperti tingkat kesehatan indera penglihatan dan pendengaran juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan yang diberikan di kelas.

Menurut Sulistyowati (2001:21-22), kesehatan sangat penting untuk menunjang kemudahan dalam belajar, baik kesehatan psikis maupun fisik. Dengan kondisi yang sehat seseorang akan mudah berkonsentrasi dan dapat menumbuhkansemangat dan minat belajar. Kesehatan mental yang baik akan menimbulkan semangat yang stabil, minat yang positif, dan sikap yang dinamis untuk meraih sukses belajar. Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesehatan dapat mempengaruhi minat belajar. Kesehatan merupakan kondisi fisik seseorang. Seseorang dikatakan sehat jika badannya kuat, lengkap panca inderanya, tidak terganggu (sakit). Jika siswa


(44)

mempunyai kesehatan yang baik maka ia dapat mengarahkan perhatian pada kegiatan belajar secara lebih penuh. Dengan kata lain, kesehatan yang baik akan meningkatkan minat belajar seorang anak.

2) Faktor psikologis

Pada level psikologis, faktor yang dominan berpengaruh terhadap mintat belajar adalah motivasi. Menurut Muhibbin (2003:137), motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan adanya motivasi siswa dapat mempunyai pendorong untuk belajar sehingga dapat memiliki semangat dan minat belajar yang lebih baik. Menurut Sulistyowati (2001:18), motivasi merupakan pendorong atau pemberi semangat untuk memperoleh kesuksesan. Motivasi yang kuat dapat membuat seseorang sanggup bekerja ekstra keras untuk mencapai sesuatu. Menurut Tu‟u (2004:80), motif selalu mendasari dan mempengaruhi setiap usaha serta kegiatan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam belajar bila siswa mempunyai motif yang baik dan kuat, hal itu akan memperbesar semangat dan minat belajarnya. Siswa yang kehilangan motivasi dalam belajar akan memberi dampak yang kurang baik terhadap minat belajarnya. Menurut Dalyono (1997:55), motivasi merupakan daya pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan. Seseorang yang belajar dengan motivasi kuat, akan melaksanakan semua kegiatan belajarnya dengan sungguh-sungguh, penuh gairah atau semangat. Sebaliknya motivasi yang lemah, akan


(45)

membuat siswa malas belajar bahkan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan pelajaran.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan kekuatan yang menjadi pendorong baik dari dalam maupun dari luar diri individu yang dapat menumbuhkan semangat dan minat dalam melakukan sesuatu untuk memperoleh keberhasilan. Siswa yang tidak mempunyai motivasi maka akan cenderung semangat dan minatnya menjadi lemah dan tidak menyenangi materi pelajaranan serta kesulitan untuk menguasai mata pelajaran yang diberikan.

b. Faktor eksternal

Faktor ini merupakan faktor yang mempengaruhi minat siswa dalam belajar yang berasal dari luar individu siswa itu sendiri. Menurut Sugihartono dkk, (2007: 76) faktor eksternal yang berpengaruh dalam belajar meliputi faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.

1) Lingkungan keluarga

Menurut Hakim (2000:17), keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam menentukan perkembangan pendidikan seseorang. Karena itu, keluarga menjadi faktor pertama dan utama dalam menentukan tinggi-rendahnya minat belajar seseorang. Keadaan lingkungan keluarga yang sangat menentukan semangat dan minat seseorang diantaranya adalah adanya hubungan yang harmonis di antara sesama anggota keluarga, tersedianya tempat dan peralatan belajar yang cukup memadai, keadaan ekonomi keluarga yang cukup,


(46)

suasana lingkungan rumah yang cukup tenang, adanya perhatian yang besar dari orangtua terhadap perkembangan proses belajar dan pendidikan anak-anaknya.

Menurut Tu‟u (2004:84), pengaruh pertama dan utama bagi kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan seseorang adalah pengaruh keluarga. Hal ini disebabkan keluarga merupakan orang-orang terdekat bagi seorang-orang anak. Banyak sekali kesempatan dan waktu bagi seorang anak untuk berjumpa dan berinteraksi dengan keluarga. Perjumpaan dan interaksi tersebut sangat besar pengaruhnya bagi perilaku danminat belajar seseorang. Jika keluarga harmonis, hubungan orang tua dengan anak, antara anak dengan anak dapat berjalan dengan lancar, kondisi yangbaik itu cenderung memberi stimulus dan respons yang baik dari anak sehingga perilaku dan minatnya menjadi baik dan tinggi.

Menurut Sulistyowati (2001:17), lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap minat belajar. Keluarga dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap aktivitas belajar apabila keadaan keluarga harmonis, adanya perhatian orangtua, antara kakak dan adik selalu rukun, kondisi ekonomi berkecukupan. Orang tua dapat memberikan semangat agar anak menjadi optimis dan merasa ada perlindungan dan perhatian dari orangtua, sehingga anak mendapat kemudahan dalam belajar dan berambisi untuk meraih kesuksesan dalam belajar.


(47)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan keluarga dapat mempengaruhi minat belajar. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan tempat seseorang tumbuh dan berkembang menuju kedewasaan. Dalam keluarga seseorang untuk pertama kalinya belajar dan membentuk kepribadian dirinya. Keluarga yang harmonis dapat membimbing pendidikan anaknya sehingga dapat menumbuhkan minat belajar yang optimal.

2) Lingkungan sekolah.

Menurut Hakim (2000:18), kondisi lingkungan sekolah yang mempengaruhi kondisi belajar antara lain: adanya guru yang baik dalam jumlah yang cukup memadai sesuai dengan jumlah bidang studi yang ditentukan, peralatan belajar yang cukup lengkap, gedung sekolah yang memenuhi persyaratan bagi berlangsungnya proses belajar yang baik, adanya teman yang baik, adanya keharmonisan hubungan diantara semua personil sekolah, adanya disiplin dan tata tertib yang ditegakkan secara konsekuen dan konsisten.

Menurut Tu‟u (2004:84), sekolah adalah wahana kegiatan dan proses pendidikan berlangsung. Di sekolah diadakan kegiatan pendidikan, pembelajaran dan latihan. Di sekolah nilai-nilai etik, moral, mental, spiritual, perilaku, disiplin, ilmu pengetahuan dan ketrampilan ditabur, ditanam, disiram, ditumbuhkan dan dikembangkan. Oleh karena itu, sekolah menjadi wahana yang sangat


(48)

dominan bagi pengaruh dan pembentukan sikap, perilaku, dan minat seorang siswa.

Sekolah dapat menciptakan suasana kondusif bagi proses pendidikan asalkan manajemen sekolah dikembangkan dengan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang baik. Disiplin sekolah diorganisasikan oleh kepala sekolah bekerja sama dengan para guru dan mendapat dukungan orangtua. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan sekolah, dalam hal ini adalah lingkungan sekolah dapat mempengaruhi minat belajar siswa. Lingkungan sekolah merupakan lingkungan tempat terjadinya proses belajar mengajar antara siswa dan guru. Lingkungan sekolah yang berkualitas, dengan sarana dan prasarana yang memadai dapat menumbuhkan semangat dan minat belajar yang tinggi.

3) Lingkungan masyarakat.

Menurut Sulistyowati (2001:30-31), lingkungan masyarakat tidak kecil pengaruhnya terhadap minat belajar. Ada pengaruh yang positif dan ada pengaruh yang negatif, tergantung dari bagaimana cara menghadapinya. Siswa harus mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk, menghindarkan diri dari pengaruh yang dianggap kurang baik. Menurut Hakim (2000:19-20), lingkungan masyarakat dapat menunjang keberhasilan belajar diantaranya adalah lembaga-lembaga pendidikan non formal yang melaksanakan kursus-kursus tertentu, seperti bahasa asing, ketrampilan tertentu, bimbingan


(49)

tes, kursus pelajaran tambahan yang menunjang keberhasilan belajar, sanggar majelis taklim, sanggar organisasi remaja masjid dan gereja, sanggar karang taruna.

B. Anak Jalanan PSP dan Minat Belajarnya

Untuk memberikan gambaran tentang minat belajar anak jalanan di PSP Yogyakarta yang menjadi subyek penelitian, maka diuraikan gambaran tentang anak jalanan dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap minat belajar mereka khususnya anak jalanan di PSP Yogyakarta.

1. Pengertian dan Kategorisasi Anak Jalanan

Sebagaimana diuraikan pada bab pertama, yang dimaksudkan dengan anak jalanan menurut Dinas Sosial adalah seorang anak yang berusia di bawah 18 tahun yang menghabiskan waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya. Kriteria usia 0-18 tahun tersebut sesuai dengan standar World Bank dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara itu, menurut Inter-NGO (dalam Shephard, 2011) anak jalanan (street children) termasuk juga orang muda (youth) yang hidup di jalanan dan menjadikan jalanan sebagai tempat tinggal (habitual abode) dan sumber penghidupan; dan mereka ini tidak terlindungi, terawasi maupun dikendalikan oleh orang dewasa.

Menurut Tata Sudrajat (1999), anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok berdasarkan hubungan dengan orang tuanya, yaitu : Pertama, Anak


(50)

yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan (anak yang hidup di jalanan atau children the street). Kedua, anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, dua bulan atau tiga bulan sekali biasa disebut anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Ketiga, Anak yang masih sekolah atau sudah putus sekolah, kelompok ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan (vulnerable to be street children). Kategori tersebut dekat dengan kategorisasi UNICEF (dalam Shephard, 2011) dengan dua term yang tak terpisahkan yakni anak-anak yang hidup di jalanan (living on the street) dan hidup dari jalanan (living of the street).

Jika dilihat dari pandangan Tata Sudrajat dan UNICEF di atas, maka anak-anak jalanan di PSP tergolong dalam kelompok children on the street sekaligus

living of the street. Kebanyakan anak-anak di PSP memiliki orang tua namun ada

anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya dalam jangka waktu tertentu karena mengikuti teman-temannya di jalanan maupun karena konflik dengan orang tuanya. Kebanyakan anak-anak PSP juga masih bersekolah namun sejauh pengamatan penulis selama menjadi relawan, hanya sedikit yang secara teratur berangkat ke sekolah. Selain itu, hampir semuanya termasuk anak yang bekerja di jalanan setelah jam sekolah atau bahkan tidak bersekolah pada hari tertentu untuk bekerja.

Selain kategorisasi di atas, menurut Mustika Nurwijayanti (2012), anak jalanan juga dapat dibedakan menurut faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi anak jalanan, baik pada tingkat mikro maupun makro, yaitu:


(51)

a. Tingkat mikro (immediate causes)

Yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya, seperti lari dari keluarga, dipaksa bekerja, berpetualang, diajak teman, kemiskinan keluarga, ditolak/kekerasan/terpisah dari orang tua dan lain-lain.

b. Tingkat meso (underlying causes)

Yaitu faktor masyarakat yang mengajarkan anak untuk bekerja, sehingga suatu saat menjadi keharusan dan kemudian meninggalkan sekolah, kebiasaan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan pada suatu masyarakat karena keterbatasan kemampuan di daerahnya, penolakan anak jalanan oleh masyarakat yang menyebabkan mereka makin lama di jalanan dan lain-lain.

c. Tingkat makro (basic cause)

Yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro, seperti peluang kerja pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar, urbanisasi, biaya pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif, belum adanya kesamaan persepsi instansi pemerintah terhadap anak jalanan.

Jika dilihat dari pandangan Nurwijayanti di atas, anak-anak jalanan di PSP merupakan anak jalanan yang diakibatkan oleh ketiga faktor tersebut namun dalam kadar yang berbeda. Pada tingkat mikro, kemiskinan keluarga menjadi faktor utama yang menjadikan anak-anak tersebut bekerja di jalanan ketika jam sekolah usai maupun meninggalkan sekolah untuk bekerja. Penyebab pada tingkat mikro tersebut diakibatkan pula oleh kondisi struktur makro sebagai dampak dari


(52)

urbanisasi di mana daya serap tenaga kerja yang terbatas dan menuntut tingkat pendidikan, keahlian dan keterampilan tertentu membuat orang-orang yang tidak memenuhi kualifikasi terlempar dari kemajuan dan perkembangan ekonomi perkotaan. Anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam keluarga korban kesenjangan urbanisasi ini serta merta terperangkap dalam kondisi kemiskinan yang mengharuskan mereka untuk lebih dahulu bbekerja memenuhi kebutuhan hidup daripada memperoleh hak mereka sebagai anak-anak seperti pendidikan dan kesehatan yang layak.

2. Minat Belajar Anak Jalanan

Secara sederhana dan operasional minat belajar anak jalanan adalah ketertarikan seorang anak jalanan dengan segenap kegiatan pikiran dan kehendaknya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang dituntutnya di sekolah formal yang ditandai dengan peningkatan frekuensi kehadiran dan kedisiplinan di sekolah serta kesediaan menyediakan waktu untuk belajar di rumah di antara waktu kerja di jalanan (lih. Bab I). Dengan kata lain, minat belajar anak jalanan adalah ketertarikan anak jalanan untuk belajar di sekolah dan di rumah di tengah tekanan kemiskinan sosial-ekonomi. Karena itu, untuk mengukur dan menggambarkan minat belajar anak jalanan khususnya di PSP diperlukan pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi minat belajar mereka baik pada aspek afektif, kognitif maupun sikap; serta pada sisi internal maupun eksternal. Sebagaimana dalam konteks psikologi pendidikan, status sosial ekonomi (socio economic status-SES)


(53)

mempunyai implikasi penting untuk pendidikan; individu yang berada pada SES rendah seringkali mempunyai tingkat pendidikan yang rendah serta lebih sedikit kekuatannya untuk mempengaruhi institusi masyarakat termasuk sekolah (Santrock, 2009: 194).

a. Faktor internal

Secara fisik, anak-anak jalanan hidup dalam lingkungan tempat tinggal yang jauh dari memadai. Menurut tinjauan Myers, Baer dan Choi tahun 1996 (dalam Santrock, 2009: 195), anak-anak yang hidup dalam kemiskinan (baca: anak-anak jalanan) mendapatkan udara dan air yang lebih tercemar dan rumah yang lebih padat, lebih berisik dan memiliki kualitas hunian yang lebih rendah. Dengan kondisi tempat tinggal yang demikian, anak-anak jalanan memiliki resiko terserang penyakit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak lainnya.

Selain itu, secara psikologis, menurut modul World Health Organization (WHO) tentang anak jalanan yakni Module 6: Responding to the Needs and

Problem of Street Children (tanpa tahun, hlm.14), anak-anak jalanan

memiliki sejumlah masalah psikologis antara lain: ketakutan untuk terlihat lemah di depan teman-teman sebaya, tidak mempercayai berbagai tindakan pelayanan (pendidikan dan kesehatan) karena mengira pelayan-pelayan tersebut adalah kaki-tangan polisi atau petugas yang hendak menangkap mereka atau mata-mata sindikat penculikan anak-anak (jika mereka adalah korban mafia anak-anak). Karena itu, perilaku anak-anak jalanan cenderung kurang percaya diri (low self-esteem), mudah mengundurkan diri atau


(54)

menyerah (resignation) karena merasa tidak mungkin meraih masa depan cerah serta cenderung menutup diri (self-care) yang berlebihan. Berkaitan dengan minat belajar, menurut kajian Bradley dkk tahun 2001 (dalam Santrock, Ibid), anak-anak tersebut jarang membaca dan lebih sering menonton televisi sementara di saat bersamaan mereka mempunyai akses yang lebih sedikit kepada buku-buku dan komputer.

b. Faktor eksternal

Dalam konteks lingkungan keluarga, anak-anak yang hidup dalam pusaran kemiskinan, termasuk anak jalanan dihadapkan pada “lebih banyak kekacauan keluarga, kekerasan, pemisahan dari keluarga mereka, instabilitas dan rumah tangga yang kacau-balau (Emery & Laumann-Billings dalam Santrock, 2009: 195). Dukungan orang tua kurang responsif bahkan cenderung otoriter (Cochran, dkk., dalam Santrock, 2009: 195), serta memiliki orang tua yang „kurang terlibat dalam aktivitas sekolah anak-anak mereka (ibid). Mereka juga mendapatkan fasilitas sekolah maupun pengasuhan anak yang buruk mengingat keterbatasan ekonomi memaksa mereka hanya bersekolah di sekolah yang tidak mahal karena tidak banyak memakai fasilitas mumpuni.

Selain itu, lingkungan sekitar anak jalanan juga buruk secara fisik maupun secara sosial-politik; banyak bahaya kriminalitas, penyalahgunaan senjata dan obat-obatan serta ancaman penertiban oleh petugas penertiban kota maupun oleh sindikat eksploitasi anak. Sebagaimana dikaji oleh Andriyani Mustika Nurwijayanti (2012) dari perspektif hukum terhadap penanganan


(55)

anak jalanan di Yogyakarta, terdapat bahaya mudahnya kriminalisasi terhadap anak jalanan jika KUHP pasal 504 ayat 1, “Barangsiapa mengemis di muka umum, dapat diancam kurungan paling lama enam minggu” diterapkan tanpa prinsip kehati-hatian.

C. Merancang Bimbingan Belajar untuk Anak Jalanan

Program bimbingan belajar umumnya dikembangkan dalam konteks terselenggaranya Proses Belajar Mengajar (PBM) di sebuah sekolah. Namun menurut Makmun (2009: 281), hanya beberapa layanan bimbingan belajar yang langsung berkaitan dengan PBM sedangkan selebihnya adalah tugas dan kompentensi seorang konselor atau guru konseling di sekolah untuk mengkondisikan siswa dapat terlibat penuh dalam PBM. Sekalipun demikian, pertanyaan besar yang dihadapi adalah bagaimana membuat layanan bimbingan belajar di tempat belajar yang menjadi “jembatan” antara kegiatan belajar di sekolah dan di rumah seperti PSP?

Dengan kata lain, bagaimana merancang program bimbingan belajar dengan tujuan peningkatan minat para siswa terhadap kegiatan belajar di sekolah sementara para siswa tersebut adalah anak jalanan yang membagi waktu hidupnya dengan bersekolah dan bekerja di jalanan, serta hidup di tengah kondisi kemiskinan ekonomi serta diterpa stigma sosial-politik yang negatif oleh masyarakat sekitar? Karena itu pengertian bimbingan belajar pun dibahas dalam konteks pendidikan anak anak jalanan khususnya di PSP agar tercapai tujuan meningkatkan minat belajar sesuai indikator yang ada baik di


(56)

taraf kognitif, afektif maupun aksi. Untuk itu, digambarkan terlebih dahulu beberapa gagasan yang menjadi visi pendidikan bagi anak jalanan.

1. Pendidikan bagi Anak Jalanan

Dalam modulnya, Working With Street Children: Modul 7 Teaching Street

Children, WHO (World Health Organization) mendefinisikan pendidikan anak

jalanan sebagai proses yang mencakup pengetahuan, keahlian dan sikap yang dengannya perilaku seorang anak jalanan berubah sesuai yang diharapkan (WHO, 2009: 1). Oleh karena itu, WHO (2009: 36) memberikan beberapa pesan kunci (key messages) tentang pendidikan bagi anak jalanan yakni:

a. Pendidikan bagi anak jalanan harus berkaitan dengan situasi aktual yang ada dalam lingkungan mereka dan berkaitan dengan isu-isu yang mereka hadapi dalam kehidupan harian mereka.

b. Metode-metode pengajaran dan bantuan belajar (learning aids) harus dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan anak-anak jalanan. c. Pembelajaran dikatakan efektif jika anak-anak jalanan berpartisipasi

aktif dalam prosesnya.

d. Sebuah rencana pembelajaran merupakan hal yang esensial bagi pencapaian tujuan pengajaran dan dapat menjadi rujukan bagi para pendidik anak jalanan lainnya.

e. Keahlian-keahlian hidup (life skills) dapat mempersiapkan anak jalanan secara mental dalam mengatasi berbagai situasi berbahaya dalam hidup jalanan mereka. Sekalipun demikian, tujuan paling utama


(57)

(ultimate goal) dari pendidikan anak jalanan adalah melepaskan

mereka dari kehidupan di jalanan.

Dalam konteks pendidikan untuk pengembangan keahlian hidup (life

skills), WHO (hlm.23-24) menggarisbawahi pengembangan kemampuan

psiko-sosial yang mencakup kemampuan menyelesaikan masalah (problem

solving), berpikir kritis, memiliki kesadaran diri dan empati (self-awareness and empathy), dan mengelola emosi dan stress. Hal utama yang harus

dibangun adalah kesadaran diri dan empati untuk mengurangi kecenderungan perilaku agresif dan perilaku anti-sosial lainnya yang dapat dikatakan sebagai budaya jalanan (street culture) bahkan “kebijaksanaan jalanan” (streetwise).

Proses membangun kesadaran diri tersebut dilakukan dengan cara membangun kesadaran positif tentang diri agar meningkatkan kepercayaan diri (self-esteem) lalu membuat anak-anak jalanan dapat mengalami efek-efek dan konsekuensi dari perilaku mereka yang positif atau pro-sosial tersebut. Mereka perlu diberi peneguhan positif (positive reinforcement) agar terbangun keyakinan diri (self confidence) untuk mengaplikasikan dan mengalami konsekuensi positif dari sikap positif atau pro-sosial mereka.

Dalam konteks pendidikan anak jalanan seperti inilah kegiatan bimbingan belajar bagi anak jalanan ini dikembangkan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bimbingan belajar bagi anak jalanan ini merupakan sebuah bantuan belajar (learning aids) untuk memberikan pengetahuan yang positif tentang kegiatan belajar terutama di sekolah, membangun sikap serta perilaku positif


(58)

dan memberi kesempatan bagi mereka untuk mengalami efek positif dari pengetahuan dan sikap positif mereka terhadap kegiatan belajar tersebut.

2. Bimbingan Belajar untuk Anak Jalanan

Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab yang penting untuk mengembangkan lingkungan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan, membelajarkan individu untuk mengembangkan, mengubah dan memperbaiki perilaku. Bagi para siswa yang sedang belajar, bimbingan belajar semakin diperlukan mengingat setiap anak memiliki kemampuan, kebutuhan maupun masalah belajar sendiri yang perlu diperhatikan dan dibantu.

Menurut Suherman (2007), bimbingan belajar adalah suatu proses pemberian bantuan dari guru pembimbing kepada siswa dengan cara mengembangkan suasana belajar yang kondusif dan menumbuhkan kemampuan agar siswa terhindar dari dan atau mengatasi kesulitan belajar yang mungkin dihadapinya sehingga mencapai hasil belajar yang optimal.

3. Tujuan Bimbingan Belajar

Tujuan bimbingan belajar dapat dirumuskan dengan menguraikan pengertian bimbingan pada umumnya dan bimbingan belajar pada khususnya (Makmun, 2009: 277-280).

Pertama, layanan bimbingan merupakan bantuan kepada individu tertentu.


(59)

belajar siswa melainkan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan

siswa menemukan dan memecahkan masalahnya serta

memper-tanggungjawabkannya. Karena itu, sekalipun semua siswa berpotensi memiliki masalah belajar namun pembimbing hendaknya mendahulukan mereka yang benar-benar dipandang memerlukannya seperti anak-anak yang tergolong kelompok uniqualified, underarchievers, slow learners, dan sebagainya. Dalam konteks anak-anak jalanan PSP Yogyakarta, sekalipun semua anak memiliki masalah kemiskinan yang membelenggu aktivitas belajar di sekolah namun sasaran bimbingan adalah anak-anak dengan problem rendahnya minat belajar di sekolah yang ditandai dengan frekuensi meninggalkan waktu sekolah yang tinggi maupun tidak adanya kemauan untuk belajar di rumah setelah bekerja di jalanan.

Kedua, dengan layanan bimbingan diharpakan individu (siswa)

bersangkutan mencapai taraf perkembangan dan kebahagiaan yang optimal. Seperti yang dikatakan Mortenseen dan Schmuller (dalam Makmun, 2009: 278), tujuan akhir layanan bimbingan belajar identik dengan apa yang menjadi tujuan layanan instruksional dan layanan sekolah lainnya yaitu tercapainya tingkat perkembangan individu sesuai abilitas, minat dan kebutuhan-kebutuhannya. Secara afektif, layanan bimbingan bertujuan membuat yang bersangkutan merasa bahagia dalam arti terbebas dari perasaan-perasaan frustrasi atau tertekan yang menghambat aktivitas belajarnya. Bahkan, menurut Smith (dalam Makmun, 2009: 279) dapat tercapai perkembangan optimum layanan bimbingan ketika siswa mampu menjadi anggota


(60)

masyarakat yang efektif (effective member of society) yakni yang menerima dirinya termasuk gagal di sekolah namun tetap produktif di tengah masyarakat. Dalam konteks anak jalanan PSP, tujuan tersebut adalah menjadikan siswa yang dapat mengikuti proses belajar di sekolah secara aktif dan penuh bahkan dapat berprestasi sekaligus menerima realitas kemiskinan dan statusnya sebagai anak jalanan di hadapan teman-teman dan gurunya di sekolah serta mampu mengelola tekanan berupa keterbatasan waktu belajar di rumah karena terbagi oleh waktu kerja.

Ketiga, layanan bimbingan merupakan proses pengenalan, pemahaman,

penerimaan, pengarahan dan perwujudan penyesuaian diri. Sebagai sebuah proses, layanan bimbingan belajar merupakan rangkaian kegiatan berkesinambungan mulai dari usaha identifikasi masalah hingga penyelesaian yang dapat menuntaskan masalah. Menurut Robinson (dalam Makmun, 2009: 279-280), kegagalan siswa dalam studi dapat disebabkan karena siswa kurang mampu:

a. Mengenal dirinya, baik mengenai segi-segi kelebihan atau kekurangannya, potensinya, minatnya, bakatnya dan sebagainya;

b. Karena tidak mengenal diri, ia juga sukar memahami dirinya, termasuk kegagalan studinya;

c. Karena tidak memahami dirinnya, ia juga sukar menerima dirinya secara obyektif, sesuai kenyataan;


(61)

d. Karena sukar menerima dirinya, ia pun sukar mengarahkan dirinya melalui proses pengujian, pemilihan, dan pengambilan keputusan mengenai alternatif tindakan yang akan dilakukan secara rasional;

e. Karena kurang terarah maka maka siswa pun sukar mewujudkan segala potensi yang ada padanya secara optimal;

f. Akhirnya yang bersangkutan mungkin akan sampai pada kesulitan melakukan tindakan yang sesuai baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.

Dalam konteks layanan bimbingan belajar bagi anak jalanan di PSP, tujuan ini sangat diperlukan agar membuat para siswa mengenal dirinya sebagai seorang siswa atau anak-anak yang berhak mengenyam pendidikan agar mampu mengarahkan diri mereka menuju tindakan rasional yang seharusnya mereka ambil yakni bersekolah sesuai tuntutan disiplin sekolah masing-masing dan menyiapkan waktu belajar di rumah agar meraih hasil belajar yang optimal.

4. Fungsi Bimbingan Belajar

Sebagai bagian integral dari proses belajar-mengajar di sekolah, maka fungsi bimbingan belajar antara lain (Suherman, 2007: 9-10):

a. Fungsi pencegahan (preventive function)

Bimbingan belajar berupaya untuk mencegah atau mereduksi kemungkinan timbulnya masalah misalnya dengan pemberian informasi tentang silabus, tugas, ujian, dan sistem penilaian yang dilakukan,


(62)

menciptakan iklim belajar yang memungkinkan penilaian yang dilakukan, menciptakan iklim belajar yang memungkinkan peserta didik merasa betah di ruang belajar, meningkatkan pemahaman guru terhadap karakteristik siswa, pemberian informasi tentang cara-cara belajar dan pemberian informasi tentang fungsi dan peranan siswa serta orientasi terhadap lingkungan.

b. Fungsi penyaluran (distributive function)

Fungsi penyaluran berarti menyediakan kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan bakat dan minat sehingga mencapai hasil belajar yang sesuai dengan kemampuannya, contohnya: membantu dalam menyusun program studi termasuk kegiatan pemilihan program yang tepat dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan sebagainya.

c. Fungsi penyesuaian (adjustive function)

Salah satu faktor penentu keberhasilan siswa dalam studinya adalah faktor kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bimbingan dapat membantu siswa menyerasikan program pengajaran dengan kondisi obyektif mereka agar dapat menyesuaikan diri, memahami diri dengan tuntutan program pengajaran yang sedang dijalaninya. Atas dasar tersebut penyesuaian memiliki sasaran: 1) Membantu siswa agar dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan program pendidikan; 2) Membantu siswa menyerasikan program-program yang dikembangkan dengan tuntutan pengajaran.


(63)

Kenyataan di sekolah menunjukan bahwa sering ditemukan siswa yang mengalami kesulitan belajar. Dalam hal ini betapa pentingnya fungsi perbaikan dalam kegiatan pengajaran. Tugas para guru/guru pembimbing adalah upaya untuk memahami kesulitan belajar, mengetahui faktor penyebab, dan bersama siswa menggali solusinya. Salah satu contoh, fungsi perbaikan dalam bimbingan belajar adalah pengajaran remedial (remedial teaching).

e. Fungsi pemeliharaan (maintencance and development function)

Bimbingan belajar berfungsi mengoreksi hal yang masih kurang sekaligus mempertahankan dan mengembangkan cara dan strategi maupun semangat belajar yang sudah positif agar siswa makin berkembang.

D. Kerangka Pikir

Secara sederhana, minat belajar dapat diartikan sebagai ketertarikan dan keterarahan perhatian yang kuat dan terus menerus pada kegiatan belajar baik formal di sekolah maupun non formal. Dalam konteks ini, minat belajar yang dimaksudkan adalah ketertarikan dan ketertarikan tetap pada kegiatan pembelajaran formal untuk mendapatkan dan memahami ilmu pengetahuan. Kesatuan aspek minat individual (individual interest) dan minat situasional

(situational interest) menjadi pembentuk minat belajar seorang siswa. Karena itu,

terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi minat belajar seorang siswa yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri siswa sendiri baik yang berkaitan dengan kondisi fisik maupun psikologis siswa.


(1)

(2)

Lampiran 8

Foto Penelitian


(3)

Foto-Foto Penelitian

Area Bersama:

Aktivitas sebelum masuk kelas masing-masing

Siklus II:

Aksi Nyata! Menyusun Jadwal Belajar Harian untuk Membangun Kebiasaan Belajar yang Baik!

Siklus I:

Menuliskan Gambaran Diri untuk Menghargai Diri dan Percaya Diri!


(4)

Siklus III:

Tantangan Ketekunan, Kedisiplinan, Ketelitian dan Daya Tahan! Membuat Rangkaian Bunga dari Pita dan Bros Manik-Manik

Menyimak Para Sukarelawan….Mas Arga & Mbak Dewi

Sebuah Kata Akhir


(5)

Lampiran 9

Surat Ijin Penelitian


(6)