PERAN GURU KELAS DALAM MENANGANI PERILAKU BULLYING PADA SISWA KELAS IA DI SDIT LUQMAN AL HAKIM INTERNASIONAL.

(1)

i

PERAN GURU KELAS DALAM MENANGANI PERILAKU BULLYING PADA SISWA KELAS IA DI SDIT LUQMAN AL HAKIM

INTERNASIONAL

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Fajarina Harjiyanti NIM 13108241053

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii

PERAN GURU KELAS DALAM MENANGANI PERILAKU BULLYING PADA SISWA KELAS IA DI SDIT LUQMAN AL HAKIM

INTERNASIONAL Oleh

Fajarina Harjiyanti NIM 13108241053

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran guru kelas dalam menangani perilaku bullying pada siswa kelas IA di SDIT Luqman Al Hakim Internasional.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis deskriptif. Subjek dalam penelitian ini meliputi dua guru kelas IA yakni US dan UL, guru bimbingan konseling (YN), kepala sekolah (YNS), siswa pelaku bullying (HA) dan korban bullying (AR). Di dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode observasi, wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi. Pengujian keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Berdasarkan hasil penelitian, penanganan guru kelas tersebut dapat dijabarkan dalam 5 aspek yakni; (1) peran guru kelas sebagai pembimbing yang dilakukan secara langsung saat terjadi kasus atau lewat diskusi classmeeting, (2) peran guru kelas sebagai mediator dan fasilitator dengan memediasi antara pelaku dan korban didukung dengan program sekolah dan difasilitasi dengan media belajar mengenai bullying, (3) peran guru kelas sebagai penasehat yang dilakukan dengan memberikan saran pada pelaku serta korban bullying dan apabila guru sudah tidak mampu menangani maka kasus akan diserahkan pada guru BK, (4) hambatan dalam penanganan bullying diantaranya adalah kendala komunikasi, (5) hasil penanganan terhadap pelaku dan korban bullying yakni korban menjadi lebih paham cara agar tidak terbully dan pelaku menjadi lebih berhati-hati agar tidak melakukan bullying. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran guru kelas dalam menangani perilaku bullying di SDIT Luqman Al Hakim telah terlaksana dengan baik.


(3)

iii

THE TEACHER ROLE IN CONTROLLING BULLYING ATTITUDE OF 1A CLASS STUDENTS IN LUQMAN AL HAKIM INTERNATIONAL

ELEMENTARY SCHOOL By:

Fajarina Harjiyanti NIM 13108241053

ABSTRACT

This research aim to know homeroom teachers role for controlling bullying behaviour of IA class student in SDIT Luqman Al Hakim International. This research was qualitative descriptive research. Subject was two homeroom teachers (US and UL), conseling teacher (YN), headmaster (YS),bullies (HA) and bullied (AR). Data collection techniques included observation method, interviews, field note and documentation. As for the validity of the test data was using triangulation sources and triangulation techniques.

Handling of bullying can be describe as 5 aspect; (1) homeroom teachers directly guide on the spot or via classmeeting, (2) homeroom teacher as mediator and facilitator who mediates both of the victims and the culprits supported by school’s program and learning media about bullying, (3) homeroom teacher as an advisor who gives advices and hands the case over counseling teacher if he/she cannot handle it, (4) obstacle in handled of bullying are communication, (5) result in handled the bullies is they can understand to be careful not doing bullying again and the result for bullied is they can understand how to defend. The result shows that teachers had succed to handle bullying behavior at SDIT LHI.


(4)

iv

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fajarina Harjiyanti NIM : 13108241053

Program Studi : Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Judul TAS : Peran Guru Kelas dalam Menangani Perilaku Bullying pada Siswa Kelas IA di SDIT Luqman Al Hakim Internasional.

menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai kutipan dengan mengikuti penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Yogyakarta, 26 Mei 2017 Yang menyatakan,

Fajarina Harjiyanti NIM. 13108241053


(5)

v

LEMBAR PERSETUJUAN

Tugas Akhir Skripsi dengan Judul

PERAN GURU KELAS DALAM MENANGANI PERILAKU BULLYING PADA SISWA KELAS IA DI SDIT LUQMAN AL HAKIM

INTERNASIONAL

Disusun oleh: Fajarina Harjiyanti NIM 13108241053

telah memenuhi syarat dan disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk dilaksanakan Ujian Akhir Skripsi bagi yang

bersangkutan,

Yogyakarta, 26 Mei 2017 Mengetahui,

Ketua Program Studi

Drs. Suparlan, M.Pd.I NIP. 19632704 199203 1 001

Disetujui, Dosen Pembimbing

Aprilia Tina Lidyasari, M.Pd. NIP. 19820425 200501 2 001


(6)

vi

HALAMAN PENGESAHAN Tugas Akhir Skripsi

PERAN GURU KELAS DALAM MENANGANI PERILAKU BULLYING PADA SISWA KELAS IA DI SDIT LUQMAN AL HAKIM

INTERNASIONAL Disusun oleh: Fajarina Hariyanti NIM. 13108241053

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Tugas Akhir Skripsi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta Pada tanggal 12 Juni 2017

DEWAN PENGUJI

Nama/Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Aprilia Tina Lidyasari, M.Pd.

Ketua Penguji/Pembimbing ... ... Unik Ambarwati, M.Pd.

Sekretaris

... ...

Lusila Andriani P., M.Hum. Penguji Utama

... ...

Yogyakarta, ... Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Dekan,

Dr. Haryanto, M.Pd. NIP 19600902 198702 1 001


(7)

vii MOTTO

“Barang siapa yang beriman kepada hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam.”

(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

“He wanted to teach the children that all bodies are beautiful.” (Tetsuko Kuroyanagi)


(8)

viii

PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah SWT dan dengan mengucap syukur Alhamdulillah atas anugerah Allah SWT serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, karya ini penulis persembahkan untuk:

1. Alm Ayah, Ibu, dan adik serta keluarga besar tercinta yang telah memberikan do’a dan dukungan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Almamater tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Agama, Nusa dan Bangsa.


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Peran Guru Kelas dalam Menangani Perilaku Bullying pada Siswa Kelas IA di SDIT Luqman Al Hakim Internasional” dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Aprilia Tina Lidyasari, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir Skripsi yang telah banyak memberikan saran/masukan, bimbingan dan motivasi dengan sabar selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

2. Ibu Aprilia Tina Lidyasari, M.Pd selaku ketua penguji, Ibu Lusila Andriani, M.Hum selaku penguji utama dan Ibu Unik Ambarwati, M.Pd selaku sekretaris penguji yang memberikan koreksi perbaikan terhadap Tugas Akhir Skripsi ini.

3. Bapak Drs. Suparlan, M.Pd.I selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar beserta dosen dan staf yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya Tugas Akhir Skripsi ini.

4. Dr. Haryanto, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang memberikan persetujuan pelaksanaan Tugas Ahir Skripsi.

5. Kepala Sekolah SDIT Luqman Al Hakim Internasional, Ustadzah Fourzia Yunisa Dewi, S.Pd.I yang telah memberikan ijin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian untuk menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi.

6. Guru Kelas I A SDIT Luqman Al Hakim Internasional, Ustadzah Lailis dan Ustadzah Lina, yang telah direpotkan, membantu dan memberikan ilmunya selama penelitian.

7. Guru BK, Ustadzah Yuni yang selalu membantu dan menyemangati selama penelitian berlangsung.


(10)

x

8. Alm. Ayah, yang telah mendewasakan dengan kepergiannya, Ibu untuk selalu bertanya, menyemangati serta mendo’akan, dan adik yang tidak pernah merepotkan, terimakasih.

9. Tim kesekretariatan, Forum Anak Kota Yogyakarta, yang telah memberikan tempat untuk tumbuh, berkembang, dan selalu menyediakan tempat untuk pulang.

10. Teman-teman PGSD Kelas D 2013 yang membantu dalam banyak hal, terimakasih sudah menjadi bagian dari rezeki Allah tentang orang-orang yang baik. Termasuk dalam membantu, memberi semangat dan motivasi dalam menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi.

11. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan di sini atas bantuan dan perhatiannya selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

Semoga amal kebaikan yang telah diberikan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang setimpal. Demikianlah skripsi ini semoga menjadikan manfaat bagi orang lain.

Yogyakarta, 11 Juli 2017 Peneliti,

Fajarina Harjiyanti NIM. 13108241053


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

ABSTRAK ... ii

SURAT PERNYATAAN... iv

LEMBAR PERSETUJUAN... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 9

1. Secara Teoritis ... 9

2. Secara Praktis ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Peran Guru Kelas 1. Pengertian Guru Kelas ... 10

2. Peran Guru Kelas ... 10

B. Perilaku Bullying 1. Pengertian Bullying ... 19

2. Jenis Bullying ... 23

C. Siswa Sekolah Dasar 1. Perkembangan Siswa Sekolah Dasar ... 25

2. Perkembangan Sosio Emosional Siswa Sekolah Dasar ... 29

D. Kajian Penelitian yang Relevan ... 33

E. Kerangka Pikir ... 35

F. Pertanyaan Penelitian ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 39

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

C. Penentuan Subjek Penelitian ... 40

D. Teknik Pengumpulan Data ... 40


(12)

xii

2. Observasi ... 42

3. Dokumentasi ... 43

E. Instrumen Penelitian ... 43

1. Instrumen Wawancara ... 45

2. Instrumen Observasi... 46

3. Instrumen Dokumentasi ... 46

F. Teknik Analisis Data ... 46

1. Data Reduction (Reduksi Data) ... 47

2. Data Display (Penyajian Data) ... 47

3. Data Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan) ... 48

G. Keabsahan Data ... 48

1. Triangulasi Sumber ... 48

2. Triangulasi Teknik ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50

1. Lokasi Sekolah ... 50

2. Visi Misi Sekolah ... 51

3. Potensi Siswa, Guru dan Karyawan ... 52

B. Deskripsi Subjek dan Objek Penelitian ... 54

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 54

2. Deskripsi Objek Penelitian ... 56

C. Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 56

1. Peran Guru Kelas sebagai Pembimbing ... 56

2. Peran Guru Kelas sebagai Mediator dan Fasilitator ... 71

3. Peran Guru Kelas sebagai Penasehat ... 80

4. Hambatan yang Dialami oleh Guru Kelas Saat Penanganan Bullying ... 85

5. Hasil Penanganan yang Dilakukan oleh Guru Kelas terhadap Pelaku dan Korban Bullying ... 88

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 92

E. Temuan Penelitian ... 96

F. Keterbatasan Penelitian ... 96

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 97

B. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 44 Tabel 2. Data Guru LHI ... 53


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.Alur Kerangka Pikir ... 37

Gambar 2. Siswa yang bermain saling tindih... 58

Gambar 3. Emergency Classmeeting antara Ak dan At ... 60

Gambar 4. Ustadzah Us sedang menerangkan keamanan diri sendiri ... 65

Gambar 5. Ha menerima konsekuensi harus diam di kelas ... 68

Gambar 6. Ustadzah Us mengingatkan pelaku bullying ... 70

Gambar 7. Piket supervisor oleh guru kelas... 76

Gambar 8. Buku cerita yang digunakan guru untuk menjelaskan bullying ... 79

Gambar 9. Contoh perilaku yang dirujuk ke guru BK ... 84

Gambar 10. Anak yang kembali melakukan bullying ... 87


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 105

Lampiran 2. Pedoman Wawancara ... 107

Lampiran 3. Pedoman Dokumentasi ... 113

Lampiran 4. Hasil Observasi ... 114

Lampiran 5. Hasil Catatan Lapangan ... 136

Lampiran 6. Reduksi, Display dan Kesimpulan Hasil Observasi Kelas ... 150

Lampiran 7. Reduksi, Display dan Kesimpulan Hasil Wawancara Kelas ... 162

Lampiran 8. Contoh Triangulasi Sumber ... 185

Lampiran 9. Contoh Triangulasi Teknik ... 207

Lampiran 10. Dokumentasi ... 213


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak-anak adalah aset sebuah bangsa yang tengah berkembang oleh karena itu maju-tidaknya sebuah negara pada masa depan sangat tergantung pada apa yang kita lakukan saat ini terhadap perkembangan anak tersebut sedari awal. Utamanya karena pada saat perkembangan, anak dikenal memiliki masa emas atau lebih dikenal dengan golden age. Pada masa ini anak akan menyerap informasi dari lingkungan keluarga atau lingkungan teman bermainnya, berupa informasi yang baik atau yang buruk, yang nantinya akan menjadi dasar bagi karakter, kepribadian atau kemampuan kognitif anak. Itulah mengapa sejak dini, anak perlu distimulus secara optimal oleh lingkungan. Kartadinata (2002: 6) mengatakan perkembangan secara optimal memiliki arti perkembangan yang sesuai dengan potensi anak serta sesuai dengan sistem nilai yang baik, kemampuan intelektual dan kondisi dinamik individu yang terus berubah seiring perkembangan zaman serta lingkungan. Perubahan lingkungan akibat perkembangan zaman tentu menuntut segala objek yang terkait di dalamnya juga turut berubah mengikuti serta menyesuaikan akibat perkembangan tersebut dan anak adalah salah satunya.

Perubahan lingkungan ini turut menuntut anak sebagai calon penerus bangsa untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki lewat berbagai macam cara. Orangtua biasanya akan menyekolahkan, mengajak anak untuk les atau mengikuti ektrakurikuler tertentu agar anak dapat memiliki kualitas diri yang


(17)

2

dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Amirin et al. (2013: 2) bahwa pengembangan kualitas diri pada anak dapat dilakukan lewat pendidikan karena pendidikan merupakan usaha penyampaian pengetahuan (knowledge) dan kecakapan hidup (skills) serta nilai (value) yang berlaku di masyarakat. Pendidikan pada saat ini dituntut untuk semakin berkualitas karena tingkat kemajuan masyarakat yang tinggi dan kompleks. Dampaknya sekolah sebagai institusi pendidikan mendapat tantangan yang besar. Salah satu tantangan bagi sekolah adalah menjadikan sekolah sebagai tempat tumbuh kembang anak secara aman dan optimal yang sesuai dengan perkembangan anak.

Perkembangan anak sendiri terjadi seiring dengan kehidupan anak dari mulai anak dilahirkan sampai nantinya akan mengalami masa remaja, dewasa, dan menua seiring berjalannya waktu. Perkembangan itu sendiri menurut Hurlock (2013: 2) adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Perkembangan setiap manusia pada tiap tahap kehidupannya dikenal dengan nama yang berbeda-beda sesuai usia dan keadaan individu itu sendiri. Perkembangan anak pada usia sekolah dasar dikenal dengan nama late childhood (kanak-kanak akhir) dan berlangsung dari umur 6 tahun sampai tiba saaatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada masa ini terjadi berbagai perubahan seiring dengan meluasnya tempat anak bermain dan belajar serta lingkungan sosial tempat anak belajar mengenai perilaku sosial untuk mendukung perkembangan sosialnya. Khusus untuk perkembangan sosial, perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan emosi yang sering disebut perkembangan


(18)

3

tingkah laku sosial atau perilaku sosial (Izzaty et al, 2013:112). Sejak lahir anak tidak lepas dari lingkungan sosialnya dan selalu dipengarui oleh lingkungannya. Dimulai dari lingkungan keluarga dan semakin meluas ke lingkungan teman sebaya, semua membutuhkan interaksi dan kemampuan sosial-emosial untuk dapat terlibat dengan orang lain.

Keterlibatan anak dengan orang lain mengharuskan anak untuk memahami interaksi sosial yang berlaku di lingkungan yang akan ia masuki. Anak akan berubah dan mengalami perubahan perilaku sosial. Perubahan perilaku sosial yang khas ditemui pada usia kanak-kanak akhir ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas kelompok dan keinginan untuk diterima dalam sebuah anggota kelompok dibandingkan dengan usia kanak-kanak awal yang memiliki kebergantungan pada orangtua yang besar. Di dalam sebuah kelompok anak akan menyesuaikan diri dan belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya karena itulah, teman sebaya pada masa ini memainkan peran penting bagi anak usia sekolah dasar. Teman sebaya umumnya adalah teman sekolah atau teman bermain di luar sekolah. Pengaruh teman sebaya sangat besar bagi perkembangan sosial anak pada tahap late childhood, baik yang sifatnya negatif atau positif (Izzaty et al, 2013:113). Keinginan anak untuk diterima dalam sebuah kelompok yang terdiri dari teman sebaya sangat besar sehingga membuat anak ingin menjadi anak populer agar dapat memiliki banyak teman sebaya. Beberapa anak populer mendapatkan kepopulerannya dengan menjadi anak yang rajin, baik hati, pintar dan dapat berkomunikasi dengan baik. Beberapa yang lain mendapat kepopuleran dengan cara melakukan kekerasan verbal atau fisik (bullying)


(19)

4

pada anak lain yang terlihat lebih lemah, mengganggu atau bersikap agresif agar terlihat berkuasa dan mendapatkan banyak teman dan masuk ke dalam sebuah kelompok.

Perilaku bullying punya kecenderungan untuk meningkat secara nasional di sekolah-sekolah. Data yang diperoleh dari KPAI, saat ini perilaku bullying menempati peringkat teratas pengaduan masyarakat atau sekitar 25% dari total pengaduan dalam bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus (www.kpai.go.id). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, secara nasional kasus kekerasan dan bullying di sekolah, terutama anak menjadi pelaku justru meningkat. Secara umum, tindak kekerasan terhadap anak 2015 menurun sebesar 25 persen (3.820 kasus) dibanding 2014 (5.066 kasus). Tetapi kasus pelanggaran anak di bidang pendidikan justru naik 4 persen dari 461 kasus di 2014 menjadi 478 di 2015. Bahkan, anak yang jadi pelaku bullying di sekolah meningkat drastis menjadi 39 persen di 2015. Asrorun Ni’am selaku ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam wawancara dengan koran Republika (www.nasional.republika.co.id) mengatakan data naiknya jumlah anak sebagai pelaku kekerasan di sekolah menunjukkan faktor lingkungan yang tidak kondusif bagi perlindungan anak. Selain itu dalam riset dari LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang rilis Maret 2015 menunjukkan terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah (m.liputan6.com).

Sekolah Dasar Islam Terpadu Luqman Al Hakim Internasional (SDIT LHI) juga memiliki masalah dengan siswa yang melakukan kekerasan walaupun sekolah


(20)

5

ini menerapkan sekolah anti bullying. Hal ini dibuktikan dengan data bahwa siswa dengan masalah sosial merupakan kasus yang paling sering muncul pada angket incident report pada bulan Juli hingga November 2016 di SDIT Luqman Al-Hakim Internasional walaupun penerapan program anti bullying sudah berjalan (berdasarkan hasil wawancara dengan psikolog sekolah pada 24/10/2016). Kasus yang terangkum berjumlah 30 total kasus dengan jumlah kasus bullying sebanyak 24 yang terdiri atas 14 kasus berupa bullying fisik dan 10 kasus bullying verbal. Masalah sosial yang dimaksud adalah perilaku siswa yang merujuk pada tindakan kekerasan atau bullying antar siswa baik sengaja ataupun tidak disengaja. Contohnya dalam bermain, siswa laki-laki biasanya memainkan permainan fisik dorong-dorongan yang kemudian akan berubah menjadi serius menjadi perkelahian karena tidak sengaja mendorong terlalu keras.Hal ini kerap terjadi utamanya pada siswa kelas bawah yang kerap bermain bersama teman-teman.

SDIT Luqman Al Hakim Internasional (SDIT LHI) sebagai sekolah yang menerapkan sekolah anti bullying memiliki visi misi untuk dapat mengurangi terjadinya kasus bullying yang terjadi antar sesama siswa. Visi SDIT Luqman Al Hakim Internasional adalah terwujudnya generasi Islami yang berwawasan Internasional melalui pendidikan integral holistik. Visi tersebut dijabarkan dalam 8 point misi. Program yang diterapkan oleh sekolah dalam mencapai visi dan misi tersebut beragam, salah satunya adalah program anti bullying. Program ini melibatkan guru kelas dalam pelaksanaannya. Di dalam hal ini guru kelas memiliki peran yang krusial.


(21)

6

Peran guru kelas di sekolah dasar adalah membantu siswa untuk mencapai kesiapan dalam segi akademik, pribadi dan sosial untuk membantu siswa menjalani masa-masa sekolah, berinteraksi dengan teman sebaya maupun belajar dengan baik dan benar serta apabila siswa mulai memasuki kelas 6 mereka juga disiapkan oleh guru kelas untuk memasuki jenjang selanjutnya yakni jenjang sekolah menengah pertama.

Mudri (2010: 116) dalam jurnal kompetensi dan peranan guru dalam pembelajaran juga mengatakan bahwa guru memiliki peranan sebagai pembimbing siswa. Termasuk didalamnya adalah membimbing siswa yang memiliki perilaku bullying. Selain sebagai pembimbing siswa, guru kelas juga berperan dalam pemberian nasihat dan memediasi pelaku dan korban. Peran tersebut penting dilakukan karena pada kenyataannya, di SDIT Luqman Al Hakim Internasional yang telah menerapkan sekolah anti bullying juga membutuhkan peran guru kelas dalam menangani kasus sosial berupa bullying yang terjadi di sekolah tersebut. Padahal guru kelas memiliki berbagai macam peran. Tidak hanya sebagai pembimbing, penasehat, mediator maupun fasilitator saja. Guru juga bertanggung jawab untuk memahami karakteristik siswa-siswi di kelas yang jumlahnya mencapai puluhan. Banyaknya peran dan tanggung jawab yang diemban guru menyebabkan diperlukannya sebuah cara yang dapat digunakan untuk menangani masalah pribadi maupun masalah sosial siswa berupa bullying tersebut agar memudahkan guru untuk bertindak saat terdapat kasus agar proses pembelajaran di kelas akan tidak terganggu.


(22)

7

SDIT Luqman Al Hakim memiliki cara penanganan bullying yang telah diketahui oleh guru kelas dan diharapkan dituliskan dalam sebuah buku bernama incident report. Sayangnya, tidak semua guru kelas memiliki waktu untuk menangani ataupun menuliskan kasus yang telah terjadi ke dalam buku incident report tersebut. Padahal pencatatan penanganan tindakan yang guru kelas lakukan terkait peran guru kelas sebagai pembimbing, penasehat maupun memediasi serta memfasilitatori pada pelaku dan korban bullying penting dilakukan untuk bekal observasi perilaku siswa ke depan. Tidak adanya waktu untuk mengobservasi perilaku setiap siswa dengan seksama ataupun mencatat kasus apa saja yang terjadi dan pelaporan oleh guru kepada orangtua dikarena disibukkan dengan persiapan mengajar dan partisipasi dalam kegiatan sekolah. Padahal apabila terdapat masalah, yang pertama akan menangani adalah guru kelas anak yang menjadi korban atau pelaku sehingga peran guru kelas dalam penanganan masalah perilaku bullying setelah terjadinya kasus adalah hal yang penting untuk diketahui. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai peran guru kelas dalam menangani perilaku bullying pada siswa kelas 1A di SDIT Luqman Al Hakim Internasional.

B. Identifikasi Masalah

1. Pada setiap komunitas termasuk komunitas sekolah di SDIT LHI terdapat anak-anak yang memiliki masalah sosial.

2. Walaupun sudah termasuk sekolah anti bullying masih terdapat kasus sosial berupa bullyingdi SDIT LHI.


(23)

8

3. Kasus sosial berupa bullying adalah kasus terbanyak pada bulan Juli hingga November 2016 di SDIT LHI.

4. Guru kelas di SDIT LHI memiliki peran penting dalam menangani anak yang bermasalah tetapi guru juga memiliki kesibukan lain dalam mempersiapkan pembelajaran untuk dapat mengajar siswa.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan luasnya permasalahan yang muncul dari identifikasi masalah, maka penelitian ini dibatasi pada:

Peran guru kelas dalam menangani perilaku bullying pada siswa kelas IA di SDIT Luqman Al Hakim Internasional.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimana peran guru kelas dalam menangani perilaku bullying pada siswa kelas IA di SDIT Luqman Al Hakim Internasional?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mendeskripsikan peranan guru kelas dalam menangani siswa di SDIT Luqman Al Hakim Internasional, namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk:

Mengetahui peran guru kelas dalam menangani perilaku bullying pada siswa kelas IA di SDIT Luqman Al Hakim Internasional.


(24)

9 F. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dalam mengembangkan penelitian tentang bimbingan konseling di sekolah dasar ataupun memberikan informasi perilaku bullying yang terjadi pada masa sekolah dasar atau masa kanak-kanak akhir.

2. Secara Praktis a. Bagi Kepala Sekolah

Mempertahankan dan memperbaharui program yang sesuai dengan kebutuhan siswa untuk mendapatkan perlindungan dalam belajar di sekolah.

b. Bagi Guru

Memberikan informasi mengenai pentingnya kemampuan dalam penanganan siswa bermasalah, utamanya bullying.

c. Bagi Orangtua

Memberikan informasi dan masukan kepada orangtua agar dapat bersinergi dengan guru untuk menangani siswa yang bermasalah.


(25)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Peran Guru Kelas

1. Pengertian guru kelas

Guru adalah sebuah panggilan, beberapa akan menyebutnya sebagai sebuah profesi. Namun lebih sering, guru dianggap sebagai orangtua di sekolah yang akan menemani siswa dalam pembelajaran di sekolah. Pengertian guru sendiri menurut Usman (2006: 5) adalah jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus.Artinya pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang tanpa mendapatkan pelatihan khusus dari pihak-pihak yang berkompeten agar mendapatkan keahlian seperti yang dibutuhkan. Pelatihan tersebut memakan masa waktu studi tertentu dan diperlukan kemampuan dalam bidang pengajaran, pengetahuan mengenai pendidikan, cara mengajar, dan ilmu lain yang mendukung.

Guru atau pengajar dalam jenjang dan bidang apapun juga seringkali disebut dengan kata pendidik. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1, mengenai ketentuan umum butir 6, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa guru adalah pendidik yang diharuskan untuk memenuhi kualifikasi tertentu. Kualifikasi guru didapatkan dari menempuh pendidikan kepengajaran dan mengikuti uji kompetensi guru. Pengertian


(26)

11

dari Undang-Undang Sisdiknas ini memiliki definisi yang hampir sama dengan Usman dimana guru memerlukan kualitas khusus untuk mampu mengajar di sebuah sekolah yang mana kemampuan tersebut harus didapatkan lewat pendidikan keguruan. Pendidikan yang dilakukan oleh guru termasuk dalam salah satu tri pusat pendidikan penting yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Dwi Siswoyo dkk, 2013: 163) yakni alam keluarga, alam keguruan, dan alam pergerakan pemuda atau masyarakat.

Suparlan mengungkapkan hal yang berbeda tentang pengertian guru. Suparlan (2008: 12) berpendapat bahwa guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual dan emosional, intelektual, fisikal, maupun aspek lainnya. Ditambahkan pula oleh Suparlan (2008: 13) bahwasanya secara legal formal, guru adalah seseorang yang memperoleh surat keputusan (SK), baik dari pemerintah maupun pihak swasta untuk mengajar. Pengertian dari Suparlan sendiri membuat pengertian tentang seorang guru menjadi lebih beragam dimana seseorang yang memiliki usaha untuk mencerdaskan bangsa dapat disebut pula dengan nama guru. Tetapi pengertian tersebut juga diberi keterangan lebih lanjut bahwa secara resmi dan yang diakui oleh negara, seorang guru adalah seseorang yang tidak hanya mencerdaskan sebuah bangsa tetapi juga memiliki surat keputusan untuk mengajar yang dikeluarkan oleh pihak tertentu yang secara resmi diakui kompetensinya oleh negara.

Secara spesifik, guru di sekolah dasar sering disebut juga dengan guru kelas. Guru kelas dapat mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus menjadi wali kelas.


(27)

12

Satu kelas pada sebuah sekolah dasar biasanya berisi 25-40 anak dengan berbagai watak dan guru sebagai wali kelas diharapkan untuk mengetahui kesulitan siswa pada mata pelajaran tertentu. Di Indonesia, guru kelas atau guru SD, biasanya mengajar semua mata pelajaran termasuk kesenian, agama dan olahraga apabila tidak tersedia guru pengganti di sekolah tersebut. Berinteraksi dengan teman sebaya, belajar di alam, melakukan praktek langsung adalah beberapa cara guru untuk membantu siswa untuk memahami materi yang diajarkan agar siswa dapat meraih prestasi tertinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Parkay & Stanford (2010: 40) yang mengatakan bahwa guru SD biasanya mengajar beberapa mata pelajaran di satu kelas, memperkenalkan anak pada permainan, buku, karya seni untuk mengajar serta menulis rencana pelaksanaan pembelajaran secara harian juga mengatur jadwal untuk bertemu dengan orangtua siswa dalam rangka membahas kemajuan siswa di kelas dan hal-hal lainnya. Definisi lain mengatakan bahwa guru kelas merupakan jabatan guru selain mengajar dimana tugas tersebut untuk membantu kepala sekolah dalam mencapai tujuan sekolah (Habel, 2015:16). Tujuan yang ingin dicapai tentu salah satunya berkaitan dengan keberhasilan siswa dalam belajar dan bertingkahlaku sesuai tata aturan masyarakat.

Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pengertian dari Usman, Undang-Undang Sisdiknas, Suparlan, Parkay & Stanford mengenai pengertian guru adalah seseorang yang mengajar dan membelajarkan siswa untuk tujuan tertentu dengan kemampuan khusus yang didapatkan lewat kualifikasi lembaga yang terpercaya. Definisi yang dapat disimpulkan untuk seorang guru kelas atau guru SD


(28)

13

adalah seseorang yang mengajarkan berbagai macam mata pelajaran sekaligus di dalam satu kelas, menjadwalkan berbagai macam kegiatan selama pembelajaran agar dapat mencapai tujuan afektif, kognitif, dan psikomotor yang telah dicanangkan sebelumnya dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.

2. Peran guru kelas

Waktu yang siswa habiskan di sekolah cukup banyak sekitar 5-8 jam setiap hari selama 5-6 hari dalam seminggu.Tentu guru sebagai orangtua siswa selama di sekolah menyumbang peran penting terkait siswa-siswi yang diberikan pengajaran oleh guru. Santrock (2007: 239) menyebutkan di dalam bukunya bahwa guru berperan memberikan dukungan bagi siswa untuk menjelajahi dunia mereka dan mengembangkan pemahaman. Caranya yakni dengan menaikkan kemampuan mengajar dan memperluas pengetahuan lewat seminar, workshop ataupun lewat sertifikasi guru. Di dalam sertifikasi guru, akan terlihat seberapa kompeten guru tersebut.

Guru yang kompeten akan mampu untuk menciptakan kelas yang memiliki lingkungan belajar untuk mendukung siswa agar mendapatkan hasil belajar yang optimal. Adams & Decey (dalam Usman, 2006: 9) mengatakan bahwa peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal. Hal-hal tersebut dituliskankan dalam buku Basic Principles of Student Teaching yakni guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator, dan konselor. Namun dari sekian banyak peran yang telah disebutkan oleh Adams & Decey di atas, Usman sendiri memilah peran


(29)

14

guru tersebut menjadi 4 peran yang paling dominan yakni guru sebagai seorang demonstrator, guru sebagai seorang pengelola kelas, guru sebagai mediator dan fasilitator, dan guru sebagai evaluator. Berikut adalah rincian 4 peran guru menurut Usman.

a. Guru sebagai demonstrator

Sebagai seorang demonstrator, seorang guru hendaknya menguasai materi pelajaran yang diajarkan serta senantiasa mengembangkan materi tersebut dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam ilmu yang dimiliki karena hal tersebut akan sangat berpengaruh bagi hasil belajar siswa yang dibimbing oleh guru. Pengembangan materi dan penguasaan materi ini kadang dilupakan oleh guru sehingga guru harus senantiasa ingat bahwa guru juga adalah pelajar yang berarti harus terus menerus belajar.Cara tersebut memungkinkan guru untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang didapatkannya sebagai bekal untuk menghadapi siswa-siswanya di kelas.

Selain itu, peran guru sebagai seorang demonstator juga menuntut guru untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai sebuah contoh langsung. Guru dapat mendemonstrasikan karakter baik yang diharapkan dilakukan oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Bacon (dalam Amri, Jauhari & Elisah, 2011: 99) yang mengatakan bahwa guru adalah model bagi siswanya, disadari atau tidak, siswa akan berperilaku mirip dengan gurunya. Apabila kita ingin para siswa untuk berperilaku tertentu seperti tidak melakukan bullying maka guru harus melakukan perilaku


(30)

15

tersebut terlebih dahulu agar siswa dapat melihat dan mengikuti perilaku yang didemonstrasikan oleh guru.

b. Guru sebagai pengelola kelas

Di dalam perannya sebagai seorang pengelola kelas, guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar. Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk berbagai kegiatan belajar mengajar agar tercapai hasil yang diharapkan. Tujuan khusus yang ingin dicapai oleh pengelolaan kelas oleh guru adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan fasilitas kelas yang bermacam-macam.Penggunaan fasilitas kelas tentu untuk mendukung siswa dalam bekerja dan belajar serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

Lingkungan kelas sebagai tempat belajar perlu dikelola dan diawasi agar kegiatan belajar dapat terarah dan sesuai dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Pengawasan yang dilakukan dalam lingkungan ini akan menentukan sejauh mana lingkungan tersebut menjadi lingkungan belajar yang baik. Definisi lingkungan yang baik adalah lingkungan yang menantang siswa untuk belajar, dapat memberikan rasa aman dan kepuasan untuk mencapai tujuan.Kualitas dan kuantintas belajar siswa di dalam kelas bergantung pada banyak faktor diantaranya guru, hubungan pribadi antar siswa di dalam kelas serta kondisi umum dan suasana di dalam kelas. Perilaku yang mengarah pada intimidasi antar siswa yang terjadi di dalam kelas akan merusak rasa aman siswa dalam belajar di kelas dan hubungan pribadi antar siswa. Disinilah


(31)

16

peran guru sebagai pengelola kelas akan dituntut demi tercapainya lingkungan belajar yang baik.

c. Guru sebagai mediator dan fasilitator

Terkait tugas guru sebagai mediator, guru hendaknya memiliki ilmu dan pemahaman yang memadai tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar. Penting bagi sebuah media untuk dapat digunakan dengan baik karena media pendidikan bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Khusus untuk guru, tidak cukup hanya memiliki pengetahuan mengenai media pendidikan namun juga memiliki keterampilan memilih, menggunakan dan mengusahakan media dengan baik. Agar semuanya dapat tercapai, guru harus mengikuti latihan-latihan praktik secara kontinu dan sistematis karena pemilihan penggunaan media pembelajaran harus sesuai dengan tujuan, materi, metode, evaluasi, dan kemampuan guru serta minat dan kemampuan siswa.

Peran guru sebagai mediator, juga memungkinkan guru menjadi perantara dalam hubungan antar manusia sehingga dibutuhkan pengetahuan mengenai cara orang berinteraksi dan berkomunikasi agar tercapai lingkungan yang berkualitas dan interaktif. Tiga kegiatan yang dapat mendukung hal ini adalah dengan mendorong berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik diantaranya dengan melakukan tindakan preventif dan kuratif saat terdapat anak yang memiliki masalah contohnya


(32)

17

bullying, mengembangkan gaya interaksi pribadi, dan menumbuhkan hubungan yang positif dengan para siswa dimana satu sama lain saling menghormati dan menghargai. Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik berupa narasumber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar. Sumber belajar ini dapat mencakup media pembelajaran. Pengertian media pembelajaran sendiri menurut Schramm (dalam Amri, Jauhari & Elisah, 2011:118) ialah teknologi-teknologi pembawa pesan yang dimanfaatkan demi keperluan pembelajaran. Pesan yang disampaikan dapat berupa perilaku anti bullying, apa saja yang termasuk bullying, konsekuensi perilaku dan lain-lain.

d. Guru sebagai evaluator

Pada waktu-waktu tertentu atau periode tertentu, setiap jenis pendidikan atau bentuk pendidikan selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik. Demikian pula di dalam dunia belajar-mengajar di sekolah. Di dalam satu kali proses belajar mengajar di sekolah guru hendaknya menjadi evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan tercapai atau belum, materi yang diajarkan tepat atau tidak, semua pertanyaan tersebut akan dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.

Melalui evaluasi, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, ketepatan dalam mengajar, sampai keefektifan suatu metode. Tujuan lain dari penilaian adalah untuk mengetahui


(33)

18

kedudukan siswa di dalam kelas, apakah termasuk siswa yang pandai atau masih kurang dan membutuhkan bimbingan. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil dalam melaksanakan penilaian karena denga penilaian, guru dapat mengetahui prestasi siswa setelah melakukan proses belajar mengajar.

Selain itu, peran guru atau pendidik yang lebih beragam disampaikan oleh Mudri (2010: 116) dalam jurnal Kompetensi dan Peranan Guru dalam Pembelajaran, bahwa guru memiliki 19 peran yang diantaranya adalah sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, pendidik, penasehat, pembaharu atau inovator, model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator. Dijelaskan lebih jauh bahwa guru sebagai pembimbing siswa memiliki arti bahwa guru adalah guide yang akan membawa siswa melewati tujuan yang ingin dicapai lewat pemaknaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan serta penilaian pada akhir pembelajaran untuk menilai keadaan siswa. Selain itu, peran guru sebagai penasehat juga memungkinkan guru untuk memberikan konseling maupun saran kepada peserta didik maupun orangtua apabila terjadi hal-hal yang membutuhkan bantuan guru untuk menangani. Kedua peran tersebut adalah peran yang dibutuhkan oleh siswa saat terdapat kasus bullying.

Dari beberapa pengertian mengenai peran guru yang disampaikan oleh Santrock, Usman dan Mudri di atas dapat disimpulkan bahwa guru memiliki berbagai macam peran yang disesuaikan dengan keadaan tertentu dimana terdapat beberapa peran yang menonjol apabila terjadi konflik di dalam kelas seperti bullying, yakni


(34)

19

peran guru sebagai pembimbing yang akan menjadi pendamping siswa ketika mengalami kekerasan maupun mendampingi pelaku, peran guru sebagai mediator yang mendukung guru untuk melakukan tindakan preventif dan kuratif agar tercipta lingkungan yang berkualitas dengan mendorong berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik tanpa adanya bullying, dan peran guru sebagai penasehat yang akan menangani kasus bullying dengan cara memberikan konseling maupun saran baik pada pelaku ataupun korban.

B. Perilaku Bullying 1. Pengertian Bullying

Seluruh siswa yang berada di dalam sekolah dapat menjadi korban bullying. Korban kadang tidak menyadari perilaku ini terjadi pada dirinya karena bullying dapat tersamarkan lewat bahan lelucon antar teman atau korban merasa terlalu sensitif dan berlebihan dalam menghadapi lelucon teman. Padahal nyatanya perilaku ini termasuk sesuatu yang serius yang dilakukan oleh pelaku yang bisa jadi merupakan teman sekelas kakak kelas, guru, kepala sekolah atau bahkan orangtua itu sendiri. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga tedapat di negara lain. Bisa dikatakan bahwa bullying adalah fenomena yang meluas di berbagai belahan dunia bahkan di negara maju sekalipun. Fenomena ini terjadi di semua sekolah. Bullying atau intimidasi merupakan masalah yang setiap sekolah memilikinya dengan perbedaan pada seberapa meluasnya perilaku tersebut, tingkat penindasannya serta bagaimana sekolah memerangi dan mengatasi hal ini (Parsons, 2009: 2).


(35)

20

Definisi bullying atau perilaku intimidasi diperlukan agar terdapat perbedaan yang jelas antara kegiatan bermain lelucon antar teman atau memang perilaku bullying itu sendiri. Pendapat dari Peter Randall (dalam Parsons, 2009: 9) merumuskan perilaku intimidasi sebagai perilku agresif yang muncul dari suatu maksud yang disengaja untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain secara fisik dan psikologis. Tekanan yang dimaksud dapat berupa kata-kata verbal yang merendahkan atau mengancam sampai berupa tindakan melukai anggota tubuh yang disengaja oleh pelaku agar orang terintimadasi. Pengertian bullying yang lainnya didapatkan dari jurnal elementary school teachers perception of bullying and the need for bullying prevention programs yang mengatakan bahwa The term bullyingrefers to a form of aggressive behavior with an imbalance of power; the dominant person(s) intentionally and repeatedly causes distress by tormenting or harassing another less dominant person(s) atau bullying merujuk pada bentuk perilaku agresif dengan ketidakseimbangan kekuasaan; orang-orang yang dominan dengan sengaja dan berulang kali menyebabkan kesulitan dengan menyiksa atau melecehkan orang kurang dominan lain (Pepler & Atlas dalam Gerend, 2007).

Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa di dalam perilaku bullying terdapat ketidakseimbangan kekuatan dimana siswa yang memiliki power seperti kekuasaan, kepopuleran dan kekuatan akan menindas siswa yang tidak memiliki hal tersebut (powerless). Pendapat yang serupa mengenai juga perbandingan kekuatan disampaikan pula oleh Surilena (2016: 35) bahwa perilaku bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok


(36)

21

orang yang bersifat menyerang karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Di dalam buku parent’s guide dari pihak SDIT LHI sendiri dikatakan bahwa perilaku bullying disebut juga dengan perilaku intimidasi diantaranya membuat siswa lain tidak nyaman, termasuk kekerasan fisik dan kata-kata kotor. Siswa yang terkena atau melakukan bullying, dikatakan oleh Olweus memiliki karakteristik yakni, a student is characterized as being bullied or victimized when he or she is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of one or more other students (dalam Eriksen, Nielsen & Simonsen: 2012). Pendapat Olweus ini berarti seorang siswa dicirikan sebagai seseorang yang terintimidasi atau seorang korban bullying apabila dirinya terkena berulangkali aksi negatif dari satu orang atau lebih siswa lain.

Aksi negatif yang dilakukan para pelaku biasanya menjadikan korban yang lemah sebagai objek lelucon yang sifatnya disengaja. Hal ini didukung oleh pengertian bullying oleh Thomson (2011:10) yang mengatakan, bullying is basically when someone does or says something deliberately intended to cause hurt or embarrassment to their target. Dari pengertian ini didapatkan faktor yang membedakan bullying dengan permainan lelucon antar siswa yang berlebihan adalah dengan sengaja (deliberately) dan niat (intended). Niat seseorang dalam melakukan sesuatu menentukan apakah perilaku tersebut termasuk ke dalam ranah intimidasi atau bukan. Hal lain yang dapat dijadikan patokan apakah perilaku siswa masuk ke dalam kategori bullying menurut Thomson (2011:11) adalah bullying is aimed at singling the target out, ruining the target confidence, making them feel depressed and


(37)

22

as though they don’t belong. Bullies enjoy watching their targets suffer yang memiliki arti intimidasi ditujukan untuk membuat target (korban) terasing, merusak kepercayaan diri target, membuat mereka merasa tertekan dan seolah-olah tidak termasuk dalam kelompok teman sebaya manapun serta si pengintimidasi menikmati menonton target menderita.

Akan tetapi walaupun terdapat ketidaksengajaan, guru dapat menunjukkan pada siswa bahwa walaupun siswa tidak sengaja dan tidak berniat untuk menyakiti teman lain hal itu tidak dapat dibenarkan dan guru harus membantu siswa untuk memahami bahwa apa dia lakukan bukan perilaku yang seharusnya. Pengertian yang diberikan oleh guru dapat membuat siswa memahami definisi tentang intimidasi atau bullying dengan lebih baik dan menghindarkan siswa dari perilaku ini. Penanganan yang sama juga dijelaskan oleh Parsons (2009: 43) bahwa tiap-tiap peristiwa harus mendapatkan perhatian dan penanganan, khususnya insiden dimana pelaku dan korban mengaku bahwa mereka hanya bergurau. Parsons menjelaskan lebih lanjut bahwa guru dapat memberi label pada perilaku tersebut alih-alih pada siswa yang mengatakannya. Perhatian dan penanganan dari guru juga perlu dilakukan apabila terdapat anak dengan ciri-ciri yang Mayer & Furlong sampaikan telah terkena bullying yakni adanya luka-luka ditubuh, atau dijumpai dampak mental seperti mogok sekolah yang sering, sulit berkonsentrasi, prestasi yang menurun, adanya mimpi buruk, anak menjadi lebih cengeng atau pemarah, depresi, cemas dan lainnya (2010: 16-26). Untuk itulah, lingkungan kelas dan sekolah harus dibuat seaman mungkin bagi semua siswa.


(38)

23

Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat Eriksen, Nielsen &Simonsen, Parsons, Gerend, Thomson, Surilena, Mayer & Furlong serta pihak sekolah yakni SDIT LHI adalah perilaku bullying merupakan perilaku agresif yang cenderung berulang, ditujukan untuk membuat korban merasa tidak nyaman secara fisik atau mental, baik sengaja atau tidak sehingga menyebabkan korban menjadi lemah, tertekan dan terasing dari lingkungan pergaulan, dan perbuatan ini dapat dilakukan oleh sekelompok orang atau individu serta perlu ditangani oleh guru apabila terdapat gejala siswa yang menjadi korban bullying.

2. Jenis bullying

Oleh karena pentingnya siswa dan guru untuk memahami tingkah laku yang termasuk dalam bullying atau intimidasi, diperlukan pendefinisian yang jelas agar semua pihak mengetahui jenis-jenis perilaku yang temasuk dalam perilaku intimidasi. Apabila perumusan yang digunakan terlalu umum maka baik siswa atau guru akan kebingungan saat menemui kasus yang mirip dengan intimidasi walaupun nyatanya bukan. Apabila terlalu spesifik, maka akan terdapat daftar panjang mengenai apa saja al-hal yang termasuk dalam ranah intimidasi. Oleh karena itu, Parsons (2009: 24) mendaftarkan jenis-jenis perilaku intimidasi siswa dan mencantumkan contoh yang spesifik dari setiap jenis perilaku. Contoh-contoh yang diberikan di bawah ini akan mengilustrasikan tiap-tiap jenis perilaku secara singkat.

a. Intimidasi verbal atau tertulis

Jenis intimidasi yang tertulis atau verbal termasuk mengata-ngatai seperti menggunakan ejekan yang bersifat rasis, seksis, atau homofobik; ledekan yang


(39)

24

ditujukan untuk penampilan fisik, kemampuan, atau status ekonomi; telepon yang berisi ancaman dan sifatnya menakut-nakuti; nota, email, dan pesan (chat, sms) yang menyakitkan.

b. Intimidasi fisik

Memukul, menendang, menginjak, menyerang; melemparkan barang-barang; melakukan sentuhan seksual yang tidak diinginkan; mencuri atau merusak benda-benda atau milik pribadi; mengancam dengan senjata, menggunakan senjata; mengancam melakukan kekerasan, melakukan paksaan.

c. Intimidasi sosial

Intimidasi sosial contohnya adalah merangkai rumor, gosip; mengucilkan, mempermalukan, atau mencemooh seseorang; secara publik menceritakan informasi-informasi pribadi seseorang, termasuk menayangkan gambar atau tulisan pada websites; menggunakan status pertemanan untuk melakukan paksaan atau memanipulasi perilaku.

Apabila Parsons (2011: 12) membedakan intimidasi menjadi 3 jenis, maka Thomson (2011: 12) membedakannya hanya menjadi 2 jenis yakni fisik dan psikis serta mengatakan bahwa bullying atau intimidasi yang terjadi dapat meliputi 2 jenis sekaligus apabila terjadi dalam waktu yang lama. Pada SDIT LHI sendiri, tindakan bullying atau intimidasi dibedakan menjadi tiga jenis yakni mentally-bully, verbal-bully, maupun physical-bully berupa tindakan mengejek, mengancam, menyakiti atau mengganggu siswa lain.


(40)

25

Walaupun intimidasi berjenis fisik lebih meninggalkan bekas yang nyata pada tubuh korbannya, tetapi menurut Thomson terjadi miskonsepsi dimana bullying yang sifatnya psikis walaupun tidak terlihat luka fisik korban secara nyata tetapi dampaknya dapat membuat trauma sama seperti bullying secara fisik. Pendapat dari Boyle DJ juga mengatakan bahwa ada beberapa bentuk bullying antara lain direct dan indirect bullying. Direct bullying merupakan perilaku bullying yang bersifat langsung, verbal, ataupun fisik; yakni seorang anak atau remaja diolok-olok, diganggu, atau dipukul oleh anak atau remaja lain. Indirect bullying merupakan jenis bullying yang kurang kasat mata namun dampak yang ditimbulkan bagi korban sama buruknya. Bullying jenis ini juga dikenal dengan istilah relational bullying atau social bullying (dalam Surilena 2016: 36).

Dari pendapat Boyle, Parsons dan Thomson dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis intimidasi atau bullying yakni intimidasi secara fisik, secara verbal maupun intimidasi secara sosial serta seorang korban dapat mengalami bullying dengan lebih dari satu jenis bullying pada satu waktu. Dampak dari ketiga jenis bullying ini sama terhadap korban, baik yang mengalami luka secara fisik atau tidak. C. Siswa Sekolah Dasar

1. Perkembangan Siswa Sekolah Dasar

Setiap manusia pasti berkembang dan memiliki ciri khasnya sendiri. Perkembangan adalah perubahan yang terjadi dari dalam diri manusia sejak lahir sampai mati. Perkembangan seringkali disamakan dengan pertumbuhan padahal kedua kata tersebut memiliki arti yang berbeda. Izzaty, et al (2013: 4) disini


(41)

26

menyebutkan bahwa istilah pertumbuhan mengacu pada perubahan yang sifatnya fisik (kuantitatif) sedangkan perkembangan lebih kepada aspek yang sifatnya psikis (kualitatif).

Perkembangan menurut Desmita (2009: 4) memiliki pendapat yang berbeda. Desmita mendefinisikan perkembangan tidak terbatas pada pengertian perubahan secara fisik, melainkan di dalamnya juga terkandung serangkaian perubahan secara terus menerus dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju tahap kematangan, melalui pertumbuhan dan belajar. Dari pendapat ini dapat diketahui bahwa perkembangan juga mencakup perubahan kualitatif maupun kuantitatif.

Perkembangan juga memiliki prinsip-prinsip yang penting untuk diketahui. Terdapat 6 prinsip perkembangan yang dijabarkan dalam buku Yusuf (2014: 17) yakni:

a. perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti b. semua aspek perkembangan saling mempengaruhi

c. perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu d. perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan e. setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas

f. setiap individu yang normal akan mengalami tahapan/fase perkembangan Dari ke 6 prinsip tersebut didapatkan hasil bahwa tiap fase perkembangan memiliki ciri khas, juga merupakan proses yang tidak berhenti, mengikuti pola arah tertentu dan terjadi pada tempo yang berlainan pada tiap individu, serta semuanya merupakan proses yang normal bagi tiap-tiap individu.


(42)

27

Lebih lanjut, setiap fase memiliki karakteristiknya masing-masing karena tiap tahap pertumbuhan anak akan memiliki ciri yang berbeda. Khusus untuk fase perkembangan anak sekolah atau siswa usia sekolah dasar dibagi oleh Yusuf (2014: 178) menjadi fase perkembangan intelektual, fase perkembangan bahasa, fase perkembangan sosial, fase perkembangan emosi, fase perkembangan moral, motorik dan fase perkembangan agama. Berbeda dengan Santrock (2011: vii) yang membaginya hanya pada perkembangan fisik, kognitif, dan sosio emosional.

Bagi kebanyakan anak, mulai memasuki sekolah dasar adalah saat-saat penting dimana anak yang dunianya semula adalah di rumah berkembang menjadi dunia sekolah dasar. Anak akan menjadi seorang siswa dan membawanya dalam sebuah situasi baru, teman baru, dan cara berpikir yang baru dalam menyelesaikan masalah dengan lingkungan sosialnya di sekolah. Berbagai macam perubahan perkembangan terjadi saat anak mulai memasuki usia sekolah dasar atau sering disebut dengan usia kanak-kanak akhir atau late childhood. Hal ini berlangsung dari umur 6 tahun sampai tiba saaatnya individu menjadi matang secara seksual. Yusuf (2014: 24-26) mengawali penjelasan mengenai perkembangan usia sekolah dasar pada umur 6-12 tahun. Pada kisaran umur ini, sering disebut dengan masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Anak pada masa ini relatif lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Ditambah kan pula bahwa pada akhir masa ini, anak memiliki sifat yang khas yakni sikap anak terhadap kekuasaan (otoritas) khususnya orangtua dan guru. Anak cenderung menerima otoritas tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan mengharapkan campur tangan kedua pihak tersebut.


(43)

28

Penjelasan yang lebih umum didapatkan dari Santrock (2011: 139) yang mengawali penjelasan mengenai perkembangan masa ini dengan menyebutkan bahwa masa ini adalah masa anak untuk lebih siap untuk belajar dan mulai mengembangkan perilaku untuk membuat sesuatu dengan sempurna. Masa ini adalah masa dimana anak yang menjadi siswa sebuah sekolah dasar akan banyak mencoba hal-hal baru dengan cara mencari tahu dan memahami mengapa sesuatu dapat terjadi. Pada masa ini siswa memiliki rasa ingin tahu dan kecerdasan yang luar biasa sehingga guru memiliki kesempatan untuk dapat menjelaskan berbagai macam hal pada siswa melalui beragam cara.

Periode perkembangan pada masa kanak-kanak akhir diawali oleh perkembangan fisik. Santrock (2011: 143) menyebutkan bahwa pada periode ini, anak tumbuh rata-rata sekitar 5-8 sentimeter pertahun dan sifat pertumbuhannya lambat namun konsisten. Perubahan fisik yang menonjol pada masa ini adalah ukuran lingkar kepala yang berkurang, lingkar pinggang, dan panjang kaki sehubungan dengan tinggi badan. Perkembangan motorik menjadi lebih terkoordinasi dan lancar.Anak mampu mengendalikan tubuhnya dengan lebih baik serta dapat duduk dan berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lebih lama namun anak tetap membutuhkan aktivitas fisik karena sangat aktif sehingga guru sebaiknya menggunakan pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan anak sekolah dasar. Kematangan fisik yang belum sempurna membuat siswa sekolah dasar pada masa ini diharuskan untuk tetap aktif bergerak untuk mengembangkan kemampuan


(44)

29

berkembangan mereka. Pada masa sekolah dasar, berat badan menjadi dua kali lipat dan energi pun semakin besar dalam melakukan aktivitas motorik.

Sebagian besar siswa menurut Santrock (2011: 171) selama usia sekolah dasar memiliki kesulitan emosional ringan. Gangguan perilaku dan emosional mencakup masalah serius yang berkepanjangan mencakup hubungan dengan orang lain, agresi, depresi, ketakutan terhadap seseorang atau sesuatu yang berhubungan dengan sekolah yang bisa jadi diakibatkan oleh bullying. Anak laki-laki lebih mungkin untuk memiliki gangguan ini sebesar tiga kali lebih besar daripada anak perempuan. Perkembangan sosio emosional lebih lanjut akan dijelaskan pada bagian selanjutnya yang khusus membahas mengenai perkembangan sosial-emosional siswa sekolah dasar.

Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat keempat ahli yang sudah dipaparkan sebelumnya adalah bahwa perkembangan anak usia sekolah memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri tersebut yaitu aktivitas fisik yang semakin beragam didukung dengan bertambahnya berat badan agar siswa dapat bergerak dengan aktif guna mendukung perkembangan fisik siswa agar semakin matang, serta mengharapan keterlibatan orangtua atau guru dalam kehidupan mereka karena seringkali terdapat beberapa masalah atau gangguan yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri.

2. Perkembangan Sosial Emosional Siswa Sekolah Dasar

Tahun-tahun masa perkembangan kanak-kanak menengah dan akhir membawa banyak perubahan dalam kehidupan sosial emosional pada siswa sekolah dasar. Terdapat perkembangan yang signifikan pada konsep diri, emosi, penalaran


(45)

30

moral, dan perilaku gender serta terdapat pula perubahan pada hubungan orangtua dan teman sebaya (Santrock, 2011: 243). Pendapat Santrock menunjukkan bahwa perkembangan emosi dan perkembangan sosial tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain.

Ciri yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya adalah ciri sosialnya. Sejak lahir anak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial dimana ia tumbuh, bentuk yang paling jelas dari terpengaruhnya anak pada lingkungan sosialnya adalah perilaku anak tersebut. Perilaku anak pada usia sekolah dasar atau masa kanak-kanak akhir dipengaruhi oleh orang-orang disekitarnya karena pada masa ini anak senang berinteraksi dan bermain dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumantri (2007: 6.3) bahwa karakteristik anak usia SD adalah senang bermain, senang bergerak, anak senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan atau memperagakan sesuatu secara langsung. Selain itu, dunia sosio-emosional anak menjadi lebih kompleks dan tidak sama seperti masa sebelumnya. Interaksi dengan keluarga dan teman sebaya memiliki peran penting. Hubungan dengan guru dan sekolah juga menjadi hal yang penting bagi anak pada masa ini.

Salah satu ciri perkembangan sosial-emosional pada masa ini yang paling jelas terlihat menurut Balillargeon, et al & Brendgen (dalam Santrock, 2011: 261) adalah anak laki-laki secara fisik lebih agresif dibandingkan dengan anak perempuan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hubungan yang bersifat agresi meliputi perilaku seperti berusaha membuat orang lain tidak menyukai individu tertentu


(46)

31

dengan menyebarkan rumor jahat mengenai individu tersebut. Hubungan yang bersifat agresi meningkat selama masa ini.

Walaupun terdapat hubungan agresi yang meningkat, mempunyai hubungan yang positif dengan teman sebaya sangat penting pada masa ini karena menurut penelitian Rubin, Bukowski, & Parker pada tahun 2006 (dalam Santrock, 2011: 270), interaksi sosial dengan teman sebaya meningkat sebesar 30 persen dan ketika siswa sekolah dasar melalui masa kanak-kanak menengah dan akhir, ukuran kelompok teman sebaya mereka meningkat. Lingkaran pertemanan yang semakin meluas ini membuat siswa diharapkan memiliki interaksi yang positif agar hubungan dengan teman sebaya dapat berjalan tanpa permasalahan yang berarti. Kecenderungan berkelompok dengan teman sebaya yang telah disebutkan oleh Rubin, Bukowski, & Parker tersebut sejalan dengan pendapat Hurlock (2013: 155) bahwa siswa usia sekolah dasar senang bergaul, bersosialisasi dan membentuk kelompok dengan teman sebaya. Dari pendapat Hurlock dapat dilihat bahwa terdapat kesamaan dengan pendapat Sumantri bahwa anak usia ini memiliki kesenangan pada kegiatan berkelompok dengan teman-temannya.

Pada masa ini pula pengaruh teman sebaya sangat besar (Izzaty dkk. 2013: 155) baik yang sifatnya positif seperti pengembangan konsep diri dan pembentukan harga diri ataupun negatif seperti ikut dalam aksi bullying agar dapat diterima menjadi bagian dalam sebuah kelompok sebaya. Setelah berada di dalam kumpulan teman sebaya, menurut ahli perkembangan anak, anak usia ini akan digolongkan lagi dalam 5 status teman sebaya yakni:


(47)

32

1. Anak populer (popular children) yaitu anak yang sering dinominasikan sebagai teman terbaik dan jarang tidak disukai oleh teman sebaya.

2. Anak-anak biasa (average children) menerima jumlah rata-rata, baik nominasi positif maupun negatif dari teman sebaya mereka.

3. Anak-anak terabaikan (neglected children) jarang dinominasikan sebagai seorang sahabat, tetapi bukan tidak disukai oleh teman sebaya mereka.

4. Anak-anak yang ditolak (rejected children) jarang dinominasikan sebagai seorang sahabat dan secara aktif tidak disukai oleh teman sebaya.

5. Anak-anak kontroversional (controversial children) sering dicalonkan, baik sebagai sahabat terbaik maupun yang tidak disukai.

Dari kelima status dalam teman sebaya tersebut, menjadi seorang anak yang populer dan memiliki banyak teman sebaya adalah impian bagi sebagian besar siswa pada usia ini sehingga banyak cara dilakukan untuk mendapatkan status anak populer. Salah satunya adalah lewat adu kekuatan yang dapat dilakukan dengan cara bullying. Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock (2011: 274) yang mengatakan bahwa dalam banyak kasus, orang yang melakukan bullying menyiksa korban untuk mendapatkan status yang lebih tinggi pada kelompok teman sebaya, dan orang tersebut membutuhkan orang lain untuk menyaksikan mereka memperlihatkan kekuatan mereka.

Bagi para pendidik, dengan berbagai macam peran yang telah disebutkan sebelumnya diharapkan dapat mengetahui dan memahami perkembangan dan karakter siswa. Hal ini penting karena menurut Izzaty et al, proses transfer


(48)

33

pengetahuan akan dapat tersampaikan dengan baik lewat pemahaman mengenai perkembangan peserta didik atau siswa (2013: 8). Tidak hanya itu, pemahaman guru akan perkembangan siswa juga akan menentukan sikap guru saat menangani siswa yang bermasalah, salah satunya adalah masalah bullying. Pemahaman terhadap karakteristik siswa diperlukan guna memahami siswa agar guru dapat mengantisipasi dan membuat program kegiatan untuk menangani siswa dengan masalah perkembangan seperti tingkat agresi yang tinggi hingga terjadinya bullying.

Kesimpulan dari Santrock, Sumantri, Hurlock dan Izzaty et al, adalah bahwa pada masa usia sekolah dasar, anak memiliki perkembangan sosial emosional yang mengindikasikan bahwa siswa pada usia ini memiliki hubungan agresi yang meningkat serta cenderung lebih memiliki kesenangan pada kegiatan berkelompok dengan teman sebayanya. Pengaruh yang besar ini menuntut guru untuk memperhatikan perkembangan sosial dan emosional siswa agar perilaku negatif yang mungkin terbawa oleh lingkungan siswa dapat ditangani dengan baik.

D. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang peran guru kelas dalam menangani bullying pada siswa di SDIT Luqman Al Hakim Internasional masih jarang dilakukan, berbeda dengan peran guru kelas dalam bidang layanan bimbingan konseling di sekolah dasar maupun penelitian pada bidang school bullying. Namun secara umum, penelitian tentang peran guru kelas dalam kaitannya dengan menangani perilaku bullying memiliki keterkaitan dengan peran guru kelas dalam bidang layanan bimbingan dan konseling


(49)

34

dan penelitian tentang school bullying. Berikut adalah beberapa contoh penelitian tentang peran guru kelas dan penelitian tentang school bullying.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Imerda Fitri dari Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Peran Guru Kelas dalam Pelaksanaan Bidang Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar Studi Deskriptif di Kelas I SD N Minomartani 6, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta“ pada tahun 2015. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa guru kelas berperan dalam bidang bimbingan dan konseling walaupun belum semuanya dilakukan. Guru kelas berperan dalam bidang pribadi, sosial, belajar, tetapi tidak dalam hal karir karena siswa masih dalam jenjang kelas I sekolah dasar.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Bibit Darmalina dari Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Perilaku School Bullying di SD N Grindang, Hargomulyo, Kokap, Kulon Progo,

Yogyakata” pada tahun 2014. Hasil dari penelitian ini adalah kurangnya

pengetahuan guru mengenai school bullying, pendapat guru yangmengatakan kenakalan di sekolahnya masih wajar, reaksi yang ditunjukkankorban adalah, diam, takut atau menangis; pelaku menunjukkan perilaku acuh dansenang; sedangkan penonton menunjukkan reaksi, melawan pelaku, membelapelaku atau diam, bentuk school bullying yang terjadi adalah bentuk fisikdan nonfisik (verbal: mengancam, memaksa, menyoraki, meledek; non verbal langsung: membentak, memarahi, memerintah, menunjuk-nunjuk dengan jari; non verbal tidak langsung: pengucilan).


(50)

35

Kedua penelitian diatas relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Persamaan dari kedua penelitian tersebut ialah masing-masing membahas tentang peran guru kelas dan perilaku bullying di sekolah dasar. Perbedaannya, peran guru kelas yang dibahas bukan mengenai pelaksanaan bidang layanan bimbingan dan konseling namun peran dalam menangani bullying. Bullying yang diteliti oleh penelitian ini juga terbatas hanya yang terjadi di lingkup kelas IA saja. Sehingga, pada penelitian ini terdapat perbedaan yakni peneliti akan membahas mengenai peran guru kelas dalam menangani bullying di sekolah dasar.

E. Kerangka Pikir

Waktu yang siswa habiskan di sekolah cukup banyak sekitar 5-8 jam setiap hari selama 5-6 hari dalam seminggu. Tentu guru sebagai orangtua siswa selama di sekolah menyumbang peran penting terkait siswa-siswi yang diberikan pengajaran oleh guru terutama apabila anak tersebut memiliki masalah, misalnya dalam hal perilaku sosial yang kurang bisa diterima oleh lingkungan seperti bullying. Peran guru yang menonjol pada saat terjadinya kasus tersebut adalah guru sebagai pembimbing yang akan menjadi pendamping siswa selama berada di sekolah agar tetap aman dan dapat belajar dengan baik, peran guru sebagai mediator yang mendukung guru untuk melakukan tindakan preventif dan kuratif agar tercipta lingkungan yang berkualitas dengan mendorong berlangsungnya tingkah laku sosial yang baik tanpa adanya bullying, dan peran guru sebagai penasehat yang akan menangani kasus bullying dengan cara memberikan konseling maupun saran baik pada pelaku ataupun korban bullying.


(51)

36

Bullying sendiri merupakan perilaku agresif yang cenderung berulang, ditujukan untuk menyakiti korban secara fisik atau mental hingga menyebabkan korban menjadi lemah, tertekan dan terasing dari lingkungan pergaulan, dan perbuatan ini dapat dilakukan oleh sekelompok orang atau hanya satu individu. Perilaku bullying memiliki kemungkinan untuk terjadi pada siswa SD karena pada masa perkembangan ini, anak cenderung memiliki perilaku agresi yang meningkat.

Selain itu pada masa perkembangan usia sekolah dasar, siswa memiliki interaksi dengan teman sebaya yang lebih besar serta terdapat pengaruh teman sebaya sangat besar (Izzaty et al, 2013: 119) baik yang sifatnya positif seperti pengembangan konsep diri dan pembentukan harga diri ataupun negatif seperti ikut dalam aksi bullying. Aksi ini dilakukan agar seorang siswa dapat diterima menjadi bagian dalam sebuah kelompok sebaya dan mendapatkan kepopuleran atau status yang lebih tinggi.


(52)

37

Gambar 1. Alur Kerangka Pikir F. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana peran guru kelas untuk membimbing pelaku dan korban pada kasus bullying?

2. Bagaimana peran guru kelas sebagai penasehat pelaku dan korban pada kasus bullying?

Peran guru kelas dalam menangani masalah siswa

Perilaku bullying

Bullying meningkat pada masa sekolah dasar Sebagai pembimbing

Sebagai penasehat

Sebagai mediator dan fasilitator


(53)

38

3. Bagaimana peran guru kelas sebagai mediator dan fasilitator pelaku dan korban pada kasus bullying?

4. Apa saja hambatan saat penanganan perilaku bullying oleh guru kelas?

5. Bagaimana hasil dari penanganan yang dilakukan oleh guru kelas terhadap pelaku dan korban bullying?


(54)

39 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini bermaksud menguraikan atau menggambarkan suatu peristiwa, yaitu peran guru kelas dalam menangani perilaku bullying pada siswa di SDIT Luqman Al Hakim Internasional. Hal ini sesuai dengan pendapat Faisal (2010: 20) yang menjelaskan bahwa penelitian deskriptif (descriptive research) dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Arikunto (2010: 234) menyatakan bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis, tetapi hanya menggambarkan keadaan sebenarnya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan.

Sejalan dengan itu, LanColn dalam Sukmadinata (2008: 60) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bersifat naturalistik. Penelitian ini bertolak dari paradigma naturalistik, bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif, tidak bisa dipisahkan, suatu kesatuan yang terbentuk secara simultan, dan bertimbal balik, tidak mungkin memisahkan sebab dengan akibat, dan penelitian ini melibatkan nilai-nilai.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Ini karena data yang disajikan berbentuk kata-kata. Menurut Bogdan &


(55)

40

Taylor (Moleong, 2012: 4), metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SDIT Luqman Al Hakim Internasional. Waktu penelitian dilakukakan pada bulan Oktober hingga bulan April 2017. Program sekolah anti bullying memang sudah diterapkan di dalam kegiatan SDIT LHI dengan memberdayakan segenap warga sekolah termasuk di dalamnya adalah guru kelas. C. Penentuan Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan seseorang yang darinya diperoleh keterangan atau data. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto yakni sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (2010: 172). Subjek penelitian ini adalah orang yang akan diteliti. Penelitian ini mengambil subjek guru kelas, siswa, guru dan kepala sekolah di SDIT LHI.

D. Teknik Pengumpulan Data

Fase penting dalam penelitian adalah saat pengumpulan data. Di dalam sebuah penelitian, fase pengumpulan data penting dilakukan karena menurut Sugiyono (2012:401) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Pengetahuan mengenai teknik pengumpulan data harus dimiliki oleh peneliti agar didapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.


(56)

41

Pada penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi tidak berperan serta (nonparticipant observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Moleong, 2012: 186). Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan. Menurut Esterberg (Sugiyono, 2012: 317), wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

Esterberg (Sugiyono, 2012: 319) mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi terstruktur, dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya telah memiliki daftar pertanyaan yang harus ditanyakan kepada responden dan telah tersusun secara sistematis. Wawancara semi terstruktur merupakan wawancara menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana narasumber diminta pendapat dan ide-idenya. Wawancara tidak terstruktur kebalikan dari jenis wawancara terstruktur, dimana wawancara yang dilakukan tidak menggunakan pedoman wawancara atau pedoman wawancara yang hanya dibuat garis-garis besarnya saja. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik


(57)

42

wawancara semi terstruktur, yaitu dilaksanakan menggunakan petunjuk umum wawancara (pedoman wawancara) yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan.

Peneliti menggunakan wawancara semi struktur karena wawancara ini termasuk kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya.

2. Observasi

Observasi memberi peluang pada peneliti untuk menggali data perilaku subjek secara luas, mampu menangkap berbagai macam interaksi, dan secara terbuka mengeksplorasi topik penelitiannya. Menurut Sugiyono (2006: 204) dalam pelaksanaan pengumpulan data observasi dibedakan menjadi observasi berperan serta (participant observation) dan nonpartisipan, selanjutnya dari segi instrumen yang digunakan observasi dibedakan menjadi observasi terstruktur dan tidak terstruktur.

Peneliti sedianya akan melaksanakan pengumpulan data oberservasi secara nonpartisipan dalam pelaksanaan pengumpulan data, yaitu peneliti tidak terlibat dengan aktifitas yang diamati dan hanya sebagai pengamat luar secara independen. Pada segi instrumen peneliti menggunakan observasi terstruktur yaitu observasi yang dirancang secara sistematis tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya. Oleh karena itu, observasi ini membutuhkan panduan atau pedoman observasi.


(58)

43 3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah catatan sebuah peristiwa. Hal ini didukung dengan pendapat dari Sugiyono (2012: 329), yang mengatakan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya menumental dari seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274).

Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang akan memperkuat perolehan data-data sebelumnya dan tentunya relevan dengan data yang dibutuhkan peneliti. Sedangkan, dokumen-dokumen tersebut dapat berupa foto, dapat juga berbentuk dokukmen tertulis lainnya seperti arsip-arsip dari objek penelitian.

E. Instrument Penelitian

Instrument penelitian kualitatif yang memiliki andil paling utama adalah manusia itu sendiri. Menurut Nasution (Sugiyono, 2012: 306) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia adalah instrumen penelitian utama, karena segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, semuanya belum dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu


(59)

44

dikembangkan sepanjang penelitian. Oleh karena itu, yang menjadi intrumen adalah peneliti sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya. Penelitian ini dibantu dengan menggunakan instrumen pedoman wawancara, pedoman observasi, serta dokumentasi. Penjelasan lebih lanjut terkait instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Kisi-kisi Instrumen Penelitian

Aspek Indikator

Peran guru kelas sebagai pembimbing

A.Pemberian informasi pada siswa mengenai tata tertib di kelas dan sekolah tentang perilaku anti bullying B. Penjelasan mengenai bullying

C.Penjelasan tindakan yang akan diambil oleh guru kelas saat terjadi bullying

Peran guru kelas sebagai mediator dan fasilitator

A.Penumbuhan hubungan yang positif antar pelaku dan korban untuk saling menghormati dan menghargai B. Pendorong tingkah laku sosial yang baik

C.Upaya sumber belajar mengenai perilaku bullying Peran guru kelas

sebagai penasehat

A.Memberi saran pada pelaku dan korban bullying B. Merujuk kepada guru BK sekolah apabila diperlukan

konseling lebih lanjut pada kasus bullying

Hambatan yang

dialami oleh guru kelas saat penanganan bullying

Kesulitan guru kelas pada saat menangani kasus bullying

Hasil dari penanganan yang dilakukan oleh guru kelas terhadap pelaku dan korban bullying

A.Hasil penanganan terhadap korban B. Hasil penanganan terhadap pelaku


(60)

45 1. Instrumen Wawancara

Instrumen yang digunakan dalam wawancara dinamakan interview guide atau pedoman wawancara (Arikunto, 2010: 199). Wawancara ini bertujuan memperoleh data melalui tanya jawab secara langsung dan terpimpin. Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data yang berupa menanyakan sesuatu kepada narasumber/responden yang sudah dipilih sebelumnya.

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneiti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil (Sugiyono, 2014: 194).

Menurut Herdiansyah (2015: 26) wawancara adalah sebuah proses interaksi komunikasi, dilakukan oleh setidaknya dua orang, atas dasar ketersediaan dan dalam setting alamiah, dimana arah pembicaraan mengacu kepada tujuan yang telah ditetapkan. Dari pendapat ini dapat diambil kesimpulan bahwa wawancara ialah suatu interaksi komunikasi diantara dua orang atau lebih untuk mengetahui hal-hal dari responden secara lebih mendalam dengan tujan tertentu. Wawancara dilakukan dengan guru kelas di SDIT Luqman Al Hakim Internasional. Wawancara ini menggunakan pedoman wawancara kepada kepala sekolah, guru kelas, siswa dan pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan program anti bullying di sekolah.


(61)

46 2. Instrumen Observasi

Di dalam penelitian ini, observasi digunakan peneliti sebagai salah satu teknik pengumpulan data melalui pengamatan yang telah terencana. Spradley (dalam Sugiyono, 2015: 314) menyatakan bahwa dalam setiap situasi sosial terdapat tiga komponen yang dapat diamati, yaitu place (tempat), actor (pelaku), dan activities (aktivitas). Pengamatan ini dapat dilakukan secara terencana.Pengamatan yang terencana dapat disebut juga dengan observasi terstruktur. Observasi terstruktur menurut Sugiyono (2015: 205) adalah observasi yang telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan di mana tempatnya. Oleh karena itu, observasi ini membutuhkan panduan atau pedoman observasi yang telah dibuat oleh peneliti dan dapat berupa lembar observasi. Panduan observasi pada penelitian ini akan dicantumkan di dalam lembar lampiran.

3. Dokumentasi

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen merupakan pelengkap penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian akan semakin kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dokumen foto-foto kegiatan di sekolah dan dokumen laporan incident report.

F. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan (Sugiyono, 2012: 334), analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,


(62)

47

catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Sugiyono (2012: 333) juga menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, data yang diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi), data dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Seperti yang dinyatakan Miles & Huberman (Sugiyono, 2012: 337), juga mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Komponen dalam analisis data adalah sebagai berikut:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan di lapangan. 2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data yaitu penyusunan sekelompok informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.Penyajian data ini dapat berupa uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Penyajian data seperti ini berguna untuk memudahkan dalam memahami data yang telah didapatkan tersebut. Pada tahap ini peneliti menyajikan data-data yang telah direduksi ke dalam laporan penelitian secara sistematis.


(1)

219 Lampiran parents guide


(2)

(3)

(4)

(5)

223 Lampiran 11. Surat


(6)