PT. Indorayon : Masalah Kronis di Tanah Toba

56 oleh PT. IIU yang menggunakan dana pengembang masyarakat telah mampu menghasilkan generasi yang memiliki perspektif yang bertolak belakang dengan pendahulunya di era 1980‟an hingga 1990‟an. Akan tetapi, pada perkembangannya GMKI dan PMKRI meralat pernyataan kedua ketuanya ini. Kedua organisasi menyatakan jika pernyataan tersebut bersifat personal dan tidak mewakili kedua organisasi ini. Walaupun begitu, dapat disimpulkan jika identitas Batak Toba mulai bergeser. Problematika yang disajikan oleh para mahasiswa ini kembali menunjukkan dualitas kebatakan itu sendiri. Upaya yang dilakukan oleh para mahasiswa ini kembali menghadirkan identitas Batak sendiri. Di satu sisi, indentitas etnis Batak yang tunduk pada wacana PT.IIU dan identitas etnis Batak yang melawan. Intinya, identitas etnis batak digunakan sebagai dasar gerakan dalam dinamika kasus PT.IIU. Dalam perkembangan kasusnya, persoalan IIU ini juga melibatkan tidak hanya pihak warga yang dirugikan. Beberapa lembaga non pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan juga turut andil dalam wacana ini. Ada beberapa lembaga keagamaan yang turut dalam perjuangan ini, yaitu HKBP, HKI, GKPI, GKPS, katolik. 34 Hal ini mengindikasikan kedekatan atau relasi keagamaan dengan perjuangan sosial masyarakat Batak. Selain keterlibatan dalam bentuk lembaga agama, wacana kebatakan yang dapat dilihat dalam persoalan ini adalah perspektif keagamaan yang menjadi dasar perjuangan warga. Salah satu yang ikut terlibat dalam masalah ini adalah Pdt. Sarma Siregar, seorang pendeta yang melayani di gereja HKBP, resort Nagatimbul, Kecamatan Lumban Julu. Pdt. Sarma merupakan seorang yang mewakili perjuangan masyarakat Batak untuk menghadapi Indorayon. Pdt. Sarma beserta suami ditangkap kepolisian karena didakwa sebagai pelaku pengerusakan Kantor Kecamatan Porsea. Pdt. Sarma dipaksa untuk mengakui perbuatan yang memang tidak dilakukannya. 34 Saur Tumiur Situmorang, dkk. op.cit. 57 Dalam perkembangan kasusnya, akhirnya Pdt. Sarma dituntut pidana kurungan. Keputusan ini dikeluarkan oleh Pengadilan pada 20 November 2002. Penangkapan ini sendiri dimaknai oleh Pdt. Sarma dalam sudut pandang teologis. Pdt. Sarma mengungkapkan sebagai berikut: 35 “Melalui pengalaman itu, saya sadar bahwa tidak semua narapidana itu orang jahat atau orang bersalah. Banyak dari mereka merupakan korban ketidakadilan. Seperti yang kami alami sendiri, di penjara bukan karena kesalahan, tetapi karena kehendak pihak TPL. Pengalaman itu membuka mata saya melihat betapa hukum di Indonesia sebenarnya tidak berdaya. Saat ini hukum itu berfungsi sebagai alat kekuasaan yang penggunaannya dan penafsirannya tergantung pada orang yang berkuasa. Penjara bukanlah akhir dari segalanya. Penjara justru membuka mata hati saya betapa orang-orang yang ada di sana membutuhkan pelayanan, dan siraman firman Tuhan sebagai penguat sekaligus memberi pengharapan bagi mereka yang terpaksa terbelenggu di balik terali besi itu agar mereka tidak menjadi putus asa dan pendendam”. Kutipan Pdt. Sarma bisa ditafsirkan dalam dua hal, politik identitas Batak dan kedekatan wacana agama dalam kosmologi berpikir masyarakat Batak. Dalam level pertama, politik identitas Batak telah dokonstruksi oleh penulis buku, yaitu Situmorang, dkk. Dalam konteks ini identitas yang dikonstruk adalah identitas Batak Toba yang selalu bernafaskan HKBP atau paling tidak bernafaskan Nasrani. Tuturan Pdt. Sarma menjadi representasi politik identitas. Untuk level kedua, pengakuan Pdt. Sarma dapat menjadi penegas jika isu lingkungan dan isu perjuangan rakyat Tanah Batak Toba selalu didampingi atau selalu terkait dengan hal keagamaan. Lembaga agama yang ada di Tanah Batak Toba pun dilibatkan dalam perjuangan ini sehingga permaslahan kebatakan yang awalnya berasal dari isu lingkungan kini berubah menjadi isu keagamaan. Pembukaan kembali dengan penamaan TPL tetap saja masih direspon negatif oleh masyarakat Batak, khusunya TOBASA hingga saat ini. Pembukaan kembali yang dilakukan oleh pemerintahan Megawati yang awalnya mendapat tentangan keras dari masyarakat, kini mulai melemah. Aksi-aksi penolakan terhadap TPL pun semakin sepi, TPL pun dengan leluasa beroperasi kembali. 35 Saur Tumiur Situmorang, dkk. loc. cit, hlm. 35. 58 Walaupun masih terjadi penolakan, akan tetapi dengan lihai perusahaan tersebut menyelesaikan dan menutup-nutupinya. Apalagi, pemerintah daerah pada saat itu lebih berpihak pada perusahaan Simanjuntak, 2015. 36 Dengan nama baru, PT Toba Pulp Lestari selanjutnya disingkat TPL, paradigma dan mekanisme perusahaan masih sama dengan Indorayon. Hal ini terbukti dengan 21 Juni 2000, hanya beberapa hari pasca reoperasi, resistensi yang cukup keras dilakukan oleh masyarakat. Seorang siswa STM, Hermanto tewas ditembak ketika melintas di tengah aksi penolakan massa. Tewasnya Hermanto sebagai imbas dari peluru yang dilepaskan oleh aparat keamanan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN, sebagai salah satu organisasi yang mendampingi masyarakat dalam kasus ini menyatakan penyesalan atas kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Selain itu, organisasi tersebut meminta PT.IIU menghormati hak-hak masyarakat adat di hutan Kemenyan. Dinamika hukum yang mengatur proteksi tanah adat sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang 1945. Undang-Undang ini mengatur perlindungan tanah adat dan hak-haknya. Akan tetapi, pemerintah dengan mudahnya merampasnya dengan Keputusan Kementrian Kehutanan. Luasan konsesi yang diberikan kepada TPL mencapai 269.069 ha terdapat di delapan Kabupaten di Sumatera Utara. Hal ini didasarkan pada SK Menhut No. 493Kpts-II1992 pada 1 Juni 1992. SK ini mengalami perubahan dengan SK Menhut No.SK.351Menhut- II2004 tentang pemberian HPHTI kepada PT IIU. SK Menhut ini hanya mengubah nama dari PT. IIU menjadi PT.TPL. 37 Dalam konteks perkembangan saat ini, persoalan TPL dan permasalahan kebatakan masih tetap berlangsung. Saat ini, perusahaan penghasil bubur kertas ini masih terus beroperasi. Sejauh yang penulis observasi dari referensi atau literasi lainnya, permasalahan kebatakan cukup dominan yang pro terhadap perjuangan masyarakat Batak Toba. Perjuangan warga yang mempertahankan 36 Catatan Roganda Simanjuntak. Informasi ini diakses dari : ksppm.org. 2015. Dapat diakses di : http:www.ksppm.orgmembangun 37 ibid 59 tanah adat di tengah jaringan kekuasaan yang memenuh kepentingan kapital masih cenderung diposisikan sebagai wacana yang tepat.

2.4 Perlawanan - Perlawanan Terhadap PT. IIU.

Dalam pembahasan yang terkait dengan dampak PT.IIU terhadap kehidupan masyarakat Batak Toba, telah terlihat beberapa dampak yang langsung mendapat respon dari masyarakat. Kecendurangan yang terdeskripsikan adalah respon negatif yang diberikan oleh masyarakat Batak Toba. Setidaknya ini telah memberikan sedikit deskripsi perihal keterkaitan PT.IIU dengan perubahan dinamika kehidupan masyarakat Batak Toba, termasuk identitas Kebatakan yang turut terwarnai akibat wacana Indorayon ini. Untuk itulah, pada subbab ini akan dibahas bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba. Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba sebenarnya sangatlah banyak. Akan tetapi untuk keperluan penelitian ini, penulis hanya mendeskripsikan beberapa perlawanan saja. Hal ini juga mengingat korelasi pembahasan ini dengan analisis novel. Dalam analisis novel sendiri perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Batak tidaklah dominan. Sebetulnya, jauh sebelum perlawanan ibu-ibu dari Sugapa yang terjadi pada 1988-1990, yang sebelumnya dijadikan sebagai tonggak awal perlawanan rakyat Toba terhadap Indorayon, sudah banyak perlawanan yang muncul secara sporadis, baik dalam konteks mempertahankan hak atas tanah adat, hutan milik rakyat, maupun menuntut ganti rugi. Akan tetapi, karena tidak diliput media massa dan belum melibatkan aktor yang lebih luas, maka gerakan ini hanya bergaung secara lokal saja. 38 Hingga acara peletakan batu pertama yang dilakukan Menteri Perindustrian, Ir. Hartarto bersama Menteri Tenaga Kerja Sudomo, 19 Februari 1986, sebagian tanah yang dikuasai belum diganti rugi. Tanah itu, antara lain, adalah tanah adat marga Sitorus Lumban Sitorus seluas 40 hektar, tanah Nail 38 Dimpos Manalu loc.cit, hlm.143 60 Situmorang Pangombusan seluas 5 hektar, dan kepunyaan Ompu Boy Sitorus, namun Indorayoon sudah berani meratakan tanah dan memagarinya dengan kawat berduri. Berbagai alasan muncul terkait alasan mereka mau menyerahkan tanah itu. Ada yang mengaku karena bujuk rayu saudara mereka di perantauan, ada yang takut karena mendengar ancaman akan dibawa ke Kodim Tarutung dan Laksus di Medan, ada juga yang tergiur karena janji-janji Indorayon akan membangun sekolah SMTA dan memberi lowongan kerja. Setelah era reformasi, hak kepemilikan atas tanah lokasi pabrik ini kembali dipersoalkan, antara lain oleh keluarga Datu Somangalak Marga Sitorus. Mereka mendatangi FKP DPR RI dan menyerahkan bukti kepemilikan tanah seluas 80 hektar di Jior Sisadasada dan Silosung, yang telah dipakai Indorayon selama 14 tahun tanpa ganti rugi. 39 Selain itu, Perlawanan juga diberikan oleh Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat selanjutnya disingkat: KSPPM. KSPPM melakukan diskusi di desa-desa Tapanuli, sekali lagi, bersifat sporadis dan temporer, termasuk di desa-desa yang akan dijadikan lokasi pabrik Indorayon. Daerah yang tercatat adalah Desa Muara Kec. Bariba Ni Aek, Desa Amborgang Kec. Porsea, Desa Paropo Kec. Sumbul, dan Desa Lumban Julu Kec. Lumban Julu. Pertemuan-pertemuan dilakukan dalam bingkai partiangangan kebaktian Rohani, menghindari ketakutan warga yang berlebihan dan kecurigaan aparat keamanan. Mereka juga menggunakan isu yang tidak bernuansa politis yang kental, seperti pertanian organik selaras alam, pendidikan gender, dan pemanfaatan lahan kosong. Isu “pemanfaatan lahan kosong”, misalnya sebetulnya bertujuan agar warga tidak mudah tergiur menjual tanahnya ke pihak Indorayon. 40 KSPPM juga melakukan program-program penyadaran hukum warga melalui latihan-latihan pokrol bamboo barefoot lawyer Di sekitar Porsea dan Toba. inilah entry point lanjutan terhadap advokasi rakyat menentang Indorayon, yang dimulai oleh warga masyarakat yang telah lebih dahulu merasakan dampak negatif industri PT. Inalum. Di desa ini, pada tahun 1985 misalnya, dilakukan 39 Dimpos Manalu, op.cit 40 Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 148 61 penanaman jahe seluas 7 hektar dalam kerangka program pemanfaatan lahan kosong tadi. Namun proyek ini gagal karena musim yang kurang mendukung. Awalnya, program strategis ini akan disebarluaskan ke desa-desa lain sebagai bentuk perlawanan terselubung, mengantisipasi upaya Indorayoon membeli dengan murah dengan memanfaatkan tanah-tanah warga dalam konsep Perkebunan Inti Rakyat PIR. Bersamaan dengan itu, pendampingan warga di sepanjang Sungai Asahan dan kasus-kasus yang terkait Proyek Inalum masih berlangsung. Di samping perlawanan-perlawanan sporadik yang dilakukan masyarakat terhadap Indorayon, pada waktu yang hampir bersamaan, Desember 1988, Walhi melakukan gerakan advokasi lingkungan yang tergolong fenomenal di tanah air. Dengan memberikan mandatnya kepada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI, WALHI menggugat lima instansi pemerintah dan PT. Indorayon utama yang dinilai melanggar UU 41982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP 291986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Amdal. Inti gugatan ini adalah mempersoalkan pemberian izin teknis yang mengikutinya. 41 PT. Indorayon dengan segala persoalan yang diakibatkannya, pada masa itu menjadi diberatkan dengan Amdal yang juga gagal. Kerusakan lingkungan yang cukup besar, membuat WALHI akhirnya memohon kepada PN Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberhentikan kegiatan Indorayon selama perkara berlangsung. Hal ini diupayakan agar menghindari kerusakan lingkungan yang lebih serius, sekaligus mencabut semua keputusan pemberian izin pembangunan dan operasional pabrik tersebut. Aditjondro menambahkan jika gugatan yang dilayangkan oleh WALHI merupakan yang tergolong terbesar di Asia Tenggara pada masa itu. Hal ini dikarenakan ini menjadi aksi pertama ornop-ornop bergabung dan menuntut 41 Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 163 62 pemerintah. Far Eastern Economic Review bahkan mencatat jika ini sebagai pengadilan sipil pertama terhadap pemerintahan Indonesia. 42 Respon pemerintah dan Indorayon terhadap gugatan ini pun serius. Untuk menghadapi kuasa hukum Walhi yang terdiri dari Abdul Hakim Garuda Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, dan Soekardjo Adidjojo, pemerintah mengajukan Jaksa Agung sebagai kuasa hukum, sedangkan Indorayon menampilkan pengacara senior, Guru besar ilmu hukum dan mantan Menteri Kehakiman, Prof. Oemar Seno Adjie. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, tuntutan hukum yang berlangsung berlarut-larut ini pun pada akhirnya menetapkan WALHI sebagai pihak yang kalah karena intervensi pejabat dan kekuasaan politik. 43 Gugutan WALHI yang gagal ini tidak bisa dilupakan atau diposisikan sebagai upaya kosong tanpa makna. Gugatan yang dilayangkan oleh WALHI ini setidaknya memberi arti penting bagi LSM Sumatera Utara dalam memandang persoalan lingkungan hidup. Mereka semakin memberi perhatian dan perngoragnisasian secara sistematis terhadap masyarakat korban Indorayon. Mereka juga semakin sadar perlunya koalisi dan gerakan yang dibangun secara bersama-sama, baik sesame ornop maupun dengan gerakan rakyat. 44 Upaya yang dilakukan WALHI menjadikan wacana PT.IIU menjadi wacana publik hingga taraf internasional. Ini berarti jika PT.IIU telah berhasil menyinggung atau paling tidak “bergesekan” dengan identitas Batak Toba. Perlawanan yang didasari pada kesamaan identitas dan pengalaman negatif terhadap wacana industri membentuk masyarakat Batak Toba sebagai masyarakat yang frontal memperjuangan hak tanah adatnya. Perjuangan ini jelas membangun satu paradigma terkait etnisitas Batak Toba. Penjelasan yang dilakukan oleh Aditjondro menjadi penanda jika etnisitas Batak Toba akhirnya mampu membawa persoalan yang selama ini bersifat 42 ibid 43 Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 165 44 Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 167 63 komunal dan lokal akhirnya membawa sejarah baru dalam sejarah pengadilan yang dilakukan oleh warga sipil. Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat inilah yang setidaknya berhasil membawa atensi dunia internasional pada isu lingkungan di Tanah Toba. Perjuangan masyarakat Batak Toba dalam melawan PT.IIU mendapatkan bantuan yang cukup besar. Diangkatnya isu ini sebagai isu nasional, menghadirkan atensi yang sangat besar dalam skala nasional. Puluhan ornop dalam dan luar negeri, gereja, serta kalangan universitas dan aktivitas mengajukan surat dan nota protes terhadap instansi-instansi pemerintah pusat dan daerah, termasuk Kodim dan Korem yang mengeluarkan surat pelarangan kegiatan advokasi yang dilakukan oleh KSPPM kepada masyarakat Batak. Tercatat antara lain nama dan lembaga yang terlibat dalam aksi perlawanan ini adalah persekutuan gereja-gereja di Indonesia PGI Jakarta, HJC Princen LP HAM Jakarta, M.S. Zulkarnaen Walhi Jakarta, Abdul Hakim Garuda Nusantara YLBHI Jakarta, Widjanarka E.S. PAN Indonesia, SKEPHI, Kemasda Palembang, YSM Mataram, WIM Medan, Panitia Pengarah LSM-LPSM se D.I. Yogyakarta, Puskat Yogya, Yayasan Sosial Soegijapranata Keuskupan Agung Semarang, Yasema Lombok Timur, USC Yogya, YBKS Solo, Sahabat Alam Malaysia, akademisi Gerry van Klinken UKSW Salatiga, dan George J. Aditjondro. Animo yang cukup besar serta dorongan atau tekanan yang bisa dikatkan massif ini akhirnya mampu menghasikan pencabutan larangan oleh Komandan Korem Kolonel Sukiman. 45 Hal ini menandakan bahwa “etnis kebatakan” yang dibangun berhasil membuat gelombang kerja sama dan gelombang simpati dan aksi dari beragam lembaga yang sifatnya lintas etnis dan lintas spasial. Ini skali lagi menjadi penegas wacana perlawanan kebatakan yang terjadi telah mampu menghadirkan wacana “masyarakat versus pemerintah” di Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan yang didasarkan pada kesamaan kode-kode budaya dan nasib yang sama sebagai etnis 45 Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 162 64 Batak kini mulai mengalami pergeseran menjadi gerakan perlawanan yang berdasar pada lingkungan. Isu etnisitas akhirnya turut berkembang menjadi isu lingkungan. Ketika Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi presiden dan wakil pada Sidang Umum MPR 1999 dan diambil sumpahnya 20 Oktober 1999. Masyarakat Porsea sekitarnya menunjukkan suka cita. Kedua figur ini dianggap mewakili kekuatan reformis dan memiliki latar belakang sebagai tokoh yang dekat dan berpihak pada masyarakat kecil. Ada harapan besar, perjuangan mereka menutup Indorayon akan membuahkan hasil: penutupan Indorayon secara permanen. Kegembiraan itu diwujudkan dengan menyelenggarakan “Pesta Rakyat” selama dua hari, 11-12 Desember 1999, di Kota Porsea, yang dihadiri sekitar 5.000 orang, untuk merayakan dan syukuran atas terpilihnya presiden dan wakil baru ini, sekaligus merayakan ditutupnya Indorayon sementara 19 maret 1999 lalu. Selain diisi dengan orasi-orasi menuntut ditutupnya indorayon secara permanen, mereka juga mengadakan acara makan bersama dengan memotong beberapa ekor kerbau, yang keseluruhan biaya pesta dipungut secara sukarela dari warga desa-desa. Kegembiraan itu semakin memuncak karena Menteri Lingkungan Hidup baru Kabinet Gus Dur-Mega, Dr. Sonny Keraf, yang kebetulan pada saat itu memilikib agenda kunjungan kerja ke Sumatra Utara Kompas, 13 Desember 1999, menyatakan kesediaan hadir pada puncak acara Pesta Rakyat, 12 Desember 1999. Menurut Effendi Panjaitan, Direktur Walhi Sumut ketika itu, Sonny memang sengaja diundang untuk menghadiri Pesta Rakyat, dengan bantuan dan lobi Nico Simanjuntak dan Eliakim Sitorus, teman lama Sonny. Lalu, ia menyatakan kesediaan hadir dengan catatan adanya jaminan keamanan dan tidak dipaksa untuk menandatangani surat penutupan Indorayon. 46 Rekomendasi Meneg LH ini mendapat tantangan dari rekannya sendiri di kabinet. Meneg Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi 46 Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 243