Pemikiran tokoh Monang: representasi identitas etnis Batak Toba baru

118 39 Putera Batak harus berkelana. Dia ada di antara kisah sejarah negerinya sendiri dan kesadarannya pada perkembangan dunia dan misteri alam raya. Di dalam tubuhnya berlapis-lapis kepercayaan adat yang telah ditanamkan. Tetapi di otaknya, bermacam buku dan pengajaran dari para guru di sekolah telah memberinya pemahaman tentang kebebasan. Sejak lulus sekolah menengah pertama, Monang tak percaya lagi kekuatan fisik. Segala pikiran mamaknya tentang dunia pengetahuan dan kelebihan manusia soal akal dan pikiran, telah merenggut darah mudanya sebagaimana yang dijalani para pemuda intelek lain di tanah ini. ……………. Bahwa dunia luar bukan lagi ujung berbahaya yang tak layak dikunjungi. Bahwa jendela pandang manusia pintar harus selalu terbuka demi untuk kemajuan dirinya sendiri Simatupang, 2009: 117- 118. Kutipan 39 menjadi penegasan sikap Monang yang tidak mau terkungkung dalam satu kampung halaman saja. Bagi Monang, kehidupan di dunia luar lebih menyajika satu ruang pembaharuan yang dapat digunakan untuk kemajuan diri. Pola pendidikan yang diberikan mampu mengimbagi keberadaan adat yang telah diberikan oleh leluhur di dalamnya. Terlepas dari itu semua, bagi Monang pendidikan atau intelektualitas adalah sesuatu yang wajib. Hanya dengan ini, ia bisa mensejajarkan dirinya dengan pemuda-pemuda dari daerahnya. Kalimat “Bahwa jendela pandang manusia pintar harus selalu terbuka demi u ntuk kemajuan dirinya sendiri” menarik untuk dikaji lebih mendalam. Kalimat ini dengan eksplisit menjadi upaya Sihar untuk memberi kesadaran jika keterbukaan adalah hal yang penting. Dalam konteks ini, keterbukaan penulis tafsirkan sebagai “terbukanya ruang baru” tentang pengetahuan dalam diri orang Batak karena hal inilah yang menjadi “penanda kepintaran”. Identitas etnis Batak yang dikonstruksi di sini adalah “keterbukaan” terhadap kemajuan-kemajuan atau perubahan yang ada. Ajakan untuk membuka “diri” inilah yang ditawarkan oleh Sihar. Kutipan 39 sekali lagi menghadirkan pemikiran yang terbilang sangat berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini. Tokoh-tokoh muda yang ada dalam novel ini dihadirkan dengan stereotipikal. Hanya tokoh Monang yang 119 mewakili kaum muda Batak yang mampu memikirkan hal ini. Untuk itulah, tokoh Monang dapat diposisikan sebagai identitas baru pemuda Batak. Pemikiran yang berbeda juga direpresentasikan dalam kutipan berikut ini. 40 Mata mudanya terus digempur pandangan yang menyeret dia pada kenangan alami, atau lebih tepatnya kenangan manusia tradisi yang sekarang dibicarakan oleh orang kota sebagai manusia yang ramah dan tak ganas sebagaimana penduduk modern Simatupang, 2009: 46. Kutipan 40 menjadi satu kritikan yang cukup tajam yang ditawarkan oleh tokoh Monang. Sekali lagi, Monang menghadirkan suatu yang berbeda dibanding dengan pemuda Batak lainnya yang memandang kota dengan imaji yang „ideal”. Dalam kutipan ini, terrepresentasikan kritik Monang terhadap penduduk modern. Kutipan ini secara eksplisit menghadirkan penduduk modern sebagai yang ganas dan tak ramah. Perbandingan yang dilakukan oleh tokoh Monang memperlihatkan keberpihakan Monang terhadap keramahan dan kenyamanan kehidupan di kampung halamannya. Hal inilah yang tampak pada kutipan 40. Di sisi lain, Monang mengkritik penduduk modern modernitas dengan menghadirkannya dalam nada yang negatif. Di sini, Sihar sedang mengkritik modernitas. Bagi Sihar, Batak cenderung disematkan denga ramah, natural, dan tak ganas. Hal yang tidak ramah dan “ganas” adalah modernitas itu sendiri. Sihar dalam poin ini mencoba menawarkan jika modernitas merupakan sesuatu yang negatif. Hal lain yang bisa dilihat adalah ambiguitas sikap Monang terhadap kampung halaman. Jika pada pembahasan di kutipan-kutipan sebelumnya, Monang dihadirkan sebagai pemuda Batak yang haus akan perubahan. Hal ini hanya didapat dari merantau. Dengan kata lain, perantauan lebih baik daripada kampung halaman. Di sinilah letak ambiguitasnya. Dalam novel ini, tokoh Monang mengalami kemenduaan atau ambivalensi sikap terkait kampung halaman. Kutipan 40 menghadirkan tokoh Monang sebagai tokoh yang primordial. Hal ini juga dapat dilihat pada kutipan 41. 41 Dia larut dalam hiruk-pikuk perjuangan. Suara rakyat tentang perubahan serasa mengharu biru di dada dia dan kawan-kawan. 120 Sampai dia tidak datang lagi ke perkuliahan, sampai ia harus bersembunyi ketika namanya disebut sebagai salah seorang yang menjadi target pengejaran. Terdengar kabar, beberapa kawannya ditangkapi dan tak dia ketahui nasibnya bahkan setelah Monang menyingkir dari keramaian hingga kembali ke huta Simatupang, 2009: 58. Kutipan ini merupakan narasi ketika tokoh Monang pulang ke kampung halaman karena situasi politik yang tidak kondusif. Monang yang terlibat aktivitas melawan orde Baru menjadi korban dari situasi yang tidak kondusif. Ia pun menjadi orang yang masuk daftar pencarian orang. Hal inilah yang membuat tokoh Monang memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, Tano Batak. Keputusan tokoh Monang untuk pulang pun menjadi representasi jika Monang sebagai pemuda Batak melakukan idealiasasi dengan menganggap kampung halaman adalah pilihan yang tepat. Hal ini menjadi representasi yang menarik karena sebelumnya tokoh Monang dikarakterkan sebagai pemuda Batak yang memperjuangkan kebebasan dan perubahan terhadap tradisi tetapi memilih kampung halaman sebagai idealiasasi. Tentu saja, ini dapat dibaca sebagai representasi jika wacana kampung halaman dengan segala keasrian lingkungan yang ada mampu mendamaikan pemuda Batak dari hiruk pikuk kota dan politik. Idealiasi kampung halaman sebagai akhir dari Pemuda Batak yang telah berkecimpung di dunia pendidikan dan dunia politik merupakan representasi identitas Batak yang ak an kembali lagi pada “romantisme” dengan situasi kampung. Inilah yang dapat dilihat dalam kutipan di atas. Kritik lain yang disampaikan oleh tokoh Monang terkait dengan tradisi simin. Ini terjadi sewaktu Monang bersama Ibunya berziarah ke makam Ganda. Monang mengingat anak dari abangnya keponakannya yang berjenis kelamin perempuan. Tokoh Monang mengkritisi tradisi yang memarjinalkan perempuan. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini. 42 Nasib memang nasib, karena Ganda memang tidak punya penerus keturunan marga. Anaknya itu seorang perempuan, si Florida. Karenanya, di garis silsilah, kelak tak pernah lagi ada nama keturunan di bawah nama Hagandaon. Bagi Monang, ini ironi keturunan Batak. 121 Tiap generasi selama berabad-abad telah telah mencatat garis keturunan. Lebih dari ratusan tahun, Monang tak habis pikir, betapa setia orang-orang seketurunan dalam tiap marga Batak membuat tulisan yang menjelaskan keturunannya. Tak ada nama perempuan di silisilah Simatupang, 2009:94 Pemikiran baru lainnya yang dihadirkan oleh tokoh Monang adalah suara “sumbang”nya terkait tradisi simin. Simin sendiri merupakan ritus pencatatan marga dan regenerasinya mulai dari keturunan pertama hingga terakhir. Hal inilah yang dikritisi oleh Monang. Kritik yang dilontarkan memang belum mencapai fase aksi. Kritik ini masih bersifat “celotehan” yang ada dalam pemikirannya ketika melihat kuburan abangnya Ganda dan melihat ponakannya yang perempuan, Florida. Hanya karena Abangnya memiliki anak perempuan dan tidak memili anak pria, abangnya tidak memiliki hak untuk mencatatkan nama Florida di dalamnya sebagai keturunan. Budaya patriarki menciptakan gap yang sangat besar berkaitan dengan anak perempuan dan anak laki-laki. Anak yang berhak dicatatkan di simin adalah anak laki-laki. Ialah yang meneruskan marga. Bagi Monang, ini merupakan ketidakadilan karena menutup kehadiran anak perempuan di dalamnya. Hal inilah yang dialami oleh ponakannya, Florida. Dalam uraian subbab ini terlihat jika novel ini memberikan satu ruang khusus pada tokoh Monang. Monang dihadirkan sebagai tokoh muda Batak yang mendapatkan pengelaman pendidikan hingga perguruan tinggi. Dalam proses inilah, hasil berpikir dan pola berpikir ditempa sehingga menjadikannya tokoh muda Batak yang sangat berbeda dari tokoh Batak lainnya. Ritme pendidikan yang membuat tokoh Monang terbiasa dengan seminar dan diskusi serta demosnstrasi menciptakan pola pemikiran yang sangat kritis dan berdasar pada pengembangan pengetahuan. Melalui tokoh Monang, identitas etnis Batak sedang dikonstruk sebagai entitas yang lepas dari streotipe tokoh Batak Toba. Tokoh Monang menjadi satu simbol jika pemuda Batak Toba seharusnya mengenyam pendidikan hingga ke level tertinggi; pemuda Batak Toba harus 122 menghidupi pola pikir kritis; pemuda Batak harus aktif terlibat dalam politik; pemuda Batak harus menjadi agen perubahan; pemuda Batak harus turut berkontribusi dalam pengawasan atau demonstrasi mengkritik pemerintahan. Identitas-identitas baru inilah yang sedang dibangun oleh tokoh Monang. Walau dalam membentuk ini, tokoh Monang belum sampai pada tataran aksi, akan tetapi pola pikir yang ditawarkan oleh Monang terbilang baru. Apalagi, ini dibandingkan dengan kehadiran tokoh-tokoh lainnya dalam novel yang digambarkan sebagai tokoh yang tidak berpendidikan. Inilah yang menjadi fokus pada analisis subbab ini.

3.5 Rangkuman

Analisis dalam bab ini telah mendeskripsikan representasi kebatakan yang ada dalam novel ini. Representasi inilah yang ditafsir sebagai upaya dalam mengkonstruk atau menawarkan identitas Batak Toba. Oleh karena itu, seluruh representasi yang hadir dibaca sebagai wacana kebatakan yang turut berkontribusi dalam politik identitas Batak Toba. Ada empat representasi yang penulis rangkum dalam novel ini, yaitu Representasi kearifan lokal, Pemahaman Terhadap Perubahan budaya atau modernitas, Persepsi Tentang Pendidikan, Representasi Batak yang Streotyping, dan Pemikiran Tokoh Monang : Representasi Batak Toba Baru. Representasi kearifan lokal jika menggunakan teori identitas etnis Stuart Hall dapat dikategorikan sebagai identitas dimensi pertama. Identitas ini terbangun dengan kesamaan kode-kode budaya dan pandangan dunia Batak Toba. kearifan lokal yang direpresentasikan lebih dominan menarasikan tradisi dan adat istiadat Batak yang ada. Representasi kedua mendeskripsikan jika data-data yang ada dalam novel ini memperlihatkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba. perubahan yang direpresentasikan cenderung distimulan dengan wacana ekonomi. Representasi inilah yang menegaskan jika novel ini mendeskripsikan salah satu implikasi yang dihasilkan atas persinggungan wacana tradisi Batak Toba dengan 123 wacana ekonomi dan modernitas yang ada. Representasi ini menjadi gambaran terkait identitas Batak Toba yang mulai mengalami perubahan. Karakter dari tokoh cerita yang dinarasikan mulai mengalami perubahan juga mempertegas jika identitas Batak Toba tidak lagi bisa disamakan dengan identitas yang lama. Wacana yang terkait identitas lama dan identitas baru inilah yang penulis baca sebagai mulai beranjaknya data-data dalam novel yang terfokus pada identitas etnis dimensi pertama Stuart Hall ke dimensi kedua. Identitas etnis dalam dimensi kedua membahas jika identitas etnis adalah konstruk dari banyak wacana. Dalam hal inilah, persinggungan dengan wacana-wacana yang ada menempatkan identitas sebagai entitas “bentukan” tidak lagi seotonom yang dulu. Identitas Batak Toba yang terepresentasikan pun mulai mengalami perubahan atau “cair”. Di poin inilah dapat dikatakan konstruksi identitas Batak Toba dalam novel ini dimulai. Representasi berikutnya adalah representasi yang terkait dengan pendidikan. Novel ini mendeskripsikan identitas Batak Toba yang mementingkan pendidikan. Representasi terkait hal ini tentu saja sudah menjadi paradigma umum dalam masyarakat Batak Toba. Pendidikan sebagai salah satu cara mencapai kehormatan hasangapon menjadi elemen yang akan diusahakan oleh masyarakat Batak Toba. Dalam representasi ini pula, terlihat ada “ruang dialog” yang dihadirkan Sihar terkait pendidikan. Sihar melalui novel ini merepresentasikan pendidikan dengan dua corak. Pertama, pendidikan yang dibayangkan oleg orangtua dan keluarga Monang sebagai proses pencarian ijazah, gelar, dan pekerjaan. Kedua, adalah pendidikan yang digagas oleh pemikiran Monang yang meletakkan proses berpikir dan pembentukan kesadaran kritis sebagai dasar dan tujuannya. Representasi berikutnya adalah terkait dengan data-data yang mengakomodir imaji stereotipe identitas Batak Toba. Dalam novel ini sendiri, data-data terkait dengan imaji streotipe Batak dihadirkan dengan perilaku pemuda 124 Batak yang mabuk, berjudi, dan irasional. Dengan kata lain, representasi ini sesuai dengan imaji stereotipe yang dibayangkan oleh masyarakat pada umumnya. Di sisi lain, dialog atas perubahan kehidupan masyarakat Batak Toba dan imaji stereotipe Batak yang dilakukan oleh para tokoh cerita juga dilakukan dengan memasukkan peran tokoh Datu dan Monang. Dalam analisis pada sub bab sebelumnya, tokoh Datu mengajurkan gera kan “kasih” di Tano Batak. Hal inilah yang bertolak belakang dengan imaji streotipe Batak yang cenderung menyematkan karakter “anarki” sebagai identitasnya. Tokoh Datu menekankan jika perilaku yang sesuai imaji stereotipe ini bukanlah identitas etnis Batak melainkan sesuatu yang datang dari luar Tanah Batak. Representasi Batak Toba terakhir adalah upaya tokoh Monang dalam menegosiasikan perihal kebatakan yang ada. Tokoh Monang menjadi karakter yang berusaha menegosisasikan identitas Batak Toba. Identitas Batak Toba yang coba ditawarakan oleh tokoh Monang adalah identitas Batak Toba yang ikut terlibat dalam gerakan politik. Hal inilah yang harus dilakukan demi menjaga keberlanjutan tradisi dan alam Batak Toba. Walaupun tokoh Monang menyuarakan hal ini, novel ini tidak terlalu dominan membahas ini. Selain itu, identitas Batak Toba yang coba ditawarkan adalah perjuangan untuk pendidikan dan semangat perubahan yang harus dilakukan oleh masyarakat Batak Toba. Kata pembaharuan atau perubahan inilah yang menjadi representasi identitas Batak Toba yang ditawarkan oleh novel ini dengan perantara tokoh Monang. Pemikiran tentang semangat perubahan tentu saja didapat dari pengalaman pendidikan dan perantauan yang didapat oleh tokoh Monang. Perubahan dan perlawanan terhadap yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba menjadi hal yang bisa diupayakan hanya melalui pendidikan dan politik. Hal inilah yang terepresentasikan dalam novel ini. Lima representasi di ataslah yang dinarasikan oleh novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Dari keenam representasi di atas, maka identitas Batak Toba yang 125 dideskripsikan dapat dibagi menjadi tiga jika dilihat dari aspek waktu. Identitas masa lalu, identitas saat ini, dan identitas yang ditawarkan. Sebagai identitas masa lalu, novel ini merepresentasikan identitas Batak Toba yang memegang taradisi dan norma yang berlaku. Hal ini tereprsentasikan dengan tokoh datu dan memori tokoh Monang terkait tradisi dan lingkungan Batak Toba pada masa lalu. Idealiasasi pada situasi dan suasana Batak Toba pada masa lalu menjadi representasi jika identitas Batak Toba yang ada adalah yang menghornati dan menjaga kelestarian lingkungan sehingga hubungan relasional antarmanusia Batak terbangun dengan baik. Hal inilah yang dideskrpsikan oleh tokoh Monang pasca pulang dari tanah Jawa. Identitas Batak Toba masa saat ini berbicara tentang konteks persoalan yang ada dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini meliputi persinggungan dengan wacana industri yang diwakili oleh Indorayon. Selain itu, perubahan cara berpikir, perubahan relasi sosial, dan perubahan corak kepemimpinan yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba menjadi bagian identitas Batak Toba ini. Hall 1996a menambahkan : “All understanding of subjectivity is a combination of self-understanding and interpretation of others, or of the Other. All self-reflection is mediated by texts. By narrating itself in the works, text and discourses of symbolic modes, the subject reconstructs itself in intelligible form. Subjective experience becomes meaningful when it can be narrated o f „emplotted‟ given a temporal structure with direction, beginning and end” Seperti yang telah dibahas pada pembahasan data-data yang terkait dengan identitas batak di atas, diferensiasi ini membuka „ruang penafsiran‟ jika representasi identitas yang streotyping merupakan upaya „memelihara‟ konstruksi identitas Batak yang sudah ada. Di sisi lain, di sini pula letak kritik yang ditawarkan dalam novel ini. Kritik yang disampaikan dalam novel ini membuka ruang pada “identitas” yang ditawarkan oleh novel ini. Kritik inilah yang jika menyesuaikan dengan konsep Hall sebagai refleksi diri yang termediasi melalui teks. Penokohan yang direpresentasikan berperilaku sesuai dengan imaji stereotipe identitas Batak yang 126 ada merupakan tokoh-tokoh sampingan yang pada akhirnya tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam narasi. Dengan kata lain, di poin ini, identitas Batak Toba sedang didialogkan kembali. Pola narasi yang menunjukkan diferensiasi merupakan upaya yang dilakukan untuk mendialogkan hal ini. Wacana sterotipe ini merupakan wacana yang harus didialogkan, salah satunya dengan cara komparasi dengan situasi zaman dulu dengan zaman sekarang, tokoh dulu dengan tokoh yang sekarang. Dalam diferensiasi ini pula, penulis melihat jika novel ini memberikan “ruang” yang positif pada tokoh Datu dan Monang. Satu hal yang menyamakan konstruksi identitas kebatakan mereka adalah “imaji masa lalu”. Kedua tokoh ini kerap melakukan pembayangan pada masa lalu sebagai dasar penilaian atas perubahan cara berpikir dan sikap manusia Batak sat ini. Masa lalu menjadi salah satu „pintu masuk‟ dalam rangka mendialogkan kembali identitas Batak Toba. Identitas yang terkonstruksi dalam pembahasan ini adalah identitas etnis batak toba yang primordial, korban modernitas, dan sesuai dengan imaji stereotip Batak menurut masyarakat umum. Tidak berhenti pada hal itu saja, novel ini juga mengkonstruksi identitas etnis Batak yang lebih positif melalui tokoh Datu dan Monang. 127

Bab IV Representasi PT. Indorayon dalam Novel Bulan Lebam di Tepian Toba:

Konstruksi Identitas Etnis Batak Toba Dalam uraian yang telah dilakukan dalam bab-bab sebelumnya, telah dapat dilihat jika tujuan akhir dari penelitian ini adalah menempatkan novel Bulan Lebam di Tepian Toba dalam wacana identitas Batak Toba. Dalam hal inilah, novel ini memiliki posisi atau kontribusi dalam politisasi identitas etnis Batak Toba. Dalam pembahasan pada bab ini, persoalan yang berekses pada kehidupan dan identitas etnis Batak Toba terjadi akibat eksistensi PT. IIU. Dinamika yang terjadi adalah resistensi besar-besaran yang dilakukan masyarakat Batak Toba. Resistensi atau penolakan ini menegaskan jika wacana PT.IIU dan konstruksi identitas etnis Batak Toba saling berinteraksi. Setelah melakukan analisis terhadap konteks problematika kebatakan yang terjadi dalam analisis teks, penulis melanjutkannya dengan analisis hubungan novel ini dengan identitas etnis Batak Toba, khususnya terkait dengan PT.IIU. Dengan kata lain, kritik yang terbangun dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba akan coba diposisikan sebagai perannya dalam politik identitas etnis batak toba. Pada pembahasan pertama, penulis akan mencoba mendeskripsikan representasi persoalan PT.IIU dalam novel ini. Pembahasan ini ingin memperlihatkan jika novel ini turut mempersoalkan kasus PT.IIU. Pembahasan ini sebenarnya masih bisa diposisikan sebagai analisis tekstual novel. Lalu, pembahasan selanjutnya adalah memfokuskan pada kritik-kritik yang ditawarkan dalam novel ini terkait PT.IIU. Lalu, hal terakhir yang menjadi fokus bahasan adalah hubungan PT.IIU terhadap identitas etnis Batak Toba. Di sinilah akan dilihat proses politisasi identitas etnis Batak yang sedang diupayakan oleh novel termasuk pengarang Bulan Lebam di Tepian Toba.