Relasi Masyarakat Batak dan Alam

28 ulaon alaman seperti perkawinan, kematian, meminta dan menolak hujan, upacara inisisai, misalnya meratakan gigi mangalontik ipon. Selain itu, halaman juga berfungsi sebagai tempat menyampaikan pengumuman, pasahat hon tinting dohot boa-boa, tempat melaksanakan peradilan huta, tempat ternak, mencari makan dan sebagainya. Dengan demikian, halaman berfungsi sebagai proses sosialiasi Simanjuntak, 2015: 30-31 8 . Konsep rumah berbanjar dan ketersediaan halaman yang luas menjadi representasi kesatuan para penghuni huta. Halaman yang ada dalam satu huta tidak memiliki pembatas dari satu rumah ke rumah lainnya. Halaman desa atau huta adalah “milik bersama”. Karena itu, tidak terdapat pagar yang menandakan atau membatasi milik pribadi. Dengan kata lain, sebenarnya halaman dalam huta “mirip” dengan fungsi “alun-alun” dalam konsep Kraton. Halaman menjadi ruang sosialisasi bagi penghuni huta. Arti dan fungsi tanah kedua dilihat dari dimensi sosial. Salah satu satuan permukiman pada masyarakat Batak Toba disebut huta, yang terdiri dari tanah yang diperuntukkan bagi tapak rumah, pekarangan, jalan, ladang sekitar pemukiman, mual, tepian, lumbung, parik, pagar tumbuhan, pekuburan, pertukangan, tempat melaksanakan upacara dan aspek kehidupan lainnya. Huta atau perkampungan dihuni oleh satu marga raja, marga tano, dengan boru pengambil istri. Perkampungan kecil biasanya dihuni oleh mereka yang berasal dari satu nenek moyang dalam arti lima generasi ke atas sehingga dalam satu huta jumlah rumah yang ada sekitar 10 – 25 rumah saja Simanjuntak, 2015: 23. Beberapa di antara huta tersebut memiliki dua buah parik, yakni parik bulu suraton dan parik bulu duri. Di sekeliling parik sebelah luar, terdapat sebidang tanah yang lebarnya lebih kurang 3 meter yang disebut anak bajang atau suha. Tanahnya dipergunakan untuk perawatan dari parik-parik itu. Anak bajang 8 Bungaran. A. Siamanjuntak, dkk. Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun 2015. Buku ini berisi tinjauan tradisi terkait arti dan fungsi tanah bagi masyarakat Batak 29 atau suha tersebut boleh ditanami tetapi apabila tanahnya diperlukan untuk huta maka tanaman-tanaman harus disingkirkan tanpa ganti rugi. 9 Huta merupakan tempat tinggal bagi mereka yang satu marga, atau paling tidak terdiri dari satu nenek saompu dengan atau tanpa disertai boru pengambil istri. Marga yang mendirikan huta dinamakan marga tano atau marga raja. Marga-marga boru yang datang kemudian tidak memiliki hak golat. Mereka hanya berharap memakai tanah setelah disetujui oleh marga raja. Dari uraian di atas, tanah menjadi satu pembatas teritori satu keturunan nenek moyang atau satu marga. Dalam satu batas teritorial inilah, aspek kehidupan manusia Batak diatur dengan pembagian dan fungsi tanah yang ada. Satu huta juga menandakan adanya kehidupan atau jaringan politik yang mengatur posisi manusia Batak terkait dengan hubungan antarsatu marga. Di sini pula yang pada perkembangannya akan memperlihatkan pembagian-pembagian kerja ketika satu rumah akan melangsungkan pesta atau “hajatan”. Bila suatu huta dianggap sudah padat, maka penduduk setempat mengatasinya dengan mendirikan permukiman baru yang dinamakan lumban, sosor, dan huta pagaran. Alasan pendirian pemukiman baru selain karena huta induk sudah padat, juga adanya pertentangan atau permusuhan terutama karena keinginan untuk memeroleh kehidupan yang lebih baik. Bisa pula, satu ompu tertentu ingin berdiri sendiri atau memiliki kerajaan sendiri manjae bebas dari kekuasaan huta induk. Untuk mendirikan huta yang baru, seseorang harus memohon kepada Raja huta atau raja doli di kampungnya. Permohonan terlebih dahulu menyampaikan sulang-sulang makanan persembahan dalam suatu acara makan bersama, sebagai pengantar dari permohonan tersebut. Jika Raja menyetujui, mereka kemudian pergi ke lokasi yang dipilih untuk menyampaikan persembahan bunti kepada Dewa penguasa tanah. Persembahan diletakkan di tengah lokasi tersebut dan kemudian pada keempat titik tersebut calon perkampungan dibuat tanda-tanda 9 ibid 30 batas pago-pago. Kepada Raja huta disampaikan sibue oma-oma, yakni suatu pemberian yang mengandung maksud agar usaha mereka berhasil Simanjuntak, 2015: 24-25. Untuk mengetahui keserasian lokasi tersebut untuk dijadikan pemukiman akan memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan sebagainya mereka kemudian melakukan upacara magis yang disebut marmanuk diampang. Apabila upacara magis tersebut memberi tanda-tanda kebaikan dan keserasian, maka pendiri desa melaksanakan upacara pemberian makan adat mangulangi kepada Raja huta induk dan sauadara-saudaranya yang akan ditinggalkan Simanjuntak, 2015: 25. Pembentukan huta baru juga menjadi representasi bahwa tanah atau territorial bersifat politis mengingat, terbukanya satu ruang jika seorang ompu ingin mendirikan wilayah kekuasannya sendiri. Hal ini tentu saja diatur dalam hukum adat batak yang mengharuskan mereka melaporkan atau mendiskusikan pendirian huta baru dengan Raja atau orang yang paling dituakan di situ penguasa. Sekali lagi, dalam hal inilah, dimensi politik melekat pada tanah, khususnya pembagian territorial manusia Batak Toba. Dalam perkembangan zaman yang semakin modern pun tanah atau lebih tepatnya territorial ini pun cenderung sering digunakan dalam ranah politik. Hal ini biasanya terjadi dengan menilik keterlibatan teritorial daerah dalam pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan calon legislatif dan kepala negara. Maka, terirorial yang secara langsung mendeskripsikan peta persebaran marga menjadi sasaran dalam menggalang suara dalam pemilihan umum. Karena sifatnya yang masih memandang huta sebagai ikatan, maka bukan tidak mungkin, kecenderungan satu orang yang dianggap tua atau ompu dalam satu huta akan turut memengaruhi orang-orang yang ada di huta tersebut. Dari pembahasan di atas, telah dideskripsikan jika tanah memiliki peran penting dalam kehidupan manusia Batak. Arti dan fungsi tanah yang telah dibahas meliputi dimensi sosial dan politik. Bahasan selanjutnya yang akan penulis lakukan adalah pada perkembangnya di Tanah Batak terjadi perubahan karena 31 persoalan tanah yang terjadi. Hal ini distimulan dengan kehadiran negara dan industri di dalamnya. Jika menilik sebentar pada masa lalu, persinggungan dengan negara, mengakibatkan masyarakat Batak harus mengakui jika negara memiliki hak untuk mengklaim tanah sebagai milik negara. Satu pembaharuan yang sebenarnya hingga saat ini tidak mampu menghadirkan kemajuan ekonomi bagi masyarakat. Pers inggungan dengan wacana industri sangat jelas memberikan “wajah” baru dalam hubungan manusia Batak dengan tanahnya. Tentu saja, dampak paling terlihat adalah mulai masuknya perusahaan berbasis industri di tanah Toba. Jika menilik tanah batak atau saat ini sering disebut dengan tanah adat Batak dalam hubungannya dengan negara, maka relasi kekuasaan negara akan sangat terlihat. Apalagi, jika melihat penguasaan negara terhadap tanah adat di Nusantara. Oleh karena itu, penulis akan mendeskripsikan hal ini secara ringkas sebagai padanan peran negara terkait tanah Batak. Pembicaraan terkait hutan dan sumber daya hutan di wilayah Nusantara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan beragam komunitas yang memiliki keterikatan sosial, budaya, spiritual, ekologi, ekonomi, dan politik yang kuat dengan tanah, wilayah, dan ekosistem hutan. Keberadaan dan peran mereka dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya hutan telah dicatat oleh para peneliti dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sejak zaman kolonial. Namun, pada masa Orde Baru, pihak pemerintah menganggap beragam pola pengelolaan hutan, termasuk pertanian berbasis hutan, sebagai pola terbelakang yang merusak hutan. Siscawati, 2014: 3. 10 Hal ini menandakan jika pemerintah Orde Baru sebagai penguasa menciptakan satu paradigma atas penertiban atau penguasaan lahan dengan sekaligus mengeksekusi masyarakat adat yang mencoba hal tersebut. Terma yang dipakai cukup memberikan pemosisian masyarakat adat ke dalam posisi “pelaku” atau perambah hutan. 10 Mia Siscawati dalam jurnal Wacana dengan judul tulisan “Masyarakat Adat dan Sistem-sistem Penguasaan dan Pengelolaan Hutan 2014. 32 Sistem tata guna dan penguasaan tanah oleh masyarakat adat berubah secara drastis akibat praktik kebijakan pemerintah yang terkait dengan penguasaan hutan atau lahan, sejak masa kolonial dahulu. Penguasaan negara terhadap hutan berlangsung hingga saat ini melalui teritorialisasi hutan. Teritorialisasi dipahami sebagai “proses yang dibuat oleh negara untuk mengontrol orang dan aktivitasnya dengan cara membuat garis di sekeliling ruang geografis, menghalangi orang- orang tertentu untuk masuk ke ruang tersebut, dan mengizinkan atau melarang aktivitas di dalam batas-batas ruang tersebut Vandergeest dalam Siscawati, 2014:7. Sementara itu, teritorialisasi penguasaan hutan merupakan cara ketika kekuasaan negara atas wilayah hutan berlaku dalam batas-batas wilayah yang ditetapkan secara politis oleh negara; kekuasaan negara atas wilayah hutan berlaku untuk mengendalikan orang-orang menggunakan sumber daya di dalam batas-batas wilayah hutan tersebut. 11 Dengan kata lain, hutan yang awalnya dimiliki secara dominan oleh masyarakat, kini mulai dikendalikan oleh negara. Penciptaan teritorialisasi pun dilakukan guna membatasi atau memberikan “sekat” pembatas yang berfungsi politis. Hal inilah yang memudahkan negara mengorganisir dan memanfaatkan lahan sesuai dengan kepentingan negara. Masuknya negara dalam hubungannya dengan tanah adat masyarakat akan selalu melibatkan hubungan ekonomi di dalamnya. Karena wacana ekonomi inilah, lahan yang ada mau tidak mau akan dinaikkan nilai ekonominya. Adanya paradigma ini, mendorong negara untuk melakukan pendudukan terhadap beberapa hutan yang ada di Nusantara, secara khusus kawasan Pulau Sumatera. Dalam tataran lebih luas, disengaja atau tidak, kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang terfokus ada pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan di luar Jawa faktanya telah mendorong terjadinya transformasi struktural perekonomian Indonesia, sekaligus menjadi sumber kemewahan bagi aktor-aktor 11 ibid