64
Batak kini mulai mengalami pergeseran menjadi gerakan perlawanan yang berdasar pada lingkungan. Isu etnisitas akhirnya turut berkembang menjadi isu
lingkungan. Ketika Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi
presiden dan wakil pada Sidang Umum MPR 1999 dan diambil sumpahnya 20 Oktober 1999. Masyarakat Porsea sekitarnya menunjukkan suka cita. Kedua figur
ini dianggap mewakili kekuatan reformis dan memiliki latar belakang sebagai tokoh yang dekat dan berpihak pada masyarakat kecil. Ada harapan besar,
perjuangan mereka menutup Indorayon akan membuahkan hasil: penutupan Indorayon
secara permanen.
Kegembiraan itu
diwujudkan dengan
menyelenggarakan “Pesta Rakyat” selama dua hari, 11-12 Desember 1999, di Kota Porsea, yang dihadiri sekitar 5.000 orang, untuk merayakan dan syukuran
atas terpilihnya presiden dan wakil baru ini, sekaligus merayakan ditutupnya Indorayon sementara 19 maret 1999 lalu. Selain diisi dengan orasi-orasi
menuntut ditutupnya indorayon secara permanen, mereka juga mengadakan acara makan bersama dengan memotong beberapa ekor kerbau, yang keseluruhan biaya
pesta dipungut secara sukarela dari warga desa-desa. Kegembiraan itu semakin memuncak karena Menteri Lingkungan Hidup
baru Kabinet Gus Dur-Mega, Dr. Sonny Keraf, yang kebetulan pada saat itu memilikib agenda kunjungan kerja ke Sumatra Utara Kompas, 13 Desember
1999, menyatakan kesediaan hadir pada puncak acara Pesta Rakyat, 12 Desember 1999. Menurut Effendi Panjaitan, Direktur Walhi Sumut ketika itu, Sonny
memang sengaja diundang untuk menghadiri Pesta Rakyat, dengan bantuan dan lobi Nico Simanjuntak dan Eliakim Sitorus, teman lama Sonny. Lalu, ia
menyatakan kesediaan hadir dengan catatan adanya jaminan keamanan dan tidak dipaksa untuk menandatangani surat penutupan Indorayon.
46
Rekomendasi Meneg LH ini mendapat tantangan dari rekannya sendiri di kabinet. Meneg Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi
46
Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 243
65
menilai, langkah Sonny itu bisa merusak iklim investasi. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla saat itu mengatakan jika penutupan pabrik harus
melalui proses hukum Forum Keadilan, Edisi 43, 6 Februari 2000. Jusuf Kalla juga menyatakan, penutupan pabrik ini juga akan berakibat buruk pada
kepercayaan pihak investor asing yang sudah mulai membaik. Menurutnya, selain nilai investasi yang besar, Indorayon juga menyerap sekitar 7.000 tenaga kerja dan
menyumbang devisa ekspor sekitar US100 juta per tahun. Oleh karena itu, penutupan Indorayon merupakan langkah yang tidak tepat Kompas, 24
November 1999 dalam Manalu, 2009: 244-245 Tidak hanya lembaga level negara yang bernegosiasi dan dan meneruskan
legitimasi jaringan kekuasaan di Tanah Batak, dalam level pemerintahan pusat pun melakukan hal yang sama. Kehadiran Jusuf Kalla sebagai Menteri
Perindustrian dan Perdagangan turut memberikan “kepastian” bagi reoperasional PT.IIU. Dengan dalil ekonomi dan penyehatan kembali iklim investasi, hasilnya
adalah pembentukan wacana jika reoperasional PT. IIU merupakan sau kewajaran. Di sisi lain, peran Jusuf Kalla dalam wacana ini, dapat dibaca kembali jika
perlawanan etnisitas yang telah dimulai sejak dekade 1980‟ an tidak memiliki posisi tawar di tengah kekuasaan negara. Identitas etnis Batak yang tersubordinasi
jelas terlihat dalam hal ini. Kembali ke soal kebijakan era Gus Dur-Mega. Kontroversi ditutup
tidaknya perusahaan ini akhirnya berakhir dengan pengumuman Sidang Kabinet yang dipimpin Wapres Megawati, 10 Mei 2000. Sidang kabinet yang tidak
dihadiri Gus Dur karena disebut-sebut sedang berada di Thailand akhirnya memutuskan menghentikan kegiatan usaha rayon, namun tetap melanjutkan usaha
bubur kertas pulp, tanpa audit. Pemerintahan menganggap keputusan ini sebagai jalan keluar yang menguntungkan win-win solution bagi masyarakat dan
Indorayon.
47
47
Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 247
66
Di lapangan, keputusan ini memicu kembali reaksi masyarakat Porsea untuk kembali turun ke jalan, melakukan perlawanan, penghadangan, dan kembali
ke dalam siklus kekerasan yang selama ini dilalui. Masyarakat langsung melakukan blockade dan penghadangan terhadap truk-truk yang melintasi daerah
mereka, mendirikan posko-posko penjagaan di desa-desa, dan penggalangan massa. Setiap kecamatan memiliki pos jaga, seperti di Uluan sebanyak 17 pos,
Porsea 40 pos, Silaen 10 pos, Lumbanjulu 15 pos, dam Balige 2 pos. setiap pos dijaga sekitar 40-50 orang, bahkan di pos inti seperti Siraituruk bisa mencapai 100
orang. Mereka juga menggelar spanduk-spanduk yang intinya menolak reoperasi Indorayon.
48
Pertemuan masyarakat Batak pun dilakukan untuk merapatkan barisan menghadapi keputusan pemerintah dan rencana operasional pabrik. Aksi ini juga
dihadiri ornop-ornop, seperti Walhi, KSPPM, Parbato, YPPDT, LBH Medan, dan Forum Bona Pasogit. Turut memberi semangat beberapa spanduk dukungan
terhadap perjuangan rakyat dari Ephorus HKBP, tiap-tiap ornop. Sehari sebelumnya, Ephorus Pdt. Dr. J.R. Hutauruk, pemimpin tertinggi HKBP,
mengeluarkan pernyataan agar keberadaan Indorayon di Porsea jangan sampai membingungkan rakyat. Menurutnya, lebih arif bila semua pihak mendukung
rakyat karena merekalah yang merasakan secara langsung dampak negatif yang ditimbulkan perusahaan tersebut
49
. Buntut keputusan reoperasi ini kembali memicu situasi yang panas dan
bentrok antara masyarakat dan aparat keamanan di Porsea, yang kemudian menewaskan seorang siswa kelas II Sekolah Teknik Menengah STM, Hermanto
Sitorus Kompas, 22 Juni 2000. Namun setelah Megawati Sukarnoputri menjabat sebagai presiden sejak
Juli 2001, kebijakan pemerintah mengenai Indorayon mengalami perubahan berarti. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kedudukan Menperindag yang
tadinya diduduki Luhut B. Panjaitan digantikan Rini S. Suwandi. Rini yang juga
48
ibid
49
ibid
67
seorang pengusaha dan Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwawea memberikan dukungan penuh terhadap reoperasi Indorayon. Menurut Prof. K.T. Sirait, di balik
dukungan pemerintahan Megawati kepada Indorayon sebenarnya telah berlangsung terlebih dahulu lobi dan kesepakatan antara Sukanto Tanoto pemilik
Indorayon dengan Taufik Kiemas, suami Megawati, yang berlangsung dalam suatu acara di Beijing, Cina. Hal ini diakui K.T. Sirait „dibocorkan‟ seorang
anggota DPR RI putra Tapanuli, yang kebetulan juga hadir dalam pertemuan itu wawancara Prof. Dr. K.T. Sirait, Jakarta, 23 November 2005.
50
Pertemuan-pertemuan dikerucutkan lagi dengan serangkaian pertemuan di Medan. Bulan April 2002, berlangsung dua kali pertemuan di Mapolda Sumatera
Utara dengan manajemen PT. TPL. Rapat pertama dipimpin Wakapolda, sedangkan yang kedua dipimpin langsung oleh Kapolda. Peserta pertemuan terdiri
dari Kadit Bimas Poldasu, Kadit IPP Poldasu, Kapolres Tapanuli Utara, Kapolsek Por
sea, dan yang terakhir diikuti juga oleh Organisasi Kepemudaan “Pemuda Mitra Kamtibmas” Rajamin Sirait, yang juga seorang pengusaha minyak BBM
di Sumatera Utara. Hasil rapat ini berkaitan dengan pengamanan pemasukan BBM dan pengangkutan eks pabrik rayon, dengan terlebih dahulu mengadakan
pendekatan persuasif oleh Kadit Bimas kepada kelompok anti-IndorayonTPL. Disebutkan, pendekatan yang dilakukan Kadit Bimas Polda Sumatera Utara dan
Rajamin Sirait ditolak Musa Gurning dan kawan-kawan. Semua pertemuan ini kemudian dikuatkan dengan Keputusan Sidang
Kabinet 16 Mei 2002 yang menyebutkan pabrik pulp PT Toba pulp Lestari di Porsea, sumatera Utara, disetujui dapat beroperasi kembali Surat Menperindag
kepada Menko Ekuin No. 308MPP52002 tanggal 20 mei 2002. Selanjutnya, rapat koordinasi mengenai PT. TPL dipimpin Menperindag Rini S Soewandi,
diikuti antara lain Gubernur Sumut T. Rizal Nurdin, Kapolda Sumut Irjen Arsyad Mbay, Bupati Tobasa Sahala Tampubolon, dan manajemen PT TPL, di Jakarta. Isi
rapat adalah penyampaian keputusan sidang kabinet dan keputusan pemerintah
50
Dimpos Manalu loc.cit, hlm. 267
68
untuk mengoperasikan kembali PT TPL, membahas laporan kondisi terakhir, dan instruksi penyusunan langkah-langkah reoperasional. Terakhir, 23 Mei 2002, rapat
serupa dipimpin Wakil Dirjen IKAHH Aryan dengan peserta dari Departemen Tenaga Keja, Departemen Kehutanan, Departemen Kesehatan, manajemen PT
TPL, dan diikuti juga oleh Badan Intelijen Negara BIN untuk membahas jadwal reoperasi.
Dengan semua dukungan lini pemerintahan ini, Indorayon pun berhasil dioperasikan kembali secara resmi 6 Februari 2003 setelah melewati sebuah
proses yang cukup tragis, yakni dijebloskannya beberapa tokoh SRB, seperti Musa Gurning, Kristian Sitorus, Makmur Sitorus, Pdt. Miduk Sirait bersama
dengan 18 warga lainnya, akhir November 2002 ke dalam penjara. Pembahasan pada subbab ini memperlihatkan dinamika yang terjadi di
sekeliling persoalan PT.IIU. Persoalan inilah yang ditanggapi oleh manusia Batak dengan upaya perlawanan yang dilakukan untuk memperjuangkann hak adatnya.
Pada perkembangnya, persoalan ini tidak hanya berlaku pada manusia Batak yang ada di Tanah Batak saja, melainkan juga manusia Batak yang ada di perantuan
bahkan atensi dari lembaga-lembaga nasional hingga internasional. Dengan demikian, persoalan PT.IIU ini telah menjadi wacana publik yang pada akhirnya
tidak hanya berkaitan dengan identitas etnis Batak tapi juga wacana lingkungan.
2.5 Rangkuman
Analisis dalam bab ini menunjukkan representasi pergolakan atau masalah yang hidup di tengah-tengah masyarakat Batak Toba. PT.IIU menjadi pondasi
atau pusat permasalahan dalam wacana kebatakan. Tentu saja, persoalan ini memberikan atau berdampak pada identitas etnis Batak yang ada. Ini jelas
memperlihatkan representasi kebatakan yang dikonstruk. Jika dilihat dari konsep identitas Hall, identitas Batak yang terlihat adalah identitas yang dimulai dari
level pertama. Dalam level ini, Identitas Batak Toba dikonstruk sebagai subyek yang memiliki kesamaan sejarah, kesamaan adat, kesamaan persoalan, dan
kesamaan tanggung jawab. Lalu, persamaan inilah yang melahirkan satu
69
perlawanan secara komunal terhadap kekuasaan yang bermetamorfosis dalam bentuk perusahaan bubur kertas. Identitas Batak yang dihadirkan di sini adalah
identitas Batak Toba yang masih mempertahankan dan menghidupi kosmologi kealaman yang ada di Tano Batak.
Kosmologi ini menghadirkan dua dimensi. Pertama, dimensi batiniah dan dimensi materil. Dimensi batiniah direpresentasikan dengan cara nostalgia dan
tuturan yang diambil dari ompung. Dalam analisis bab ini sendiri, alam yang terdiri dari air, udara, dan tanah dihadirkan sebagai pusat kehidupan masyarakat
Batak Toba. Alam dilihat sebagai sumber kehidupan atau sentra kosmik yang selalu dihormati dan dijaga kelestariannya. Persoalan kehidupan yang terkait
dengan lingkungan biasanya tidak dianggap sebagai masalah besar layaknya persoalan sosial. Secara khusus, korelasi antara masyarakat Batak Toba dan tanah.
Tanah dalam komunitas Batak Toba memiliki makna dan fungsinya sendiri. Identitas Batak Toba yang dihadirkan di sini adalah Batak Toba yang masih
memegang dan memperjuangkan tanah adatnya. Hal ini berbeda jika kerusakan alam disebabkan oleh manusia perusahaan atau dunia industri.
Dimensi kedua adalah dimensi materil. Dimensi ini direpresentasikan dengan mem
osisikan “alam” kebatakan sebagai dasar “ekonomi” komunal. Tentu saja, dalam analisis bab II ini, penulis memfokuskan pada alih fungsi lahan
sebagai objek perusahaan. Alih fungsi inilah yang menjadi persoalan pelik dalam masyarakat Batak Toba. Dalam wacana ini sendiri, representasi Batak Toba yang
dihadirkan adalah Batak Toba yang sangat membutuhkan lahan dan kelestariannya sebagai sumber investasi kehidupan keluarga. Hal ini sangat
terlihat jika menilik perjuangan masyarakat Batak Toba dalam mempertahankan tanah dan hutan adat yang telah diwarisi oleh leluhur.
Selain itu, Identitas Batak Toba yang dibentuk adalah identitas Batak Toba yang mengalami penurunan jumlah pendapatan atau dengan kata lain, sedang
mengalami kesulitan ekonomi. Gagal panen, penyusutan ukuran ikan, dan penurunan kualitas air berimplikasi pada pendapatan ekonomi yang cenderung
menurun. Tentu saja, ini makin mempertegas dan meneruskan “wacana” Toba
70
sebagai peta kemiskinan. Hal inilah yang mengakibatkan perjuangan yang tak berhenti dari masyarakat Batak Toba. Tentu saja, dalam kaitannya dengan hal ini,
PT.IIU mengambil peran yang sangat besar dan berhasil menciptakan “jurang” atau “Gap” yang besar antara masyarakat Batak Toba dengan tanah atau lahannya
sendiri. Dampak alih fungsi lain yang disebabkan oleh PT.IIU juga memberikan
dampak secara sosial. Perubahan dalam menyikapi adat dan hubungan keluarga menjadi dampak sosial yang telihat. Selain sosial, degradasi kualitas lingkungan
di masyarakat Batak Toba menjadi wacana yang akhirnya membawa masyarakat Batak Toba melakukan perlawanan.
Pengelolaan sumber daya alam pada masa lalu memiliki beberapa tunggakan masalah yang harus diselesaikan. Bercermin dari kondisi Sumatera,
tunggakan masalah tersebut di antaranya politik penguasaan ruang yang tidak berkeadilan; kesenjangan pengetahuan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta;
lemahnya kelembagaan penataan ruang; serta bencana alam yang selalu berulang sebagai akibat dari pemanfaatan ruang yang tidak terencana Raflis, 2011: 126.
51
Perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba baik secara personal, komunal, dan kelembagaan menjadi respon yang hingga saat ini masih
terus berlangsung. Pembahasan yang terkait dengan perlawanan masyarakat Batak Toba telah merepresentasikan semangat kolektivitas etnis Batak di dalamnya. Hal
inilah yang menstimulan perlawanan berbasis kelompok atau komunitas. Kelompok di sini pun terbentuk dengan basis kesamaan etnis, kesamaan adat,
kesamaan kosmologi kealamannya, dan kesamaan nasib berhadapan dengan PT.IIU.
Dalam perlawanan inilah, etnisitas Batak atau komodifikasi kesamaan kode budaya menjadi spirit dasar perlawanan masyarakat Batak secara komunal.
Konstruksi identitas etnis batak yang mengutamakan kolektivitas jelas sedang
51
Raflis dengan tulisannya yang berjudul “Menyerahkan Hutan ke Pangkuan Modal”. Dalam jurnal Wacana
2011.
71
dibangun di sini khususnya yang terkait dengan wacana PT.IIU. Perlawanan yang dirujuk pun seringkali merujuk dan menunjuk pada identitas Batak yang didasari
pada hubungan kosmik dengan tanahnya. Oleh karena itu, dengan melihat dampak-dampak yang dihasilkan oleh PT.IIU dan perlawanan-perlawanan yang
terjadi sebagai responnya, dapat dikatakan wacana industri menjadi ancaman terhadap adat dan identitas Batak Toba.
Hal terakhir adalah, identitas Batak Toba menjadi entitas yang dikonstruk sebagai “objek” dari penguasa atau negara. Hal ini ditandai dengan reoperasional
dan keputusan pengadilan yang cenderung memihak pada perusahaan dan negara. Hasilnya adalah, identitas Batak yang terbangun adalah Batak yang senantiasa
konsisten “terkurung” dalam wacana “peta kemiskinan”. Selain itu, identitas Batak yang muncul adalah Batak yang kalah dalam “negosiasi”. Negosiasi yang
gagal meliputi dua hal. Pertama, negosiasi masyarakat Batak yang berlangsung dalam internal masyarakat sendiri. Kesamaan kode budaya, sejarah, dan adat tidak
mampu melindungi perjuangan mempertahankan tanah adat. Hal ini ditandai dengan munculnya pro-kontra dari dalam masyarakat Batak Toba terkait dengan
PT.IIU ini. Hal ini telah diulas pada subbab “Dampak PT.IIU terhadap Kehidupan Masyar
akat Batak” sebelumnya. Kedua, negosiasi dengan negara. Kegagalan negosiasi ini menunjukkan jika masyarakat Batak Toba menjadi inferior di
hadapan negara dan menjadi “objek” hukum. Kekalahan ini ditandai dengan reoperasional perusahaan yang dilakukan oleh negara dengan dalil ekonomi.
Terakhir, pembahasan pada bab ini diposisikan sebagai kajian konteks persoalan PT.IIU dengan identitas etnis Batak. Hal inilah berhubungan dengan
analisis politik identitas etnis Batak yang ada dalam novel pada bab IV. Pembahasan bab ini menjukkan jika operasional PT.IIU telah menjadi wacana
publik. Masifnya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Batak memperlihatkan jika PT.IIU telah bersentuhan atau “mengganggu” identitas etnis
Batak Toba yang ada.
Bab III
72
Representasi Identitas Etnis Batak Toba dalam Novel “Bulan Lebam di
Tepian Toba ”
Dalam bab ini, penulis akan membahas representasi kebatakan yang ada dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Seperti yang telah tertulis dalam
kerangka teori, penulis memposisikan novel sebagai representasi yang mencoba mengambil bagian dalam politik identitas etnis Batak Toba.
Penulis akan membagi pembahasan bab ini dalam empat subbab. Subab pertama adalah “Representasi Kearifan Lokal”. Dalam subbab ini, penulis akan
memfokuskan pada kearifan lokal Batak Toba yang ada dalam novel. Subbab kedua adalah “Pemahaman terhadap Perubahan Budaya atau Modernitas”. Subbab
ini akan menganalisis representasi beberapa perubahan yang terjadi di Tanah Batak dari sisi budaya maupun industri. Su
bbab ketiga adalah “Representasi Persepsi
Pendidikan”. Subab ini akan membahas representasi pendidikan dalam masyarakat Batak Toba yang terdeskripsikan dalam novel. Subbab keempat
adalah “Representasi Batak yang Stereotyping”. Subbab ini akan membahas imaji stereotipe Batak Toba yang ada dalam novel.
Hall telah membahas jika ada beberapa pendekatan yang bisa dilihat ketika akan menganalisis representasi. Terkait hal inilah penulis menggunakan
pendekatan ketiga yang dibahas oleh Hall, yaitu konstruksionis. Dalam pendekatan ini, representasi dianggap memiliki posisi atau peran dalam
menghadirkan, menciptakan, atau mengkonstruksi identitas. Lalu, menilik pembahasan lanjutannya, Hall sangat terlihat menggunakan konsep Foucault
terkait kekuasaan dalam melacak representasi. Hasilnya, representasi bisa hadir dalam bentuk media, kebijakan, sejarah, ilmu pengetahuan, bahkan teks sastra.
Dalam rangka inilah, penulis menganalisis representasi kebatakan yang dinarasikan dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Dari representasi inilah
penulis akan mencoba mengidentifikasi identitas batak yang terbangun dalam novel
“Bulan Lebam di Tepian Toba”.
73
Teks novel “Bulan Lebam di Tepian Toba” merupakan novel yang dapat
dikatakan cukup pendek atau singkat. Novel ini ditulis oleh pria Batak yang bernama Sihar Ramses Simatupang Selanjutnya disingkat: Sihar. Sihar adalah
seorang penulis yang berkecimpung di dunia sastra, budaya, dan jurnalisme. Sihar aktif dalam diskusi-diskusi terkait kebudayaan dan kesasatraan. Pria yang juga
berprofesi sebagai wartawan budaya pada harian Sinar Harapan ini, telah menghasilkan sejumlah karya sastra, baik berupa antologi puisi, cerpen, maupun
novel. Novel “Bulan Lebam di Tepian Toba” juga mendapatkan nominasi pada Khatulistiwa Literary Award 2009. Sihar mendapatkan gelar Sarjana Sastra di
Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya. Novel yang diterbitkan pada 2009 ini berlatarkan Pulau Samosir. Setting
sosialnya sendiri adalah konteks kehidupan sosial masyarakat Batak di era pasca 1998. Tentu saja, tahun ini dapat dikatakan sebagai era reformasi. Kata reformasi
cukup tepat digunakan selain karena setting sosial yang muncul ada era reformasi, kata ini juga menjadi gambaran proses reformasi yang juga terjadi dalam
masyarakat Batak Toba. Reformasi dan perubahan inilah yang dapat ditafsirkan sebagai spirit dasar narasi novel ini. Sekali lagi, reformasi di sini tentu saja bukan
mengarah pada ranah politik, lebih pada penggambaran tentang kehidupan masyarakat Batak yang juga ter-re-formasi di Pulau Samosir.
Novel ini menceritakan tentang kisah seorang anak Batak Toba yang menemui perubahan kehidupan sosial Batak Toba. Novel ini mengangkat isu
tanah adat sebagai akar atau dasar pengembangan alur cerita. Tokoh Sentra dalam novel ini adalah tokoh Hamonangan Monang, seorang Batak Toba terpelajar
yang memiliki pemahaman baru terkait dunia politik dan dunia sosial. Ini dapat terjadi karena karir pendidikan dan keorganisasian Monang yang berkembang di
tanah perantauan, Pulau Jawa. Cerita di novel ini dimulai dari kegelisahan tokoh Datu tentang perubahan
yang terjadi dalam masyarakat Batak. Kegemaran akan judi, alkohol, dan tindak kekerasan yang terjadi menjadi hal utama yang menjadi atensi tokoh Datu. Tokoh