Representasi Kearifan Lokal Wacana Publik Tentang Indorayon

82 telah menjadi tanah. Tubuh itu telah menyatu bersama pusara. Di bawah sebuah pohon Kamboja, diapit pohon jambu dan pohon nangka. Lalu Ibu Monang berbicara dengan nisan Ganda seolah masih hidup. Tak ketinggalan sang Ibu pun mangandungi. Monang yang ada di sampingnya tak tahu harus menjawab apa. Jasad abangnya pasti telah membusuk namun roh dan jiwa serasa berada di hadapan mereka Simatupang, 2009: 92. Dari catatan pada paragraf di atas menjelaskan kepercayaan masyarakat Batak Toba perihal pasca kematian manusia. Berbicara dengan nisan, kepercayaan roh yang selalu akan hidup, dan mengandungi menjadi penanda identitas etnis Batak Toba. Kematian sendiri merupakan satu fase yang dianggap sebagai elemen penting dalam budaya masyarakat Batak Toba. Kematian menjadi momen penting selain dua momen lain yang memiliki posisi sentral dalam budaya Batak Toba, yaitu kelahiran dan pernikahan. Kutipan 7 – 9 merupakan cara Sihar menjelaskan kepada pembaca yang tidak beretnis Batak tentang identifikasi adat-adat manusia Batak. Hal ini dapat dibaca sebagai konstruksi identitas etnis Batak Toba yang dikonstruk Sihar denga kode-kode budaya yang berasal dari tradisi Batak sebelumnya. Sihar dapat dilihat sedang mengkonstruksi identitas etnis batak yang akan selalu memerhatikan penanda-penanda ini. Selain terkait dengan alam, mata pencaharian, produk budaya, dan konsep kematian, kearifan lokal Batak Toba yang terepresentasi dalam novel ini juga menyentuh aspek kepemimpinan dalam masyarakat Batak Toba. Pada awal bagian, novel ini mendeskripsikan tokoh Datu Sapalutua sebagai pemimpin yang diakui secara tradisi dalam kehidupan masyarakat Toba. Datu Sapalatua menjadi tokoh yang dianggap sebagai pemimpin politik maupun secara religius. Salah satu yang terepresentasikan terkait Datu ini tampak pada kutipan berikut ini : 10 “Petuahnya tetap dianggap berguna. Sekalipun wajah dan tubuh itu kini hitam, tangannya diyakini beda dengan tangan orang sekampung. Tangannya tak pernah dipakai membajak dan mencangkul. Walau tak kekar, tak seorang pun berani mengejek ketika tangan itu menyalami orang-orang se-huta. Tangannya diyakini punya daya gaib. Mereka membicarakannya. Merek a meyakininya… seyakin mantera yang ratusan tahun mengalir dari bibir-bibir moyangnya. Ratusan tahun, 83 moyangnya juga telah mengerakkan bajak, memindahkan gunung dan mata air. Menahan hujan untuk upacara adat. Demikian yang tersiar dan terkabar dalam dongeng sampai sekarang Simatupang, 2009: 96. Kutipan 10 kembali menunjukkan representasi kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba. Salah satu yang harus dilihat adalah konsep kepemimpinan manusia Batak. Sejak dulu, dalam masyarakat Batak, Datu merupakan tokoh yang memiliki posisi yang cukup tinggi dan meliputi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Batak Toba, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, dan adat. Untuk itulah, kedigdayaan para datu menjadi simbol hubungan atau posisi datu dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini masih dapat dilihat pada kutipan 11 di bawah ini. 11 “Kata orang, dulu tangannya khusus untuk doa, penolak bala. Penggiring keselamatan. Dahulu, dari moyangnya, mantera aksara Batak tercipta. Aksara yang dilupakan orang. Padahal, di masa silam, orang kampung meminta guratan aksara Batak dari tangan si datu. Ada yang untuk pembungkus pusar bayi, pembungkus senjata leluhur, pengikat pita di botol berisi air yang diambil moyang si datu Sapalatua dari telaga keramat di bawah bukit sebelah utara Simatupang, 2009: 98. Tokoh Datu dalam kutipan 10 dan 11 merupakan tokoh yang sangat berperan dan berposisi penting dalam masyarakat Batak Toba. Datu berdiri sebagai tokoh spiritual yang dikeramatkan akan petuah dan nasihatnya. Representasi Batak Toba yang hadir adalah Batak Toba yang sangat menghargai tetua yang dipercaya memiliki kemampuan magis dan terlibat dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Batak Toba. Di poin inilah kepatuhan masyarakat Batak Toba direpresentasikan sebagai masyarakat yang menghargai dan meneruskan tradisi yang telah ada. Dalam perkembangan zaman dan arus perubahan, masyarakat Batak Toba pun mengalami perubahan paradigma terkait Datu. Datu yang memiliki posisi sentral dan sakral, mulai mengalami reposisi. Novel ini memberikan representasi perubahan posisi datu dalam masyarakat Batak. 12 Tetapi si Datu terkini, Datu Sapalatua, bukan dukun. Tidak seperti moyangnya. Tak ada lagi mantra yang diperlihatkan. Tapi, orang-orang 84 masih menghormati. Kata-katanya tetap didengar. Lelaki tua ini mirip cendekia ketimbang dukun. Walau tanpa buku, perpustakaan dan gelar sarjana. Simatupang, 2009: 5 Kutipan 12 ini mendeskripsikan posisi datu yang dianggap tidak semagis dan tidak sedigdaya moyang datu. Posisi Datu dalam masyarakat Batak Toba mulai berganti sebagai sosok yang masih dihormati tapi dipercaya tidak memiliki efek magis lagi. Datu yang awalnya diposisikan dalam ranah yang sakral, sekarang ditempatkan dalam ranah cendekia, intelektualitas saja Pergeseran posisi datu sebagai pemimpin adat, pemimpin religius dalam masyarakat Batak juga diimbangi dengan mulai sedikitnya jumlah pemimpin atau kepemimpinan. Hal ini sekaligus merepresentasikan krisis kepemimpinan yang sedang dialami oleh masyarakat Batak Toba. Sewaktu pengenalan tokoh Datu Sapalatua, novel ini mendeskripsikan kebutuhan seorang pemimpin di Tano Batak . “Barangkali Datu merasa bahwa dia ikut memikul tanggung jawab. Bila mulanya dia keberatan dan melakukan dengan setengah hati, kini dia yakin; sebuah huta, sebuah komunitas, di belahan negeri mana pun; tetap menghendaki pemimpin. Di huta ini, cuma dia yang dipanggil datu. Dia warisan adat, orang yang juga dihormati di beberapa huta di kecamatan ini Simatupang, 2009: 5. Krisis kepemimpinan yang direpresentasikan dalam novel ini sebenarnya cukup menarik dianalisis lebih lanjut. Krisis kepemimpinan jika ditilik pada pembahasan bab 2, memang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat Toba. Hal ini secara khusus terkait dengan keterlibatan dan keberpihakan pemimpin di daerah-daerah kepada perusahaan Indorayon. Kalimat “Cuma dia yang dipanggil datu” penulis tafsirkan sebagai krisis kepemimpinan. Frasa “Cuma dia” merepresentasikan jika posisi sentral yang bisa mengubah atau menggerakkan masyarakat di huta, hanyalah tinggal ia seorang. Subbab representasi kearifan lokal di atas menunjukkan jika novel ini mendeskripsikan kearifan lokal yang ada dan kebiasaan atau kepercayaan masyarakat Batak Toba terhadap hal-hal tersebut. Hal ini berlaku hingga pada posisi kepemimpinan yang ada. Keseluruhan ini dapat dikatakan sebagai 85 representasi identitas etnis Batak Toba yang masih mempertahankan tradisi yang ada. Identitas etnis Batak Toba hadir dalam representasi kepatuhan dan kepercayaan yang masih saja terus dipegang dan dipatuhi. Berbicara terkait dengan identitas etnis Batak, maka hal-hal yang terepresentasikan dalam sub judul ini akan muncul, karena kode-kode budaya inilah yang membangun atau mengidentifikasinya. Penanda-penanda budaya dihadirkan Sihar sebagai upaya memperlihatkan tradisi sebagai entitas yang ada dalam identitas etnis Batak. Penanda-penanda ini bisa dilihat sebagai “satu ruang” yang secara sadar dihadirkan sebagai hasil dan penanda Batak pada masa lampau. Tentu saja, hal ini berlangsung hingga saat ini. Identitas etnis Batak tetap mengingat dan menjalankan tradisinya. Setidaknya hal inilah yang dikonstruksi oleh Sihar. Keberadaan tokoh datu sendiri memiliki ruang tafsir yang bisa diintepretasi secara mendalam. Keberadaan tokoh Datu dalam masyarakat memiliki peran sentral. Ia memiliki fungsi sakral dan sangat dipercaya masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu, kepatuhan masyarakat Batak terhadap keberadaan dan posisi datu hingga saat ini masih bertahan. Hal ini mengindikasikan jika datu memiliki nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat Batak Toba. Dalam analisis ini terlihat perubahan terhadap posisi datu. Tokoh yang dianggap sakral dan bernilai ini akhirnya tidak mampu mempertahankan posisinya dalam menghadapi modernitas yang ada. Modernitas yang mengutamakan rasionalitas di dalamnya akhirnya menekan posisi datu dalam masyarakat Batak Toba. Modernitas yang membawa corak berpikir yang dianggap lebih beradab dalam novel ini dinarasikan sebagai kekuatan yang mampu menurunkan posisi tokoh yang dianggap sakral dalam masyarakat Batak Toba. Persepsi tokoh datu yang berada dalam pusat adat manusia Batak kini mulai berubah hanya mengisi dimensi intektualitas saja. Tentu saja, di poin ini, novel Bulan Lebam di Tepian Toba memberikan satu posisi terhadap modernitas. 86 Dengan kata lain, Sihar sedang mencoba menghadirkan identitas etnis Batak yang dihadapkan dengan perubahan modernitas. Batak menjadi etnis yang turut merasakan perubahan dan kesulitan dalam menghadapinya. Sihar mencoba menunjukkan jika perubahan ini perlu disikapi karena berimplikasi pada kehidupan manusia Batak. Poin ini terepresentasikan dalam tokoh Datu. Novel ini dengan eksplisit mendeskripsikan perubahan dalam melihat salah satu kearifan lokal masyarakat Batak Toba, yaitu pemimpin dalam satu huta. Posisi sakral yang diemban oleh datu mulai mengalami perubahan tak ubahnya para kaum terpelajar. Dengan kata lain, novel ini menghadirkan representasi jika krisis kepemimpinan yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba akan berimplikasi pada beberapa perubahan. Perubahan inilah yang menjadi pokok bahasan pada sub judul berikutnya.

3.2 Pemahaman terhadap Perubahan Budaya atau Modernitas

Cepatnya arus perubahan yang diakibatkan pertumbuhan industri akan menghasilkan konsekuensi logis, yaitu perubahan. Perubahan yang terjadi pun meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk manusia Batak Toba. Setidaknya, inilah yang terepresentasikan dalam novel ini. Hal ini ditunjukkan dengan cara pengalaman dari tokoh-tokoh cerita dalam novel ini. Perubahan pertama yang penulis analisis adalah tuturan yang disampaikan oleh tokoh Datu Sapalutua. 13 Seorang Tua berteriak lantang “Dunia berubah. Ini peradaban. Tahu kalian yang namanya peradaban? Orang muda pergi dari tanah ini. Mereka telah menikmati kebudayaan lain. Siapa lagi yang akan tinggal di kampung ini? Siapa penjaga adat kita?” wajah lelaki tua itu terlihat segar Simatupang, 2009: 2 Kutipan 13 yang berupa tuturan dan himbauan tokoh Datu Sapalatua perihal perubahan yang terjadi dalam huta. Huta yang dulu ramai dengan pemuda dan menjadi penerus adat Batak, kini mulai tertelan peradaban kebudayaan lain. Tuturan Datu ini setidaknya bisa ditafsirkan sebagai representasi dua hal. Represetasi pertama adalah kegelisahan seorang tetua atau pemimpin huta yang melihat perubahan generasi Batak yang lebih menikmati kebudayaan lain. 87 Kebudayaa lain di sini sebenarnya memiliki varian yang tidak sedikit jumlahnya. Intinya, ada jarak yang muncul antara kebudayaan Batak dan generasi muda Batak itu sendiri. Representasi kedua adalah mulai menghilangnya penjaga adat. Kalimat ini penulis tafsirkan sebagai ketidakberadaan seorang penjaga adat Batak. Absensia penjaga adat dapat ditafsirkan sebagai tertelannya generasi Batak dalam arus perubahan. Apalagi, kalimat tanya yang ada dalam tuturan Datu lebih berposisi sebagai indikator peradaban, yaitu menghilangnya generasi penerus adat dan sikap mereka yang lebih menikmati budaya orang lain sebagai indikator modernitas. Kutipan 13 sekaligus merepresentasikan jika identitas etnis Batak Toba cenderung dilekatkan dengan adat dan kebudayaan. Orang Batak Toba “diwajibkan” untuk menjadi penjaga adatnya masing-masing. Ironisnya inilah yang tidak berjalan dalam tataran kehidupan riil orang Batak Toba. Setidaknya, hal ini yang terpresentasikan dalam novel ini. Peradaban yang dijelaskan dalam kutipan di atas pun akhirnya ditempatkan sebagai dominasi kekalahan budaya Batak sendiri di hadapan modernitas dan kebudayaan lain. Dengan kata lain peradaban dilihat dalam nada yang “ironis”. Hal lain yang dapat dilihat juga adalah keberadaan tokoh Datu. Tokoh datu adalah sosok yang dituakan atau dianggap memiliki kepemimpinan baik aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun regiusitas. Novel ini menjadi menarik karena melibatkan tokoh yang sebenarnya eksistensinya bersifat tradisional. Hadirnya tokoh Datu di sini penulis tafsir sebagai upaya novel ini dalam merelasikan konteks Batak dahulu dengan Batak yang sekarang. Tokoh Datu menjadi satu ruang yang di dalam novel ini yang mendapatkan “peran” sebagai penjaga adat dan pengingat nilai-nilai Batak pada konteks masyarakat Batak Toba yang dahulu. Selain itu, penulis menafsirkan jika tokoh datu sedang mengkritik “peradaban” itu sendiri. Dengan nada yang cenderung “sumbang” perubahan yang akhirnya menelan manusia dan kebudayaan Batak sebagai korban inilah yang 88 dibaca sebagai peradaban. Dengan kata lain, tokoh Datu menganggap peradaban sebagai sesuatu yang ironis karena melihat ketimpangan relasi di dalamnya. Sumbangnya peradaban juga dilihat Datu sebagai stimulan hilangnya penjaga adat Batak. Peradaban inilah yang dikritik Sihar dalam tokoh Datu. Perubahan yang dituturkan oleh tokoh Datu sekali lagi merepresentasikan keadaan dan perubahan yang terjadi di tano Batak. Hal ini pula yang terjadi dalam diri Datu sendiri. Datu Sapalatua dinarasikan dalam novel sebagai “korban” perubahan itu sendiri. Oleh karena itu, tuturan datu dapat ditafsir sebagai upaya representasi pesimisme sekaligus kritik dari tokoh adat Batak Toba. Hal ini menandakan jika perubahan itu dialami dan dirasakan oleh seluruh manusia Batak Toba. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini : 14 “Orang-orang tahu, zaman kelak menggempur dan melenyapkan wibawa dan mantera sang datu. Suatu saat, hal itu akan terjadi. Kini, dia tabah dalam kesendirian, bukan bertapa di lereng bukit tetapi mendekam di rumah Gorga yang telah dibangun bapaknya – dahulu mungkin nenek moyangnya tinggal di gua-gua, namun lambat laun manusia modern merusak gua tempat persemayaman – sehingga pertapaan para datu pun punah.Simatupang, 2009: 4 Kutipan 14 merupakan representasi merendahnya posisi datu. Seperti yang telah dibahas pada kutipan sebelumnya, tokoh Datu menjadi simbol perwakilan dari masyarakat Batak Toba pada masa lampau. Kutipan 14 juga merepresentasikan dua entitas yang saling “beradu”. Entitas tradisi berhadapan dengan entitas modernitas. Dengan kata lain ada diferensiasi di sini. Kutipan ini dengan sangat eksplisit merepresentasikan “banalitas” modern yang merusak entitas tradisi Batak Toba. Perubahan sikap hidup dan cara berpikir masyarakat Batak Toba menjadi dasar menguatnya modernitas sehingga eksistensi tokoh Datu pun menjadi terancam dan berakhir dengan punah. Di sinilah kritik yang disampaikan oleh tokoh Datu. dengan kata lain, Sihar mengkritik hal ini dalam politik identitas etnis Batak yang diupayakannya. Hall mengatakan, “Identites … constituted within, nor outside representation … They arise from the narrativization of the self, but the necessary fictional nature of this process in no way undermines its discursive, material or 89 political effectivity Hall, 1996: 4. Identitas dapat dilihat dari dalam representasi itu sendiri. Identitas yang dimaksudkan pada kutipan 14 adalah identitas yang penuh dengan „nada pesimis”. Pesimisme ini sendiri dalam narasi novel dihadirkan melalui pengkarakteran tokoh Datu, seseorang yang memiliki posisi tinggi dalam adat Batak. Diksi yang digunakan dalam novel ini pun menarik untuk dicermati dalam merepresentasi eksistensi datu . Klausa “Kini ia tabah dalam kesendirian” memperlihatkan diksi „tabah‟ dan diapit dengan kesendirian memberikan “nada” kusam terkait eksistensi datu . Kata „tabah” penulis tafsirkan sebagai sikap yang cenderung „kalah” atau „menyerah‟ dan mencoba menyikapi perubahan yang ada. Intinya, diksi „tabah‟ menjadi simbol kekalahan eksistensi datu di hadapan modernitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Oleh karenanya, hal ini termasuk bagian dari peradaban, peradaban yang dianggap “suram” dan dikritik oleh tokoh Datu. Jika pada kutipan sebelumnya, perubahan yang dialami merupakan efek dari perubahan peradaban, maka novel ini juga mendeskripsikan efek dari industri. Wacana industri dinarasikan dalam novel ini melalui sudut pandang tokoh Monang. Tokoh ini sendiri merupakan satu-satunya tokoh yang dinarasikan berlatar belakang pendidikan formal yang tinggi dan pernah me ngecap “bangku pendidikan” di Tanah Jawa. Beberapa perubahan dalam masyarakat Batak Toba direpresentasikan oleh Tokoh Monang. Untuk lebih jelas, hal ini bisa dilihat pada kutipan berikut ini : 15 Huta-huta yang dipimpin oleh kepala kampung adalah skala cukup kecil yang digurat orang “modern” lewat peradaban industri dunia. Aroma cengkih dan kopi tergarang matahari menyengat hidung Simatupang, 2009: 44 Kutipan 15 merepresentasikan salah satu perubahan dalam masyarakat Batak Toba yang terjadi akibat persentuhan dengan modernitas. Kutipan 15 sendiri merupakan narasi pengantar sewaktu Tokoh Monang kembali dari tanah perantauan. Tokoh ini mulai melihat hal yang berbeda sewaktu kembali ke tanah kelahirannya. Dalam narasi ini, Monang menjadi salah satu tokoh yang berperan 90 sebagai “mata” yang melihat perubahan yang terjadi dalam masyarakat Toba. Hal ini dikhususkan dalam narasi ketika tokoh Monang pulang ke Tano Batak. Kutipan 15 menjadi pengantar dari tokoh Monang untuk melihat perubahan yang terjadi akibat persinggungan dengan wacana industri. Jika ditilik dari kutipan di atas, perubahan yang signifikan sepertinya tidak terlihat. Akan tetapi, sentuhan masyarakat Batak Toba dengan wacana industri dapat dilihat dari produk yang diindustrikan. Kalimat „Aroma cengkih dan kopi tergarang matahari menyengat hidung menjadi ‟. Kalimat yang hanya terkesan penjelasan terkait latar saja, ternyata dimaksudkan untuk menjelaskan salah satu hasil bumi yang digunakan dalam dunia industri, yaitu cengkeh dan kopi. Kedua hasil bumi ini merupakan hasil perkebunan yang menjadi salah satu komoditi ekonomi di Tano Batak. Hal inilah yang menjadi salah satu hal yang direpresentasikan dalam kutipan 15. Kutipan 15 pun bisa diterjemahkan jika identitas etnis Batak sebagai manusia cenderung bermata pencaharian di sawah dan perkebunan. Hal inilah yang direpresentasikan dalam novel ini dalam rangka memperlihatkan perubahan dan sentralitas hasil bumi di Tano Batak. Dimensi pertanian dan perkebunan menjadi identitas etnis yang disematkan dalam representasi ini. Selain representasi tersebut ada frasa menarik yang dapat dibahas dalam kutipan 15, yaitu “peradaban industri dunia”. Frasa peradaban yang cenderung dinilai negatif oleh tokoh Datu juga disebutkan kembali oleh tokoh Monang. Peradaban ini ditambahkan oleh Monang sebagai peradaban yang bercorak industri. Dengan kata lain, wacana industri merupakan dasar dari peradaban yang terjadi di Tanah Batak. Tidak saja meletakkan wacana industri di dalamnya, Monang juga melihat wajah kampung yang “digurat” oleh wacana industri yang ada, yaitu pabrik-pabrik. Pertanyaan selanjutnya adalah “apa yang dimaksud dengan industri dunia?” Tentu jika ini diletakkan dalam konteks tokoh Monang yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tinggi, maka frasa industri dunia cenderung 91 mengarah pada globalisasi. Industri dunia mengacu pada kebutuhan dunia terhadap suatu hal untuk pengembangan ekonomi perusahaan atau suatu negara. Dalam hal ini, penulis menafsirkan jika ini terkait dengan PT.IIU yang juga mengekspor pulp dan rayonnya ke pasar dunia. Inilah yang disebut dengan “peradaban”. Masih dalam perjalanan pulang kampung tokoh Monang, kutipan 16 masih merepresentasikan perubahan yang terjadi di Tanah Toba. 16 Dia hanya mengukur wajah tanah huta ini, yang jalan sempitnya mulai berhias mobil-mobil berplat Jakarta, Pekanbaru, Palembang, atau Medan, juga kedatangan orang asing yang mampir dengan decak kagum atau senyum kebahagiaan karena pesona eksotik Batak. Jalan yang telah beraspal dan rumah beratap asbes. Simatupang, 2009: 45 Pada kutipan 16 secara eksplisit mendeskripsikan perubahan yang terjadi di kampung Monang. Modernitas yang terjadi berdampak pada perubahan yang cukup signifikan pada kampung Monang. Ini masih dalam konteks narasi kepulangan tokoh Monang ke tanah Batak. Kutipan 16 merepresentasikan perubahan yang terjadi, yaitu penetrasi dunia industri pariwisata di dalamnya. Selain wacana pariwisata, tentu saja, mobil-mobil berplat daerah lain menjadi representasi Tano Batak seba gai „jalur‟ dan produsen hasil bumi. Perubahan juga terjadi pada infrastruktur dan bangunan-bangunan di Tano Batak, yaitu jalan aspal dan atap asbes. Dua kutipan di atas sebenarnya hanya ingin menunjukkan perubahan dalam masyarakat Batak Toba dari dimensi infrastruktur dan perekonomian. Melalui tokoh Monang, novel ini menunjukkan ada perubahan yang mengakibatkan Tanah Toba tidak lagi sama dengan sebelum tokoh Monang merantau. Dengan kata lain perubahan yang terjadi hanya mampu mengubah tataran fisik dari kampung Monang saja, atap rumah, jalan raya, dan mobil-mobil lalu-lalang saja. Hal ini menandakan ada perubahan infrastruktur yang cenderung mengarah pada ekonomi. Hal lain yang perlu dilihat dari kutipan di atas adalah klausa “juga kedatangan orang asing yang mampir dengan decak kagum atau senyum