Pemahaman terhadap Perubahan Budaya atau Modernitas

91 mengarah pada globalisasi. Industri dunia mengacu pada kebutuhan dunia terhadap suatu hal untuk pengembangan ekonomi perusahaan atau suatu negara. Dalam hal ini, penulis menafsirkan jika ini terkait dengan PT.IIU yang juga mengekspor pulp dan rayonnya ke pasar dunia. Inilah yang disebut dengan “peradaban”. Masih dalam perjalanan pulang kampung tokoh Monang, kutipan 16 masih merepresentasikan perubahan yang terjadi di Tanah Toba. 16 Dia hanya mengukur wajah tanah huta ini, yang jalan sempitnya mulai berhias mobil-mobil berplat Jakarta, Pekanbaru, Palembang, atau Medan, juga kedatangan orang asing yang mampir dengan decak kagum atau senyum kebahagiaan karena pesona eksotik Batak. Jalan yang telah beraspal dan rumah beratap asbes. Simatupang, 2009: 45 Pada kutipan 16 secara eksplisit mendeskripsikan perubahan yang terjadi di kampung Monang. Modernitas yang terjadi berdampak pada perubahan yang cukup signifikan pada kampung Monang. Ini masih dalam konteks narasi kepulangan tokoh Monang ke tanah Batak. Kutipan 16 merepresentasikan perubahan yang terjadi, yaitu penetrasi dunia industri pariwisata di dalamnya. Selain wacana pariwisata, tentu saja, mobil-mobil berplat daerah lain menjadi representasi Tano Batak seba gai „jalur‟ dan produsen hasil bumi. Perubahan juga terjadi pada infrastruktur dan bangunan-bangunan di Tano Batak, yaitu jalan aspal dan atap asbes. Dua kutipan di atas sebenarnya hanya ingin menunjukkan perubahan dalam masyarakat Batak Toba dari dimensi infrastruktur dan perekonomian. Melalui tokoh Monang, novel ini menunjukkan ada perubahan yang mengakibatkan Tanah Toba tidak lagi sama dengan sebelum tokoh Monang merantau. Dengan kata lain perubahan yang terjadi hanya mampu mengubah tataran fisik dari kampung Monang saja, atap rumah, jalan raya, dan mobil-mobil lalu-lalang saja. Hal ini menandakan ada perubahan infrastruktur yang cenderung mengarah pada ekonomi. Hal lain yang perlu dilihat dari kutipan di atas adalah klausa “juga kedatangan orang asing yang mampir dengan decak kagum atau senyum 92 kebahagiaan karena pesona eksotik Batak. ” Klausa ini menjadi menarik karena memperlihatkan relasi dua entitas di dalamnya, yaitu “orang asing” dan “Batak yang eksotik”. Jelas sekali ini merepresentasikan dua entitas yang tidak memiliki posisi tawar yang sama. Batak dihadirkan sebagai objek “kenikmatan” dengan segala “keindahan”nya sehingga dapat dikonsumsi oleh orang asing. Tentu saja, jika dilihat dari konteks kutipan ini, Monang mengkritik fenomena “eksotisme Bata k” yang ditawarkan oleh wacana pariwisata. Frasa eksotisme Batak ini menghadirkan satu reprsentasi jika kedudukan Batak dengan unsur yang ada di dalamnya hanya menjadi objek dari wacana pariwisata dan wacana industri. Hal ini tentu saja sarat dengan “wacana poskolonial” yang sedang dibangun oleh Sihar melalui tokoh Monang. Satu klausa yang sebenarnya bernada ironis karena memperlihatkan posisi orang asing sebagai penikmat objek-objek yang diimajikan dengan pesona-pesona eksostisme belaka, yaitu Batak. Poin inilah yang menjadi kritiknya. Perubahan lainnya juga kembali dihadirkan melalui perubahan jumlah pemuda yang memilih untuk merantau. Inilah yang tampak pada kutipan 17 di bawah ini. 17 Mata mudanya terus digempur pandangan yang menyeret dia pada kenangan alami, atau lebih tepatnya kenangan manusia tradisi yang sekarang dibicarakan oleh orang kota sebagai manusia yang ramah dan tak ganas sebagaimana penduduk modern. Rumah-rumah di kampung telah sepi; anak-anak muda hampir semua merantau. Mereka lenyap ditelan sejarah peradaban kota Simatupang, 2009: 46. Kutipan 17 menjadi representasi keberpihakan generasi muda Batak yang lebih memilih meninggalkan kampung halaman dan merantau. Konteks perantauan yang dihadirkan di sini akan selalu dikomparasikan dengan kehidupan di kota perantauan yang lebih menjamin kehidupan dan lebih “nyaman” untuk dilakukan. Kalimat “Mereka lenyap ditelan sejarah peradaban kota” menjadi penegasan representasi ini. Kalimat ini di sisi lain juga memperlihatkan posisi “manusia batak” yang cenderung kalah dalam berhadapan penduduk modern. 93 Dalam kalimat ini pula tercermin satu kritik yang dibangun dalam novel ini. Pemuda Batak menjadi sesuatu yang cenderung akan meninggalkan kampung halaman dengan bermodal pada imaji sukses yang ditawarkan oleh kota. Identitas Batak tanpa pendirian dan cenderung „latah‟ kota menjadikan situasi kampung yang sepi. Batak adalah identitas yang kalah berhadapan dengan modernitas. Sisi lain yang bisa dilihat dari kutipan 17 adalah diferensiasi yang digunakan oleh Sihar. Difernsiasi ini digunakan dalam mereprsentasikan tradisi berhadapan dengan modern. Di sini Sihar melakukan kritik dengan menyajikan sesuatu yang alami yang ada dalam penduduk lokal tradisi dan budaya luar orang luar; modern. Sihar memperlihatkan keterpesonaan penduduk luar terhadap “kealamiah”an alam dan penduduk Batak Toba. Kritik lainnya yang muncul adalah penduduk modern yang dicitrakan oleh Sihar sebagai penduduk yang ganas tidak sedamai penduduk asli manusia Batak yang ada di kampung tersebut. Dari sini Sihar mengupayakan jika identitas etnis Batak yang alamiah memiliki dimensi yang positif dibanding keganasan penduduk modern. Dengan kata lain, hal inilah yang sedang dikonstruk oleh sihar melalui novel ini. Perubahan dalam masyarakat Batak Toba pun tidak hanya direpresentasikan melalui perubahan fisik kampung dan segala aktivitasnya. Perubahan juga terjadi dalam sikap atau cara pandang manusia Batak Toba. Hal inilah yang menjadi titik fokus bahasan selanjutnya. Perubahan cara pandang yang dideskripsikan secara eksplisit adalah perlakuan tokoh Peak kepada tokoh Torang. Tokoh Peak adalah bapak dari tokoh Hotman yang memenangkan perjudian tanah dengan tokoh Ganda, anak dari Torang. Ketika tokoh Si Peak dalam keadaan mabuk mendatangi Ganda, akan tetapi malah bertemu dengan bapaknya Si Ganda. Dalam pertemuan inilah tergambarkan proses mulai menurunnya posisi seorang amang „bapak‟ karena perubahan atau karena kebiasaan masyarakat Batak. Amang sendiri dalam masyarakat Batak berposisi sebagai pusat keluarga. Hal ini pun erat kaitannya dengan identitas etnis batak yang patriarki. Dengan kata lain, tindakan, sikap, dan cara berpikir Amang tentu menjadi pedoman bagi generasi selanjutnya. Akan tetapi novel ini merepresentasikan perubahan sikap 94 amang yang ada di dalamnya. Hal inilah yang tergambar dalam kutipan berikut ini. Kutipan 18 juga menunjukkan upaya Sihar dalam mengkonstruksi identitas etnis Batak. Melalui tokoh Torangm identitas etnis Batak yang dibangun adalah kritik terhadap perilaku amang-amang „Bapak-Bapak‟ dalam perilaku judi dan penipuan. Hal ini tentu saja tidak mencerminkan identitas etnis Batak. Setidaknya, hal-hal inilah yang dilihat melalui tokoh Torang. 18 “Kami ingin mengambil tanah tiga ribu meter yang menjadi hak kami,” teriak si Peak di depan Torang. “Hak kau bilang? Anak dan Bapak sama-sama aneh, hanya karena judi, si Ganda kalian bikin mabuk sampai tanda tangan penyerahan tanah, kalian mau ungkit-ungkit perjudian itu? Bangsat Kau bapaknya, ikut-ikutan urusan anak muda. Pemabuk Kau Sudah amang- amang masih saja kau kejar hasil perjudian dan penipuanmu” ujar Torang Simatupang, 2009: 48. Kutipan di atas secara narasi merupakan pertikaian antara tokoh Peak dan tokoh Torang. Kedua tokoh ini adalah bapak dari tokoh Hotman dan tokoh Ganda. Representasi perubahan yang muncul dalam kutipan ini adalah posisi “Amang” yang dalam konteks masyarakat Batak merupakan “Raja” rumah atau pemimpin. Dalam kaitannya dengan inilah dibutuhkan satu kepemimpinan dan sikap positif yang akan dinilai dan ditiru oleh anak-anaknya. Sikap tokoh Peak yang menyetujui perjudian yang dilakukan oleh anaknya, tokoh Hotman menjadi satu narasi yang mempertegas perubahan dalam masyarakat Bat ak sendiri. Bapak yang dalam adat Batak merupakan “Raja” dari keluarga berubah dan mengambil sikap menyetujui perpindahan tanah adat melalui judi. Hal inilah yang direpresentasikan oleh novel ini. Jika dilihat dari sudut pandang lainnya, kutipan ini menunjukkan jika novel Bulan Lebam di Tepian Toba mencoba menyajikan satu sikap yang dihasilkan dari kebiasaan lapo yang ada dalam tradisi Batak hingga saat ini. Secara mendetail terkait dengan kebiasaan berjudi dan lapo tuak ini akan dibahas pada subbab selanjutnya. Selain itu, adanya pengaruh yang berimplikasi pada tanah adat memberikan satu wacana jika tanah adat berubah menjadi objek yang ahistoris dan nir-makna. 95 Perubahan lainnya terkait relasi antarmanusia dalam novel ini dideskripsikan dengan perubahan sikap anak Batak dalam memperlakukan orang tua. Hal ini terlihat dalam sikap Hotman ketika berhadapan dengan tokoh Torang, ayah dari Ganda dan Monang. Ketika ia ingin menagih kekalahan Ganda dalam bentuk persetujuan alih nama kepemilikan tanah adat, Hotman menuding- nudingkan tangan nya kepada “Torang” yang merupakan orang yang lebih tua. Hal ini terlihat dalam kutipan di bawah ini : 19 “Tetapi ladang tiga ribu meter itu kini milik kami” tuding Hotman. “Itu tanah margaku, kau tahu” balas Torang, tak kalah kerasnya. Torang merasa dirinya dilecehkan dan tidak dihormati. Dia orang tua, beraninya si Hotman menuding dia dengan telunjuk. Itu tidak sopan Kalau itu jari si Peak, barangkali itu dimaklumi si Torang. Itu kawan segenarasi. Tetapi, kini anak bau kencur segenerasi anaknya berani menunjuk-nunjuk jari ke wajahnya. Simatupang, 2009:28 Kutipan 19 merupakan deskripsi perubahan sosial yang direpresentasikan oleh tokoh Hotman. Perubahan cara menghormati orang yang lebih tua yang dahulu dianggap tabu, menudingkan jari telunjuk kini mulai terjadi. Tentu saja, dalam konteks novel, ini disesuaikan dengan narasi yang memposisikan Tokoh Hotman sebagai pemabuk. Perubahan ini terlihat dari pemikiran Tokoh Torang yang dengan eksplisit mengatakan ketidakhormatan pemuda Batak kepada dirinya. Novel ini dengan cukup baik memberikan beberapa poin perubahan dinamika masyarakat Batak Toba. Salah satunya adalah perubahan penghormatan kepada yang lebih tua. Masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilineal dan marga disusun berdasarkan garis keturunan laki-laki. Sistem marga ini diatur berdasarkan dalihan na tolu. Sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba didasarkan atas senioritas, jabatan, dan sifat keaslian. Senioritas dikaitkan dengan umur atau perkawinan, jabatan dikaitkan dengan jabatan di huta, dan sifat keaslian didasarkan pada yang pertama kali membuka huta Marga raja. Senioritas yang didasarkan pada umur inilah yang direpresentasikan di novel sebagai salah satu ketidakterimaan tokoh Torang atas sikap tokoh Hotman. Aksi „mengacungkan jempol‟ yang dilakukan Hotman menjadi salah satu aksi 96 yang tidak „etis‟ jika menilik adat Batak. Tentu saja, adat dalam artian di sini bukan pada mekanisme atau sistem budaya yang mengatur secara baku terkait perilaku manusia Batak Toba kepada orang yang lebih tua. Hal ini hanya didasarkan pada wilayah atau „ranah‟ etika saja. Dengan kata lain, tokoh Hotman menjadi representasi manusia Batak yang tak lagi melihat ranah etika atau dengan nada sedikit ironis “ranah etika” tidak memiliki daya tawar di hadapan “ranah ekonomi” dalam representasi ini. Perubahan inilah yang dicermati oleh novel ini dengan menunjukkan jika identitas etnis Batak sebelumnya cenderung memiliki etika dalam pergaulan kehidupan mereka. Ini dapat dilihat dari ketidakberterimaan tokoh Torang. Selain itu, representasi yang ada dalam novel ini menunjukkan jika marga sebagai identitas Batak Toba tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang penting. Inilah yang tampak dari sikap tokoh Hotman. Konteks tanah yang disesuaikan dengan huta, menunjukkan jika kepemilikan atau domain kekuasaan atas tanah dalam konteks Batak disesuaikan dengan marga si pemilik. Hal ini tidak bisa diganggu- gugat oleh marga lain Simanjuntak, 2015 53 . Akan tetapi, novel ini mereprsentasikan satu aksi yang menolak dimensi adat atas tanah tersebut. Sikap yang dilakukan tokoh Hotman juga menjadi representasi jika ada perubahan cara pandang terhadap tanah adat. Tanah adat terobjektivasi menjadi satu komidti yang bisa dipindahtangankan secara “mudah”. Sekali lagi, perubahan sikap ini yang menjadi poin utama dalam kutipan di atas. Hal di atas dilanjutkan dengan serangan fisik yang dilakukan oleh Hotman kepada Torang, orang yang seusia dengan bapaknya, si Peak. Dorongan fisik ini sendiri bisa dikatakan penghinaan atau pelecehan kepada marga. Akan tetapi, tidak ada yang melihat kejadian tersebut. Ini berlanjut hingga pemukulan yang dilakukan oleh Hotman kepada Torang Simatupang, 2009: 29. Dari pembahasan yang telah dilakukan, penulis melihat dua hal penting. Pertama, novel ini menggunakan teknik komprasi untuk menunjukkan perubahan 53 Lihat Bungaran A Simanjuntak, Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun 2015 97 yang terjadi. Hal ini terjadi sewaktu merepresentasikan tokoh datu masa lalu dan keadaan datu masa kini; tradisi dan modernitas; sebelum monang merantau dan pasca ia merantau; sikap manusia batak dulu dan sikap manusia batak saat ini. Komparasi atau perbandingan inilah yang menunjukan secara eksplisit jika terjadi perubahan yang cukup besar dalam masyarakat Batak Toba. Hal penting kedua adalah perubahan ini distimulan oleh modernitas. Dalam konteks ini modernitas dihadirkan dalam wujud indutrialisasi. Modernitas yang menghadirkan peradaban telah berhasil membuat beberapa perubahan. Hal ini ternyata berimplikasi pada turunnya posisi tawar kampung halaman di hadapan imaji kota, dan posisi datu di hadapan logika intelektualitas. Modernitas inilah yang mengubah tatanan fisik kampung atau tanah Toba dan cara pandang atau sikap manusia Batak Toba. Hal penting ketiga adalah, representasi perubahan ini dapat sekaligus dibaca sebagai kritik terhadap modernitas. Kritik ini terbangun melalui tokoh datu yang mengkritisi perubahan yang diakibatkan oleh modernitas. Perpindahan atau imaji tentang kota telah tampak merugikan masyarakat Batak Toba karena menghilangnya penjaga adat Batak. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan makin sepinya kampung halaman tokoh Monang tanah Batak.

3.3. Representasi Persepsi Pendidikan

Novel Bulan Lebam di Tepian Toba juga merepresentasikan paradigma masyarakat Batak Toba terhadap pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu hal mendasar yang diperjuangkan oleh masyarakat Batak Toba. Hal ini pun terepresentasikan dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Pendidikan yang sangat penting posisinya dimulai dengan ungkapan Ibu Tokoh Monang ketika menasihati Monang. 20 “Jangan kau patah, anakku. Di mana pun orang tua akan senang anaknya berhasil dalam masa depan. Anakkon ki do hamoraon di ahu ” Simatupang, 2009: 112. Kutipan 20 merupakan dialog antara Ibu Monang dan Monang. Konteks dialog ini adalah ketika Monang pulang kampung dengan kegagalan studi. Ia 98 menjadi objek amarah tokoh Bapak. Untuk itulah, tokoh Ibu menyemangati Monang dengan mengucapkan idiom “Anakkon ki do hamoraon di ahu” „Anakku adalah kekayaan yang ada dalam diriku‟. Idiom ini sangat mendasari semangat hidup orang tua Batak dalam memperjuangkan karir pendidikan anaknya. Pentingnya pendidikan dipadukan dengan idiom anakkon ki do hamoraon di ahu menjadi spirit yang senantiasa mendasari perjuangan orang tua Batak. Sekali lagi, keberhasilan seorang anak dalam masyarakat Batak Toba adalah satu tujuan kehidupan yang harus dicapai. Inilah yang terepresentasikan dalam kutipan di atas. Dalam kutipan ini persepsi tentang masa depan pendidikan anaknya merupakan hal yang diperjuangkan oleh tokoh Ibunya Monang. Dengan memperlihatkan idiom Batak “anakkon ki do hamoraon di ahu” memperlihatkan representasi persepsi pendidikan bagi manusia Batak. Tokoh Monang merepresentasikan kebanggaan masyarakat Batak yang mementingkan pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini: 21 Kuliahnya di jurusan hukum di sebuah universitas negeri Pulau Jawa menjadi percuma. Impian yang kelewat mentereng ketika memberangkatkan putranya di masa silam, telah musnah. Keberuntungan yang pernah mereka rasakan saat mengetahui cuma anaknya yang berhasil meraih perguruan tinggi negeri di huta ini, tiba- tiba lenyap: Monang akan menjadi pengacara – anaknya gagal mengangkat harkat-martabat keluarga Simatupang, 2009: 115. Kutipan 21 di atas kembali merepresentasikan posisi pendidikan dalam keluarga Batak Toba. Konsep hasangapon „kemuliaan atau nama baik‟ yang menjadi salah satu tujuan hidup manusia Batak Toba salah satunya bisa dicapai dengan karir pendidikan. Untuk itulah, jika ada anak seorang Batak yang berhasil dalam pendidikan, maka dapat dipastikan kehormatan marga atau keluarga tersebut turut naik. Hal inilah yang membuat keluarga Monang merasa sangat bangga dan senang ketika Monang berhasil menembus tes pendidikan dan akan dikuliahkan di tanah Jawa. Hal ini dilanjutkan dengan penjelasan perihal harapan tinggi dari orang tua tokoh Monang. Ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini : 99 22 Mimpi bapak dan ibunya Monang tak berbekas dalam irama pergerakan di masa itu. Mimpi orangtua agar anak kelak diwisuda, punya ijazah dan menjadi pengacara kenamaan dari tanah Huta Nauli, sebagaimana keinginan bapak pada diri Monang Simatupang, 2009: 58. Profesi pengacara dan dunia akademik yang berorientasi pada dunia hukum pun menjadi representasi berikutnya. Profesi pengacara atau advokasi dalam kutipan di atas dapat dikatakan sebagai “profesi” yang diimajikan mewakili Batak. Hal ini tidak mengherankan jika menilik media nasional menghadirkan pengacara-pengacara elit di Indonesia yang memang beberapa orang beretnis Batak Toba. Representasi Batak Toba yang terdeskripsikan dalam kutipan 22 dapat dikatakan meneruskan paradigma umum jika beberapa pengacara adalah beretnis Batak Toba. Dalam poin ini, novel Bulan Lebam di Tepian Toba meneruskan paradigma ini. Etnis Batak Toba cenderung akan mengambil disiplin ilmu hukum dan profesi ideal adalah pengacara. Sub judul ini memperlihatkan posisi pendidikan dalam masyarakat Batak Toba. Pendidikan merupakan dasar yang akan diperjuangkan oleh orang tua Batak demi keberhasilan anaknya. Pendidikan menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memeroleh salah satu tujuan hidup manusia Batak, yaitu hasangapon. Ada hal menarik yang bisa dilihat dalam kutipan 22 ini. Selain profesi, kutipan ini menunjukkan indikator pendidikan yang dipersepsikan oleh keluarga atau orangtua Monang. Kutipan ini menunjukkan jika konsep pendidikan yang dibayangkan oleh orangtuanya adalah proses mendapatkan gelar, ijazah, dan bekerja untuk mencari kekayaan ekonomi. Dengan kata lain, pendidikan dicitrakan dengan penanda-penanda formal yang akan membantu manusia Batak dalam kesuksesan ekonominya. Hal ini menjadi menarik untuk dilihat karena konsep pendidikan yang dibayangkan atau diimajikan oleh orangtua Monang diwakili oleh ijazah, gelar, dan pekerjaan. Ini sangatlah bertolak belakang dengan konsep pendidikan yang 100 diperjuangkan oleh sang anak, Monang. Monang dihadirkan oleh Sihar dalam novel ini dengan corak pembaharuan. Tentu saja, hal ini menyentuh aspek pendidikan yang menurut Monang merupakan proses pembentukan pola pikir kritis dalam melihat fenomena atau wacana yang ada di hadapannya. Untuk hal ini, penulis akan lebih menjelaskannya pada sub judul Monang selanjutnya. Subbab ini memperlihatkan posisi pendidikan dalam masyarakat Batak melalui representasi orang tua dan tokoh Monang. Dari pembahasan ini terlihat jika pendidikan bagi masyarakat Batak sangat penting dan langsung terhubung dnegan konsep hasangapon. Dari pembahasan ini pula Sihar menunjukkan jika ada dua konsep pendidikan yang ada dalam masyarakat Batak. Pertama, pendidikan adalah ruang pragmatisme belaka. Kedua, pendidikan adalah proses pembentukan pola pikir dan kekritisan yang “mungkin” akan bisa digunakan dalam berhadapan dengan wacana- wacana yang “menggempurnya”. Konsep ini tidak melihat ijazah sebagai orientasi akhir yang ideal dari pendidikan.

3.4 Representasi Batak yang Stereotyping

Setelah menganalisis terkait persepsi pendidikan yang terepresentasikan dalam novel ini, penulis lalu melanjutkan dengan representasi selanjutnya. Representasi yang cukup dominan terlihat adalah perilaku dari para tokoh-tokoh cerita yang dihadirkan dengan nuansa “muram” atau “negatif. Tentu saja, hal ini dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Akan tetapi, penulis mencoba melihat representasi ini sebagai upaya penulis dalam mengkonstruksikan suatu hal, yaitu perilaku kebatakan. Sudah menjadi wacana umum jika di Indonesia terdapat beragam persepsi, apropriasi, bahkan stereotipe yang menujukkan karakter atau sikap suatu etnis, termasuk Batak. Di sinilah penulis mencoba melihat apakah dalam novel ini terjadi imaji stereotipe dalam novel? Jika ada, apakah hal ini sesuai dengan imaji stereotipe yang tersebar dalam masyarakat umum. Lalu, jika sesuai, tawaran apa yang sedang diupayakan dalam novel ini terkait politik identitas? Pertanyaan- pertanyaan inilah yang menjadi “pemandu” penulis dalam analisis subab ini. 101 Dalam uraian sub bab ini pun, penulis akan membagi sub-judul ini dengan dua bagian. Bagian pertama adalah representasi Streotipe Batak Toba. Bagian kedua adalah representasi Batak yang dihadirkan oleh tokoh Datu dan Monang sebagai paradigma tandingan terhadap imaji stereotipe yang ada.

3.4.1 Stereotipe Batak

Salah satu hal yang diperlukan dalam politik identitas adalah wacana yang direpresentasikan dengan maksud politis. Dalam upaya inilah, wacana yang didasarkan atau diteruskan dengan meletakkan stereotipe di dalamnya. Stereotipe deskripsi hubungan antara golongan etnis dengan kepribadian secara menyeluruh. Suwarsih Warnaen dalam bukunya yang berjudul “Stereotipe Etnis dalam Masyarakat Multietnis ” mengatakan jika stereotipe merupakan pemberian kategori khusus tentang keyakinan yang mengaitkan golongan-golongan etnis dengan atribut-atribut pribadi. Dalam definisi ini, kategori ditunjukkan pada orang yang sering memberikan tanggapan atau respon terhadap gambaran suatu etnis. Misalnya, orang Minangkabau distereotipkan sebagai orang yang ulet, pedagang, dan lebih kasar dibandingkan orang Jawa yang distereotipekan lembut, sopan, dan bertoleransi tinggi dalam Wicandra, 2003: 171. Dengan kata lain, streotipe dapat dianggap sebagai keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial. Dalam perkembangnnya, streotipe lebih menekankan pada citra negatif seseorang atau suatu kelompok etnis. Imaji stereotipe ini penting dibahas untuk memperlihatkan representasi imaji terkait identitas Batak melalui persepsi orang luar selain Batak. Hal inilah yang dibahas oleh Sihar dalam novel ini. Pertanyaannya adalah “Apakah perilaku tokoh-tokoh yang ada dalam narasi menunjukkan kesesuaian dengan imaji stereotipe orang Batak dalam persepsi masyarakat umum?” Dalam kerangka pertanyaan di atas lah penulis memunculkan subjudul ini. 102 Pada umumnya, masyarakat Batak disematkan sebagai etnis yang berperilaku kasar. Hal ini tidak mengherankan jika melihat sejarah suku Batak yang dikonstruk oleh etnis lain atau kaum Eropa sebag ai bangsa yang “kanibal”. Konstruksi inilah yang menurut penulis akhirnya disematkan kepada tokoh-tokoh Batak yang direprsentasikan melalui media telivisi dan media cetak. Batak pada akhirnya distereotipekan dengan pengacara yang emosional, tokoh kondektur yang kasar, dan preman yang penjudi dan pemabuk. Dalam analisis ini, penulis tidak bermaksud mengatakan jika streotipe ini benar dan terlegitimasi. Penulis berpendapat bahwa sterotipe ini merupakan hasil konstruksi wacana media, politik, dan kekuasaan. Akan tetapi fokus penelitian ini tidak dimaksudkan ke sana. Penelitian ini hanya didasari jika perilaku tokoh-tokoh cerita yang ada dalam novel mereprsentasikan imaji stereotipe identitas etnis Batak. Akan tetapi, hal inilah yang dikaji ulang oleh Sihar dengan memunculkan imaji stereotipe Batak pada tokoh-tokoh pemuda Batak di dalam novel. Lalu pertanyaannya “Bagaimana hal ini terepresentasikan dalam novel?” Untuk itulah, penulis akan mencoba menganalisis kesesuaian imaji stereotipe yang beredar di masyarakat umum dengan perilaku tokoh-tokoh yang ada dalam novel. Selain itu, penulis akan memosisikan imaji stereotipe ini dalam kerangka politik identitas Batak. Untuk itulah, penulis memposisikan streotipe Batak yang direpresentasikan oleh novel ini dalam upaya politik identitas. Stereotipe pertama dapat dilihat pada kutipan berikut ini 23 “Aku tahu, aku tak berhak memaksa. Ini hanya omonganku. Aku kesal kekerasan yang terjadi karena kalian menganggu orang. Perilaku buruk lainnya, kebiasaan berjudi. Kalian tahu, di daerah-daerah lain, kebiasaan ini sudah dimusuhi”. Simatupang, 2009: 6 Ucapan ini diucapkan datu untuk memperlihatkan kebiasaan warga Toba pada awal bagian novel ini. Bagian yang menjadi pembuka di novel ini merupakan peringatan Datu di depan masyarakat Toba tentang budaya kekerasan dan kebiasaan berjudi. Kekerasan dan judi merupakan perilaku yang terjadi dalam novel ini. Tokoh Datu menjelaskan jika kedua kebiasaan ini sudah dimusuhi oleh