Pemahaman terhadap Perubahan Budaya atau Modernitas
91
mengarah pada globalisasi. Industri dunia mengacu pada kebutuhan dunia terhadap suatu hal untuk pengembangan ekonomi perusahaan atau suatu negara.
Dalam hal ini, penulis menafsirkan jika ini terkait dengan PT.IIU yang juga mengekspor pulp dan rayonnya ke pasar dunia. Inilah yang disebut dengan
“peradaban”. Masih dalam perjalanan pulang kampung tokoh Monang, kutipan 16
masih merepresentasikan perubahan yang terjadi di Tanah Toba. 16
Dia hanya mengukur wajah tanah huta ini, yang jalan sempitnya mulai berhias mobil-mobil berplat Jakarta, Pekanbaru, Palembang, atau
Medan, juga kedatangan orang asing yang mampir dengan decak kagum atau senyum kebahagiaan karena pesona eksotik Batak. Jalan
yang telah beraspal dan rumah beratap asbes. Simatupang, 2009: 45
Pada kutipan 16 secara eksplisit mendeskripsikan perubahan yang terjadi di kampung Monang. Modernitas yang terjadi berdampak pada perubahan yang
cukup signifikan pada kampung Monang. Ini masih dalam konteks narasi kepulangan tokoh Monang ke tanah Batak. Kutipan 16 merepresentasikan
perubahan yang terjadi, yaitu penetrasi dunia industri pariwisata di dalamnya. Selain wacana pariwisata, tentu saja, mobil-mobil berplat daerah lain menjadi
representasi Tano Batak seba gai „jalur‟ dan produsen hasil bumi. Perubahan juga
terjadi pada infrastruktur dan bangunan-bangunan di Tano Batak, yaitu jalan aspal dan atap asbes.
Dua kutipan di atas sebenarnya hanya ingin menunjukkan perubahan dalam masyarakat Batak Toba dari dimensi infrastruktur dan perekonomian.
Melalui tokoh Monang, novel ini menunjukkan ada perubahan yang mengakibatkan Tanah Toba tidak lagi sama dengan sebelum tokoh Monang
merantau. Dengan kata lain perubahan yang terjadi hanya mampu mengubah tataran fisik dari kampung Monang saja, atap rumah, jalan raya, dan mobil-mobil
lalu-lalang saja. Hal ini menandakan ada perubahan infrastruktur yang cenderung mengarah pada ekonomi.
Hal lain yang perlu dilihat dari kutipan di atas adalah klausa “juga kedatangan orang asing yang mampir dengan decak kagum atau senyum
92
kebahagiaan karena pesona eksotik Batak. ” Klausa ini menjadi menarik karena
memperlihatkan relasi dua entitas di dalamnya, yaitu “orang asing” dan “Batak yang eksotik”. Jelas sekali ini merepresentasikan dua entitas yang tidak memiliki
posisi tawar yang sama. Batak dihadirkan sebagai objek “kenikmatan” dengan segala “keindahan”nya sehingga dapat dikonsumsi oleh orang asing. Tentu saja,
jika dilihat dari konteks kutipan ini, Monang mengkritik fenomena “eksotisme
Bata k” yang ditawarkan oleh wacana pariwisata.
Frasa eksotisme Batak ini menghadirkan satu reprsentasi jika kedudukan Batak dengan unsur yang ada di dalamnya hanya menjadi objek dari wacana
pariwisata dan wacana industri. Hal ini tentu saja sarat dengan “wacana poskolonial” yang sedang dibangun oleh Sihar melalui tokoh Monang. Satu klausa
yang sebenarnya bernada ironis karena memperlihatkan posisi orang asing sebagai penikmat objek-objek yang diimajikan dengan pesona-pesona eksostisme belaka,
yaitu Batak. Poin inilah yang menjadi kritiknya. Perubahan lainnya juga kembali dihadirkan melalui perubahan jumlah
pemuda yang memilih untuk merantau. Inilah yang tampak pada kutipan 17 di bawah ini.
17 Mata mudanya terus digempur pandangan yang menyeret dia pada
kenangan alami, atau lebih tepatnya kenangan manusia tradisi yang sekarang dibicarakan oleh orang kota sebagai manusia yang ramah dan
tak ganas sebagaimana penduduk modern. Rumah-rumah di kampung telah sepi; anak-anak muda hampir semua merantau. Mereka lenyap
ditelan sejarah peradaban kota Simatupang, 2009: 46.
Kutipan 17 menjadi representasi keberpihakan generasi muda Batak yang lebih memilih meninggalkan kampung halaman dan merantau. Konteks
perantauan yang dihadirkan di sini akan selalu dikomparasikan dengan kehidupan di kota perantauan yang lebih menjamin kehidupan dan lebih “nyaman” untuk
dilakukan. Kalimat “Mereka lenyap ditelan sejarah peradaban kota” menjadi
penegasan representasi ini. Kalimat ini di sisi lain juga memperlihatkan posisi “manusia batak” yang cenderung kalah dalam berhadapan penduduk modern.
93
Dalam kalimat ini pula tercermin satu kritik yang dibangun dalam novel ini. Pemuda Batak menjadi sesuatu yang cenderung akan meninggalkan kampung
halaman dengan bermodal pada imaji sukses yang ditawarkan oleh kota. Identitas Batak tanpa pendirian dan cenderung „latah‟ kota menjadikan situasi kampung
yang sepi. Batak adalah identitas yang kalah berhadapan dengan modernitas. Sisi lain yang bisa dilihat dari kutipan 17 adalah diferensiasi yang
digunakan oleh Sihar. Difernsiasi ini digunakan dalam mereprsentasikan tradisi berhadapan dengan modern. Di sini Sihar melakukan kritik dengan menyajikan
sesuatu yang alami yang ada dalam penduduk lokal tradisi dan budaya luar orang luar; modern. Sihar memperlihatkan keterpesonaan penduduk luar
terhadap “kealamiah”an alam dan penduduk Batak Toba. Kritik lainnya yang muncul adalah penduduk modern yang dicitrakan oleh Sihar sebagai penduduk
yang ganas tidak sedamai penduduk asli manusia Batak yang ada di kampung tersebut. Dari sini Sihar mengupayakan jika identitas etnis Batak yang alamiah
memiliki dimensi yang positif dibanding keganasan penduduk modern. Dengan kata lain, hal inilah yang sedang dikonstruk oleh sihar melalui novel ini.
Perubahan dalam
masyarakat Batak
Toba pun
tidak hanya
direpresentasikan melalui perubahan fisik kampung dan segala aktivitasnya. Perubahan juga terjadi dalam sikap atau cara pandang manusia Batak Toba. Hal
inilah yang menjadi titik fokus bahasan selanjutnya. Perubahan cara pandang yang dideskripsikan secara eksplisit adalah perlakuan tokoh Peak kepada tokoh Torang.
Tokoh Peak adalah bapak dari tokoh Hotman yang memenangkan perjudian tanah dengan tokoh Ganda, anak dari Torang. Ketika tokoh Si Peak dalam keadaan
mabuk mendatangi Ganda, akan tetapi malah bertemu dengan bapaknya Si Ganda. Dalam pertemuan inilah tergambarkan proses mulai menurunnya posisi
seorang amang „bapak‟ karena perubahan atau karena kebiasaan masyarakat
Batak. Amang sendiri dalam masyarakat Batak berposisi sebagai pusat keluarga. Hal ini pun erat kaitannya dengan identitas etnis batak yang patriarki. Dengan kata
lain, tindakan, sikap, dan cara berpikir Amang tentu menjadi pedoman bagi generasi selanjutnya. Akan tetapi novel ini merepresentasikan perubahan sikap
94
amang yang ada di dalamnya. Hal inilah yang tergambar dalam kutipan berikut ini. Kutipan 18 juga menunjukkan upaya Sihar dalam mengkonstruksi identitas
etnis Batak. Melalui tokoh Torangm identitas etnis Batak yang dibangun adalah kritik terhadap perilaku amang-amang
„Bapak-Bapak‟ dalam perilaku judi dan penipuan. Hal ini tentu saja tidak mencerminkan identitas etnis Batak. Setidaknya,
hal-hal inilah yang dilihat melalui tokoh Torang. 18
“Kami ingin mengambil tanah tiga ribu meter yang menjadi hak kami,” teriak si Peak di depan Torang.
“Hak kau bilang? Anak dan Bapak sama-sama aneh, hanya karena judi, si Ganda kalian bikin mabuk sampai tanda tangan penyerahan
tanah, kalian mau ungkit-ungkit perjudian itu? Bangsat Kau bapaknya, ikut-ikutan urusan anak muda. Pemabuk Kau Sudah
amang-
amang masih saja kau kejar hasil perjudian dan penipuanmu” ujar Torang Simatupang, 2009: 48.
Kutipan di atas secara narasi merupakan pertikaian antara tokoh Peak dan tokoh Torang. Kedua tokoh ini adalah bapak dari tokoh Hotman dan tokoh Ganda.
Representasi perubahan yang muncul dalam kutipan ini adalah posisi “Amang” yang dalam konteks masyarakat Batak merupakan “Raja” rumah atau pemimpin.
Dalam kaitannya dengan inilah dibutuhkan satu kepemimpinan dan sikap positif yang akan dinilai dan ditiru oleh anak-anaknya.
Sikap tokoh Peak yang menyetujui perjudian yang dilakukan oleh anaknya, tokoh Hotman menjadi satu narasi yang mempertegas perubahan dalam
masyarakat Bat ak sendiri. Bapak yang dalam adat Batak merupakan “Raja” dari
keluarga berubah dan mengambil sikap menyetujui perpindahan tanah adat melalui judi. Hal inilah yang direpresentasikan oleh novel ini.
Jika dilihat dari sudut pandang lainnya, kutipan ini menunjukkan jika novel Bulan Lebam di Tepian Toba mencoba menyajikan satu sikap yang
dihasilkan dari kebiasaan lapo yang ada dalam tradisi Batak hingga saat ini. Secara mendetail terkait dengan kebiasaan berjudi dan lapo tuak ini akan dibahas
pada subbab selanjutnya. Selain itu, adanya pengaruh yang berimplikasi pada tanah adat memberikan satu wacana jika tanah adat berubah menjadi objek yang
ahistoris dan nir-makna.
95
Perubahan lainnya terkait relasi antarmanusia dalam novel ini dideskripsikan dengan perubahan sikap anak Batak dalam memperlakukan orang
tua. Hal ini terlihat dalam sikap Hotman ketika berhadapan dengan tokoh Torang, ayah dari Ganda dan Monang. Ketika ia ingin menagih kekalahan Ganda dalam
bentuk persetujuan alih nama kepemilikan tanah adat, Hotman menuding- nudingkan tangan
nya kepada “Torang” yang merupakan orang yang lebih tua. Hal ini terlihat dalam kutipan di bawah ini :
19 “Tetapi ladang tiga ribu meter itu kini milik kami” tuding Hotman.
“Itu tanah margaku, kau tahu” balas Torang, tak kalah kerasnya. Torang merasa dirinya dilecehkan dan tidak dihormati. Dia orang tua,
beraninya si Hotman menuding dia dengan telunjuk. Itu tidak sopan Kalau itu jari si Peak, barangkali itu dimaklumi si Torang. Itu kawan
segenarasi. Tetapi, kini anak bau kencur segenerasi anaknya berani menunjuk-nunjuk jari ke wajahnya. Simatupang, 2009:28
Kutipan 19 merupakan deskripsi perubahan sosial yang direpresentasikan oleh tokoh Hotman. Perubahan cara menghormati orang yang lebih tua yang
dahulu dianggap tabu, menudingkan jari telunjuk kini mulai terjadi. Tentu saja, dalam konteks novel, ini disesuaikan dengan narasi yang memposisikan Tokoh
Hotman sebagai pemabuk. Perubahan ini terlihat dari pemikiran Tokoh Torang yang dengan eksplisit mengatakan ketidakhormatan pemuda Batak kepada
dirinya. Novel ini dengan cukup baik memberikan beberapa poin perubahan
dinamika masyarakat Batak Toba. Salah satunya adalah perubahan penghormatan kepada yang lebih tua. Masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilineal dan
marga disusun berdasarkan garis keturunan laki-laki. Sistem marga ini diatur berdasarkan dalihan na tolu. Sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba
didasarkan atas senioritas, jabatan, dan sifat keaslian. Senioritas dikaitkan dengan umur atau perkawinan, jabatan dikaitkan dengan jabatan di huta, dan sifat keaslian
didasarkan pada yang pertama kali membuka huta Marga raja. Senioritas yang didasarkan pada umur inilah yang direpresentasikan di
novel sebagai salah satu ketidakterimaan tokoh Torang atas sikap tokoh Hotman. Aksi „mengacungkan jempol‟ yang dilakukan Hotman menjadi salah satu aksi
96
yang tidak „etis‟ jika menilik adat Batak. Tentu saja, adat dalam artian di sini bukan pada mekanisme atau sistem budaya yang mengatur secara baku terkait
perilaku manusia Batak Toba kepada orang yang lebih tua. Hal ini hanya didasarkan pada wilayah atau „ranah‟ etika saja. Dengan kata lain, tokoh Hotman
menjadi representasi manusia Batak yang tak lagi melihat ranah etika atau dengan nada sedikit ironis “ranah etika” tidak memiliki daya tawar di hadapan “ranah
ekonomi” dalam representasi ini. Perubahan inilah yang dicermati oleh novel ini
dengan menunjukkan jika identitas etnis Batak sebelumnya cenderung memiliki etika dalam pergaulan kehidupan mereka. Ini dapat dilihat dari ketidakberterimaan
tokoh Torang. Selain itu, representasi yang ada dalam novel ini menunjukkan jika marga
sebagai identitas Batak Toba tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang penting. Inilah yang tampak dari sikap tokoh Hotman. Konteks tanah yang disesuaikan dengan
huta, menunjukkan jika kepemilikan atau domain kekuasaan atas tanah dalam konteks Batak disesuaikan dengan marga si pemilik. Hal ini tidak bisa diganggu-
gugat oleh marga lain Simanjuntak, 2015
53
. Akan tetapi, novel ini mereprsentasikan satu aksi yang menolak dimensi adat atas tanah tersebut.
Sikap yang dilakukan tokoh Hotman juga menjadi representasi jika ada perubahan cara pandang terhadap tanah adat. Tanah adat terobjektivasi menjadi
satu komidti yang bisa dipindahtangankan secara “mudah”. Sekali lagi, perubahan sikap ini yang menjadi poin utama dalam kutipan di atas.
Hal di atas dilanjutkan dengan serangan fisik yang dilakukan oleh Hotman kepada Torang, orang yang seusia dengan bapaknya, si Peak. Dorongan fisik ini
sendiri bisa dikatakan penghinaan atau pelecehan kepada marga. Akan tetapi, tidak ada yang melihat kejadian tersebut. Ini berlanjut hingga pemukulan yang
dilakukan oleh Hotman kepada Torang Simatupang, 2009: 29. Dari pembahasan yang telah dilakukan, penulis melihat dua hal penting.
Pertama, novel ini menggunakan teknik komprasi untuk menunjukkan perubahan
53
Lihat Bungaran A Simanjuntak, Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun 2015
97
yang terjadi. Hal ini terjadi sewaktu merepresentasikan tokoh datu masa lalu dan keadaan datu masa kini; tradisi dan modernitas; sebelum monang merantau dan
pasca ia merantau; sikap manusia batak dulu dan sikap manusia batak saat ini. Komparasi atau perbandingan inilah yang menunjukan secara eksplisit jika terjadi
perubahan yang cukup besar dalam masyarakat Batak Toba. Hal penting kedua adalah perubahan ini distimulan oleh modernitas.
Dalam konteks ini modernitas dihadirkan dalam wujud indutrialisasi. Modernitas yang menghadirkan peradaban telah berhasil membuat beberapa perubahan. Hal
ini ternyata berimplikasi pada turunnya posisi tawar kampung halaman di hadapan imaji kota, dan posisi datu di hadapan logika intelektualitas. Modernitas inilah
yang mengubah tatanan fisik kampung atau tanah Toba dan cara pandang atau sikap manusia Batak Toba.
Hal penting ketiga adalah, representasi perubahan ini dapat sekaligus dibaca sebagai kritik terhadap modernitas. Kritik ini terbangun melalui tokoh datu
yang mengkritisi perubahan yang diakibatkan oleh modernitas. Perpindahan atau imaji tentang kota telah tampak merugikan masyarakat Batak Toba karena
menghilangnya penjaga adat Batak. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan makin sepinya kampung halaman tokoh Monang tanah Batak.