Persoalan Tanah: Kritik Perlawanan Terhadap PT.IIU

167 konteks kesosialan masyarakat Batak Toba. Hal inilah yang jelas tampak pada kutipan 59 di bawah ini. 59 Perdebatan tanah ketika Hotman hendak meminta hasil judinya kepada tokoh Torang. “Tetapi ladang tiga ribu meter itu kini milik kami”tuding Hotman. “Itu tanah margaku, tahu kau” balas Torang tak kalah kerasnya. Torang merasa dirinya dilecehkan dan tak dihormati. Dia orangtua, beraninya Hotman menuding dia dengan telunjuk. Itu tidak sopan Tanah tiga ribu meter di sebelah barat kampungnya itu adalah miliknya. Tanah perjuangan, itu tanah Ompung-nya, ditambah tanah hasil keringatnya bertani selama ini. Separuh tanah itu jelas milik Torang, selamanya dia berhak atas tanah itu. Apa-apaan ini? Judi yang merampok tanah adat Dia tak pernah menjual tanah itu Tak pernahSimatupang, 2009: 28 Kutipan 59 menjadi representasi pentingnya tanah bagi masyarakat Batak Toba. Inilah yang disampaikan oleh tokoh Torang dalam kutipan 59. Torang menjadi satu-satunya tokoh dalam novel ini yang mengingatkan jika tanah tidak hanya berdimensi ekonomi atau materiil saja. Hal ini tentu saja sejalan sengan konsep huta bagi masyarakat Batak. Konsep inilah yang menghadirkan dimensi jika tanah bagi masyarakat batak memiliki “nilai” di dalamnya. Tentu saja, kepemilikan tanah atau penggantian tanah tidak semudah atau tidak sama dengan konsep yang ditawarkan oleh negara. Tanah menurut manusia Batak sangatlah penting sehingga persoalan terhadap tanah Batak terbaca sebagai “ancaman” terhadap identitas etnis Batak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan 60. 60 “Suara mereka sangat keras, berpelukan dalam tangis sampai terdengar ke orang-orang se-huta, tetangga Monang yang bila dirunut masih kerabatnya juga. Di kampung ini, orang-orang masih ada pertalian keluarga, sejak ratusan tahun lalu mereka gemar berkumpul di tanah leluhurnya” Simatupang, 2009: 76 Kutipan 60 ini menjadi penanda keberadaan tanah yang sangat erat dengan dimensi historis. Ikatan marga yang begitu kuat mewarnai perkembangan satu hut;, satu ruang tanah. Dalam konsep Batak, Huta atau perkampungan dihuni oleh satu marga raja, marga tano, dengan boru pengambil istri. Perkampungan kecil biasanya dihuni oleh mereka yang berasal dari satu nenek moyang dalam arti 168 lima generasi ke atas sehingga dalam satu huta jumlah rumah yang ada sekitar 10 – 25 rumah saja Simanjuntak, 2015: 23. Huta merupakan tempat tinggal bagi mereka yang satu marga, atau paling tidak terdiri dari satu nenek saompu dengan atau tanpa disertai boru pengambil istri. Marga yang mendirikan huta dinamakan marga tano atau marga raja. Marga-marga boru yang datang kemudian tidak memiliki hak golat. Mereka hanya berharap memakai tanah setelah disetujui oleh marga raja. Dari uraian di atas, tanah menjadi satu pembatas teritori satu keturunan nenek moyang atau satu marga. Dalam satu batas teritorial inilah, aspek kehidupan manusia Batak diatur dengan pembagian dan fungsi tanah yang ada. Satu huta juga menandakan adanya kehidupan atau jaringan politik yang mengatur posisi manusia Batak terkait dengan hubungan antarsatu marga. Di sini pula yang pada perkembangannya akan memperlihatkan pembagian-pembagian kerja ketika satu rumah akan melangsungkan pesta atau “hajatan”. Bila suatu huta dianggap sudah padat, maka penduduk setempat mengatasinya dengan mendirikan permukiman baru yang dinamakan lumban, sosor, dan huta pagaran. Alasan pendirian pemukiman baru selain karena huta induk sudah padat, juga adanya pertentangan atau permusuhan terutama karena keinginan untuk memeroleh kehidupan yang lebih baik. Bisa pula, satu ompu tertentu ingin berdiri sendiri atau memiliki kerajaan sendiri manjae bebas dari kekuasaan huta induk. Untuk mendirikan huta yang baru, seseorang harus memohon kepada Raja huta atau raja doli di kampungnya. Permohonan terlebih dahulu menyampaikan sulang-sulangmakanan persembahan dalam suatu acara makan bersama, sebagai pengantar dari permohonan tersebut. Jika Raja menyetujui, mereka kemudian pergi ke lokasi yang dipilih untuk menyampaikan persembahan bunti kepada Dewa penguasa tanah. Persembahan diletakkan di tengah lokasi tersebut dan kemudian pada keempat titik tersebut calon perkampungan dibuat tanda-tanda batas pago-pago. Kepada Raja huta disampaikan sibue oma-oma, yakni suatu 169 pemberian yang mengandung maksud agar usaha mereka berhasil Simanjuntak, 2015: 24-25. Dari kutipan di atas, dapat dilihat jika huta atau teritorial tanah memiliki aspsek adat dan politik di dalamnya. Keberadaan tanah atau huta pada satu marga merupakan satu kemutlakan, bukan berarti ini meniandakan nilai ekonomi, akan tetapi lebih pada harga diri dan konsep hagabeon manusia Batak. Untuk itulah, jika ada kasus tanah dalam masyarakat Batak, sangat memungkinkan terjadinya potensi “gesekan” dengan manusia Batak di manapun. Ini dikarenakan tanah tidak berdimensi materil saja. Dari kutipan di atas juga terdeskripsikan proses pembukaan lahan atau kepemilikan lahan. Pembukaan dan kepemilikan ini memiliki cara, adat, dan norma tersendiri sehingga tidak mungkin disamakan dengan proses tanda yangan yang bersifat kenotarisan seperti yang ditawarkan oleh negara. Mudahnya penggantian hak miliki yang dilakukan oleh Tokoh Hotman dan Amang Impal menjadi satu reprsentasi sendiri jika norma-norma terkait tanah ini telah hilang. Di sinilah Sihar hadir dengan mempersoalkan hal ini. Secara narasi, Sihar menempatkan pabrik kertas sebagai penguasa yang berhasil memengaruhi manusia Batak; tokoh Amang Impal dan Hotman. Sihar mengkonstruksi realita melalui fiksinya dengan mencoba memasukkan dimensi tanah dalam arus pertikaian konflik cerita. Sihar memperlihatkan jika perilaku mabuk dan berjudi yang terjadi dalam masyarakat Batak dapat mengubah apapun, termasuk pemikiran adat terkait tanah. Implikasi paling parah adalah orientasi ekonomi menjadi muara yang akan ditempuh oleh perilaku-perilaku ini. Seluruh hal yang ada dapat diobjektivasi dan dilihat harga ekonomisnya. Hal inilah yang dibangun Sihar dengan menempatkan “surat tanah” sebagai bahan perjudian. Sihar mencoba menampilkan jika perubahan perilaku dalam masyarakat Batak Toba yang cenderung mengarah kepada perjudian dan mabuk dapat menyebabkan persoalan-persoalan yang sebelumnya tidak terpikirkan sama sekali oleh generasi pendahulunya. 170 Mekanisme berpikir yang berubah dari tradisional dan modern yang dihadirkan Sihar di sini menunjukkan juga korelasi logika ekonomi sangat dominan. Jika menilik representasi yang ada dalam novel, tentu saja masyarakat Batak dihadirkan sebagai masyarakat yang“tertelan” dengan perubahan itu sendiri. Logika berpikir matematis inilah yang dikritik Sihar. Sihar mengkonstruksi hal ini dengan kehadiran tokoh Amang Impal, Hotman, dan Ganda. Logika ekonomi hasil modernitas inilah yang terakomodasi dengan birokrasi negara dalam persoalan tanah Batak. Sihar mencoba menghadirkan jika dimensi adat tanah Batak telah tereduksi dengan kebijakan-kebijakan birokrasi negara yang memungkinkan pemindahan hak milik tanah hanya berbekal tanda tangan pemimpin kampung, saksi, dan pemilik tanah. Masyarakat Batak sebelumnya tak mengenal ini, karena tanah bukan objek materiil semata. Inilah yang kaji ulang Sihar melalui tokoh Torang. Pertanyaanya kemudian, “Apa hubungan perubahan dan corak berpikir yang berorientasi pada ekonomi ini dengan PT.IIU?” PT.IIU yang dalam narasi novel dihadirkan dengan nama “pabrik kertas” memiliki kepentingan untuk menduduki tanah di kampung Monang. Untuk itulah, pabrik kertas ini menggunakan “jasa” atau terkoneksi dengan tokoh Kepala Kampung dan Hotman dalam melancarakan misinya. Di sinilah hubungan PT.IIU, tanah, dan identitas etnis Batak tersebut. Upaya yang dilakukan oleh pabrik kertas mendapatkan legitimasi oleh pemimpin daerah yang memiliki logika berpikir ekonomis. Hal ini tentu “melicinkan” pabrik kertas untuk memonopoli hak tanah adat di Tanah Batak. Keinginan PT.IIU ini dihadirkan Sihar bertemu dengan perilaku mabuk dan berjudi manusia Batak. Pertemuan inilah yang berhasil membuat tokoh Ganda memperjudikan tanah marganya. Sebenarnya Sihar menghubungkan tiga hal dalam membangun kritiknya. Ia memasukkan tiga hal ini dalam unsur pembangun narasinya. Unsur pertama adalah pendidikan. Pemuda batak yang dihadirkan berperilaku mabuk dan berjudi merupakan hasil corak pendidikan yang ada dalam masyarakat di kampung tersebut. Corak pendidikan ini sendiri telah direpresentasi melalui tokoh Torang 171 dan istrinya orang tua Monang yang meletakkan hasil akhirnya pada ijazah dan pekerjaan kekayaanhamoraon. Intinya adalah pendidikan yang pragmatis hanya menghasilkan logika ekonomi atau angka sebagai hasilnya. Inilah yang terjadi pada pemuda-pemuda Batak, Amang Impal, dan Hotman. Tentu saja ini juga menjadi hasil dari modernitas yang dikritik oleh Sihar itu sendiri. Unsur kedua adalah perilaku yang sesuai imaji stereotipe identitas Batak dalam masyarakat umum. Sihar menghadirkan perilaku-perilaku ini sebagai stimulan masalah tanah. Unsur ketiga adalah pihak industri. Pihak industri PT.IIUpabrik kertas direpresentasikan sebagai penguasa yang dapat menawarkan logika ekonomi yang lebih besar bagi manusia Batak. Pihak ini pula yang penulis tafsirkan mampu memanfaatkan kelemahan pada unsur pertama dan kedua dalam menjalankan misinya. Pihak ketiga mampu memanfaatkan peluang yang hadir karena kelemahan tersebut. Ketiga hal inilah yang terhubung dan menjadi jalinan kritik Sihar. Perilaku, sikap dan corak pandang para tokoh yang dinarasikan Sihar diidentifikasi sebagai sumber masalah dalam penguasaan lahan pabrik kertas. Kritik sihar di sini menjadi unik karena memang tidak banyak yang mengambil topik dan pemosisian kasus PT IIU dilihat dari dimensi perilaku, pendidikan, dan adat Batak sebagai hal-hal yang bersinggungan dengan PT.IIU. Ketiga unsur yang penulis sebutkan tadi juga sekaligus menjadi unsur pembangun tawaran Sihar terkait persoalan PT.IIU. Unsur pendidikan menjadi poin yang direpresentasikan oleh Sihar perlu dibenahi. Pendidikan yang berlaku selama ini melalui tokoh orang tua Monang cenderung pragmatis dan tidak bisa menandingin persoalan PT.IIU. Dalam rangka inilah, Sihar menghadirkan tokoh Monang dengan corak berpikir pembaharuan, perantau yang aktif dalam pemolesan pola pikir kritis, dan mau bergerak secara politik. identitas etnis Batak yang terlihat di sini cenderung identitas etnis Batak yang visioner dan tidak apolitis. Hal ini menjadi tawaran Sihar dalam persoalan PT.IIU. Sesuai dengan konsep diferensiasi, Sihar merepresentasikan penangkapan tokoh Amang Impal 172 dan Hotman menjadi penanda jika corak berpikir ala Monang mampu menjadi alternatif dalam melawan PT.IIU. Selain itu, Sihar mengkonstruksi kritiknya dengan menghadirkan tokoh Datu sebagai penyeimbang Monang. Melalui tokoh Datu, Sihar memberi wacana jika “kembali pada tradisi” Batak juga perlu dilakukan. Hal inilah yang akan memungkinkan lahirnya kembali relasi manusia Batak dan adatnya, serta kolektivitas Batak yang semakin erat sehingga menjadi satu cara efektif menghalau wacana industri yang datang. Kedua tokoh inilah yang menjadi suara atau identitas etnis tawaran Sihar dalam menghadapi perubahan dan persoalan PT.IIU. Sihar menawarkan jika “kembali” pada tradisi dan diimbangi dengan pemikiran kritis serta gerakan politik akan mampu menandingi wacana PT.IIU. Tawaran in tentu saja menjadi upaya polik identitasnya. Sihar menyuarakan pemikiran kebatakannya dengan tradisi dan pemikiran kritis sebagai penanda identitas etnis Batak.

4.4. Rangkuman

Dari pembahasan yang telah dilakukan dalam bab ini, ada beberapa hal yang dapt dirangkum. Pertama, persoalan PT.IIU terpresentasikan secara eksplisit dalam novel ini. Persolan inipun meliputi dampak lingkungan dan perubahan sosial masyarakat Batak Toba. Kedua, Novel ini menawarkan sejumlah kritikan terhadap eksistensi PT.IIU. Tepat pada poin inilah politik identitas etnis Batak Toba kembali ditekankan dalam novel ini. Tentu saja, kaitannya khusus pada eksistensi problem PT.IIU dalam novel. Kritikan yang dibangun dalam novel ini merupakan penolakan massif yang dilakukan oleh mayoritas tokoh dalam narasi ini. PT.IIU dihadirkan sebagai sumber masalah dengan citra negatif yang dihadirkan melalui pengkaraktertan tokoh Amang Impal dan Hotman. Keterlibatan manusia Batak dalam jaringan kekuasaan PT.IIU pun menjadi kritik dalam novel ini. Lalu, bahasan terakhir adalah politik identitas etnis Batak dalam novel ini. Ba hasan ini ingin mencoba menjawab pertanyaan “apa hubungan PT.IIU dan 173 identitas Batak?” PT.IIU dalam novel ini menjadi akar persoalan yang mampu menjauhkan jarak tanah adat dalam kehidupan manusia Batak. Hal inilah yang dipadukan dengan kebiasaan para tokoh untuk mabuk-mabukan dan berjudi sehingga memudahkan PT.IIU menguasai lahan di Tanah Batak. Dalam proses perubahan inilah, tokoh-tokoh dalam novel melakukan identifikasi terhadap identitas etnis Batak. Pertama adalah identitas etnis pertama yang ditawarkan Hall sebagai kesamaan kode-kode kebudayaan dan shared culture. Hal kedua adalah pemosisian yang terangkum dalam konsep refleksi diri. Di sini telah terlihat jika tokoh Datu, Tesya, dan Monang menjadi “ruang pembentukan” identitas etnis Batak yang ditawarkan oleh novel ini. Tentu saja, identitas etnis ini bersifat politis. Hal ini tentu tidak mengherankan jika melihat kepentingan yang sedang dibangun oleh novel ini. Novel ini sebenarnya dapat diletakkan sebagai konsep tambahan yang ditawarkan oleh Hall dalam politik identitas, yaitu politik artikulasi. Novel ini menjadi artikulasi pengaran untuk ikut ambil bagian dan mencoba menawarkan identitas etnis Batak Toba. Alhasil, politik identitas etnis Batak yang dihadirkan adalah etnisitas Batak yang dilekatkan pada perdamaian, kejujuran, berpendidikan, berpikir kritis, dan melawan PT.IIU. Dalam kerangka politik artikulasi inilah, novel ini turut memberikan paradigma yang tidak dominan dalam wacana publik terkait PT.IIU. Novel ini mengartikulasikan perubahan sosial dan adat yang cukup besar yang dialami oleh manusia Batak karena operasional PT.IIU. Perubahan sosial yang muncul adalah “jarak” yang terbentang antara manusia Batak dan tanah adatnya; manusia Batak dalam relasinya dengan manusia Batak Toba lainnya; manusia Batak dengan kehidupannya. Perubahan sosial ini cukup “berat” jika melihat wacana ekonomi yang ditawarkan oleh PT.IIU menjadikan tanah adat atau huta yang berbasis pada ikatan moril sesama marga menjadi “bangun datar” yang memiliki nilai ekonomis 174 saja. Hal inilah yang menjadi fokus politik identitas Batak Toba yang dilakukan oleh Sihar. Melalui novel ini, Sihar pengarang melakukan politik artikulasi politics of articulation yang mencoba mengakomodasi pemikirannya terkait persoalan PT.IIU dan perubahan sosial yang terjadi di Tanah Batak. Konsep politik identitas Hall yang berbicara soal kontingensi merupakan hal yang juga diperlihatkan dalam novel ini. Perjuangan tokoh Ganda dan seluruh warga kampung jelas memerlihatkan kontingensi kebatakan yang ada. Artinya, ada kepentingan Batak yang sama dan dirasa perlu diperjuangkan. Wacana kebatakan yang ada dalam novel ini sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan yang ada dalam kehidupan riil. Ini dapat dikatakan sebagai cerminan atau imej yang terpantul dalam kehidupan riil masyarakat Batak Toba. Dinamika yang terjadi adalah munculnya perubahan. Perubahan yang terjadi memiliki stimulan dan dampak. Stimulannya adalah wacana industri dan PT.IIU sedangkan dampaknya adalah perubahan sosial dan dampak negatif pada lingkungan. Posisi novel ini sendiri dalam merepresentasikan kasus PT.IIU mereprsentasikan hal yang sama dengan yang terjadi di Tanah Toba. Novel ini turut merekam dan menghadirkan ulang perjuangan dan penolakan masyarakat Batak Toba terkait operasional PT.IIU. Tidak hanya penolakan, novel ini juga menghadirkan gejolak massa dan keterlibatan media di Indonesia yang membahas PT.IIU dan perusakan lingkungan yang diakibatkannya. Novel ini pun mencoba menawarkan dimensi lain yang bisa sangat parah dalam melihat dampak PT.IIU. Ketidakberhargaan dari dimensi adat dan norma Batak terkait tanah adat menjadi kritik tajam novel ini. Dalam proses awal hingga akhir narasi, novel ini sedang mengupayakan konstruksi identitas politik identitas Batak yang berfung si sebagai “penjaga adat batak” dan “komunitas” yang melawan industrialisasi. Identitas etnis Batak yang dihadirkan adalah identitas Batak yang damai, jujur, dan “berwarna” primordial. 175 Dalam kaitannya dengan PT.IIU, novel ini juga menawarkan pemikiran kritis dan masuk dalam ranah politiklah yang mampu menjadi wacana bandingan terhadap operasional PT.IIU. Dengan kata lain, identitas etnis Batak menjadi sesuatu yang kompleks karena akan selalu menghadirkan “ruang” kepentingan di dalamnya. Di sinilah letak konsep kontingensi yang ditawarkan Hall, selain diferensiasi dan refleksi diri. Novel ini jelas hadir dalam dinamika ini. Novel ini cenderung menawarkan satu gerakan kembali pada “tradisi” yang harus dipadukan dengan pendidikan dan pola pikir kritis yang harus dimiliki oleh manusia Batak dalam perjuangannya menghadapi wacana industri atau dalam terminologi tokoh Datu yang bernada “lebam” adalah peradaban. Di poin inilah, Sihar sedang mengupayakan politik identitas etnis Batak. 176

Bab V Kesimpulan

Penelitian ini berangkat dari kegelisahan penulis terkait identitas diri sebagai orang Batak. Penulis merasa penting untuk mengkaji identitas etnis Batak dalam konteks diri sendiri. Tentu saja, hal ini pasti memiliki stimulan sebelumnya. Kegelisahan penulis yang menjadi embrio penelitian ini adalah realitas yang terjadi dalam kehidupan penulis sendiri. Realitas yang menurut penulis menjadi masalah yang dikembangkan dalam penelitian ini terkait perihal tanah. Budaya patrilineal yang mendasari hukum sosial dan berkebudayaan masyarakat Batak menempatkan pria sebagai pihak yang dominan, termasuk soal tanah. Persoalan yang terjadi dalam kasus tanah yang dialami penulis adalah “dijualnya tanah keluarga marga yang dilakukan oleh pihak di luar keluarga inti”. Secara marga, si penjual bermarga beda dengan penulis. Secara hukum adat, si penjual tidak berhak memiliki tanah tersebut karena tidak memiliki hak waris. Penjualan tanah yang dilakukan oleh paman kakak ipar Bapak penulis menjadi hal yang sangat mengelisahkan penulis. Mengapa hal ini dapat terjadi? Apa yang menyebabkan mudahnya menjual tanah marga? Di mana letak dimensi adat dan tradisi ketika tanah itu terjual? Bukankah si penjual merupakan manusia yang lahir, besar, tua, di Tanah Batak dengan lingkungan yang masih memegang erat adat dan tradisi? Lalu mengapa hal ini dapat terjadi? Mengapa yang gelisah penulis sendiri yang notabene tidak lahir, besar di Tanah Batak dan tidak terlalu paham dengan adat Batak? Lantas, jika begitu apa yang disebut Batak? Apa indikator seseorang disebut sebagai orang Batak? Kumpulan pertanyaan inilah yang akhirnya membawa penulis untuk mengkaji ulang identitas etnis Batak. Kegelisahan terkait identitas etnis Batak dan perubahan yang terjadi dalam diri orang Batak Paman penulis menstimulan 177 penulis untuk melihat identitas etnis Batak terkait perubahan manusia Batak dan wacana-wacana yang ikut berkontribusi di dalamnya. Dalam rangka menjawab kegelisahan inilah penulis memulai penelitiannya dengan mencoba melihat persoalan yang terkait dengan wacana kebatakan saat ini. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Batak dan wacana-wacana yang mengelilinginya menjadi salah satu embiro pengembangan penelitian ini. Hal ini pula yang akhirnya membawa penulis melihat keterlibatan wacana industri dalam persoalan yang ada di masyarakat; identitas etnis Batak Toba. Keterlibatan wacana industri dalam dinamika persoalan masyarakat Batak akhirnya membawa penulis pada kasus PT. IIU. Kasus Indorayon menjadi salah satu kasus yang sudah lama berlangsung dan masih mengalami pertentangan dari masyarakat Batak. Hal ini mengindikasikan pada penulis jika persoalan PT.IIU akan terhubung langsung dengan persoalan identitas etnis Batak Toba. Dalam hubungan persoalan identitas dan PT.IIU inilah penulis menemukan novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Novel yang ditulis oleh Sihar Ramses Simatupang ini juga mengangkat hal-hal yang penulis resahkan. Sihar dalam kerangka ini terjun atau ikut berkontribusi dalam melihat identitas etnis Batak Toba sekaligus memberi respon terkait kasus PT.IIU. Dengan kata lain, Sihar yang notabene juga manusia Batak perantauan melakukan politik artikulasi melalui novelnya ini. Sihar turut menyuarakan wacana alternatif terkait identitas etnis Batak Toba dan korelasinya dengan PT.IIU. Sejauh yang penulis observasi, persoalan PT.IIU dan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Batak telah dimulai sejak dulu. Masifnya perlawanan masyarakat Batak dapat penulis simpulkan jika persoalan ini telah menjadi wacana publik. Selain karena proses kasus ini cukup panjang, persoalan ini juga mampu menyedot atensi masyarakat pada level nasional hingga internasional. Dinamika perlawanan dan penolakan atas operasional PT.IIU pun cenderung didasari oleh perspektif lingkungan dan ekonomi saja. PT.IIU dominan diangkat dengan isu dampak lingkungan dan dampak ekonomi saja. Dalam wacana publik,