Pemikiran tokoh Datu: representasi identitas etnis Batak Toba baru
116
Pemikiran yang baru juga dihadirkan tokoh Monang ketika berdebat pada Bapaknya; Torang. Ketika tokoh Monang pulang, ia mendapat amarah dari
Torang karena ia tidak lulus kuliah di Jawa. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
36 “Anak gila kau Kenapa kau gagal kuliah? Mabuk, atau punya anak di
kot a sana?”
“Tidak, Bapak. Aku dikeluarkan kampusku, mereka tak terima aku sering demonstrasi …”
“Anak tak tahu diri. Demonstrasi, keluar dari kampus. Bangga kali kau mengatakan itu …”
“Tapi aku sudah benar, Bapak…” “Protes ke pemerintah dan tidak kuliah kau katakan benar?”
Simatupang, 2009: 81
Kutipan 36 jelas menunjukkan sesuatu yang baru dari manusia Batak, yaitu keikutsertaan dalam dinamika politik negara. Sikap Monang yang
mempertahankan argumennya yang membela keberpihakan terhadap demonstrasi dan memrotes negara sebagai suatu keberhasilan yang lebih baik daripada
studinya merupakan hal baru bagi manusia Batak Toba. Jika ditilik kembali pada pembahasa bab II, telah dideskripsikan jika posisi
tawar masyarakat adat Batak Toba adalah karena keterlibatan yang pasif terhadap negara. Inilah yang membuat masyarakat Batak Toba termanipulasi dalam kasus
PT.IIU. Hal inilah yang sedang diupayakan novel ini melalui tokoh Monang. Tokoh Monang hadir sebagai alternartif manusia Batak yang selama ini cenderung
apolitis. Inilah yang diyakini oleh Monang sebagai kebenaran, yaitu demonstrasi mengkritik pemerintah. Identitas yang terbangun adalah identitas Batak yang ikut
berperan terhadap kelangsungan negara, melaui kritikan Ini yang langka di batak. Pemikiran Monang yang menganggap bahwa merantau adalah satu
keharusan, pemikiran tentang pendidikan, dan pembebasan juga dapat dlihat dalam kutipan berikut ini.
37 Menurut Monang Putra Batak harus pergi berkelana. Dia ada di antara
kisah sejarah negerinya sendiri dan kesadarannya pada perkembangan dunia dan misteri alam raya. Di dalam tubuhnya berlapis-lapis
kepercayaan dan adat telah ditanamkan. Tetapi di otaknya, bermacam
117
buku dan pengajaran dari para guru di sekolah memberinya pemahaman tentang pembebasan Simatupang, 2009: 116.
Kutipan 37 merepresentasikan pemikiran berani dalam tokoh Monang. Identitas yang dibangun dalam kutipan ini adalah identitas pembebasan. Tokoh
Monang merepresentasikan pemikiran yang didasarkan oleh pendidikan. Dapat ditafsirkan jika tokoh Monang merupakan representasi pemikiran yang
berlawanan atau beroposisi dengan streotipe Batak Toba yang sebelumnya telah dibahas.
Kutipan 37 menjadi representasi jika identitas Batak Toba yang dikonstruk adalah identitas yang tidak terkekang streotipe Batak yang irasional
dan tradisional. Adanya pemikiran “pembebasan” yang memosisikan pendidikan sebagai sentranya menjadi paradigma yang ditawarkan oleh Monang. Hal ini juga
dapat ditafsirkan jika poin inilah identitas etnis Batak yang diupayakan oleh Sihar. Perubahan sendiri menjadi representasi yang diperjuangkan oleh tokoh
Monang. Dengan semangat mudanya sebagai pemuda Batak Toba menjadi resistensi terhadap kekangan tradisi yang ada. Hal ini menandakan jika pemuda
Batak memiliki keinginan perubahan terhadap situasi keterbatasan di kampung halaman. Hal ini juga direpresentasikan pada kutipan 38 di bawah ini :
38 Masih berbicara tentang pengalaman Monang di tanah perantauan
sebagai mahasiswa muda yang haus akan perubahan. Ketika itu yang ada di dalam pikirannya adalah sosok besar yang puluhan tahun
merontokkan suara kebebasan bangsa ini. Dalam pikirannya, hanya orang berdarah garda depan buat perubahan. Salah satunya adalah
Monang. Putra Batak yang rindu perubahan Simatupang, 2009: 58
Hal ini pun dilanjutkan dengan pemikiran Monang pada kutipan 39. Kutipan 39 merepresentasikan pemuda Batak Toba yang tidak menerima
paradigma “takut merantau”. Tokoh Monang menjadi representasi Batak Toba yang mengutamakan dan memperjuangkan pendidikan diri untuk mewarnai
paradigma tradisi Batak yang telah ada. Identitas Batak Toba yang berani mencoba hal baru terepresentasikan dalam kutipan ini.
118
39 Putera Batak harus berkelana. Dia ada di antara kisah sejarah
negerinya sendiri dan kesadarannya pada perkembangan dunia dan misteri alam raya. Di dalam tubuhnya berlapis-lapis kepercayaan adat
yang telah ditanamkan. Tetapi di otaknya, bermacam buku dan pengajaran dari para guru di sekolah telah memberinya pemahaman
tentang kebebasan. Sejak lulus sekolah menengah pertama, Monang tak percaya lagi kekuatan fisik. Segala pikiran mamaknya tentang
dunia pengetahuan dan kelebihan manusia soal akal dan pikiran, telah merenggut darah mudanya sebagaimana yang dijalani para pemuda
intelek lain di tanah ini.
……………. Bahwa dunia luar bukan lagi ujung berbahaya yang tak layak
dikunjungi. Bahwa jendela pandang manusia pintar harus selalu terbuka demi untuk kemajuan dirinya sendiri Simatupang, 2009: 117-
118.
Kutipan 39 menjadi penegasan sikap Monang yang tidak mau terkungkung dalam satu kampung halaman saja. Bagi Monang, kehidupan di
dunia luar lebih menyajika satu ruang pembaharuan yang dapat digunakan untuk kemajuan diri. Pola pendidikan yang diberikan mampu mengimbagi keberadaan
adat yang telah diberikan oleh leluhur di dalamnya. Terlepas dari itu semua, bagi Monang pendidikan atau intelektualitas adalah sesuatu yang wajib. Hanya dengan
ini, ia bisa mensejajarkan dirinya dengan pemuda-pemuda dari daerahnya. Kalimat “Bahwa jendela pandang manusia pintar harus selalu terbuka
demi u ntuk kemajuan dirinya sendiri” menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Kalimat ini dengan eksplisit menjadi upaya Sihar untuk memberi kesadaran jika keterbukaan adalah hal yang penting. Dalam konteks ini, keterbukaan penulis
tafsirkan sebagai “terbukanya ruang baru” tentang pengetahuan dalam diri orang Batak karena hal inilah yang menjadi “penanda kepintaran”. Identitas etnis Batak
yang dikonstruksi di sini adalah “keterbukaan” terhadap kemajuan-kemajuan atau perubahan yang ada. Ajakan untuk membuka “diri” inilah yang ditawarkan oleh
Sihar. Kutipan 39 sekali lagi menghadirkan pemikiran yang terbilang sangat
berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini. Tokoh-tokoh muda yang ada dalam novel ini dihadirkan dengan stereotipikal. Hanya tokoh Monang yang