Representasi Persepsi Pendidikan Wacana Publik Tentang Indorayon
102
Pada umumnya, masyarakat Batak disematkan sebagai etnis yang berperilaku kasar. Hal ini tidak mengherankan jika melihat sejarah suku Batak
yang dikonstruk oleh etnis lain atau kaum Eropa sebag ai bangsa yang “kanibal”.
Konstruksi inilah yang menurut penulis akhirnya disematkan kepada tokoh-tokoh Batak yang direprsentasikan melalui media telivisi dan media cetak. Batak pada
akhirnya distereotipekan dengan pengacara yang emosional, tokoh kondektur yang kasar, dan preman yang penjudi dan pemabuk.
Dalam analisis ini, penulis tidak bermaksud mengatakan jika streotipe ini benar dan terlegitimasi. Penulis berpendapat bahwa sterotipe ini merupakan hasil
konstruksi wacana media, politik, dan kekuasaan. Akan tetapi fokus penelitian ini tidak dimaksudkan ke sana. Penelitian ini hanya didasari jika perilaku tokoh-tokoh
cerita yang ada dalam novel mereprsentasikan imaji stereotipe identitas etnis Batak. Akan tetapi, hal inilah yang dikaji ulang oleh Sihar dengan memunculkan
imaji stereotipe Batak pada tokoh-tokoh pemuda Batak di dalam novel. Lalu pertanyaannya “Bagaimana hal ini terepresentasikan dalam novel?” Untuk itulah,
penulis akan mencoba menganalisis kesesuaian imaji stereotipe yang beredar di masyarakat umum dengan perilaku tokoh-tokoh yang ada dalam novel. Selain itu,
penulis akan memosisikan imaji stereotipe ini dalam kerangka politik identitas Batak.
Untuk itulah,
penulis memposisikan
streotipe Batak
yang direpresentasikan oleh novel ini dalam upaya politik identitas. Stereotipe pertama
dapat dilihat pada kutipan berikut ini 23
“Aku tahu, aku tak berhak memaksa. Ini hanya omonganku. Aku kesal kekerasan yang terjadi karena kalian menganggu orang. Perilaku buruk
lainnya, kebiasaan berjudi. Kalian tahu, di daerah-daerah lain, kebiasaan ini sudah dimusuhi”. Simatupang, 2009: 6
Ucapan ini diucapkan datu untuk memperlihatkan kebiasaan warga Toba pada awal bagian novel ini. Bagian yang menjadi pembuka di novel ini
merupakan peringatan Datu di depan masyarakat Toba tentang budaya kekerasan dan kebiasaan berjudi. Kekerasan dan judi merupakan perilaku yang terjadi dalam
novel ini. Tokoh Datu menjelaskan jika kedua kebiasaan ini sudah dimusuhi oleh
103
budaya daerah lain. Keberadaan Lapo Tuak dimaknai sebagai stimulant munculnya perilaku ini. Bar ala masyarakat ini menjadi tempat meminum tuak
dan diimbangi dengan berjudi. Representasi inilah yang hadir dalam kutipan 23. Tokoh Datu sendiri merupakan satu karakter yang dihadirkan dalam novel
ini sebagai manusia Batak yang memiliki kedewasaan dalam berpikir. Salah satu kritik yang dibangun oleh tokoh ini adalah kebiasaan berjudi dan melakukan
kekerasan. Kutipan ini dapat ditafsirkan menjadi dua hal. Pertama, identitas yang terbangun dalam kutipan ini adalah identitas manusia Batak yang masih
berperilaku sesuai dengan imaji „streotipe‟ umum masyarakat sebagai penjudi dan
pelaku kekerasan. Kedua, imaji stereotipe inilah yang dikritik oleh tokoh manusia Batak; Datu atas kebiasaan yang sudah ditinggalkan di tempat lain.
Kekesalan Datu menjadi kritik jika perilaku atau kebiasaan ini tidaklah terjadi dalam konteks zamannya. Dengan kata lain, kebiasaan atau perilaku
direpresentasikan bukan sebagai produk budaya etnis Batak. Hal ini datang dari luar dan sesuai dengan konteks zamannya setting waktu novel, kebiasaan ini
telah dimusuhi oleh kebudayaan lain. Di sinilah letak kritik yang diberikan Sihar melalui tokoh Datu. ini bukanlah identitas asli etnis Batak. Sihar sengaja
melakukannya sebagai politik identitas Batak. Munculnya Datu emnjadi “ruang” dihadirkan sebagai tawaran imaji Batak yang lebih positif.
Penggambaran terkait streotipe Batak Toba juga hadir dalam novel ini dalam bentuk narasi di awal cerita. Dalam deskripsi ini, penulis atau novel ini
menampilkan kebiasaan masyarakat Batak. Batak yang dihadirkan di sini adalah Batak yang gemar bermain kartu dan gemar mabuk, secara khusus tuak. Minuman
inilah yang digilir oleh belasan lelaki di suatu lapo tuak. Tidak ketinggalan, imaji stereotipe Batak yang gemar judi Simatupang, 2009:10.
Novel ini pun masih memperlihatkan perilaku yang sesuai imaji streotipe Batak yang gampang marah. Hal ini ditunjukkan ketika adegan di Lapo Tuak yang
diwakili oleh tokoh Ganda. Dalam setting ini, Ganda sedang bermain kartu dengan sejawatnya dan kalah judi.
104
24 “Ganda melotot. Tangannya tiba-tiba bergetar.
Macam- macam kau ya?”
Ditariknya kerah baju Tigor. Japosman menengahi. Didorongnya kedua tubuh itu.
” Kutipan 24 ini merupakan bagian adegan yang menjadi konflik utama
dalam novel ini. Percekcokan yang dilatarbelakangi judi ini diteruskan dengan perkelahian dua tokoh ini. Hal inilah yang akan berakhir dengan kematian tokoh
Ganda. Perjudian yang dilakukan di Lapo Tuak dan perkelahian yang kerap terjadi sekali lagi diposisikan sebagai perilaku pemuda Batak. Imaji stereotipe identitas
etnis pemuda Batak akhirnya “diidentikan” sebagai pemuda pemabuk, pejudi, dan
bermental preman. Jika dilihat dari tokoh yang terlibat, semua tokoh yang hadir pada kutipan
24 adalah pemuda. Pemuda muda Batak inilah yang dihadirkan sebagai orang yang hanya gemar mabuk dan melakukan kekerasan. Letupan emosi dalam
merespon suatu hal juga menjadi identitas etnis Batak yang terbangun dalam kutipan.
Hal yang menarik adalah novel ini mendeskripsikan jika kebiasaan mabuk yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Aktivitas mabuk, berjudi, dan
berkelahi juga menjadi kebiasaan dari orang tua dari pemuda-pemuda Batak. Hal ini tampak dalam novel ketika dideskripsikan terkait tokoh Peak. Tokoh Peak
adalah Ayah dari si Hotman yang memenangkan taruhan tanah di meja judi. 25
“Kata orang-orang, di suatu malam yang tanpa cahaya rembulan, bapak Hotman, Si Peak tua yang sering kalah berjudi berjalan
sempoyongan dan berbicara ngawur malam itu. Dia baru saja mangkal di arena judi, tetapi tiba-tiba saja kembali ke rumah. Entah karena
dorongan apa, dia pun membongkar-bongkar isi lemari di rumahnya. Mengeluarkan dan membawa-bawa sesuatu. Mulutnya menyebut nama
Hotman berkali-kali. Bapak pemabuk mencari anak yang pemabuk. Bapak penjudi mencari anak yang penjudi.
“Hotman…. Mana si Hotman. Biar tahu dia bapaknya ini bangga kali sama dia. Aku punya harta dar
i anakku. Hebat kau Hotman…” Simatupang, 2009: 26
Tokoh Peak adalah bapak dari tokoh Hotman. Dalam novel ini, Tokoh Peak direpresentasikan sebagai Bapak dari pemuda Batak yang memiliki
105
kebiasaan yang sama, yaitu pemabuk dan penjudi. Hal yang menarik adalah tokoh Peak
dihadirkan sebagai seorang Bapak yang bangga memiliki anak yang “mahir” judi dan memenangkan tanah adat dari orang lain.
Tentu saja, secara naratif hal ini difungsikan sesuai dengan penokohan tokoh Hotman
yang ditempatkan sebagai “penjahat”. Akan tetapi, novel ini merepresentasikan paradigma orangtua Batak yang tidak menghargai tanah adat.
Satu representasi yang mencoba mengakomodir perubahan sosial yang sedang terjadi di Tanah Batak Toba. Akan tetapi, tetap saja, imaji streotipe orang tua
pemabuk akan menghasilkan anak pemabuk tetap dipertahankan dalam novel ini. Identitas yang tersajikan dalam kutipan di atas adalah seorang Batak yang
„pemabuk‟ dan memiliki kebanggaan atas prestasi berjudi anaknya. Tokoh Peak menjadi representasi manusia Batak yang sulit keluar dari kebiasaan lama, lapo
tuak. Dalam konteks Lapo Tuak, Sihar menunjukkan jika perilaku ini memang
ada dalam masyarakat Batak. Sikap ini yang direpresentasikan sesuai dengan imaji masyarakat umum. Jika dilihat dari sisi lainnya, maka kritik Sihar terhadap
perilaku ini adalah dengan mempertanyakan perilaku negatif yang diregenerasi. Inilah yang tereprsentasikan. Kalimat “Aku punya harta dari anakku” yang
disampaikan oleh tokoh Peak juga menjadi representasi paradigma yang melihat harta sebagai sesuatu yang sangat penting. Di sini Sihar menunjukkan jika konsep
hamoraon telah berubah atau bergeser. Perubahan yang cukup drastis dari cara berpikir manusia Batak
terrepresentasikan dalam kalimat “Hotman…. Mana si Hotman. Biar tahu dia bapaknya ini bangga kali sama dia. Aku punya harta dari anakku. Hebat kau
Hotman”. Kalimat ini jelas menunjukan pola pikir peak sebagai manusia Batak yang sangat berorientasi pada materi. Hal ini tidak sejalan dengan citra Bapak
manusia Batak yang sebenarnya telah dicerminkan oleh tokoh datu. Selain kebiasaan mabuk, berjudi dan berkelahi, novel ini juga
merepresentasikan perilaku tokoh yang mengutamakan “harga diri” dan