KonstruksiPolitisasi Identitas Etnis Batak

152 memposisikan diri mereka. Hasilnya adalah dengan beberapa kelompok mendapatkan legitimasi eksistensinya. Akan tetapi, pada perkembangnnya solidaritas ini akhirnya terbagi-bagi karena dirasa kebutuhan dan kepentingan satu kelompok tidak bisa lagi dihomogenkan. Sebagai contoh kelompok feminis. Pada dekade sebelumnya kelompok feminis telah berhasil menyuarakan dan memposisikan eksistensinya. Akan tetapi pada fase selanjutnya, ada perbedaan ketika kelompok feminis terbagi menjadi dua identitas, identitas feminis kulit putih white feminist, dan feminis kulit hitam black feminist. Adanya perbedaan perspektif dan identifikasi diri yang lebih lanjut pada akhirnya membuat perbedaan jika hal-hal yang dilakukan oleh kelompok feminis kulit putih tidak lagi mampu mengakomdasi kepentingan feminis kulit hitam. Pada akhirnya tidak bisa lagi dikatakan jika gerakan kelompok feminis kulit putih serta merta dapat diterjemahkan sebagai gerakan kelompok feminis kulit hitam. Dari uraian singkat di atas, dapat terlihat jika perjuangan yang pada dasarnya dimulai dari kesamaan nasib dan kesamaan perlakuan yang dialami oleh perempuan menunjukkan perkembangan yang berbeda. Kesamaan yang lahir di awal pergerakan ini akhirnya tidak mampu ketika di komunitas atau secara internal sendiri terdapat kepentingan yang berbeda, contohnya adalah feminis kulit putih dan feminis kulit hitam. Akhirnya, identitas yang hadir menjadi kompleks karena perbedaan kepentingan di dalamnya. Dalam konteks konsep identitas di atas, penulis merasa jika Sihar memiliki atau setidaknya menawarkan konsep identitas. Tentu saja, dalam hal ini, Sihar memiliki maksud atau kepentingan di dalamnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya jika identitas etnis pada cara pertama telah diperlihatkan dalam novel dalam bentuk penanda-penanda yang disematkan sebagai identitas etnis Batak. Hal ini menandakan jika identitas secara tradisional tidak lagi cukup. Melanjutkan penjelasan identitas Hall, Portcer 2004: 118 menambakan jika : “The recognition … of the impossibility of identity in its fully unified meaning, does, of course, transform the nature of political commitment. 153 Hundred-and- one percent commitment is no longer possible … Looking at new conceptions of identity requires us also to look at redefinitions of the forms of politics which follow that : the politics of difference, the politics of self-reflexivity, a politics that is open to contingency but still able to act. The politics of infinite dispersal is no politics at all.” Ini berarti diperlukan konsep baru terkait identitas yang tidak lagi didasarkan pada persamaan yang tidak mengenal batas akan tetapi sebaliknya. Dituntut adanya redefinisi bentuk politik yang baru: politik pembedaan, politik refleksi diri, politik yang terbuka untuk ketidakpastian atau ketidaktetapan. Ini menandakan jika tidak ada identitas yang stabil, otonom, dan stagnan. Ada tiga pokok bahasan utama terkait politik identitas Hall, yaitu perbedaan, refleksi diri, dan kontingensi. Politik perbedaan merangkum semua praktik yang mengakomodasi oposisi biner, hitam-putih, perempuan-pria. Dalam hal ini, perbedaan tidak ditujukan untuk mempertegas identitas diri secara eksternal orang lain, melainkan internal. Artinya identifikasi kesamaan diri dalam satu grup atau satu kelompok. Portcer, 2004:119. Ini artinya tidak beda jauh dengan konsep identitas secara tradisional; mencari kode-kode kebudayaan atau identitas yang sama. Konsep perbedaan ini secara khusus telah dibahas pada bagian sebelumnya pada subbab ini. Hal yang belum dibahas adalah terkait dengan oposisi biner yang dihadirkan pada novel ini. Hal ini menandakan jika “kontras” menjadi satu cara yang diambil oleh novel ini untuk memperlihatkan identitas etnis Batak Toba yang ditawarkannya. Oposisi biner yang terepresentasikan dalam novel ini bisa dilihat dari pertentangan dua entitas dalam novel ini. Entitas pertama adalah representasi stereotipe Batak Toba 59 dan e ntitas yang memberikan “warna” baru terhadap stereotipe ini. Sihar meletakkan imaji stereotipe tentang Batak dalam menarasikan para tokohnya. Imaji stereotipe ini cenderung sesuai dengan imaji stereotipe identitas etnis Batak yang ada dalam masyarakat umum. 59 Secara detail terkait hal ini dapat dilihat kembali pada pembahasan subbab 3.4 154 Sihar menghadirkan perilaku-perilaku para tokoh cerita secara negatif. Hal ini tentu saja merujuk pada tokoh-tokoh yang melakukan perilaku mabuk, berjudi, anarki, irasional, dan kolot. Secara sadar, Sihar merepresentasikan hal ini ke dalam tokoh-tokoh yang secara kuantitatif jumlahnya lebih banyak dibanding tokoh-tokoh berperilaku atau bersudut pandang positif. Konstruksi identitas yang terjadi di sini adalah upaya Sihar menghadirkan lapo tuak dalam merepresentasikan imaji stereotipe ini. Sihar melibatkan tempat sejenis “kafe rakyat” yang komoditas utamanya adalah tuak. Secara logis, tentu saja ini akan menstmulan terjadinya perilaku mabuk dan berjudi dalam masyarakat Batak Toba. Di sinilah penulis menafsirkan jika Sihar mengakui jika perilaku Batak yang seperti ini ada di Tanah Batak. Akan tetapi, Sihar tidak berhenti pada upaya representasi imaji stereotipe ini saja. Sihar melampauinya dengan menciptakan tokoh- tokoh narasi sebagai “identitas bandingan” atau bahkan “identitas orisinal Batak”. Di sinilah oposisi biner terjadi. Sihar menarasikan tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan imaji stereotipe Batak sebagai oposisi biner imaji stereotipe Batak. Dengan cara ini, novel ini tidak mereprsentasikan sifat atau perilaku negatif tersebut sebagai sesuatu yang khas atau milik etnis Batak. Sihar menghadirkan tokoh-tokoh yang lebih positif melalui tokoh Datu. Datu dihadirkan sebagai tokoh yang lebih positif. Datu hadir sebagai identitas etnis batak yang tradisional, identitas Batak sebelum munculnya modernitas, dan identitas Batak yang menawarkan nilai-nilai Batak yang dulu ada. Melalui tokoh Datu, Sihar menawarkan jika etnis Batak memiliki identitas yang lebih positif. Sihar mengkonstruksi tradisi sebagai penanda identitas Batak yang seharusnya. Dengan kata lain, Sihar mencoba mengkonstruksi kembali identitas etnis Batak dengan bercermin pada masa lalu, pada tradisi yang memang dimiliki oleh masyarakat Batak. Datu menjadi tokoh yang mengidentifikasi jika perilaku mabuk, berjudi, dan kekerasan bukanlah kebiasaan yang berasal dari tanah Batak. Perilaku- 155 perilaku ini pun menurut Datu tidak pantas disematkan begitu saja dan berlaku hanya pada masyarakat Batak Toba. Hal ini juga disematkan dan berlaku di wilayah lain. Dengan cara ini, Sihar sedang mengupayakan jika identitas etnis Batak tidak sesuai dengan imaji stereotipe yang beredar di masyarakat umumnya. Oposisi biner lain yang terlihat tentu saja dilihat dari penokohan yang ada. Tokoh Datu yang dihadirkan sebagai pemimpin Batak yang mewakili tradisi dan dihadirkan secara positif dihadapkan pada tokoh Amang Impal sebagai pemimpin birokrasi kampung yang pro dan berdiri pada jaringan kekuasaan PT.IIU. Novel ini cenderung memperlihatkan tradisi atau Datu sebagai suatu entitas yang bersifat positif. Oposisi biner kedua adalah Tokoh Monang sebagai pemuda Batak perantauan yang mengecap pendidikan di Tanah Jawa dan memiliki pandangan kritis dan sikap politik yang jelas dihadapkan pada tokoh Muda Batak Hotman, Rade, Tigor, dan Ganda sebagai manusia muda Batak yang memiliki sikap mabuk-mabukan dan gemar judi serta tidak berpendidikan. Serupa dengan Datu, tokoh Monang direpresentasikan sebagai tokoh yang positif. Tokoh Monang sendiri beroposisi biner dengan seluruh tokoh pemuda yang ada dalam novel ini. Melaui tokoh Monang, Sihar menawarkan pendidikan dan sikap kritis yang harusnya ada dalam manusia Batak. Upaya ini tentu saja sejalan dengan bahasan sebelumnya 60 . Melalui tokoh Monang, Sihar berupaya membangun jika pemuda Batak memiliki identitas “perantauan” yang harusnya sejalan dengan berkembangnya pendidikan dan pola pikir kritis. Akan tetapi ini tidak terjadi. Hal inilah yang menjadi kritik Sihar jika identitas etnis Batak menurutnya bisa memasuki pendidikan dan pola pikir kritis di dalamnya. Oposisi biner ketiga adalah tokoh Torang sebagai ayah dari Monang yang memperjuangkan hak tanah adat dan marganya berhadapan dengan tokoh Peak sebagai ayah dari tokoh Hotman yang pemabuk dan tidak “menghiraukan” 60 Lihat bahasan pada subbab 3.4.2.2 156 persoalan adat Batak lagi. Novel ini cenderung merepresentasikan tokoh Torang sebagai identitas Batak yang lebih positif. Oposisi biner keempat adalah representasi perubahan Tanah adat yang sebelumnya asri, bernuansa alami dan memiliki kualitas alam yang baik berhadapan dengan keadaan Kampung di masa sekarang ketika industri masuk dengan membawa aspal, kendaraan-kendaraan transportasi dan lonjakan perantauan yang ada di Tanah Batak. Dengan kata lain, situasi lingkungan tradisi berhadapan dengan lingkungan saat ini yang dianggap modern. Novel ini menujukkan jika keberpihakannya pada tradisi sangatlah eksplisit. Selain dengan menghadirkan tokoh Datu dan Torang, novel ini cenderung menggunakan metode “mengingat masa lalu” sebagai cara perbedaan Batak yang dulu dan saat ini. Jika melihat keempat oposisi biner yang dihadirkan dalam novel ini, penulis cenderung menafsirkan jika identitas etnis Batak yang dibangun memiliki “warna” primordial. Ada upaya yang direpresentasikan novel ini jika kondisi kampung dan manusia Batak yang dulu lebih baik dari saat ini. Batak yang dulu dihadirkan dengan situasi lingkungan yang sehat, konteks sosial yang damai tanpa kekerasan, dan penghormatan yang tinggi pada adat dan kearifan lokal manusia Batak Toba. Inilah yang penulis simpulkan sebagai upaya penawaran identitas etnis Batak yang pertama sesuai dengan konsep Hall. Selain konsep perbedaan, Hall menawarkan konsep refleksi diri. Konsep refleksi diri mencoba menghadirkan pemahaman jika seseorang dapat berbicara dalam posisi apapun. Refleksi diri berkonotasi dengan pemosisian position dalam suatu konteks. Artinya, identitas terkait dengan pemosisian yang “sengaja” dipilih seseorang untuk menunjukkan atau memperjuangkan suatu hal atau suatu kepentingan. Novel ini merepresentasikan perubahan-perubahan atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba. Identitas etnis batak menjadi penting atau berfungsi karena ada masalah di dalamnya. Representasi persoalan manusia Batak yang telah dibahas dalam novel ini sebenarnya bisa dipandang sebagai 157 wujud pemosisian itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pemosisian inilah, penulis melihat ada beberapa tokoh cerita yang menjadi alternatif atau pemosisian Batak yang ideal menurut novel ini yang ditawarkan Sihar. Dalam kerangka inilah, novel ini memperlihatkan suatu identitas etnis Batak yang berusaha dibangunnnya. Permasalahan kebatakan yang hadir dalam novel ini penulis tafsirkan sebagai dibutuhkannnya suatu identitas Batak sebagai responnya. Persoalan- persoalan kebatakan yang ada dalam novel ini menghadirkan satu ruang khusus yang meletakkan “identitas batak” sebagai “orientasi” akhirnya. Hal inilah yang menurut penulis dihadirkan dalam tokoh Datu dan Tesya. Kedua tokoh ini dihadirkan sebagai manusia Batak yang merespon persoalan Batak yang terjadi di kampungnya, termasuk PT.IIU. Untuk itulah, dalam rangka mellihat hal ini, penulis akan melihat kedua tokoh ini sebag ai salah satu “tawaran” identitas Batak yang dihadirkan oleh novel ini. Dengan kata lain, respon dari tokoh-tokoh ini dibaca sebagai upaya pemosisian identitas etnis Batak Toba. Untuk itulah penulis akan membahas hal ini satu per satu. Tokoh Datu seperti yang telah penulis uraikan pada pembahasan sebelumnya merupakan tokoh yang dihadirkan sebagai manusia Batak “penjaga” tradisi. Sosok Datu dihadirkan sebagai kritik dan tokoh yang merespon persoalan PT.IIU. Tentu saja, kehadiran Datu di sini bersifat politis, alias mencoba membangun satu konstruksi identitas Batak Toba. Di awal narasi cerita telah diperlihatkan jika tokoh Datu mengorasikan perihal peradaban. Peradaban yang diucapkan oleh Datu adalah peradaban yang cenderung mengakibatkan Orang muda pergi dari Tanah Toba dan menikmati budaya lain Simatupang, 2009: 2. Di sini Datu menghadirkan satu realita jika ada perubahan yang terjadi di Tanah Toba. Menurut tokoh Datu, manusia Batak atau Orang Muda cenderung akan meninggalkan tanah kelahirannya dan menikmati kebudayaan lain. Ada dua hal yang bisa didapat di sini terkait identitas etnis Batak Toba. Pertama, tokoh Datu menghadirkan satu paradigma yang bernada ironi. Paradigma yang dikritik oleh Datu adalah kata peradaban itu 158 sendiri. Peradaban yang dimaksud oleh Datu cenderung bermakna negatif dan menjadi kritik yang sedang dibangun oleh tokoh Datu. Datu melihat jika peradaban inlah yang menjauhkan Orang Muda Batak terhadap tanah atau kampung halamannya sendiri. Jelas, melalui tokoh Datu ini, sedang memperlihatkan jika ada masalah identitas etnis Batak Toba di dalamnya. Kedua, frasa “menikmati kebudayaan lain” menjadi rupa berikutnya yang dikritik oleh Datu. Datu sekali lagi melihat perkembangan zaman dan peradaban mampu membuat Orang Muda Batak lebih menikmati budaya lain. Memang, dalam novel ini tidak dijelaskan maksud dari budaya lain tersebut. Akan tetapi, hal ini dapat penulis tafsirkan jika peradaban hanya akan membuat manusia Batak lebih menyukai dan menikmati kebudayaan di luar Batak itu sendiri. Alhasil, kampung akan sepi dengan orang muda Batak. Kedua hal ini menggambarkan jika Datu sedang membangun kritik. Peradaban yang distigmakan akan menghasilkan sesuatu yang positif dikritik oleh tokoh Datu. Dengan kata lain, Datu memperlihatkan jika posisi tawar manusia Batak di tengah peradaban sangat rendah atau tidak ada sama sekali. Sekali lagi, orasi atau himbauan tokoh Datu ini merupakan respon dari persoalan atau masalah yang terjadi di Tanah Batak. Respon kedua tokoh Datu terhadap permasalahan identitas Batak Toba hadir melalui umpasa sejenis pantun yang diucapkannnya : pauk-pauk hudali pago-pago tarugi, Na tading ta ulahi, na sega tapauli. 61 Umpasa ini menjadi menarik dilihat. Selain maknannya, umpasa ini membentuk paradigma kritik yang disampaikan melalui pantun. Tentu saja, ini memperlihatkan jika tradisi mampu mengakomodasi jenis kritik-kritik sosial dan ini dilakukan oleh tokoh yang dianggap “kuno” oleh manusia saat ini konteksnya masih dalam novel. Makna umpasa ini sendiri merupakan ajakan untuk „memperbaiki yang salah dan yang tertinggal kita ulangi‟. Makna ini sendiri menjadi hal yang menarik dilihat. Melalui tokoh Datu, umpasa ini ingin menunjukkan jika manusa Batak 61 Umpasa lama di kalangan masyarakat Batak. Artinya „yang tertinggal kita ulangi, yang rusak kita perbaiki‟ 159 memeliki kecenderungan untuk memperbaiki yang salah. Hal ini penulis tafsirkan jika manusia Batak yang diwakili oleh tokoh Datu ini memperlihatkan jika manusia Batak menerima kesalahan yang diperbuatnya dan memiliki keingingan untuk memperbaikinya. Jika melihat hal ini, jelas sekali jika tokoh Datu sedang membangun identitas etnis Batak Toba yang positif. Citra positif terkait identitas etnis Batak kembali ditunjukkan oleh tokoh Datu dengan orasinya terkait imaji stereotipe Batak yang dihadirkan sebagai orang yang suka minum, mabuk, dan berjudi. Datu menjelaskan jika “Kebiasaan buruk harus ditinggalkan. Kebiasaan minum dan mabuk-mabukan. Kebiasaan ini sering terjadi di tiap tempat di tanah negeri ini Simatupang, 2009: 6”. Ada dua upaya yang dapat ditafsirkan oleh tokoh Datu dalam orasi ini. Pertama, ada evaluasi kritis atas realitas tokoh Datu atas perilaku buruk yang dilakukan oleh manusia Batak. Hal ini menjadi menarik karena tokoh Datu merupakan tokoh yang memiliki posisi adat dan posisi religiusitas yang tingga dalam kehidupan manusia Batak. Datu menerima kenyataan jika manusia Batak yang ada di Tanah Batak telah turut berperilaku buruk, yaitu minum dan mabuk. Kedua, di poin ini pula Datu merespon dan mengkritik stigma atau imaji streotipe yang memosisikan manusia Batak sebagai etnisitas yang “gemar minum dan mabuk”. Datu menyampaikan jika kebiasaan buruk ini terjadi di tiap tempat di negeri ini. Frasa “Tiap tempat di negeri ini” menjadi kritik sekaligus respon yang dilakukan oleh tokoh Datu. Datu menekankan jika minum dan mabuk-mabukan merupakan kebiasaan buruk yang juga dialami oleh etnis lain. Untuk itulah, tidak tepat jika menggantungkan imaji streotipe ini hanya pada etnis Batak saja. Hal lainnya adalah pernyataan ini diucapkan oleh tokoh Datu yang secara narasi merupakan wakil dari tradisi Batak zaman dulu. Artinya ada sifat “orisinalitas” Batak yang dibawa oleh tokoh Datu dengan kembali melihat konsep atau realitas yang ada dalam manusia Batak zaman dahulu. Jika melihat dengan konteks ini, jelas sekali tokoh Datu menghadirkan satu paradigma jika kebiasaan minum dan mabuk bukanlah kebiasaan yang berasal dari Tanah Batak. Adanya 160 frasa “kebiasaan buruk” merupakan penanda jelas penolakan tokoh Datu baca: budaya Batak terkait kebiasaan yang ada di seluruh tempat ini. Menurut Datu, inilah identitas etnis Batak. Selain hal-hal di atas, tokoh Datu kembali menunjukkan respon terhadap permasalahan Batak yang terjadi di kampung. Dengan orientasinya sebagai tokoh tradisi yang direpresentasikan dengan orisinalitas pemikiran Batak, Datu kembali menghadirkan satu penanda Batak yang ditawarkannya di akhir cerita. Hal ini dapat dilihat ketika Datu mengucapkan jika jangan ada lagi kekerasan di kampung ini. Jangan ikuti dunia luar yang penuh dengan kekerasan Simatupang, 2009: 252. Hal yang dituturkan oleh tokoh Datu menjadi menarik jika melihat konsep kekerasan sebagai sesuatu yang berasal dari dunia luar. Tentu saja, hal ini menandakan jika identitas etnis Batak diposisikan sebagai identitas yang tidak mengenal kata “kekerasan”. Selain mengkritik imaji streotipe Batak yang cederung melakukan kekerasan dalam novel cukup banyak tokoh-tokoh yang melakukan kekerasan; Rade, Ganda, Hotman, Tigor, dan Peak, hal ini mempertegas jika manusia Batak tidak mengenal perilaku kekerasan. Hal inilah yang sedang dibangun novel ini melalui tokoh Datu. Selain itu, ada tawaran yang diberikan oleh Datu terkait identitas etnis Batak yang hendak dibangun, yaitu cinta dan kasih. Menurut tokoh Datu, cinta adalah segalanya, kasih adalah hal paling utama dalam kehidupan Simatupang, 2009: 252. Ini menunjukkan jika orisinalitas yang diwakili tokoh datu telah memposisikan identitas etnis Batak sebagai entitas yang memiliki rasa cinta dan kasih sebagai “nafas” utama manusia Batak. Pemosisian lebih ekspilisit dapat dilihat dalam kutipan terakhir novel ini. Datu menyampaikan kepada Kepala Kampung yang b aru, “Bapak Muda, sudilah kiranya engkau mencipta kedamaian dan kejujuran di huta kita ini” Simatupang, 2009: 254. Pesan ini kembali menunjukkan identitas etnis Batak yang sedang dibangun dalam novel ini. Identitas etnis yang hadir adalah frasa kedamaian dan 161 kejujuran di huta menjadi pemosisian yang jelas jika kedua hal ini merupakan citra Batak yang ada sejak dulu. Tentu saja pemosisian ini memperlihatkan kencenderungan novel ini yang berusaha membangun representasi orang-orang di kampung yang memang bermasalah dalam perilaku. Novel ini mengkritik hal ini dengan orientasi perbaikan perilaku manusia Batak Toba yang positif. Selain tokoh Datu, pemosisian identitas Batak yang dihadirkan dalam novel ini juga muncul pada tokoh Tesya. Tokoh Tesya menjadi satu-satunya tokoh wanita yang dihadirkan sebagai satu-satunya perempuan yang terdidik dan memiliki sikap terhadap persoalan Batak, termasuk PT.IIU. Tesya dihadirkan sebagai perempuan Batak Kritis yang menolak hutanya dianggap sebagai huta yang bodoh. Bagi Tesya, lebih baik huta nya disebut sebagai “kantong kemiskinan” dibanding huta bodoh. Tidak ada satu orang pun yang boleh menuding huta kita sebagai huta kebodohan Simatupang, 2009: 156. Tesya menjadi tokoh perempuan yang menawarkan pemikiran jika perempuan Batak pun dapat mengikuti dan ikut berperan dalam persoalan yang ada di tanah kelahirannya. Tesya menunjukkan penolakan terhadap manusia atau huta yang dianggap bodoh. Tesya menghadirkan satu dimensi jika manusia Batak Toba lebih baik disebut miskin daripada bodoh. Tentu saja, ini menjadi identitas etnis Batak yang diposisikan sebagai sesuatu yang menganggap kepintaran lebih tinggi dibanding kekayaan materil. Identitas etnis inilah yang diposisikan oleh tokoh Tesya melengkapi identitas etnis yang “senada” dengan yang ditawarkan oleh tokoh Datu. Selain kedua tokoh ini, sebenarnya masih ada satu tokoh yang menawarkan paradigma baru sebagai manusia Batak, yaitu Monang. 62 Dari sisi ini saja, bisa dilihat jika tokoh Monang merepresentasikan identitas etnis Batak dalam posisi pembaharuan. Identitas etnis Batak yang selama ini tertutup terhadap perubahan melalui tokoh Monang diperbaharui. Tokoh Monang pula yang dihadirkan sebagai pemosisi Batak yang kritis dan melihat perubahan manusia 62 Lihat bahasan pada subbab 3.4.2.2 162 Batak dapat dilakukan dengan upaya masuk dalam “ranah politik”. Hal inilah yang ditawarkan oleh Monang. Dari konsep refleksi diri ini, ketiga tokoh yang dihadirkan dalam novel ini penulis tafsirkan sebagai “penawar” identitas etnis Batak. Identitas etnis Batak yang dihadapkan dalam persoalan kebatakan dihadirkan sebagai sesuatu yang perlu direspon. Hal ini menandakan jika novel ini turut merekam dan merepresentasikan masalah-masalah yang ada dan ditimbulkan oleh manusia Batak. Novel ini pun mengambil posisi atau refleksi diri dalam tokoh-tokoh narasinya sebagai upaya pemosisian identitas etnis Batak. Dari uraian terkait konsep refleksi diri ini, jelas terlihat jika identitas etnis Batak yang terbangun adalah identitas etnis Batak yang cinta damai, nir-kekerasan, jujur, dan mengutamakan pendidikan yang berorientasi pada pemikiran kritis.

4.3.2 Persoalan Tanah: Kritik Perlawanan Terhadap PT.IIU

Subbab sebelumnya telah membahas politik identitas yang terkait dengan representasi perilaku, imaji stereotipe, dan perubahan masyarakat Batak. Dalam subbab ini, penulis akan melanjutkannya dengan persoalan tanah yang dihadirkan oleh Sihar sebagai kritik perlawanan terhadap PT.IIU. Dalam persoalan inilah, tanah menjadi topik sentral yang dibahas dalam novel ini. Hal inilah yang menjadi bagian akhir pada pembahasan ini. Hall Mencatat jika : “Cultural identity, in this second sense, is a matter of becoming as well as of being. It belongs to the future as much as to past. It is not something which already exist, transcending place, time, history, and culture. Cultural identities come from somewhere, have histories. But, like everything which is historical, they undergo constant transformation. Far from being eternally fixed in some essentialised past, they are subject to the continuous play of history, culture and power. Far from being grounded in a mere recovery of the past, which is waiting to be found, and which , when found, will secure our sense of ourselves into eternity, identities are the names we give to the different ways we are positioned by, and position ourselves within, the narratives of the past .” 163 Dari penjelasan Hall di atas, bisa ditafsirkan jika identitas kultural atau identitas etnis merupakan hasil produksi yag dimulai dari masa lalu. Identitas kultural atau etnis memiliki sejarahnya sendiri. Pada masa lampau, identitas kultural ini memiliki tempat yang suci, transenden dan melingkupi seluruh aspek kehidupan satu komunitas sosial. Hall juga mengingatkan jika identitas kultural ini pun hasil ketertundukan atau ditransformasikan oleh penguasa. Ini akan selalu melibatkan budaya dan kekuasaan. Berbicara perihal mekanisme kekuasaan yang menggunakan representasi wacana ini, tentu saja akan menegaskan satu hal, yaitu diposisikan. Identitas kultural merupakan hasil pemosisian yang diterapkan dan dinarasikan sejak zaman dahulu. Dengan kata lain novel ini turut andil dalam pemosisian tersebut. Hall menambahkan : “Cultural identities are the points of identification, the unstable points of identification or suture, which are made, within the discourse of history and culture. Not an essence but a positioning. Hence, there is always a politics of identity, a politics of position, which has no absolute guarantee in an unproblematic, transcendental “law of origin” “Pemosisian” refleksi diri merupakan kata kunci dalam identifikasi identitas kultural atau identitas etnis. Pemosisian ini sendiri bersifat politis artinya ada satu kepentingan yang sedang diperjuangkan di sini. Dengan kata lain, novel ini menunjukkan keberpihakan dalam problematika PT.IIU. Jika kita melihat dalam wacana publik, kasus PT.IIU cenderung ditolak terkait operasionalnya. Hal yang menarik dilihat dari perlawanan yang dilakukan masyarakat Batak sejauh yang penulis observasi secara tekstual hampir seluruhnya atau dominan meletakkan dampak lingkungan operasional PT.IIU. Dasar perlawanannya adalah kerusakan alam yang akan menganggu ekosistem yang ada di dalamnya. Hal inilah yang berdampak pada korban jiwa, penyakit, hingga kerugian ekonomi. Dengan kata lain, perlawanan terhadap PT.IIU cenderung mengarah pada dampak lingkungan dan ekonomi saja. Dalam kerangka inilah, Sihar melakukan pemosisian dengan menghadiran implikasi yang jarang dilihat dalam pergerakan melawan PT.IIU. 164 Sihar dalam novel ini menunjukkan implikasi atau dampak terparah dari kasus PT.IIU, yaitu nilai tanah dalam kehidupan manusia Batak. Novel ini memperlihatkan dimensi perubahan kehidupan masyarakat Batak Toba dan masuknya kebijakan negara dan industrialisasi menyebabkan culture shock yang mampu menghilangkan “dimensi nilai dan dimensi adat” manusia Batak Toba. beberapa representasi perubahan telah dibahas pada pembahasan sub judul sebelumnya. Inilah yang membuat sesuatu yang sebelumnya belum pernah terjadi, kini mulai terjadi di tanah Batak. Di sinilah, Sihar mengkonstruksi satu implikasi yang nanti akan bersinggungan dengan identitas etnis Batak Toba. Ini direpresentasikan pada kutipan data berikut ini. 55 “Bah Apalagi yang kamu punya?” Tiba-tiba saja Ganda mengeluarkan sesuatu dai balik jaketnya. Hotman terkaget, berniat hendak mundur. Rade juga sempat terkaget. Walau dia tidak mengeluarkan belati, tapi ada benda lain yang tak disangka akan dibawa Ganda di tengah perjudian. “Hei Hotman. Tenang, tenanglah kau. Yang mau kukeluarkan ini Cuma surat, takut kali kau..” Transaksi tanah sebagai barang taruhan Ganda melotot pada Hotman. Simatupang, 2009: 12 56 Ganda menatap dalam-dalam wajah Hotman. “Ini tanahku. Aku pinjam uangmu sepuluh juta itu, Hotman. Tapi utangku yang lima juta kemarin nantilah. Sekarang, kau pegang saja surat tanahku ini…” “Tapi aslinya itu, Ganda?” Ganda tiba-tiba jadi merah mukanya. Kemarahan tertahan di wajah itu. …. Ada pernyataan, ditambah cap jempol Memang sah “Benar kan? Asli, Anjing Ha..ha.. “teriak Ganda, sambil tangannya menuding-nuding Hotman Simatupang, 2009: 13. Kutipan 55 dan 56 merupakan peristiwa yang terjadi di Lapo Tuak dengan situasi perjudian. Kutipan-kutipan ini menandakan perubahan yang cukup signifikan pada manusia Batak. Tradisi lapo tuak dengan tradisi ekonomi mengakibatkan tanah menjadi objek yang hanya bernilai materiil saja. Sihar 165 menunjukkan jika tanah marga telah kehilangan eksistensinya di lapo tuak. Ada perubahan yang terjadi dalam Tanah Batak. Hal inilah yang digambarkan oleh Sihar dengan melibatkan perilaku mabuk dan berjudi sebagai stimulannya. Hal lain yang menjadi kritik dalam novel ini adalah proses pemindahan hak tanah. Masyarakat Batak Toba yang sebenarnya tidak pernah membayangkan jika tanah dijadikan objek taruhan turut heran terhadap perpindahan hak milik tanah. Inilah yang tampak pada kutipan 57 57 Orang-orang sekampung Ganda miris mendengar kabar itu. Pertaruhan surat di tengah perjudian itu bukan khayalan melainkan kenyataan. Apalagi, kepala kampung kemudian mendukung si Hotman. Dia tidak pernah mempertanyakan bagaimana kondisi Ganda saat lelaki itu menyerahkan tanahnya. Amang Impal, kepala kampung itu, lewat restu pegawai kecamatan, telah memberikan surat keterangan untuk tanah kepada Hotman Simatupang, 2009: 22 Kutipan 57 merepresentasikan secara eksplisit jika orang-orang sekampung tidak pernah membayangkan akan adanya transaksi tanah adat di meja judi. Ini menandakan posisi penting tanah bagi manusia Batak. Selain itu, kehadiran tokoh Amang Impal yang direpresentasikan sebagai perwakilan PT.IIU menjadi penanda bahwa perubahan ini merupakan sesuatu yang tidak heran baginya. Legitimasi akhirnya diberikan Amang Impal sebagai penguasa birokrasi di kampung tersebut. Inilah yang dipertegas pada kutipan 58. 58 Beberapa lelaki yang kepalanya belum miring oleh pengaruh tuak, melihat detail surat kumal itu. Bungkus laminating melekat di bagian surat. Surat lengkap dengan pengesahan tanda tangan pihak camat, kepala kampung, dan saksi tiga orang penduduk kampung. “Nah, kalau soal tanda tangan Ganda, juga tanda tangan dua saksi itu, aku membawanya. Tunggu sebentar, ya.” Dikeluarkannya sebuah kertas. Kertas perjanjian terbaru mengenai pemindahan status tanah. Surat perjanjian itu juga delaminating, lebih rapi dari kertas yang pertama. Namun, orang-orang yang di luar kawan minum Hotman tetap ragu. Tak ada kepastian untuk sah atau tidaknya surat yang disodorkan si lelaki bergigi kelam itu. Dua orang saksi yang menandatangi surat perjanjian adalah orang yang jarang terlihat di kampung ini Simatupang, 2009: 25. 166 Kutipan 58 merepresentasikan proses penggantian kepemilikan tanah. Tokoh Hotman yang didukung oleh Amang Impal menerapkan jalur birokrasi yang telah ditentukan oleh negara. Proses perpindahan hak milik tanah ini pula yang mempertegas adanya konsep yang berbeda antara negara dan masyarakat adat terkait tanah. Memang, dalam kutipan ini tidak terlihat secara eksplisit perbandingan konsep ini, akan tetapi kutipan ini menunjukkan legalitas pemindahan hak milik yang mampu diskenariokan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan konsep tanah di huta yang ada. Setiap keluarga yang menjadi penduduk suatu huta merupakan pemilik tapak tanah yang mereka tempati. Akan tetapi, pekarangan huta dan fasilitas yang ada di atasnya adalah milik bersama. Tapak rumah beserta rumah di atasnya boleh diwariskan kepada anak laki-laki biasanya kepada anak tertua atau terbungsu. Namun ada kalanya semua laki-laki merupakan pemilik bersama atas tapak rumah dan bangunan di atasnya. Pengaturan ini tentu saja didasari dari aturan atau hukum adat yang telah diwariskan sejak dulu. Sawah atau ladang sebagai lahan produksi umumnya dimiliki oleh keluarga- keluarga. Lahan ini dimiliki sebagai warisan dari orang tua atau sebagai pemberian dari hula-hula kepada puterinya atau boru-nya dalam bentuk pauseang ulos na sora buruk, yakni ulos yang tidak akan pernah lapuk dan idahan arian nasi siang. Pauseang adalah sawah yang diberikan oleh ayah kepada seorang gadis yang telah menikah. Pemberian ini dapat dilakukan pada saat pesta perkawinan berlangsung atau selang beberapa lama setelah pesta Simanjuntak, 2015: 25. Sekali lagi, paragraf di atas mendeskripsikan jika tanah memiliki posisi yang sentra dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini dapat dikatakan lintas generasi yang semakin membuat tanah berperan penting dalam aspek kehidupan batak Toba. Tanah sendiri merupakan dimensi yang akan menjamin kehidupan Batak pada generasi berikutnya karena sifat kepemilikannya hanya bisa dilakukan dengan pewarisan. Hal inilah yang semakin menandakan jika tanah tidak dapat diartikan sebagai unsur materil fisik saja, akan tetapi juga menyentuh aspek hukum dan 167 konteks kesosialan masyarakat Batak Toba. Hal inilah yang jelas tampak pada kutipan 59 di bawah ini. 59 Perdebatan tanah ketika Hotman hendak meminta hasil judinya kepada tokoh Torang. “Tetapi ladang tiga ribu meter itu kini milik kami”tuding Hotman. “Itu tanah margaku, tahu kau” balas Torang tak kalah kerasnya. Torang merasa dirinya dilecehkan dan tak dihormati. Dia orangtua, beraninya Hotman menuding dia dengan telunjuk. Itu tidak sopan Tanah tiga ribu meter di sebelah barat kampungnya itu adalah miliknya. Tanah perjuangan, itu tanah Ompung-nya, ditambah tanah hasil keringatnya bertani selama ini. Separuh tanah itu jelas milik Torang, selamanya dia berhak atas tanah itu. Apa-apaan ini? Judi yang merampok tanah adat Dia tak pernah menjual tanah itu Tak pernahSimatupang, 2009: 28 Kutipan 59 menjadi representasi pentingnya tanah bagi masyarakat Batak Toba. Inilah yang disampaikan oleh tokoh Torang dalam kutipan 59. Torang menjadi satu-satunya tokoh dalam novel ini yang mengingatkan jika tanah tidak hanya berdimensi ekonomi atau materiil saja. Hal ini tentu saja sejalan sengan konsep huta bagi masyarakat Batak. Konsep inilah yang menghadirkan dimensi jika tanah bagi masyarakat batak memiliki “nilai” di dalamnya. Tentu saja, kepemilikan tanah atau penggantian tanah tidak semudah atau tidak sama dengan konsep yang ditawarkan oleh negara. Tanah menurut manusia Batak sangatlah penting sehingga persoalan terhadap tanah Batak terbaca sebagai “ancaman” terhadap identitas etnis Batak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan 60. 60 “Suara mereka sangat keras, berpelukan dalam tangis sampai terdengar ke orang-orang se-huta, tetangga Monang yang bila dirunut masih kerabatnya juga. Di kampung ini, orang-orang masih ada pertalian keluarga, sejak ratusan tahun lalu mereka gemar berkumpul di tanah leluhurnya” Simatupang, 2009: 76 Kutipan 60 ini menjadi penanda keberadaan tanah yang sangat erat dengan dimensi historis. Ikatan marga yang begitu kuat mewarnai perkembangan satu hut;, satu ruang tanah. Dalam konsep Batak, Huta atau perkampungan dihuni oleh satu marga raja, marga tano, dengan boru pengambil istri. Perkampungan kecil biasanya dihuni oleh mereka yang berasal dari satu nenek moyang dalam arti