KonstruksiPolitisasi Identitas Etnis Batak
152
memposisikan diri mereka. Hasilnya adalah dengan beberapa kelompok mendapatkan legitimasi eksistensinya.
Akan tetapi, pada perkembangnnya solidaritas ini akhirnya terbagi-bagi karena dirasa kebutuhan dan kepentingan satu kelompok tidak bisa lagi
dihomogenkan. Sebagai contoh kelompok feminis. Pada dekade sebelumnya kelompok feminis telah berhasil menyuarakan dan memposisikan eksistensinya.
Akan tetapi pada fase selanjutnya, ada perbedaan ketika kelompok feminis terbagi menjadi dua identitas, identitas feminis kulit putih white feminist, dan feminis
kulit hitam black feminist. Adanya perbedaan perspektif dan identifikasi diri yang lebih lanjut pada akhirnya membuat perbedaan jika hal-hal yang dilakukan
oleh kelompok feminis kulit putih tidak lagi mampu mengakomdasi kepentingan feminis kulit hitam. Pada akhirnya tidak bisa lagi dikatakan jika gerakan
kelompok feminis kulit putih serta merta dapat diterjemahkan sebagai gerakan kelompok feminis kulit hitam.
Dari uraian singkat di atas, dapat terlihat jika perjuangan yang pada dasarnya dimulai dari kesamaan nasib dan kesamaan perlakuan yang dialami oleh
perempuan menunjukkan perkembangan yang berbeda. Kesamaan yang lahir di awal pergerakan ini akhirnya tidak mampu ketika di komunitas atau secara
internal sendiri terdapat kepentingan yang berbeda, contohnya adalah feminis kulit putih dan feminis kulit hitam. Akhirnya, identitas yang hadir menjadi
kompleks karena perbedaan kepentingan di dalamnya. Dalam konteks konsep identitas di atas, penulis merasa jika Sihar memiliki
atau setidaknya menawarkan konsep identitas. Tentu saja, dalam hal ini, Sihar memiliki maksud atau kepentingan di dalamnya. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya jika identitas etnis pada cara pertama telah diperlihatkan dalam novel dalam bentuk penanda-penanda yang disematkan sebagai identitas etnis Batak.
Hal ini menandakan jika identitas secara tradisional tidak lagi cukup. Melanjutkan penjelasan identitas Hall, Portcer 2004: 118 menambakan jika :
“The recognition … of the impossibility of identity in its fully unified meaning, does, of course, transform the nature of political commitment.
153
Hundred-and- one percent commitment is no longer possible … Looking at
new conceptions of identity requires us also to look at redefinitions of the forms of politics which follow that : the politics of difference, the politics
of self-reflexivity, a politics that is open to contingency but still able to act. The politics of infinite dispersal is no politics at all.”
Ini berarti diperlukan konsep baru terkait identitas yang tidak lagi didasarkan pada persamaan yang tidak mengenal batas akan tetapi sebaliknya.
Dituntut adanya redefinisi bentuk politik yang baru: politik pembedaan, politik refleksi diri, politik yang terbuka untuk ketidakpastian atau ketidaktetapan. Ini
menandakan jika tidak ada identitas yang stabil, otonom, dan stagnan. Ada tiga pokok bahasan utama terkait politik identitas Hall, yaitu
perbedaan, refleksi diri, dan kontingensi. Politik perbedaan merangkum semua praktik yang mengakomodasi oposisi biner, hitam-putih, perempuan-pria. Dalam
hal ini, perbedaan tidak ditujukan untuk mempertegas identitas diri secara eksternal orang lain, melainkan internal. Artinya identifikasi kesamaan diri
dalam satu grup atau satu kelompok. Portcer, 2004:119. Ini artinya tidak beda jauh dengan konsep identitas secara tradisional; mencari kode-kode kebudayaan
atau identitas yang sama. Konsep perbedaan ini secara khusus telah dibahas pada bagian sebelumnya
pada subbab ini. Hal yang belum dibahas adalah terkait dengan oposisi biner yang dihadirkan pada novel ini. Hal ini menandakan jika “kontras” menjadi satu cara
yang diambil oleh novel ini untuk memperlihatkan identitas etnis Batak Toba yang ditawarkannya.
Oposisi biner yang terepresentasikan dalam novel ini bisa dilihat dari pertentangan dua entitas dalam novel ini. Entitas pertama adalah representasi
stereotipe Batak Toba
59
dan e ntitas yang memberikan “warna” baru terhadap
stereotipe ini. Sihar meletakkan imaji stereotipe tentang Batak dalam menarasikan para tokohnya. Imaji stereotipe ini cenderung sesuai dengan imaji stereotipe
identitas etnis Batak yang ada dalam masyarakat umum.
59
Secara detail terkait hal ini dapat dilihat kembali pada pembahasan subbab 3.4
154
Sihar menghadirkan perilaku-perilaku para tokoh cerita secara negatif. Hal ini tentu saja merujuk pada tokoh-tokoh yang melakukan perilaku mabuk, berjudi,
anarki, irasional, dan kolot. Secara sadar, Sihar merepresentasikan hal ini ke dalam tokoh-tokoh yang secara kuantitatif jumlahnya lebih banyak dibanding
tokoh-tokoh berperilaku atau bersudut pandang positif. Konstruksi identitas yang terjadi di sini adalah upaya Sihar menghadirkan
lapo tuak dalam merepresentasikan imaji stereotipe ini. Sihar melibatkan tempat sejenis “kafe rakyat” yang komoditas utamanya adalah tuak. Secara logis, tentu
saja ini akan menstmulan terjadinya perilaku mabuk dan berjudi dalam masyarakat Batak Toba. Di sinilah penulis menafsirkan jika Sihar mengakui jika
perilaku Batak yang seperti ini ada di Tanah Batak. Akan tetapi, Sihar tidak berhenti pada upaya representasi imaji stereotipe ini saja. Sihar melampauinya
dengan menciptakan tokoh- tokoh narasi sebagai “identitas bandingan” atau
bahkan “identitas orisinal Batak”. Di sinilah oposisi biner terjadi. Sihar menarasikan tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan imaji stereotipe
Batak sebagai oposisi biner imaji stereotipe Batak. Dengan cara ini, novel ini tidak mereprsentasikan sifat atau perilaku negatif tersebut sebagai sesuatu yang
khas atau milik etnis Batak. Sihar menghadirkan tokoh-tokoh yang lebih positif melalui tokoh Datu.
Datu dihadirkan sebagai tokoh yang lebih positif. Datu hadir sebagai identitas etnis batak yang tradisional, identitas Batak sebelum munculnya
modernitas, dan identitas Batak yang menawarkan nilai-nilai Batak yang dulu ada. Melalui tokoh Datu, Sihar menawarkan jika etnis Batak memiliki identitas yang
lebih positif. Sihar mengkonstruksi tradisi sebagai penanda identitas Batak yang seharusnya. Dengan kata lain, Sihar mencoba mengkonstruksi kembali identitas
etnis Batak dengan bercermin pada masa lalu, pada tradisi yang memang dimiliki oleh masyarakat Batak.
Datu menjadi tokoh yang mengidentifikasi jika perilaku mabuk, berjudi, dan kekerasan bukanlah kebiasaan yang berasal dari tanah Batak. Perilaku-
155
perilaku ini pun menurut Datu tidak pantas disematkan begitu saja dan berlaku hanya pada masyarakat Batak Toba. Hal ini juga disematkan dan berlaku di
wilayah lain. Dengan cara ini, Sihar sedang mengupayakan jika identitas etnis Batak tidak sesuai dengan imaji stereotipe yang beredar di masyarakat umumnya.
Oposisi biner lain yang terlihat tentu saja dilihat dari penokohan yang ada. Tokoh Datu yang dihadirkan sebagai pemimpin Batak yang mewakili tradisi dan
dihadirkan secara positif dihadapkan pada tokoh Amang Impal sebagai pemimpin birokrasi kampung yang pro dan berdiri pada jaringan kekuasaan PT.IIU. Novel
ini cenderung memperlihatkan tradisi atau Datu sebagai suatu entitas yang bersifat positif.
Oposisi biner kedua adalah Tokoh Monang sebagai pemuda Batak perantauan yang mengecap pendidikan di Tanah Jawa dan memiliki pandangan
kritis dan sikap politik yang jelas dihadapkan pada tokoh Muda Batak Hotman, Rade, Tigor, dan Ganda sebagai manusia muda Batak yang memiliki sikap
mabuk-mabukan dan gemar judi serta tidak berpendidikan. Serupa dengan Datu, tokoh Monang direpresentasikan sebagai tokoh yang positif.
Tokoh Monang sendiri beroposisi biner dengan seluruh tokoh pemuda yang ada dalam novel ini. Melaui tokoh Monang, Sihar menawarkan pendidikan
dan sikap kritis yang harusnya ada dalam manusia Batak. Upaya ini tentu saja sejalan dengan bahasan sebelumnya
60
. Melalui tokoh Monang, Sihar berupaya membangun jika pemuda Batak memiliki identitas “perantauan” yang harusnya
sejalan dengan berkembangnya pendidikan dan pola pikir kritis. Akan tetapi ini tidak terjadi. Hal inilah yang menjadi kritik Sihar jika identitas etnis Batak
menurutnya bisa memasuki pendidikan dan pola pikir kritis di dalamnya. Oposisi biner ketiga adalah tokoh Torang sebagai ayah dari Monang yang
memperjuangkan hak tanah adat dan marganya berhadapan dengan tokoh Peak sebagai ayah dari tokoh Hotman yang pemabuk dan tidak “menghiraukan”
60
Lihat bahasan pada subbab 3.4.2.2
156
persoalan adat Batak lagi. Novel ini cenderung merepresentasikan tokoh Torang sebagai identitas Batak yang lebih positif.
Oposisi biner keempat adalah representasi perubahan Tanah adat yang sebelumnya asri, bernuansa alami dan memiliki kualitas alam yang baik
berhadapan dengan keadaan Kampung di masa sekarang ketika industri masuk dengan membawa aspal, kendaraan-kendaraan transportasi dan lonjakan
perantauan yang ada di Tanah Batak. Dengan kata lain, situasi lingkungan tradisi berhadapan dengan lingkungan saat ini yang dianggap modern. Novel ini
menujukkan jika keberpihakannya pada tradisi sangatlah eksplisit. Selain dengan menghadirkan tokoh Datu dan Torang, novel ini cenderung
menggunakan metode “mengingat masa lalu” sebagai cara perbedaan Batak yang dulu dan saat ini. Jika melihat keempat oposisi biner yang dihadirkan dalam novel
ini, penulis cenderung menafsirkan jika identitas etnis Batak yang dibangun memiliki “warna” primordial. Ada upaya yang direpresentasikan novel ini jika
kondisi kampung dan manusia Batak yang dulu lebih baik dari saat ini. Batak yang dulu dihadirkan dengan situasi lingkungan yang sehat, konteks sosial yang
damai tanpa kekerasan, dan penghormatan yang tinggi pada adat dan kearifan lokal manusia Batak Toba. Inilah yang penulis simpulkan sebagai upaya
penawaran identitas etnis Batak yang pertama sesuai dengan konsep Hall. Selain konsep perbedaan, Hall menawarkan konsep refleksi diri. Konsep
refleksi diri mencoba menghadirkan pemahaman jika seseorang dapat berbicara dalam posisi apapun. Refleksi diri berkonotasi dengan pemosisian position
dalam suatu konteks. Artinya, identitas terkait dengan pemosisian yang “sengaja” dipilih seseorang untuk menunjukkan atau memperjuangkan suatu hal atau suatu
kepentingan. Novel ini merepresentasikan perubahan-perubahan atau permasalahan
yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba. Identitas etnis batak menjadi penting atau berfungsi karena ada masalah di dalamnya. Representasi persoalan manusia
Batak yang telah dibahas dalam novel ini sebenarnya bisa dipandang sebagai
157
wujud pemosisian itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pemosisian inilah, penulis melihat ada beberapa tokoh cerita yang menjadi alternatif atau pemosisian Batak
yang ideal menurut novel ini yang ditawarkan Sihar. Dalam kerangka inilah, novel ini memperlihatkan suatu identitas etnis Batak yang berusaha
dibangunnnya. Permasalahan kebatakan yang hadir dalam novel ini penulis tafsirkan
sebagai dibutuhkannnya suatu identitas Batak sebagai responnya. Persoalan- persoalan kebatakan yang ada dalam novel ini menghadirkan satu ruang khusus
yang meletakkan “identitas batak” sebagai “orientasi” akhirnya. Hal inilah yang menurut penulis dihadirkan dalam tokoh Datu dan Tesya. Kedua tokoh ini
dihadirkan sebagai manusia Batak yang merespon persoalan Batak yang terjadi di kampungnya, termasuk PT.IIU. Untuk itulah, dalam rangka mellihat hal ini,
penulis akan melihat kedua tokoh ini sebag ai salah satu “tawaran” identitas Batak
yang dihadirkan oleh novel ini. Dengan kata lain, respon dari tokoh-tokoh ini dibaca sebagai upaya pemosisian identitas etnis Batak Toba. Untuk itulah penulis
akan membahas hal ini satu per satu. Tokoh Datu seperti yang telah penulis uraikan pada pembahasan
sebelumnya merupakan tokoh yang dihadirkan sebagai manusia Batak “penjaga” tradisi. Sosok Datu dihadirkan sebagai kritik dan tokoh yang merespon persoalan
PT.IIU. Tentu saja, kehadiran Datu di sini bersifat politis, alias mencoba membangun satu konstruksi identitas Batak Toba.
Di awal narasi cerita telah diperlihatkan jika tokoh Datu mengorasikan perihal peradaban. Peradaban yang diucapkan oleh Datu adalah peradaban yang
cenderung mengakibatkan Orang muda pergi dari Tanah Toba dan menikmati budaya lain Simatupang, 2009: 2. Di sini Datu menghadirkan satu realita jika
ada perubahan yang terjadi di Tanah Toba. Menurut tokoh Datu, manusia Batak atau Orang Muda cenderung akan meninggalkan tanah kelahirannya dan
menikmati kebudayaan lain. Ada dua hal yang bisa didapat di sini terkait identitas etnis Batak Toba. Pertama, tokoh Datu menghadirkan satu paradigma yang
bernada ironi. Paradigma yang dikritik oleh Datu adalah kata peradaban itu
158
sendiri. Peradaban yang dimaksud oleh Datu cenderung bermakna negatif dan menjadi kritik yang sedang dibangun oleh tokoh Datu. Datu melihat jika
peradaban inlah yang menjauhkan Orang Muda Batak terhadap tanah atau kampung halamannya sendiri. Jelas, melalui tokoh Datu ini, sedang
memperlihatkan jika ada masalah identitas etnis Batak Toba di dalamnya. Kedua, frasa “menikmati kebudayaan lain” menjadi rupa berikutnya yang
dikritik oleh Datu. Datu sekali lagi melihat perkembangan zaman dan peradaban mampu membuat Orang Muda Batak lebih menikmati budaya lain. Memang,
dalam novel ini tidak dijelaskan maksud dari budaya lain tersebut. Akan tetapi, hal ini dapat penulis tafsirkan jika peradaban hanya akan membuat manusia Batak
lebih menyukai dan menikmati kebudayaan di luar Batak itu sendiri. Alhasil, kampung akan sepi dengan orang muda Batak.
Kedua hal ini menggambarkan jika Datu sedang membangun kritik. Peradaban yang distigmakan akan menghasilkan sesuatu yang positif dikritik oleh
tokoh Datu. Dengan kata lain, Datu memperlihatkan jika posisi tawar manusia Batak di tengah peradaban sangat rendah atau tidak ada sama sekali. Sekali lagi,
orasi atau himbauan tokoh Datu ini merupakan respon dari persoalan atau masalah yang terjadi di Tanah Batak.
Respon kedua tokoh Datu terhadap permasalahan identitas Batak Toba hadir melalui umpasa sejenis pantun yang diucapkannnya : pauk-pauk hudali
pago-pago tarugi, Na tading ta ulahi, na sega tapauli.
61
Umpasa ini menjadi menarik dilihat. Selain maknannya, umpasa ini membentuk paradigma kritik yang
disampaikan melalui pantun. Tentu saja, ini memperlihatkan jika tradisi mampu mengakomodasi jenis kritik-kritik sosial dan ini dilakukan oleh tokoh yang
dianggap “kuno” oleh manusia saat ini konteksnya masih dalam novel. Makna umpasa
ini sendiri merupakan ajakan untuk „memperbaiki yang salah dan yang tertinggal kita ulangi‟. Makna ini sendiri menjadi hal yang menarik
dilihat. Melalui tokoh Datu, umpasa ini ingin menunjukkan jika manusa Batak
61
Umpasa lama di kalangan masyarakat Batak. Artinya „yang tertinggal kita ulangi, yang rusak kita perbaiki‟
159
memeliki kecenderungan untuk memperbaiki yang salah. Hal ini penulis tafsirkan jika manusia Batak yang diwakili oleh tokoh Datu ini memperlihatkan jika
manusia Batak menerima kesalahan yang diperbuatnya dan memiliki keingingan untuk memperbaikinya. Jika melihat hal ini, jelas sekali jika tokoh Datu sedang
membangun identitas etnis Batak Toba yang positif. Citra positif terkait identitas etnis Batak kembali ditunjukkan oleh tokoh
Datu dengan orasinya terkait imaji stereotipe Batak yang dihadirkan sebagai orang yang suka minum, mabuk, dan berjudi. Datu menjelaskan jika “Kebiasaan buruk
harus ditinggalkan. Kebiasaan minum dan mabuk-mabukan. Kebiasaan ini sering terjadi di tiap tempat di tanah negeri ini Simatupang, 2009: 6”.
Ada dua upaya yang dapat ditafsirkan oleh tokoh Datu dalam orasi ini. Pertama, ada evaluasi kritis atas realitas tokoh Datu atas perilaku buruk yang
dilakukan oleh manusia Batak. Hal ini menjadi menarik karena tokoh Datu merupakan tokoh yang memiliki posisi adat dan posisi religiusitas yang tingga
dalam kehidupan manusia Batak. Datu menerima kenyataan jika manusia Batak yang ada di Tanah Batak telah turut berperilaku buruk, yaitu minum dan mabuk.
Kedua, di poin ini pula Datu merespon dan mengkritik stigma atau imaji streotipe yang memosisikan manusia Batak sebagai etnisitas yang “gemar minum
dan mabuk”. Datu menyampaikan jika kebiasaan buruk ini terjadi di tiap tempat di negeri ini. Frasa “Tiap tempat di negeri ini” menjadi kritik sekaligus respon yang
dilakukan oleh tokoh Datu. Datu menekankan jika minum dan mabuk-mabukan merupakan kebiasaan buruk yang juga dialami oleh etnis lain. Untuk itulah, tidak
tepat jika menggantungkan imaji streotipe ini hanya pada etnis Batak saja. Hal lainnya adalah pernyataan ini diucapkan oleh tokoh Datu yang secara
narasi merupakan wakil dari tradisi Batak zaman dulu. Artinya ada sifat “orisinalitas” Batak yang dibawa oleh tokoh Datu dengan kembali melihat konsep
atau realitas yang ada dalam manusia Batak zaman dahulu. Jika melihat dengan konteks ini, jelas sekali tokoh Datu menghadirkan satu paradigma jika kebiasaan
minum dan mabuk bukanlah kebiasaan yang berasal dari Tanah Batak. Adanya
160
frasa “kebiasaan buruk” merupakan penanda jelas penolakan tokoh Datu baca: budaya Batak terkait kebiasaan yang ada di seluruh tempat ini. Menurut Datu,
inilah identitas etnis Batak. Selain hal-hal di atas, tokoh Datu kembali menunjukkan respon terhadap
permasalahan Batak yang terjadi di kampung. Dengan orientasinya sebagai tokoh tradisi yang direpresentasikan dengan orisinalitas pemikiran Batak, Datu kembali
menghadirkan satu penanda Batak yang ditawarkannya di akhir cerita. Hal ini dapat dilihat ketika Datu mengucapkan jika jangan ada lagi kekerasan di kampung
ini. Jangan ikuti dunia luar yang penuh dengan kekerasan Simatupang, 2009: 252.
Hal yang dituturkan oleh tokoh Datu menjadi menarik jika melihat konsep kekerasan sebagai sesuatu yang berasal dari dunia luar. Tentu saja, hal ini
menandakan jika identitas etnis Batak diposisikan sebagai identitas yang tidak mengenal kata “kekerasan”. Selain mengkritik imaji streotipe Batak yang
cederung melakukan kekerasan dalam novel cukup banyak tokoh-tokoh yang melakukan kekerasan; Rade, Ganda, Hotman, Tigor, dan Peak, hal ini
mempertegas jika manusia Batak tidak mengenal perilaku kekerasan. Hal inilah yang sedang dibangun novel ini melalui tokoh Datu.
Selain itu, ada tawaran yang diberikan oleh Datu terkait identitas etnis Batak yang hendak dibangun, yaitu cinta dan kasih. Menurut tokoh Datu, cinta
adalah segalanya, kasih adalah hal paling utama dalam kehidupan Simatupang, 2009: 252. Ini menunjukkan jika orisinalitas yang diwakili tokoh datu telah
memposisikan identitas etnis Batak sebagai entitas yang memiliki rasa cinta dan kasih sebagai “nafas” utama manusia Batak.
Pemosisian lebih ekspilisit dapat dilihat dalam kutipan terakhir novel ini. Datu menyampaikan kepada Kepala Kampung yang b
aru, “Bapak Muda, sudilah kiranya engkau mencipta kedamaian dan kejujuran di huta
kita ini” Simatupang, 2009: 254. Pesan ini kembali menunjukkan identitas etnis Batak yang sedang
dibangun dalam novel ini. Identitas etnis yang hadir adalah frasa kedamaian dan
161
kejujuran di huta menjadi pemosisian yang jelas jika kedua hal ini merupakan citra Batak yang ada sejak dulu. Tentu saja pemosisian ini memperlihatkan
kencenderungan novel ini yang berusaha membangun representasi orang-orang di kampung yang memang bermasalah dalam perilaku. Novel ini mengkritik hal ini
dengan orientasi perbaikan perilaku manusia Batak Toba yang positif. Selain tokoh Datu, pemosisian identitas Batak yang dihadirkan dalam
novel ini juga muncul pada tokoh Tesya. Tokoh Tesya menjadi satu-satunya tokoh wanita yang dihadirkan sebagai satu-satunya perempuan yang terdidik dan
memiliki sikap terhadap persoalan Batak, termasuk PT.IIU. Tesya dihadirkan sebagai perempuan Batak Kritis yang menolak hutanya dianggap sebagai huta
yang bodoh. Bagi Tesya, lebih baik huta nya disebut sebagai “kantong
kemiskinan” dibanding huta bodoh. Tidak ada satu orang pun yang boleh menuding huta kita sebagai huta kebodohan Simatupang, 2009: 156.
Tesya menjadi tokoh perempuan yang menawarkan pemikiran jika perempuan Batak pun dapat mengikuti dan ikut berperan dalam persoalan yang
ada di tanah kelahirannya. Tesya menunjukkan penolakan terhadap manusia atau huta yang dianggap bodoh. Tesya menghadirkan satu dimensi jika manusia Batak
Toba lebih baik disebut miskin daripada bodoh. Tentu saja, ini menjadi identitas etnis Batak yang diposisikan sebagai sesuatu yang menganggap kepintaran lebih
tinggi dibanding kekayaan materil. Identitas etnis inilah yang diposisikan oleh tokoh Tesya melengkapi identitas etnis yang “senada” dengan yang ditawarkan
oleh tokoh Datu. Selain kedua tokoh ini, sebenarnya masih ada satu tokoh yang
menawarkan paradigma baru sebagai manusia Batak, yaitu Monang.
62
Dari sisi ini saja, bisa dilihat jika tokoh Monang merepresentasikan identitas etnis Batak dalam
posisi pembaharuan. Identitas etnis Batak yang selama ini tertutup terhadap perubahan melalui tokoh Monang diperbaharui. Tokoh Monang pula yang
dihadirkan sebagai pemosisi Batak yang kritis dan melihat perubahan manusia
62
Lihat bahasan pada subbab 3.4.2.2
162
Batak dapat dilakukan dengan upaya masuk dalam “ranah politik”. Hal inilah yang ditawarkan oleh Monang.
Dari konsep refleksi diri ini, ketiga tokoh yang dihadirkan dalam novel ini penulis tafsirkan sebagai “penawar” identitas etnis Batak. Identitas etnis Batak
yang dihadapkan dalam persoalan kebatakan dihadirkan sebagai sesuatu yang perlu direspon. Hal ini menandakan jika novel ini turut merekam dan
merepresentasikan masalah-masalah yang ada dan ditimbulkan oleh manusia Batak. Novel ini pun mengambil posisi atau refleksi diri dalam tokoh-tokoh
narasinya sebagai upaya pemosisian identitas etnis Batak. Dari uraian terkait konsep refleksi diri ini, jelas terlihat jika identitas etnis Batak yang terbangun
adalah identitas etnis Batak yang cinta damai, nir-kekerasan, jujur, dan mengutamakan pendidikan yang berorientasi pada pemikiran kritis.