Kritik Novel Terhadap Indorayon
142
kasus PT.IIU telah lama berlangsung dan tidak menyentuh solusi yang tepat dan pro Batak. Untuk itulah, Monang mengkritisi ini dengan pendidikan dan politik
sebagai dasarnya. Menurut Monang harus ada gerakan politik dan pola pikir kritis yang massif dari manusia Batak dalam melawan PT.IIU.
Ketiga, perjuangan tokoh Monang yang ikut dalam dinamika 1998, telah memperlihatkan idealismenya sebagai pemuda Batak. Melalui tokoh Monang,
novel ini sedang mengkritik absensinya keterlibatan manusia Batak dalam lingkup negara, minimal kritik terhadap negara. Monang menjadi tokoh yang menawarkan
idealisme dalam memantau dan menolak kebijakan negara yang tidak memihak masyarakat. Monang menolak ini dan dia melakukannya secara sadar. Ini pula
yang menjadi kritik karena dapat digunakan dalam membangun asumsi atau meningkatkan posisi tawar warga Batak terhadap PT.IIU. Ketiga hal inilah yang
ditawarkan Monang sekaligus kritikannya terhadap PT.IIU. Kritik novel ini terhadap PT.IIU diperlihatkan secara implisit dengan
kasus tanah yang terjadi dalam kampung. Tanah menjadi awal persoalan karena tokoh Ganda menggunakan tanah adat atau tanah marga untuk barang taruhan.
Hal ini jelas menjadi sesuatu yang tidak biasa bagi siapapun penghuni kampung. Akan tetapi, tokoh Hotman dengan antusias meneruskan perjudian. Dalam novel
ini, tokoh Hotman dinarasikan memiliki kebanggan atas kemenanga judinya melawan Ganda. Hotman pula yang dengan bengga menuntut pada tokoh Torang
Bapak ganda untuk memberikan tanah adat yang telah dipertaruhkan Ganda. Di sisi ini, kritik terhadap perilaku Hotman terbangun dengan dasar jika manusia
Batak tidak mudah mengambil hak tanah adat marga lain. Hal ini dikarenakan konsep huta yang ada dalam masyarakat Batak Toba. Asumsinya, huta atau tanah
yang ada di huta merupakan domain mutlak dari marga yang mendudukinya. Oleh karena itu, perilaku Hotman dapat ditafsirkan sebagai “tidak menghargai marga-
marga” yang ada di huta tersebut.
Diamnya para tokoh-tokoh lain yang ada dalam lapo ketika Ganda menunjukkan surat tanah sebagai pertaruhan juga menjadi sisi menarik untuk
dibahas. Perilaku diam ini dapat ditafsirkan menjadi dua. Pertama, tokoh-tokoh
143
Batak yang ada saat itu tidak memiliki “pola pikir kritis” seperti yang ditawarkan oleh Monang. Inilah yang membentuk rasa diam para tokoh lainnya dan ini
terbaca sebagai “sikap” persetujuan jika tanah adat menjadi objek taruhan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
53 “Orang-orang ikut melongok. Tangan mereka bergantian memegang
surat tanah berlaminating yang dilemparkan Ganda ke tengah meja perjudian di ruangan itu. Rade pun ikut memegang surat itu. Asli
……………………………………………………………………….... Orang-orang di sekelilingnya mengangguk. Hampir serempak. Dalam
mabuk, mereka tahu, peristiwa ini bisa saja menjadi peristiwa luar biasa. Tanah ladang keluarga jadi taruhan. Mereka senyum-senyum,
meneguk lagi tuak lalu menggelengkan kepala. Reaksi yang hampir berbarengan. Mereka terus mengocok kartu. Membagi-bagikannya.
Judi pun dilanjutkan … Simatupang, 2009: 140 Kedua, sikap diam ini dapat dibaca sebagai stigma yang sedang dibangun
dalam novel ini jika “taruhan” memiliki norma dan hukumnya sendiri yang dapat melampaui hukum positif dan hukum adat yang ada. Perpindahan hak milik tanah
di Batak sebenarnya telah diatur dalam aturan-aturan adat yang berlaku. Secara khusus terkait hal ini akan dibahas pada subbab selanjutnya. Perjudian yang
terjadi sekali lagi memperlihatkan jika perilaku ini memiliki logikanya sendiri sehingga dapat melunturkan sikap hormat antarmarga yang saat ini masih dihidupi
oleh manusia Batak. Kedua hal ini jika ditilik dari hubungannya pada tokoh Hotman yang
berposisi sevisi dengan Amang Impal, yaitu perwakilan PT.IIU dalam novel ini menyajikan satu mekanisme yang secara internal dapat “menganggu” adat Batak
yang ada. Di sinilah letak kritik yang penulis maksud. Perilaku mabuk dan berjudi yang dilakukan oleh para tokoh dalam cerita dan disesuaikan dengan imaji
streotipe tentang Batak berakses secara tidak langsung terhadap penghormatan dan soliditas adat dalam kehidupan masyarakat Batak. Jika realita ini terjadi,
PT.IIU atau perusahaan kapital apapun “mudah” mendominasi tanah atau sendi- sendi kehidupan masyarakat Batak.
Selain itu, jika berbicara soal tanah adat batak dan hubungan antarmarga yang memang diatur dalam konsep dalihan na tolu, tanah akan berhubungan
144
langsung dengan identitas etnis Batak yang ada. Akan tetapi penulis sengaja tidak membahasnya pada subbab ini dengan harapan akan bisa membahas hal ini
khusus pada subbab selanjutnya. Oleh karena itu, penulis akan melanjutkan dengan kritik-kritik yang dibangun oleh novel ini dalam kaitannya dengan PT.IIU.
Kritik berikutnya yang ditawarkan dalam novel ini adalah terjadi pada akhir novel. Dalam narasi bagian akhir novel, diperlihatkan tokoh-tokoh yang
berposisi pro pada PT.IIU atau berada dalam jaringan PT.IIU mengalami kekalahan. Di akhir cerita, novel ini merepresentasikan tokoh Amang Impal,
tokoh Hotman, dan anak buahnya berakhir pada penangkapan dan penahanan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
54 Setelah beberapa hari di Lampung, Monang pun kemudian
mendengar kabar tentang tertangkapnya kepala kampung dan kaki tangannya, setelah kejar-mengejar dengan aparat
Simatupang, 2009: 247
Dari kutipan di atas dapat dilihat jika tokoh-tokoh yang pro dengan PT.IIU berakhir dengan kekalahan. Narasi ini tentu saja mempertegas posisi novel ini jika
memposisikan pabrik kertas dan para tokohnya dengan kegagalan. Dengan kata lain, novel ini mencoba membangun satu paradigma jika soliditas yang dibangun
oleh Ganda dan warga kampung dan peran kecil yang distimulan oleh Monang menjadi aspek yang dapat memberikan “pukulan” kecil pada tokoh-tokoh yang
pro dengan PT.IIU. Dalam poin ini, Sihar merepresentasikan tokoh-tokoh yang ada dalam
jaringan pabrik kertas sebagai pihak yang kalah. Pada poin ini, Sihar mengkonstruksi realitas imajiner yang berbeda dengan realitas kasus ini. Dalam
perkembangannya, kasus ini belum selesai dan pelaku-pelaku atau aktor-aktor yang ada dalam relasi kekuasaan PT.IIU masih belum tertangkap atau
dipidanakan. “Penyimpangan” inilah yang menjadi kritik Sihar dalam problematika PT.IIU dan masyarakat Toba.
Hal yang mungkin bisa penulis kritik dalam hal ini adalah proses penangkapan dan kekalahan para tokoh yang berjaring dengan PT.IIU. Proses
145
kekalahan atau penangkapan para tokoh ini kurang terlalu dieksplorasi karena daya kritis dan politik Monang belum menghadirkan satu ruang baru bagi warga
kampung untuk melakukan hal yang sama. Dengan segala atribut pemikiran kritis yang ditempa oleh Monang di perantuan tidak memiliki dampak yang cukup besar
dalam pembentukan aliansi atau ruang berontak yang lebih masif dan politis. Novel ini hanya menyajikan satu adegan yang tiba-tiba proses penangkapan para
tokoh ini terjadi. Walau ada sedikit peran Monang di dalamnya akan tetapi peran ini tidak terhubung dengan pola pikir kritis atau daya politik yang dibawa oleh
tokoh Monang. Selain keterbatasan Monang dalam mengimplementasikan pola pikir
kritis dan ranah politik yang ditawarkan, novel ini juga memiliki satu hal yang menarik untuk dibahas, yaitu keterlibatan agama. Uraian bab 2 telah menunjukkan
jika gerakan perlawanan terhadap operasional PT.IIU juga melibatkan lembaga- lembaga agama di dalamnya. Tentu saja, jika berbicara soal konteks Batak Toba,
maka agama yang dimaksudkan adalah Nasrani. Bagi penulis, hal ini menjadi sesuatu yang menarik.
Sejauh yang penulis amati dalam novel ini, kata yang mewakili nasrani hanya muncul satu kali, yaitu ketika tokoh Torang, bapak dari tokoh Monang dan
Ganda, serta mertua dari tokoh Tesya mengusir roh jahat. Roh jahat ini dianggap memasuki tokoh Tesya sehingga kesurupan, padahal ini hanya cara Tesya untuk
lepas dari perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Tokoh Torang mengucap
kan jika akan mengundang “Pak pendeta” ke sini jika roh tersebut tidak mau keluar dari tubuh Tesya. Hanya satu kata ini yang melibatkan agama Nasrani
dalam novel ini, selebihnya tidak ada. Perihal agama, novel ini memang menghadirkan sisi spritualitas yang
positif pada tokoh Datu. Datu pula yang turut ikut dalam perlawanan dan penolakan kehadiran PT.IIU di kampung tersebut. Datu dengan fungsi spiritual
dihadirkan turun langsung dalam demontrasi warga melawan PT.IIU. Ini menjadi menarik karena tidak ada lembaga agama atau atribut agama dalam perlawanan
PT.IIU dalam novel ini. Selain karena kepentingan narasi, absennya agama dalam
146
melakukan perlawanan terhadp PT.IIU menjadi kritik novel ini. Hal ini juga dikuatkan dengan aspek pembaharuan yang ditawarkan oleh Monang yang juga
tidak memiliki dimensi agama nasrani di dalamnya. Untuk itulah, penulis menafsirkan hal ini sebagai kesengajaan untuk
“meniadakan” peran agama nasrani dalam novel ini. Lembaga agama yang pada uraian bab 2 memiliki peran sentral ditiadakan dalam novel ini tentu saja
memperlihatkan kritik sedang dibangun. Novel ini jelas memperlihatkan jika pemikiran Monang yang didasari pada pola kritis dan ranah politik diposisikan
lebih tinggi sehingga inilah yang mengindikasikan pada penulis jika novel ini turut mengkritisi peran lembaga agama dalam melawan PT.IIU.
Absensi lembaga agama di sini menjadi hal baru yang ditawarkan dalam novel ini. Dengan memposisikan tokoh Datu lebih tinggi daripada pendeta, jelas
memperlihatkan jika novel ini menawarakan “romantisme‟ pada masa tradisi. Jika ini dipadukan dengan pola pikir yang ditawarkan oleh Monang, maka bukan tidak
mungkin PT.IIU dapat dilawan. Setidaknya hal inilah yang penulis tangkap sebagai dasar absensi lembaga agama dalam novel. Di poin inilah, novel ini
sedang mengkritik lembaga agama yang sengaja dihadapkan dengan pemikiran Monang yang cenderung sekuler.
Dari uraian ini terlihat bahwa novel ini menyuarakan hal yang sama dengan perjuangan manusia Batak dalam menghadapi persoalan PT.IIU. Novel ini
mendudukan PT.IIU sebagai akar persoalan yang hadir dalam masyarakat Batak Toba. Citra negatif inilah yang dibangun termasuk dalam penarasian tokoh-tokoh
yang ada dalam jaringan kekuasaan PT.IIU. Tokoh-tokoh yang memihak PT.IIU dinarasikan sebagai tokoh yang negatif dan berakhir pada kekalahan atau
penangkapan. Kritik yang dibangun kemudian adalah persoalan PT.IIU yang akhirnya
berposisi pada pihak yang kalah jika dihubungkan dengan penangkapan tokoh- tokohnya di akhir cerita. Hal ini menandakan jika kehadiran tokoh datu yang
membawa dimensi “tradisi” dan digabungkan dengan sikap berani dan kritis
147
Monang mampu mengalahkan tokoh-tokoh yang memihak PT.IIU. Dengan kata lain, Tradisi, pendidikan, pola pikir kritis, serta berpolitik menjadi semacam
tawaran yang disampaikan novel ini untuk melawan PT.IIU dan menaikkan posisi tawar manusia Batak di tengah wacana industri atau meminjam istilah tokoh Datu
“Peradaban industri”.