Kritik Novel Terhadap Indorayon

142 kasus PT.IIU telah lama berlangsung dan tidak menyentuh solusi yang tepat dan pro Batak. Untuk itulah, Monang mengkritisi ini dengan pendidikan dan politik sebagai dasarnya. Menurut Monang harus ada gerakan politik dan pola pikir kritis yang massif dari manusia Batak dalam melawan PT.IIU. Ketiga, perjuangan tokoh Monang yang ikut dalam dinamika 1998, telah memperlihatkan idealismenya sebagai pemuda Batak. Melalui tokoh Monang, novel ini sedang mengkritik absensinya keterlibatan manusia Batak dalam lingkup negara, minimal kritik terhadap negara. Monang menjadi tokoh yang menawarkan idealisme dalam memantau dan menolak kebijakan negara yang tidak memihak masyarakat. Monang menolak ini dan dia melakukannya secara sadar. Ini pula yang menjadi kritik karena dapat digunakan dalam membangun asumsi atau meningkatkan posisi tawar warga Batak terhadap PT.IIU. Ketiga hal inilah yang ditawarkan Monang sekaligus kritikannya terhadap PT.IIU. Kritik novel ini terhadap PT.IIU diperlihatkan secara implisit dengan kasus tanah yang terjadi dalam kampung. Tanah menjadi awal persoalan karena tokoh Ganda menggunakan tanah adat atau tanah marga untuk barang taruhan. Hal ini jelas menjadi sesuatu yang tidak biasa bagi siapapun penghuni kampung. Akan tetapi, tokoh Hotman dengan antusias meneruskan perjudian. Dalam novel ini, tokoh Hotman dinarasikan memiliki kebanggan atas kemenanga judinya melawan Ganda. Hotman pula yang dengan bengga menuntut pada tokoh Torang Bapak ganda untuk memberikan tanah adat yang telah dipertaruhkan Ganda. Di sisi ini, kritik terhadap perilaku Hotman terbangun dengan dasar jika manusia Batak tidak mudah mengambil hak tanah adat marga lain. Hal ini dikarenakan konsep huta yang ada dalam masyarakat Batak Toba. Asumsinya, huta atau tanah yang ada di huta merupakan domain mutlak dari marga yang mendudukinya. Oleh karena itu, perilaku Hotman dapat ditafsirkan sebagai “tidak menghargai marga- marga” yang ada di huta tersebut. Diamnya para tokoh-tokoh lain yang ada dalam lapo ketika Ganda menunjukkan surat tanah sebagai pertaruhan juga menjadi sisi menarik untuk dibahas. Perilaku diam ini dapat ditafsirkan menjadi dua. Pertama, tokoh-tokoh 143 Batak yang ada saat itu tidak memiliki “pola pikir kritis” seperti yang ditawarkan oleh Monang. Inilah yang membentuk rasa diam para tokoh lainnya dan ini terbaca sebagai “sikap” persetujuan jika tanah adat menjadi objek taruhan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini. 53 “Orang-orang ikut melongok. Tangan mereka bergantian memegang surat tanah berlaminating yang dilemparkan Ganda ke tengah meja perjudian di ruangan itu. Rade pun ikut memegang surat itu. Asli ……………………………………………………………………….... Orang-orang di sekelilingnya mengangguk. Hampir serempak. Dalam mabuk, mereka tahu, peristiwa ini bisa saja menjadi peristiwa luar biasa. Tanah ladang keluarga jadi taruhan. Mereka senyum-senyum, meneguk lagi tuak lalu menggelengkan kepala. Reaksi yang hampir berbarengan. Mereka terus mengocok kartu. Membagi-bagikannya. Judi pun dilanjutkan … Simatupang, 2009: 140 Kedua, sikap diam ini dapat dibaca sebagai stigma yang sedang dibangun dalam novel ini jika “taruhan” memiliki norma dan hukumnya sendiri yang dapat melampaui hukum positif dan hukum adat yang ada. Perpindahan hak milik tanah di Batak sebenarnya telah diatur dalam aturan-aturan adat yang berlaku. Secara khusus terkait hal ini akan dibahas pada subbab selanjutnya. Perjudian yang terjadi sekali lagi memperlihatkan jika perilaku ini memiliki logikanya sendiri sehingga dapat melunturkan sikap hormat antarmarga yang saat ini masih dihidupi oleh manusia Batak. Kedua hal ini jika ditilik dari hubungannya pada tokoh Hotman yang berposisi sevisi dengan Amang Impal, yaitu perwakilan PT.IIU dalam novel ini menyajikan satu mekanisme yang secara internal dapat “menganggu” adat Batak yang ada. Di sinilah letak kritik yang penulis maksud. Perilaku mabuk dan berjudi yang dilakukan oleh para tokoh dalam cerita dan disesuaikan dengan imaji streotipe tentang Batak berakses secara tidak langsung terhadap penghormatan dan soliditas adat dalam kehidupan masyarakat Batak. Jika realita ini terjadi, PT.IIU atau perusahaan kapital apapun “mudah” mendominasi tanah atau sendi- sendi kehidupan masyarakat Batak. Selain itu, jika berbicara soal tanah adat batak dan hubungan antarmarga yang memang diatur dalam konsep dalihan na tolu, tanah akan berhubungan 144 langsung dengan identitas etnis Batak yang ada. Akan tetapi penulis sengaja tidak membahasnya pada subbab ini dengan harapan akan bisa membahas hal ini khusus pada subbab selanjutnya. Oleh karena itu, penulis akan melanjutkan dengan kritik-kritik yang dibangun oleh novel ini dalam kaitannya dengan PT.IIU. Kritik berikutnya yang ditawarkan dalam novel ini adalah terjadi pada akhir novel. Dalam narasi bagian akhir novel, diperlihatkan tokoh-tokoh yang berposisi pro pada PT.IIU atau berada dalam jaringan PT.IIU mengalami kekalahan. Di akhir cerita, novel ini merepresentasikan tokoh Amang Impal, tokoh Hotman, dan anak buahnya berakhir pada penangkapan dan penahanan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini : 54 Setelah beberapa hari di Lampung, Monang pun kemudian mendengar kabar tentang tertangkapnya kepala kampung dan kaki tangannya, setelah kejar-mengejar dengan aparat Simatupang, 2009: 247 Dari kutipan di atas dapat dilihat jika tokoh-tokoh yang pro dengan PT.IIU berakhir dengan kekalahan. Narasi ini tentu saja mempertegas posisi novel ini jika memposisikan pabrik kertas dan para tokohnya dengan kegagalan. Dengan kata lain, novel ini mencoba membangun satu paradigma jika soliditas yang dibangun oleh Ganda dan warga kampung dan peran kecil yang distimulan oleh Monang menjadi aspek yang dapat memberikan “pukulan” kecil pada tokoh-tokoh yang pro dengan PT.IIU. Dalam poin ini, Sihar merepresentasikan tokoh-tokoh yang ada dalam jaringan pabrik kertas sebagai pihak yang kalah. Pada poin ini, Sihar mengkonstruksi realitas imajiner yang berbeda dengan realitas kasus ini. Dalam perkembangannya, kasus ini belum selesai dan pelaku-pelaku atau aktor-aktor yang ada dalam relasi kekuasaan PT.IIU masih belum tertangkap atau dipidanakan. “Penyimpangan” inilah yang menjadi kritik Sihar dalam problematika PT.IIU dan masyarakat Toba. Hal yang mungkin bisa penulis kritik dalam hal ini adalah proses penangkapan dan kekalahan para tokoh yang berjaring dengan PT.IIU. Proses 145 kekalahan atau penangkapan para tokoh ini kurang terlalu dieksplorasi karena daya kritis dan politik Monang belum menghadirkan satu ruang baru bagi warga kampung untuk melakukan hal yang sama. Dengan segala atribut pemikiran kritis yang ditempa oleh Monang di perantuan tidak memiliki dampak yang cukup besar dalam pembentukan aliansi atau ruang berontak yang lebih masif dan politis. Novel ini hanya menyajikan satu adegan yang tiba-tiba proses penangkapan para tokoh ini terjadi. Walau ada sedikit peran Monang di dalamnya akan tetapi peran ini tidak terhubung dengan pola pikir kritis atau daya politik yang dibawa oleh tokoh Monang. Selain keterbatasan Monang dalam mengimplementasikan pola pikir kritis dan ranah politik yang ditawarkan, novel ini juga memiliki satu hal yang menarik untuk dibahas, yaitu keterlibatan agama. Uraian bab 2 telah menunjukkan jika gerakan perlawanan terhadap operasional PT.IIU juga melibatkan lembaga- lembaga agama di dalamnya. Tentu saja, jika berbicara soal konteks Batak Toba, maka agama yang dimaksudkan adalah Nasrani. Bagi penulis, hal ini menjadi sesuatu yang menarik. Sejauh yang penulis amati dalam novel ini, kata yang mewakili nasrani hanya muncul satu kali, yaitu ketika tokoh Torang, bapak dari tokoh Monang dan Ganda, serta mertua dari tokoh Tesya mengusir roh jahat. Roh jahat ini dianggap memasuki tokoh Tesya sehingga kesurupan, padahal ini hanya cara Tesya untuk lepas dari perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Tokoh Torang mengucap kan jika akan mengundang “Pak pendeta” ke sini jika roh tersebut tidak mau keluar dari tubuh Tesya. Hanya satu kata ini yang melibatkan agama Nasrani dalam novel ini, selebihnya tidak ada. Perihal agama, novel ini memang menghadirkan sisi spritualitas yang positif pada tokoh Datu. Datu pula yang turut ikut dalam perlawanan dan penolakan kehadiran PT.IIU di kampung tersebut. Datu dengan fungsi spiritual dihadirkan turun langsung dalam demontrasi warga melawan PT.IIU. Ini menjadi menarik karena tidak ada lembaga agama atau atribut agama dalam perlawanan PT.IIU dalam novel ini. Selain karena kepentingan narasi, absennya agama dalam 146 melakukan perlawanan terhadp PT.IIU menjadi kritik novel ini. Hal ini juga dikuatkan dengan aspek pembaharuan yang ditawarkan oleh Monang yang juga tidak memiliki dimensi agama nasrani di dalamnya. Untuk itulah, penulis menafsirkan hal ini sebagai kesengajaan untuk “meniadakan” peran agama nasrani dalam novel ini. Lembaga agama yang pada uraian bab 2 memiliki peran sentral ditiadakan dalam novel ini tentu saja memperlihatkan kritik sedang dibangun. Novel ini jelas memperlihatkan jika pemikiran Monang yang didasari pada pola kritis dan ranah politik diposisikan lebih tinggi sehingga inilah yang mengindikasikan pada penulis jika novel ini turut mengkritisi peran lembaga agama dalam melawan PT.IIU. Absensi lembaga agama di sini menjadi hal baru yang ditawarkan dalam novel ini. Dengan memposisikan tokoh Datu lebih tinggi daripada pendeta, jelas memperlihatkan jika novel ini menawarakan “romantisme‟ pada masa tradisi. Jika ini dipadukan dengan pola pikir yang ditawarkan oleh Monang, maka bukan tidak mungkin PT.IIU dapat dilawan. Setidaknya hal inilah yang penulis tangkap sebagai dasar absensi lembaga agama dalam novel. Di poin inilah, novel ini sedang mengkritik lembaga agama yang sengaja dihadapkan dengan pemikiran Monang yang cenderung sekuler. Dari uraian ini terlihat bahwa novel ini menyuarakan hal yang sama dengan perjuangan manusia Batak dalam menghadapi persoalan PT.IIU. Novel ini mendudukan PT.IIU sebagai akar persoalan yang hadir dalam masyarakat Batak Toba. Citra negatif inilah yang dibangun termasuk dalam penarasian tokoh-tokoh yang ada dalam jaringan kekuasaan PT.IIU. Tokoh-tokoh yang memihak PT.IIU dinarasikan sebagai tokoh yang negatif dan berakhir pada kekalahan atau penangkapan. Kritik yang dibangun kemudian adalah persoalan PT.IIU yang akhirnya berposisi pada pihak yang kalah jika dihubungkan dengan penangkapan tokoh- tokohnya di akhir cerita. Hal ini menandakan jika kehadiran tokoh datu yang membawa dimensi “tradisi” dan digabungkan dengan sikap berani dan kritis 147 Monang mampu mengalahkan tokoh-tokoh yang memihak PT.IIU. Dengan kata lain, Tradisi, pendidikan, pola pikir kritis, serta berpolitik menjadi semacam tawaran yang disampaikan novel ini untuk melawan PT.IIU dan menaikkan posisi tawar manusia Batak di tengah wacana industri atau meminjam istilah tokoh Datu “Peradaban industri”.

4.3 Bulan Lebam di Tepian Toba: Politisasi Identitas Batak Toba

Setelah melakukan pembahasan terkait identitas Batak yang terbangun dari representasi dalam novel, penulis akhirnya membawa hal tersebut sebagai dasar pemosisian novel Bulan Lebam di Tepian Toba dalam rangka politik identitas Batak Toba, secara khusus berhadapan dengan PT.IIU. Inilah yang menjadi fokus utama dalam pembahasan sub bab ini. Dalam melakukan pembahasan ini, penulis akan melihat politik identitas etnis Batak yang terbangun melalui novel ini menjadi dua subjudul. Subbab pertama adalah “konstruksipolitisasi identitas Etnis Batak”. Kedua, “Persoalan Tanah: Kritik Perlawanan Terhadap PT.IIU”. Sub judul pertama akan berisi terkait politik identitas yang didasarkan pada narasi imaji streotipe Batak dan persoalan-persoalan yang akan terhubung dengan pendidikan. Sub judul kedua akan membahas persoalan tanah dan korelasinya dengan kontruksi kritik yang bisa difungsikan dalam menghadapi PT.IIU.

4.3.1 KonstruksiPolitisasi Identitas Etnis Batak

Perubahan masyarakat Batak yang telah dianalisis pada bab III, menandakan jika satu persoalan kebatakn telah turut memengaruhi identitas etnis Batak Toba. Keadaan masyarakat Batak yang berubah menunjukkan sisi “lebam” yang ada di t epian Toba. Tentu saja, “Lebam” di sini mengindikasikan perubahan masyarakat Batak ke arah yang cenderung negatif, degradasi dan nir-makna. Di sisi lain, “lebam” yang ada adalah objektivasi tradisi sebagai objek komoditas yang hanya bernilai ekonomi saja. Dalam poin ini, Sihar turut dalam wacana kritis Batak yang berusaha merekam, merepresentasikan, dan mengkonstruksi identitas 148 etnis Batak Toba. Dalam poin inilah, penulis melihat posisi novel yang sedang menawarkan kritik atau tawaran dalam melihat identitas etnis Batak Toba. Hall dalam Cultural Identity and Diaspora menjelaskan persoalan identitas merupakan mekanisme produksi yang tidak akan pernah selesai. Dalam proses inilah, representasi menjadi kunci utama dalam politik identitas. Oleh karena itu, identitas akan selalu menyisakan masalah atau ruang dialog, termasuk identitas kultural atau identitas etnis. Hall 1993 mencatat jika: “Identity is not as transparent or unproblematic as we think. Perhaps instead of thinking of identity as an already accomplished fact, which the new cultural practices then represent, we should think, instead, of identity as a “production” which is never complete, always in process, and always constituted within, not outside, representation. This view problematizes the very aut hority and authencity to which the term, “cultural identity” lays claim. Kutipan dari Hall ini menjelaskan jika identitas etnis merupakan sesuatu yang diproduksi. Produksi inilah yang hadir dalam wujud representasi. Karena terwujud dalam representasi, maka identitas etnis dapat dilihat dari segala varian wacana, mulai dari media, peraturan, kebijakan, ilmu pengtahuan, hingga sastra. Oleh karena itu, produksi identitas etnis ini tidak akan pernah berhenti; akan selalu memiliki kontiniutas. Identitas etnis Batak yang direpresentasikan dalam novel ini setidaknya membuktikan jika identitas etnis Batak Toba masih didialogkan, diproduksi, dan direproduksikan. Di sisi inilah, keterkaitan teks novel dan konteks yang melatarbelakangi wacana kebatakan terjalin. Dalam melihat hal inilah, penulis meletakkan konsep Hall yang menandakan jika novel ini sedang berperan sebagai teks yang mencoba menawarkan konsep identitas etnis Batak. Terkait dengan identitas kultural, Hall 1996a kembali menegaskan : “There are at least two different ways of thinking about cultural identity. The first position defines “cultural identity in terms of one, shared culture, a sort of collective one true self, hiding inside the many other. More superficial or artificially imposed “selves”, which people with a shared history and ancestry hold in common. Whitin the terms of this definition, our cultural identities reflect the common historical experiences and 149 shared cultural codes which provide us, as one people”, with stable, unchanging and continuous frames of reference and meaning. Beneath the sifting divisions and vicissitudes of our actual history.” Kutipan ini menjelaskan jika identitas budaya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki secara kolektif. Hal ini bisa ditandai dengan persamaan sejarah dan leluhur. Identitas budaya merupakan cerminan kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk seseorang menjadi satu kesatuan, walaupun dari luar mereka terlihat tidak sama sekali pun. Perspektif ini menawarkan pandangan jika identitas budaya dapat terbentuk jika melihat kesamaan sejarah dan kode budaya yang menyatukan mereka. Hal inilah yang mengidentifikasikan mereka sebagai suatu kelompok. Untuk terma pertama Hall ini yang meletakkan frasa shared culture sebagai dasarnya, novel ini pun merepresentasikan hal yang sama. Dalam awal- awal uraian narasi, dihadirkan kesamaan mitologi, kesamaan kode-kode budaya yang ada dalam novel ini. Dengan kata lain, penanda-penanda inilah yang akhirnya disematkan sebagai identitas etnis Batak. Identitas etnis Batak yang ada dalam novel juga menyajikan kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang melengkapi identitas etnis Batak Toba pada tokoh-tokoh narasinya. Hal ini direpresentasikan dengan kode-kode budaya yang tetap dipakai untuk menarasikan identitas etnis batak. Hal ini dapat dilihat pada awal pengenalan tokoh Monang yang telah dibahas pada bab 3 sebelumnya. Ada beberapa ritus budaya yang memang menjadi penanda identitas etnis Batak itu sendiri. Gunung Simanjarunjung, Pusuk Buhit, Danau Toba, Lembah Panatapan, rumah panggung rumah bolon, parmalim, makam raja, dan marga-marga menjadi atribut kode-kode budaya yang dimiliki oleh manusia Batak. Gunung Simanjarunjung, Pusuk Buhit, Danau Toba, dan Lembah Penatapan merupakan kumpulan aspek alam yang memiliki fungsi baik secara materiil maupun kosmologi budaya. Rumah panggung, atribut kebudayaan Parmalim, makan raja dan marga-marga menjadi penanda produk budaya yang 150 ada dan masih dihidupi dalam masyarakat Batak Toba. Kesuluruhan elemen ini merupakan representasi kode-kode budaya yang menandakan identitas etnis Batak Toba. Kode-kode atau produk budaya yang kerap diidentifikasi sebagai penanda identitas Batak Toba juga dapat dilihat ketika novel ini merepresentasikan upacara adat, tortor, gondang, ulos, dan tarombo marga. Hal-hal inilah yang coba direpresentasikan oleh novel ini dalam kaitannya memperlihatkan penanda- penanda identitas etnis Batak. Dengan kata lain, novel ini menunjukkan jika etnisitas Batak Toba pastilah diwarnai dengan atribut-atribut yang telah dibahas pada dua paragaf di atas. Selain itu, dua hal adat Batak yang terlihat secara eksplisit dalam novel ini adalah tarombo marga dan simin. Dua hal ini direpresentasikan ketika tokoh Monang pulang kampung dan menemai mamaknya ke makam tokoh Ganda Abangnya. tarombo marga dan simin merupakan dua adat yang hingga kini masih dihidupi oleh manusia Batak. Setidaknya, hal ini penulis dasarkan dari pengalaman penulis sendiri sebagai orang Batak. Kedua hal ini sangat sulit untuk tidak diterapkan mengingat di sinilah pencatatan regenerasi Batak dilakukan. Tarombo marga menjadi satu dokumen yang mencatat sejarah marga mulai dari keturunan pertama hingga terakhir, sedangkan simin adalah konsep pemakaman yang dikhususukan untun satu keluarga dalam satu marga. Kode-kode Budaya atau upaya shared culture yang direpresentasikan oleh novel ini sebenarnya telah dibahas pada bab 3 58 . Sihar secara sadar meletakkan dimensi-dimensi mitologi adat, dan atribut-atribut Batak di dalamnya. Dengan kata lain, sulit untuk menyangkal jika novel ini menghadirkan identitas etnis Batak melekat dengan dimensi-dimensi ini. Setidaknya penulis merasa ungkapan “jangan sebut Batak, jika tidak menerapkan seluruh dimensi kearifan lokal manusia Batak ini ” menjadi satu tawaran yang diberikan untuk menghadirkan identitas etnis Batak di dalamnya. 58 Lihat analisis bab III pada subjudul “Representasi Kearifan Lokal”. 151 Penanda-penanda atau kode-kode kebudayaan inilah yang masih dipertahankan oleh novel ini untuk merujuk identitas etnis Batak. Kode-kode kebudayaan ini menjadi dasar hidup dan terus dihidupi hingga saat ini. Penanda- penanda ini akan senantiasa muncul dalam acara-acara adat Batak yang dilakukan oleh manusia Batak di manapun dia berada. Dengan kata lain, penanda-penanda identitas etn is ini bersifat “permanen”. Setidaknya jika penulis menggunakan istilah penulis sendiri, penanda-penanda ini terhubung dalam 3 dimensinya; Manusia Batak – Pencipta kosmologi budaya, Manusia Batak- Alam tempat penghidupan, dan Manusia Batak – manusia Batak lainnya relasi adat dan sosial. Kesamaan dalam konsep tiga dimensi inilah yang menandakan identitas etnis Batak. Ini juga seturut dengan konsep identitas etnis yang pertama menurut konsep Hall yang telah dikutip di atas. Kode-kode budaya ini sebagai identifikasi secara internal dalam masyarakat Batak terkait atribut kebatakan yang wajib ada dalam diri manusia Batak. Stuart Hall menambahkan bahwa persoalan identitas bukanlah semata- mata berkaitan dengan eksistensi. Dalam kaitannya dengan ini pula, menurut Hall ada suatu politik identitas yang dibangun karena kompleksitas persoalan identitas yang ada. Identitas etnis yang diacu atau dirujuk dengan kesamaan konsep, penanda, atribut, dan kebersejarahan etnis dirasa oleh Hall menjadi tidak cukup lagi digunakan dalam analisis identitas. Untuk memperlihatkan hal ini, penulis akan kembali mengutip persoalan politik identitas Hall. Politik identitas adalah wacana yang cukup banyak dilihat dan dilakukan pada era 1970‟an. Dalam masa-masa ini, politik identitas dipakai untuk melihat kepentingan suatu identitas, misalnya komunitas gay, komunitas kulit hitam, kelompok feminis dan banyak lainya lagi. Gerakan yang dilakukan di sini didasari oleh konsep identitas yang tradisional. Hall dalam Potcher, 2004: 118 menyatakan jika identitas ini dianggap absolut, terberi, dan didasari dengan identifikasi kesamaan-kesamaan dari anggota kelompok, misalnya gender, ras, etnisitas, dll. Identitas tradisonal ini menghadirkan solidaritas yang mapan dan mampu menggerakan kelompok-kelompok yang ada menyuarakan dan 152 memposisikan diri mereka. Hasilnya adalah dengan beberapa kelompok mendapatkan legitimasi eksistensinya. Akan tetapi, pada perkembangnnya solidaritas ini akhirnya terbagi-bagi karena dirasa kebutuhan dan kepentingan satu kelompok tidak bisa lagi dihomogenkan. Sebagai contoh kelompok feminis. Pada dekade sebelumnya kelompok feminis telah berhasil menyuarakan dan memposisikan eksistensinya. Akan tetapi pada fase selanjutnya, ada perbedaan ketika kelompok feminis terbagi menjadi dua identitas, identitas feminis kulit putih white feminist, dan feminis kulit hitam black feminist. Adanya perbedaan perspektif dan identifikasi diri yang lebih lanjut pada akhirnya membuat perbedaan jika hal-hal yang dilakukan oleh kelompok feminis kulit putih tidak lagi mampu mengakomdasi kepentingan feminis kulit hitam. Pada akhirnya tidak bisa lagi dikatakan jika gerakan kelompok feminis kulit putih serta merta dapat diterjemahkan sebagai gerakan kelompok feminis kulit hitam. Dari uraian singkat di atas, dapat terlihat jika perjuangan yang pada dasarnya dimulai dari kesamaan nasib dan kesamaan perlakuan yang dialami oleh perempuan menunjukkan perkembangan yang berbeda. Kesamaan yang lahir di awal pergerakan ini akhirnya tidak mampu ketika di komunitas atau secara internal sendiri terdapat kepentingan yang berbeda, contohnya adalah feminis kulit putih dan feminis kulit hitam. Akhirnya, identitas yang hadir menjadi kompleks karena perbedaan kepentingan di dalamnya. Dalam konteks konsep identitas di atas, penulis merasa jika Sihar memiliki atau setidaknya menawarkan konsep identitas. Tentu saja, dalam hal ini, Sihar memiliki maksud atau kepentingan di dalamnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya jika identitas etnis pada cara pertama telah diperlihatkan dalam novel dalam bentuk penanda-penanda yang disematkan sebagai identitas etnis Batak. Hal ini menandakan jika identitas secara tradisional tidak lagi cukup. Melanjutkan penjelasan identitas Hall, Portcer 2004: 118 menambakan jika : “The recognition … of the impossibility of identity in its fully unified meaning, does, of course, transform the nature of political commitment.