Stereotipe Batak Representasi Batak yang Stereotyping
106
merupakan komunitas yang pendendam. Representasi ini dihadirkan dengan mendeskripsikan karakter manusia Batak yang senantiasa mengutamakan harga
diri daripada hal lainnya, sekali pun itu salah. Ini terlihat ketika Monang sampai ke rumahnya untuk pertama kali. Saat itu, sang Ayah: Torang memberitahu
terkait status Ganda. 26
“Ngeri hidup ini, Hamonangan…, Cuma abangmu selama ini yang menyenangkan orangtua, sekalipun hanya di kedai dan minum saja
kerjanya. Dia lebih baik, dia ada di depan mata kami Sedangkan kau, kabar pun lenyap, malas kali kau kirim surat atau kirim pesan ke
kawan-kawan sekampung. Seharusnya abangmu yang merantau bersama isteri dan anaknya, bukan malah kau yang belum menikah
Simatupang, 2009: 28” Kutipan di atas merupakan tuturan yang disampaikan oleh tokoh Torang.
Torang merupakan bapak dari tokoh utama dalam novel ini, yaitu Monang. Tutu
ran dari tokoh Torang di atas merepresentasikan dua hal, yaitu persepsi “anak baik” yang lebih mengarah kepada anak yang tidak berhasil di depan mata lebih
baik daripada yang merantau. Dalam hal ini, Torang sebagai Bapak dari pemuda Batak lebih memilih anaknya yang ada di depan tidak merantau sekalipun
pemabuk dibanding tokoh Monang yang merantau di tanah Jawa. Tokoh Torang digambarkan sebagai manusia Batak yang bisa menerima
perbuatan anaknya yang melakukan aktivitas judi atau mabuk. Tentu saja, hal ini bukanlah hal yang tabu atau dimaksudkan pada aspek moral. Hanya saja,
representasi tokoh Torang dalam sisi ini menjadikan manusia Batak yang memberikan toleransi terhadap
“perbuatan‟ tersebut. Hal ini seolah-olah manusia Batak tidak memiliki indikator penilaian lainnya dalam melihat dan menilai anak-
anaknya. Ada keberterimaan di keluarga Batak jika anaknya menjadi seorang pemabuk. Inilah yang terkonstruksi pada poin pertama.
Representasi kedua adalah, hakikat pernikahan bagi masyarakat Batak. Bagi tokoh Torang, perantauan anaknya, Monang menjadi sangat gagal karena
tidak berhasil dari segi pendidikan dan pulang dengan status lajangnya. Sekali lagi, Torang merupakan representasi kebatakan yang ada, baik yang terkait
dengan harga diri maupun stigma lajang dalam masyarakat Batak Toba. Identitas
107
Batak Toba yang terbangun adalah manusia Batak yang menganggap perkawinan sebagai hal yang penting. Ini bukanlah sesuatu yang aneh mengingat pernikahan
menjadi satu hal yang paling penting dari konsep hidup manusia Batak, yaitu meregenerasi marga. Inilah yang menjadi salah satu dasar pencapaian konsep
hagabeon. Inilah yang terpresentasikan dari kutipan 26. Hal ini masih dipertegas dengan kutipan 27 di bawah ini
27 “Si anak hilang telah pulang tetapi harga dirinya sudah hilang.
Akh..dia memang pecundang Dia bersalah. Semua tandas. Kebanggaan sebagai perantauan lenyap. Monang kalah Monang
pulang tak membawa hasil. Tanpa harta, tanpa gelar sarjana, tanpa isteri, dan anak yang menggandeng tangan Monang Simatupang,
2009: 41-42.
Tidak hanya tokoh Torang yang mengatakan jika harga diri Batak yang dipertahankan saat ini adalah hal paling penting meskipun salah. Ketika
percakapan dengan tokoh Rade dengan Monang di Lapo Tuak. Rade mengatakan jika harga diri lebih penting dan kegagalan Monang dalam pendidikan dan
perantaua sama maknanya dengan pecundang. 28
“Seharusnya kau jangan pernah pulang lagi, Monang. Betapa malu aku kalau jadi kau. Kuliah gagal. Bah…, tapi berani menampakkan
wajahmu di kampung. … Itu sama dengan pecundang” Simatupang, 2009: 232
Tuturan yang disampaikan oleh Tokoh Rade menjadi menarik jika menilik karakter tokoh Rade. Tokoh Rade adalah teman minum atau pemuda Batak yang
merupakan teman dari Ganda, Kakak dari tokoh Monang. Seorang pemuda yang dikarakterkan dengan sifat pemabuk, penjudi, dan suka berkelahi akan tetapi
mengaku memiliki “rasa malu” yang dilontarkan kepada Monang. Kegagalan Monang di perantuan lebih dianggap sebagai “aib” dibanding dengan status
pemuda Batak yang ada di Lapo Tuak yang kesehariannya hanya mabuk dan berjudi saja. Inilah yang menandakan jika identitas etnis batak tetap
mempertahankan “mabuk” yang dimaksud. Kutipan 28 juga menjadi cara Sihar untuk membandingkan posisi
pendidikan yang berorientasi pada ijazah. Kegagalan Monang diperlihatkan oleh
108
Sihar sebagai sesuatu yang pantas untuk diolok-olok oleh tokoh Rade, tokoh yang notabene dihadirkan dengan karakter pemabuk, penjudi, dan tidak terpelajar.
Sentimen ini pulalah yang dikonstruksi oleh Sihar jika perubahan corak pendidikan yang berbasis ijazah masih berlaku di Tanah Batak dan inilah yang
perlu dikaji ulang. Imaji stereotipe berikutnya direpresentasikan ketika Tesya memutuskan
untuk berpura-pura menjadi gila. Novel ini merepresentasikan kepercayaan atau streotipe masyarakat Batak Toba yang masih gemar berhubungan dengan hal-hal
yang bernuansa metafisik atau lebih tepat dianggap irasional. 29
“Orang-orang panik dan berlari keluar rumah. Bapakku berteriak marah, mamak menangis meraung. Tangan Bapak menuding aku. Dia
meneriakkan kata- kata “Roh halus, enyah, enyah. Jangan ganggu
anakku. Akan kupanggil pendeta nanti, akan ditengkingnya kau nanti” Tesya akhirnya tertangkap dan diikat di pohon manga.
“Diam, diam, kubilang. Hantu mana kau, siapa lagi kau yang merasuki jiwa anakku. Apa masalahmu dengan kami, apa masalahmu
Simatupang, 2009: 152”.
Kejadian yang dideksripsikan pada kutipan 29 ini adalah narasi ketika tokoh Tesya berpura-pura menjadi gila. Kepuraan-puraan gila ini dilakukan tokoh
Tesya agar tidak banyak perjodohan yang diwajibkan kepadanya karena berstatus janda. Kepura-puraan ini ternyata berhasil. Hal inilah yang mengundang beberapa
orang yang ada di sekitar Tesya menyimpulkan jika Tesya dirasuki roh halus. Kutipan 29 dengan eksplisit merepresentasikan irasionalitas manusia
Batak Toba yang masih percaya mistis. Hal ini tentu saja dapat ditafsir sebagai penanda tradisional. Sihar menghadirkan jika dimensi ini masih terjadi di Tanah
Batak. Di sisi lain, penulis merasa jika kutipan ini menjadi kritik Sihar terhadap kebiasaan ini. Jika dilihat secara naratif, kutipan ini melibatkan dua hal di
dalamnya, yaitu tradisi Bapak Tesya dan masyarakat sekitar dan Tesya perempuan Batak yang pernah mengecap pendidikan. Posisi tawar yang
dihadirkan dengan tokoh Tesya yang terpinggirkan memperlihatkan bahwa pendidikan masih belum mampu menghilangkan kebiasaan ini. Pendidikan tidak
memiliki posisi tawar dalam hal ini.
109
Jika dilihat dari tokoh, kutipan ini diungkapkan oleh tokoh Tesya sehingga dapat dikatakan jika kutipan ini merupakan salah satu ironi yang dibangun oleh
Tesya. Pengetahuannya yang diperoleh di sekolah tidak mampu membantu hal apapun ketika menghadapi perilaku yang dinarasikan. Hal lainnya yang menarik
adalah kemunculan kata “pendeta”. Kata “pendeta” di sini hanya disebutkan satu kali. Hal ini menjadi menarik jika melihat bahwa yang menyebutkan kata tersebut
adalah Bapak Tesya. Kata “pendeta” yang muncul semakin mempertegas jika identitas etnis Batak akan bersentuhan dengan “pendeta”. Novel ini tidak hanya
menarasikan irasionalitas Batak Toba, hal menarik lainnya yang dapat dibahas adalah cara penanganan yang dilakukan oleh masyarakat terkait kegilaan Tesya.
Representasi yang dihadirkan pun masih sama dengan imaji streotipe Batak Toba yang
“kerasanarki” dalam menyelesaikan masalah. Hal inilah yang tampak dari tindakan mengikat tokoh Tesya ke pohon mangga. Representasi ini pun
dilanjutkan dengan kejadian selanjutnya dari kegilaan Tesya. 30
Pasung Kata “pasung” terdengar di telingaku Rencananya, aku akan dipasung
mereka. Aku kaget karena ternyata mereka malah memasung. Kukira, dengan pura-pura gila, kedua orangtuaku akan merawat sebagaimana
orang s
akit…” Dipasung Aku perawat walau kuliah tak sampai selesai, pernah mengenyam pendidikan, harus dipasung karena diduga
gila Simatupang, 2009: 153.
Kutipan 30 mendeskripsikan perlakuan dari orang-orang di sekitar Tesya. Mereka lebih memilih memasung Tesya walau mereka sangat mengenal
Tesya. Ini semakin ditambahkan dengan status Tesya yang pernah kuliah keperawatan. Tentu saja ini sangat anomali. Kemajuan pendidikan Tesya tidak
serta merta diakui dan dianggap penting oleh orang-orang yang memasangnya. Tentu saja, identitas etnis Batak Toba yang terbangun adalah Batak yang
irrasional. Pasungan yang dialami oleh Tesya masih berlanjut pada kutipan 31.
31 Inilah kenyataan, zaman di huta kita belum berubah rupanya. Dua hari
aku berada dalam rumah panggung. Diikat tali tambang pada kayu mahoni yang hitam dan liat, kaki dan tanganku dipentang, siang dan
110
malam mataku cuma bisa melihat kayu dan celah lantai rumah yang terbuat papan. Dua kali matahari terbit dan terbenam di sekelilingi
tubuhku.
“Kudengar semayup suaranya. Mengabarkan kalau aku sesungguhnya tidak gila. Cuma, kata Datu, roh Ganda, roh abangmu memang suka
berbicara kepadaku. Kata Datu, roh abangmu itu akan marah bila mereka memperlakukan aku seperti ini Simatupang, 2009: 153-154.
Sub bab ini menghadirkan satu representasi yang mengkonstruk identitas etnis Batak. Imaji identitas Batak yang tersebar di masyarakat umum turut hadir
dalam novel ini. Imaji stereotipe Batak yang dihadirkan melalui tokoh pemuda Batak :Hotman, Rade, Ganda, dan tokoh Peak dapat dikatakan memiliki keseuaian
dengan imaji stereotipe Batak Toba yang ada dalam masyarakat umum. Streotipe Batak sendiri cendrung akan membentuk citra yang negatif dalam identitas etnis
Batak. Imaji stereotipe Batak yang umumnya dihadirkan dalam novel ini adalah identitas etnis Batak yang pemabuk, gemar berjudi, melakukan kekerasan,
emosional,dan irrasional. Tentu saja, ini masih disesuaikan dengan pola pengkarakteran para tokoh yang sengaja dibangun agar pengaluran cerita menjadi
baik. Dengan kata lain, ada kesesuaian representasi perilaku tokoh-tokoh dalam novel ini dengan imaji stereotipe Batak dengan imaji masyarakat umum.
Persis dalam merepresentasikan imaji stereotipe inilah menjadi poin yang dikritik Sihar dalam novel ini. Imaji stereotipe Batak direprsentasikan Sihar
dengan tokoh-tokoh yang memiliki perilaku mabuk dan penjudi. Hal ini dikritik Sihar dengan mengkarakterkan tokoh-tokoh tambahan yang mereprsentasikan
perilaku ini. Novel ini jelas memperlihatkan jika imaji stereotipe Batak yang pada masyarakat umum tentang Batak memang terjadi akan tetapi ini tidak
melegitimasi jika imaji yang sama tidak berlaku di budaya etnis lain. Dengan memposisikan perilaku mabuk dan berjudi yang bukan merupakan kebiasaan
orosinalitas Batak, Sihar telah mengkritik sekaligus mengkonstruk identitas etnis Batak yang mengakui adanya perilaku tersebut akan tetapi menegosiasikan
perilaku tersebut dengan tokoh Datu dan Monang.
111
Dengan kata lain, Sihar mengakui jika perilaku mabuk dan penjudi merupakan salah satu perilaku yang ada di Tanah Batak. Ini sangat sesuai dengan
imaji stereotipe Batak pada umumnya. akan tetapi, Sihar mencoba merekonstruk perilaku atau identitas Batak ini dengan kehadiran tokoh Datu dan Monang yang
memang membawa perilaku dan corak pandang berbeda dari tokoh-tokoh yang telah direpresentasikan dalam subbab ini.