Stereotipe Batak Representasi Batak yang Stereotyping

106 merupakan komunitas yang pendendam. Representasi ini dihadirkan dengan mendeskripsikan karakter manusia Batak yang senantiasa mengutamakan harga diri daripada hal lainnya, sekali pun itu salah. Ini terlihat ketika Monang sampai ke rumahnya untuk pertama kali. Saat itu, sang Ayah: Torang memberitahu terkait status Ganda. 26 “Ngeri hidup ini, Hamonangan…, Cuma abangmu selama ini yang menyenangkan orangtua, sekalipun hanya di kedai dan minum saja kerjanya. Dia lebih baik, dia ada di depan mata kami Sedangkan kau, kabar pun lenyap, malas kali kau kirim surat atau kirim pesan ke kawan-kawan sekampung. Seharusnya abangmu yang merantau bersama isteri dan anaknya, bukan malah kau yang belum menikah Simatupang, 2009: 28” Kutipan di atas merupakan tuturan yang disampaikan oleh tokoh Torang. Torang merupakan bapak dari tokoh utama dalam novel ini, yaitu Monang. Tutu ran dari tokoh Torang di atas merepresentasikan dua hal, yaitu persepsi “anak baik” yang lebih mengarah kepada anak yang tidak berhasil di depan mata lebih baik daripada yang merantau. Dalam hal ini, Torang sebagai Bapak dari pemuda Batak lebih memilih anaknya yang ada di depan tidak merantau sekalipun pemabuk dibanding tokoh Monang yang merantau di tanah Jawa. Tokoh Torang digambarkan sebagai manusia Batak yang bisa menerima perbuatan anaknya yang melakukan aktivitas judi atau mabuk. Tentu saja, hal ini bukanlah hal yang tabu atau dimaksudkan pada aspek moral. Hanya saja, representasi tokoh Torang dalam sisi ini menjadikan manusia Batak yang memberikan toleransi terhadap “perbuatan‟ tersebut. Hal ini seolah-olah manusia Batak tidak memiliki indikator penilaian lainnya dalam melihat dan menilai anak- anaknya. Ada keberterimaan di keluarga Batak jika anaknya menjadi seorang pemabuk. Inilah yang terkonstruksi pada poin pertama. Representasi kedua adalah, hakikat pernikahan bagi masyarakat Batak. Bagi tokoh Torang, perantauan anaknya, Monang menjadi sangat gagal karena tidak berhasil dari segi pendidikan dan pulang dengan status lajangnya. Sekali lagi, Torang merupakan representasi kebatakan yang ada, baik yang terkait dengan harga diri maupun stigma lajang dalam masyarakat Batak Toba. Identitas 107 Batak Toba yang terbangun adalah manusia Batak yang menganggap perkawinan sebagai hal yang penting. Ini bukanlah sesuatu yang aneh mengingat pernikahan menjadi satu hal yang paling penting dari konsep hidup manusia Batak, yaitu meregenerasi marga. Inilah yang menjadi salah satu dasar pencapaian konsep hagabeon. Inilah yang terpresentasikan dari kutipan 26. Hal ini masih dipertegas dengan kutipan 27 di bawah ini 27 “Si anak hilang telah pulang tetapi harga dirinya sudah hilang. Akh..dia memang pecundang Dia bersalah. Semua tandas. Kebanggaan sebagai perantauan lenyap. Monang kalah Monang pulang tak membawa hasil. Tanpa harta, tanpa gelar sarjana, tanpa isteri, dan anak yang menggandeng tangan Monang Simatupang, 2009: 41-42. Tidak hanya tokoh Torang yang mengatakan jika harga diri Batak yang dipertahankan saat ini adalah hal paling penting meskipun salah. Ketika percakapan dengan tokoh Rade dengan Monang di Lapo Tuak. Rade mengatakan jika harga diri lebih penting dan kegagalan Monang dalam pendidikan dan perantaua sama maknanya dengan pecundang. 28 “Seharusnya kau jangan pernah pulang lagi, Monang. Betapa malu aku kalau jadi kau. Kuliah gagal. Bah…, tapi berani menampakkan wajahmu di kampung. … Itu sama dengan pecundang” Simatupang, 2009: 232 Tuturan yang disampaikan oleh Tokoh Rade menjadi menarik jika menilik karakter tokoh Rade. Tokoh Rade adalah teman minum atau pemuda Batak yang merupakan teman dari Ganda, Kakak dari tokoh Monang. Seorang pemuda yang dikarakterkan dengan sifat pemabuk, penjudi, dan suka berkelahi akan tetapi mengaku memiliki “rasa malu” yang dilontarkan kepada Monang. Kegagalan Monang di perantuan lebih dianggap sebagai “aib” dibanding dengan status pemuda Batak yang ada di Lapo Tuak yang kesehariannya hanya mabuk dan berjudi saja. Inilah yang menandakan jika identitas etnis batak tetap mempertahankan “mabuk” yang dimaksud. Kutipan 28 juga menjadi cara Sihar untuk membandingkan posisi pendidikan yang berorientasi pada ijazah. Kegagalan Monang diperlihatkan oleh 108 Sihar sebagai sesuatu yang pantas untuk diolok-olok oleh tokoh Rade, tokoh yang notabene dihadirkan dengan karakter pemabuk, penjudi, dan tidak terpelajar. Sentimen ini pulalah yang dikonstruksi oleh Sihar jika perubahan corak pendidikan yang berbasis ijazah masih berlaku di Tanah Batak dan inilah yang perlu dikaji ulang. Imaji stereotipe berikutnya direpresentasikan ketika Tesya memutuskan untuk berpura-pura menjadi gila. Novel ini merepresentasikan kepercayaan atau streotipe masyarakat Batak Toba yang masih gemar berhubungan dengan hal-hal yang bernuansa metafisik atau lebih tepat dianggap irasional. 29 “Orang-orang panik dan berlari keluar rumah. Bapakku berteriak marah, mamak menangis meraung. Tangan Bapak menuding aku. Dia meneriakkan kata- kata “Roh halus, enyah, enyah. Jangan ganggu anakku. Akan kupanggil pendeta nanti, akan ditengkingnya kau nanti” Tesya akhirnya tertangkap dan diikat di pohon manga. “Diam, diam, kubilang. Hantu mana kau, siapa lagi kau yang merasuki jiwa anakku. Apa masalahmu dengan kami, apa masalahmu Simatupang, 2009: 152”. Kejadian yang dideksripsikan pada kutipan 29 ini adalah narasi ketika tokoh Tesya berpura-pura menjadi gila. Kepuraan-puraan gila ini dilakukan tokoh Tesya agar tidak banyak perjodohan yang diwajibkan kepadanya karena berstatus janda. Kepura-puraan ini ternyata berhasil. Hal inilah yang mengundang beberapa orang yang ada di sekitar Tesya menyimpulkan jika Tesya dirasuki roh halus. Kutipan 29 dengan eksplisit merepresentasikan irasionalitas manusia Batak Toba yang masih percaya mistis. Hal ini tentu saja dapat ditafsir sebagai penanda tradisional. Sihar menghadirkan jika dimensi ini masih terjadi di Tanah Batak. Di sisi lain, penulis merasa jika kutipan ini menjadi kritik Sihar terhadap kebiasaan ini. Jika dilihat secara naratif, kutipan ini melibatkan dua hal di dalamnya, yaitu tradisi Bapak Tesya dan masyarakat sekitar dan Tesya perempuan Batak yang pernah mengecap pendidikan. Posisi tawar yang dihadirkan dengan tokoh Tesya yang terpinggirkan memperlihatkan bahwa pendidikan masih belum mampu menghilangkan kebiasaan ini. Pendidikan tidak memiliki posisi tawar dalam hal ini. 109 Jika dilihat dari tokoh, kutipan ini diungkapkan oleh tokoh Tesya sehingga dapat dikatakan jika kutipan ini merupakan salah satu ironi yang dibangun oleh Tesya. Pengetahuannya yang diperoleh di sekolah tidak mampu membantu hal apapun ketika menghadapi perilaku yang dinarasikan. Hal lainnya yang menarik adalah kemunculan kata “pendeta”. Kata “pendeta” di sini hanya disebutkan satu kali. Hal ini menjadi menarik jika melihat bahwa yang menyebutkan kata tersebut adalah Bapak Tesya. Kata “pendeta” yang muncul semakin mempertegas jika identitas etnis Batak akan bersentuhan dengan “pendeta”. Novel ini tidak hanya menarasikan irasionalitas Batak Toba, hal menarik lainnya yang dapat dibahas adalah cara penanganan yang dilakukan oleh masyarakat terkait kegilaan Tesya. Representasi yang dihadirkan pun masih sama dengan imaji streotipe Batak Toba yang “kerasanarki” dalam menyelesaikan masalah. Hal inilah yang tampak dari tindakan mengikat tokoh Tesya ke pohon mangga. Representasi ini pun dilanjutkan dengan kejadian selanjutnya dari kegilaan Tesya. 30 Pasung Kata “pasung” terdengar di telingaku Rencananya, aku akan dipasung mereka. Aku kaget karena ternyata mereka malah memasung. Kukira, dengan pura-pura gila, kedua orangtuaku akan merawat sebagaimana orang s akit…” Dipasung Aku perawat walau kuliah tak sampai selesai, pernah mengenyam pendidikan, harus dipasung karena diduga gila Simatupang, 2009: 153. Kutipan 30 mendeskripsikan perlakuan dari orang-orang di sekitar Tesya. Mereka lebih memilih memasung Tesya walau mereka sangat mengenal Tesya. Ini semakin ditambahkan dengan status Tesya yang pernah kuliah keperawatan. Tentu saja ini sangat anomali. Kemajuan pendidikan Tesya tidak serta merta diakui dan dianggap penting oleh orang-orang yang memasangnya. Tentu saja, identitas etnis Batak Toba yang terbangun adalah Batak yang irrasional. Pasungan yang dialami oleh Tesya masih berlanjut pada kutipan 31. 31 Inilah kenyataan, zaman di huta kita belum berubah rupanya. Dua hari aku berada dalam rumah panggung. Diikat tali tambang pada kayu mahoni yang hitam dan liat, kaki dan tanganku dipentang, siang dan 110 malam mataku cuma bisa melihat kayu dan celah lantai rumah yang terbuat papan. Dua kali matahari terbit dan terbenam di sekelilingi tubuhku. “Kudengar semayup suaranya. Mengabarkan kalau aku sesungguhnya tidak gila. Cuma, kata Datu, roh Ganda, roh abangmu memang suka berbicara kepadaku. Kata Datu, roh abangmu itu akan marah bila mereka memperlakukan aku seperti ini Simatupang, 2009: 153-154. Sub bab ini menghadirkan satu representasi yang mengkonstruk identitas etnis Batak. Imaji identitas Batak yang tersebar di masyarakat umum turut hadir dalam novel ini. Imaji stereotipe Batak yang dihadirkan melalui tokoh pemuda Batak :Hotman, Rade, Ganda, dan tokoh Peak dapat dikatakan memiliki keseuaian dengan imaji stereotipe Batak Toba yang ada dalam masyarakat umum. Streotipe Batak sendiri cendrung akan membentuk citra yang negatif dalam identitas etnis Batak. Imaji stereotipe Batak yang umumnya dihadirkan dalam novel ini adalah identitas etnis Batak yang pemabuk, gemar berjudi, melakukan kekerasan, emosional,dan irrasional. Tentu saja, ini masih disesuaikan dengan pola pengkarakteran para tokoh yang sengaja dibangun agar pengaluran cerita menjadi baik. Dengan kata lain, ada kesesuaian representasi perilaku tokoh-tokoh dalam novel ini dengan imaji stereotipe Batak dengan imaji masyarakat umum. Persis dalam merepresentasikan imaji stereotipe inilah menjadi poin yang dikritik Sihar dalam novel ini. Imaji stereotipe Batak direprsentasikan Sihar dengan tokoh-tokoh yang memiliki perilaku mabuk dan penjudi. Hal ini dikritik Sihar dengan mengkarakterkan tokoh-tokoh tambahan yang mereprsentasikan perilaku ini. Novel ini jelas memperlihatkan jika imaji stereotipe Batak yang pada masyarakat umum tentang Batak memang terjadi akan tetapi ini tidak melegitimasi jika imaji yang sama tidak berlaku di budaya etnis lain. Dengan memposisikan perilaku mabuk dan berjudi yang bukan merupakan kebiasaan orosinalitas Batak, Sihar telah mengkritik sekaligus mengkonstruk identitas etnis Batak yang mengakui adanya perilaku tersebut akan tetapi menegosiasikan perilaku tersebut dengan tokoh Datu dan Monang. 111 Dengan kata lain, Sihar mengakui jika perilaku mabuk dan penjudi merupakan salah satu perilaku yang ada di Tanah Batak. Ini sangat sesuai dengan imaji stereotipe Batak pada umumnya. akan tetapi, Sihar mencoba merekonstruk perilaku atau identitas Batak ini dengan kehadiran tokoh Datu dan Monang yang memang membawa perilaku dan corak pandang berbeda dari tokoh-tokoh yang telah direpresentasikan dalam subbab ini.

3.4.2 Pemikiran tokoh Datu dan Monang: Representasi Identitas Etnis Batak Toba yang Baru

Selain representasi yang mendeskripsikan imaji streotipe Batak, novel ini pun menarasikan beberapa karakter berbeda dari streotipe Batak umumnya. Dalam posisi ini, representasi Batak Toba yang hadir dapat dibaca sebagai upaya yang dilakukan Sihar dalam menegosiasikan atau mengkonstruk identitas etnis Batak Toba. Dalam konteks novel ini, ada dua tokoh yang dihadirkan oleh Sihar sebagai reprsentasi identitas Batak Toba yang Baru, yaitu tokoh Datu dan tokoh Monang.

3.4.2.1 Pemikiran tokoh Datu: representasi identitas etnis Batak Toba baru

Seperti yang telah dibahas pada subbab sebelumnya, jika tokoh Datu menjadi tokoh dominan yang membawa sisi tradisi atau “Batak yang dulu” dalam novel. Penulis merasa jika Sihar meletakkan pemikiran atau upayanya dalam mendialogkan ulang identitas etnis Batak salah satunya melalui tokoh Datu. Representasi ini dimulai dengan umpasa yang dilontarkan oleh tokoh Datu. 32 Simaklah dia marumpasa : Pauk-pauk hudali pago-pago tarugi Na tading ta ulahi, na sega tapauli. “Kalian harus sadar kebiasaan buruk yang mesti ditinggalkan. Kebiasaan minum dan mabuk-mabukan. Kebiasaan ini sering terjadi di tiap tempat di tanah negeri ini…”ujarnya. Simatupang, 2009: 6 Novel ini memang menghadirkan tokoh Datu sebagai pemimpin yang memiliki kebijakan dalam menghadapi persoalan yang ada dalam masyarakat 112 Batak Toba. Tokoh Datu di sini ditafsirkan oleh penulis sebagai sitgma bandingan manusia Batak yang tidak sesuai dengan imaji streotipe yang ada sebelumnya. Hal inilah yang dibaca sebagai upaya pembentukan identitas Batak Toba. Umpasa sendiri merupakan sejenis puisi lama yang ada dalam masyarakat Batak Toba. Umpasa sejenis pantun atau gurindam yang memiliki aturan rima di akhirnya. Melalui umpasa ini, tokoh Datu direpresentasikan sebagai manusia Batak yang berbeda dengan imaji stereotipe Batak yang ada dalam masyarakat. Umpasa Datu ini juga memperlihatkan jika ketidaksetujuannya terhadap perilaku kekerasan disematkan dalam identias etnis Batak. Perilaku ini juga kerap terjadi dalam komunitas atau masyarakat yang beretnis lain pula. Dengan kata lain, tokoh Datu menekankan jika perilaku ini juga perilaku yang perlu dipertanyakan ulang. Hal ini dikarenakan dimensi umpasa ini dituturkan oleh Datu yang mewakili manusia Batak zaman dulu. Dengan kata lain, perilaku ini dulu bukanlah penanda dari identitas etnis Batak Toba. Tawaran pemikiran lainnya yang diberikan oleh tokoh Datu juga hadir dalam kutipan berikut ini. 33 “Jangan pernah lagi ada kekerasan di kampung ini. Jangan ikuti dunia luar yang penuh dengan kekerasan. Cinta adalah segalanya, kasih adalah hal paling utama dal am kehidupan kita” teriaknya Simatupang, 2009: 253 Kutipan 33 sangatlah berbeda dengan imaji streotipe Batak yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Dalam kutipan 33, tokoh Datu menghadirkan dimensi “cinta kasih” yang juga dimiliki oleh manusia Batak. Manusia Batak yang direpresentasikan di sini menolak atau melawan imaji streotipe Batak Toba yang dianggap sebagai manusia yang hanya mengenal kekerasan. Kalimat “Jangan ikuti dunia luar yang penuh dengan kekerasan” merupakan penanda yang diberikan oleh Datu jika perilaku kekerasan merupakan perilaku atau kebiasaan yang datang dari dunia luar. Hal inilah yang diingatkan oleh tokoh Datu jika identitas etnis Batak jauh dari kata perilaku “kekerasan”. 113 Sub-bab yang ringkas ini menyajikan satu konsep yang berbeda dari imaji stereotipe terhadap identitas Batak yang ada dalam masyarakat umum. Ketiga kutipan yang dihadirkan dalam sub judul ini semua berasal dari tokoh datu. Datu yang dianggap sebagai tokoh tinggi dalam adat batak menunjukkan eksistensinya dengan mencoba menolak atau menyajikan ulang terkait penanda identitas etnis Batak yang bertolak belakang dari imaji stereotipe yang ada. Subbab ini pada akhirnya menjadi “ruang kecil” jika mengasihi merupakan salah satu indikator dari identitas etnis Batak yang ada.

3.4.2.2 Pemikiran tokoh Monang: representasi identitas etnis Batak Toba baru

Representasi identitas Batak Toba yang ada dalam novel bisa dikategorikan dari banyak hal. Beberapa hal tersebut sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya. Berbeda dengan sub-bab sebelumnya yang mencoba melihat representasi identitas Batak Toba dari luar sudut pandang tokoh utama, dalam sub judul ini, representasi Batak Toba dilihat dari sudut pandang tokoh utama, yaitu Monang. Novel ini secara naratif memang memosisikan tokoh Monang sebagai pusat penceritaan. Monang direpresentasikan sebagai seorang pemuda Batak Toba yang berasal dari keluarga petani miskin. Kemiskinan ini tidak mengurungkan niatnya untuk melanjutkan studi hingga ke Pulau Jawa. Pengalaman merantau dan mendapatkan pendidikan di Jawa-lah yang membuat tokoh Monang menjadi pemuda yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan pemuda Batak yang ada di kampungnya. Pembaharuan cara pandang atau berpikir inilah yang membuat Monang menjadi tokoh yang merepresentasikan identitas Batak baru yang ditawarkan oleh novel ini. Tentu saja, kemunculan tokoh Monang dapat dilihat sebagai cara novel ini menawarkan satu identitas Batak Toba yang berbeda dari representasi-representasi yang ada. Hal inilah yang membuat penulis memutuskan untuk mengkategorikan pemikiran Monang sebagai representasi Batak Toba yang baru. 114 Istilah “baru” dalam penelitian ini bukan diartikan atau diposisikan sebagai entitas baru yang ditawarkan oleh novel ini yang sebelumnya belum terdapat dalam seluruh wacana kebatakan. Kata “baru” yang penulis pakai lebih menekankan pada cara berpikir “berbeda” dengan tokoh-tokoh Batak yang ada dalam novel ini. Perbedaan ini tentu saja penulis posisikan sebagai “jarak” yang tercipta dalam novel karena status tokoh Monang sebagai perantau dan mahasiswa di Pulau Jawa. Hal inilah yang membuat tokoh Monang berbeda dengan Batak yang lain dalam novel ini. Representasi Batak Toba yang baru dapat dilihat dari kutipan berikut ini. 34 Tetapi, tak seperti abangnya, Hagandaon, Monang adalah salah satu anak leluhur generasi Batak yang berhasil pergi ke tanah Jawa. Perantauan yang akhirnya tetap gagal menganyam waktu di pulau asing. Seperti kabut hitam, Pulau Jawa, bagi orang muda sekampungnya adalah pulau aneh yang menggiurkan. Tidak ubahnya buah masak yang ingin ditelan. Tetapi, abangnya Hagandaon, si Ganda, tak pernah berniat merantau. Aneh Seorang muda seperti Ganda yang gagah dan keras, tak pernah penasaran pada Kota Jakarta. Bagi Bapak, dan Mamak, juga Ganda. Dunia adalah tanah Batak Simatupang, 2009: 40. Kutipan 34 merupakan narasi dalam novel yang menceritakan perjalanan pulang tokoh Monang ke tanah leluhur, tano Batak. Pasca kegagalan dalam masa studi di tanah perantauan, tokoh Monang kembali ke kampung halaman. Dalam perjalanan inilah representasi pandangan dunia pemuda Batak dideskripsikan. Tokoh Monang sebagai pemuda Batak Toba menunjukkan eksistensi pikiran jika perantauan adalah sesuatu yang wajar dan harus dilakukan. Kutipan 34 menjadi representasi pemikiran Monang terhadap perantaun yang dibandingkan dengan sikap tokoh Ganda sebagai anak pertama yang tidak berani merantau. Hal ini merupakan satu keanehan bagi anak Batak Toba karena tidak memiliki keinginan merantau. Merantau adalah cara manusia Batak untuk mencapai salah satu tujuan hidupnya. Merantau akan mendekatkan hamoraon, kekayaan. Merantau identik dengan peninggalan kemiskinan di tanah kelahiran. Hal inilah yang akan didapat 115 dari merantau. Hal yang menarik adalah hamoraon bukanlah tujuan tokoh Monang. Monang merantau untuk memenuhi rasa keingintahuannya terhadap pulau Jawa. Ia merantau untuk mengobati penasarannya terhadap dunia baru. Hal inilah yang menjadi poin pertama yang ditawarkan oleh tokoh Monang. Tentu saja, di sinilah politik identitas yang ditawarkan oleh Sihar. Batak yang dibangun adalah Batak yang memiliki transformasi pemikiran, bukan harta. Selain terkait dengan merantau, tokoh Monang pun menghadirkan dimensi baru dalam pemikiran keluarganya, yaitu politik. Inilah yang terlihat pada kutipan di bawah ini. 35 “Ganda tak pernah memedulikan isu semacam itu. Monang mulanya sempat ragu dan sempat menimbangnya. Tetapi, berujung keyakinan: Ganda tak mungkin terlibat politik Dia tahu bahwa di dalam keluarganya, hanya Monang yang tertarik pada pergolakan politik. Ketertarikan itu pun baru dia dapatkan di kota sana, setelah pikirannya dicuci dalam irama seminar dan kelompok diskusi. Dia begitu tekun membangun pikiran- pikiran kritis.” Simatupang, 2009: 57 Kutipan di atas menunjukan satu pemikiran baru yang dilontarkan oleh tokoh Monang. Minatnya pada politik mengindikasikan dua hal. Pertama, ranah politik adalah ranah yang hampir tidak disentuh oleh keluarga besarnya. Hal ini menandakan pemikiran untuk terlibat dalam satuperan dengan bingkai negara atau politik bukan sesuatu yang diminati oleh keluarga Bataknya. Kedua, ranah politik yang dihadirkan dalam kutipan ini sangat berelasi dengan pemikiran-pemikiran kritis yang dibangun oleh Monang selama perantuan. Hal ini pula yang absen dalam pergerakan melawan pabrik kertas. Dengan kata lain melalui tokoh Monang, novel ini menunjukkan jika “politik dan kekritisan berpikir” belum menjadi habitus di masyarakat Batak. Identitas etnis Batak yang terepresentasikan di sini adalah identitas yang apolitis dan tidak kritis. Di poin ini pula, melalui tokoh Monang, novel ini menawarkan jika ranah politik dan arus berpikir kritis yang harus dikembangkan dalam manusia Batak Toba. 116 Pemikiran yang baru juga dihadirkan tokoh Monang ketika berdebat pada Bapaknya; Torang. Ketika tokoh Monang pulang, ia mendapat amarah dari Torang karena ia tidak lulus kuliah di Jawa. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini: 36 “Anak gila kau Kenapa kau gagal kuliah? Mabuk, atau punya anak di kot a sana?” “Tidak, Bapak. Aku dikeluarkan kampusku, mereka tak terima aku sering demonstrasi …” “Anak tak tahu diri. Demonstrasi, keluar dari kampus. Bangga kali kau mengatakan itu …” “Tapi aku sudah benar, Bapak…” “Protes ke pemerintah dan tidak kuliah kau katakan benar?” Simatupang, 2009: 81 Kutipan 36 jelas menunjukkan sesuatu yang baru dari manusia Batak, yaitu keikutsertaan dalam dinamika politik negara. Sikap Monang yang mempertahankan argumennya yang membela keberpihakan terhadap demonstrasi dan memrotes negara sebagai suatu keberhasilan yang lebih baik daripada studinya merupakan hal baru bagi manusia Batak Toba. Jika ditilik kembali pada pembahasa bab II, telah dideskripsikan jika posisi tawar masyarakat adat Batak Toba adalah karena keterlibatan yang pasif terhadap negara. Inilah yang membuat masyarakat Batak Toba termanipulasi dalam kasus PT.IIU. Hal inilah yang sedang diupayakan novel ini melalui tokoh Monang. Tokoh Monang hadir sebagai alternartif manusia Batak yang selama ini cenderung apolitis. Inilah yang diyakini oleh Monang sebagai kebenaran, yaitu demonstrasi mengkritik pemerintah. Identitas yang terbangun adalah identitas Batak yang ikut berperan terhadap kelangsungan negara, melaui kritikan Ini yang langka di batak. Pemikiran Monang yang menganggap bahwa merantau adalah satu keharusan, pemikiran tentang pendidikan, dan pembebasan juga dapat dlihat dalam kutipan berikut ini. 37 Menurut Monang Putra Batak harus pergi berkelana. Dia ada di antara kisah sejarah negerinya sendiri dan kesadarannya pada perkembangan dunia dan misteri alam raya. Di dalam tubuhnya berlapis-lapis kepercayaan dan adat telah ditanamkan. Tetapi di otaknya, bermacam