73
Teks novel “Bulan Lebam di Tepian Toba” merupakan novel yang dapat
dikatakan cukup pendek atau singkat. Novel ini ditulis oleh pria Batak yang bernama Sihar Ramses Simatupang Selanjutnya disingkat: Sihar. Sihar adalah
seorang penulis yang berkecimpung di dunia sastra, budaya, dan jurnalisme. Sihar aktif dalam diskusi-diskusi terkait kebudayaan dan kesasatraan. Pria yang juga
berprofesi sebagai wartawan budaya pada harian Sinar Harapan ini, telah menghasilkan sejumlah karya sastra, baik berupa antologi puisi, cerpen, maupun
novel. Novel “Bulan Lebam di Tepian Toba” juga mendapatkan nominasi pada Khatulistiwa Literary Award 2009. Sihar mendapatkan gelar Sarjana Sastra di
Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya. Novel yang diterbitkan pada 2009 ini berlatarkan Pulau Samosir. Setting
sosialnya sendiri adalah konteks kehidupan sosial masyarakat Batak di era pasca 1998. Tentu saja, tahun ini dapat dikatakan sebagai era reformasi. Kata reformasi
cukup tepat digunakan selain karena setting sosial yang muncul ada era reformasi, kata ini juga menjadi gambaran proses reformasi yang juga terjadi dalam
masyarakat Batak Toba. Reformasi dan perubahan inilah yang dapat ditafsirkan sebagai spirit dasar narasi novel ini. Sekali lagi, reformasi di sini tentu saja bukan
mengarah pada ranah politik, lebih pada penggambaran tentang kehidupan masyarakat Batak yang juga ter-re-formasi di Pulau Samosir.
Novel ini menceritakan tentang kisah seorang anak Batak Toba yang menemui perubahan kehidupan sosial Batak Toba. Novel ini mengangkat isu
tanah adat sebagai akar atau dasar pengembangan alur cerita. Tokoh Sentra dalam novel ini adalah tokoh Hamonangan Monang, seorang Batak Toba terpelajar
yang memiliki pemahaman baru terkait dunia politik dan dunia sosial. Ini dapat terjadi karena karir pendidikan dan keorganisasian Monang yang berkembang di
tanah perantauan, Pulau Jawa. Cerita di novel ini dimulai dari kegelisahan tokoh Datu tentang perubahan
yang terjadi dalam masyarakat Batak. Kegemaran akan judi, alkohol, dan tindak kekerasan yang terjadi menjadi hal utama yang menjadi atensi tokoh Datu. Tokoh
74
Datu sendiri dinarasikan sebagai tokoh yang dianggap “pemimpin” baik secara intelektual maupun spiritual.
Cerita dilanjutkan dengan kehadiran tokoh Amang Impal, Kepala Kampung yang tidak menyukai tokoh Datu. Hal ini dikarenakan Amang Impal
dinarasikan sebagai “perpanjangan tangan” perusahaan kertas yang bertugas mengakusisi tanah warga. Amang Impal inilah yang menjadi tokoh yang dengan
ekspilisit menggambarkan perubahan cara bepikir masyarakat yang ada dalam novel.
Konflik novel ini dimulai dengan kehadiran tokoh Hagandaon Ganda yang menggadaikan tanah keluarga sebagai objek perjudian. Alhasil, kekalahan
ini mengakibatkan konflik yang ada dalam huta masyarakat Batak. Alhasil, karena kekalahan judi ini pula yang mengakibatkan kematian tokoh Ganda di tangan
Hotman tokoh yang memenangkan perjudian. Alur cerita pun beranjak pada pengenalan tokoh utama, yaitu
Hamonangon. Hamonangon merupakan tokoh Batak Toba yang terpelajar dan merantau ke Jawa. Hamonangan melakukan pelarian kembali ke kampung
halaman karena aksinya sebagai mahasiswa dalam ranah politik di Indonesia. Hal inilah yang mengharuskan Monang untuk kembali ke kampung halaman.
Monang akhirnya melakukan pembalasan dendam atas kematian tokoh Ganda abangnya dan akhirnya melakukan pelarian kembali karena mendapat
pengejaran dari mitra kerja atau “antek-antek” tokoh Hotman. Dalam proses konflik inilah wacana tentang pabrik kertas disisipi. Tokoh yang paling frontal
melakukan perlawanan terhadap operasional PT.IIU bahkan memimpin perlawanan adalah tokoh Ganda, tokoh yang menggadaikan tanah keluarga di
perjudian karena efek mabuk tuak. Narasi dalam novel ini sendiri berakhir dengan pelarian tokoh Monang
keluar Tanah Toba. Pelarian ini ditemani oleh tokoh Tesya Istri Ganda dan anaknya. Tokoh Monang telah melakukan adat “turun ranjang” sehingga
membawa Istri Abangnya dan keponakannya dalam pelarian. “Turun Ranjang”
75
adalah satu kondisi ketika seorang perempuan Batak ditinggal mati oleh suaminya dan adik suami adik ipar dijadikan suaminya.
Novel ini juga menarasikan beberapa perubahan sikap hidup yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba. Hal yang paling terlihat adalah perubahan cara
pandang terhadap tanah adat. Tanah adat marga Monang telah dijadikan bahan taruhan dalam judi yang dilakukan oleh tokoh Ganda, abangnya Monang.
Perubahan paradigma tentang tanah batak inilah yang menjadi dasar pengembangan konflik cerita.
Dalam pengembangan jalan cerita, ada beberapa hal yang menjadi “bumbu” narasi dalam perubahan sikap hidup masyarakat Batak Toba dalam
novel ini. Salah satunya adalah novel ini menarasikan proses kekuasaan bekerja. Perusahaan kertas dan pemimpin daerah, dalam hal ini tokoh Amang Impal telah
membuat satu mekanisme untuk menguasai tanah di Batak Toba. Selain itu, posisi perusahaan kertas dan demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba
menjadi narasi lain cerita ini. Perpindahan penguasa dalam negara juga diikuti oleh perpindahan posisi tentang peran datu dalam masyarakat Batak Toba. Selain
itu, masuknya industrialisasi di Tanah Toba telah menghasilkan perubahan pembangunan daerah di Pulau Samosir.
Semua perubahan yang terjadi dalam Tano Batak baik secara batiniah aspek kosmik dan aspek material inilah yang dilihat dalam perspektif anak batak
yang terpelajar dan banyak “makan garam” di tanah perantauan, Pulau Jawa. Cara pandang inilah yang menghadirkan satu pemaknaan yang cukup unik dalam diri
tokoh Monang yang merasa harus ada perubahan sikap dan cara berpikir agar Tano Toba tidak terkena dampak industrialiasi yang makin parah.
Nuansa cerita itulah yang menjadi narasi dalam novel ini. Dalam penarasian inilah, beberapa hal yang terdeskripsikan dalam novel dapat ditafsirkan
sebagai upaya representasi identitas etnis Batak Toba yang ada dalam novel. Kehidupan masyarakat Batak Toba yang berubah karena persinggungannya
76
dengan dunia kapital menjadi representasi jika novel ini sedang berupaya menawarkan, membangun atau mengkonstruksi identitas etnis Batak Toba.
Novel ini cukup banyak merepresentasikan perubahan dalam masyarakat Batak Toba.
Novel ini diawali dengan sub judul “Surat Pembuka”. Dalam sub judul ini dihadirkan satu settingan terkait Tano Batak. Nuansa alam sangat
dominan dideskripsikan di sini. Deskripsi nuansa ini mencoba merepresentasikan keasrian alam Toba yang melingkupi atau menaungi kehidupan masyarakat Batak
Toba. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini : 1
“Angin bertiup kencang di bukit sisi tenggara kampung ini. Kampung yang secara administratif berada di salah satu kecamatan wilayah
Kabupaten Toba Samosir. Berkesiur, meliukkan bunga rumput di padang, menggoyangkan buah karet yang matang, mengguncang daun
dan buah markisa mentah, pohon vanilli, dan batang-batang padi di petak hauma milik penghuni. Kapas melayang di udara. Bunyi teratak
buahnya pun terus terdengar dari puluhan pohon di simpang huta
” Simatupang, 2009: 1.
Kutipan 1 dengan sangat eksplisit mendeskripsikan alam Batak. Jika meminjam terminologi Barthes, secara denotatif kutipan 1 menghadirkan
suasana alam dan varian tanaman yang muncul. Dalam tataran konotatif, kutipan ini menghadirkan satu tafsiran terkait wacana vital masyarakat Batak Toba, yaitu
alam dan tanaman. Ini dapat diinterpretasikan sebagai representasi sentralitas tanah dalam masyarakat Batak yang meletakkan bercocok tanam sebagai dasar
penghidupan. Dengan kata lain, tanaman adalah “nadi” masyarat Batak Toba. Hauma
atau dalam bahasa Indonesia disebut „sawah‟ sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Setidaknya hal inilah yang terepresentasikan
sebagai pembuka narasi novel “Bulan Lebam di Tepian Toba”. Pembuka narasi
yang ada pada kutipan 1 menjadi representasi identitas Batak Toba sebagai petani. Tanah Batak adalah tanah pertanian.
Kutipan 1 menjadi pembuka narasi dalam novel ini. Representasi kebatakan selanjutnya adalah representasi kearifan lokal yang masih
terdeskripsikan dalam novel. Kearifan lokal inilah yang menurut penulis menjadi salah satu penanda identitas Batak Toba.
77
3.1 Representasi Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau local genius merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Wales dalam Ayatrohaedi, 1986: 30
52
yaitu “the sum of the cultural
characteristics which the vast majority of a people have in common as result of their experience in early life
“. Wales menambahkan jika kearifan lokal merupakan kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi kebudayaan
asing. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam menghadapi
perubahan zaman. Dari definisi singkat yang dikutip dari Wales di atas, dapat disimpulkan
jika kearifan lokal merupakan seperangkat unsur-unsur kebudayaan yang mewakili pandangan dunia suatu masyarakat. Kearifan lokal ini pula yang
dihadirkan mampu bertahan dalam tuntutan perubahan zaman. Tentu saja, hal ini meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan suatu masyarakat ; adat-istiadat,
kebiasaan, pandangan dunia, religiusitas, mitologi, dan yang lainnya. Novel ini sebenarnya tidak terlalu banyak menyentuh aspek kebudayaan
dan adat-istiadat Batak Toba. Dalam hal ini, beberapa aspek kebudayaan Batak sebagai kearifan lokal hanya muncul sebagai penghias setting. Keberadaan
kearifan lokal dalam novel ini diposisikan sebagai penanda kehidupan masyarakat Batak Toba yang masih berpegang kepada prinsip adat yang sejak dulu ada.
Kearifan lokal yang terepresentasi dalam novel ini adalah terkait dengan beberapa elemen penting yang hidup dan dihidupi oleh masyarakat Batak Toba. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut ini : 2
”Hamonangan menghitung situs tua di tanah Batak; Gunung Simanjarunjung, Pusuk Buhit, Danau Toba, Lembah Panatapan, rumah
panggung, atribut kebudayaan Parmalim, makam raja dan marga- marga.Simatupang, 2009: 35
” Kutipan 2 merupakan deskripsi terkait elemen-elemen penting yang
hidup dalam masyarakat Batak Toba. Gunung Simanjarunjung, Pusuk Buhit,
52
Ayatrohaedi dalam bukunya Kepribadian Budaya Bangsa 1986
78
Danau Toba, dan Lembah Penatapan merupakan kumpulan aspek alam yang memiliki fungsi baik secara materiil maupun kosmologi budaya. Rumah
panggung, atribut kebudayaan Parmalim, makan raja dan marga-marga menjadi penanda produk budaya yang ada dan masih dihidupi dalam masyarakat Batak
Toba. Keseluruhan elemen ini merupakan representasi kode-kode budaya yang menandakan identitas etnis Batak Toba. Selain terkait hal ini, kutipan di atas
menunjukkan relasi atau konteks keberadaan alam dalam dimensi metafisik masyarakat Batak Toba. Sangat sulit menyampingkan seluruh elemen yang ada
dalam kutipan itu sebagai penanda identitas etnis Batak. Selain representasi kearifan lokal, kutipan ini juga menunjukkan jika tokoh
Monang mengingatkan kembali tentang identitasnya sebagai Batak. Munculnya representasi ini penulis tafsirkan sebagai upaya tokoh Monang untuk mengingat
budaya dan merefleksikan tentang kebersejarahan manusia Batak. Tentu saja, dalam hal ini, representasi ini menunjukkan konstruksi identitas etnis Batak yang
dirujuk pada kode-kode budaya yang telah dikutip pada kutipan 2. Representasi Batak ini kembali terlihat pada kutipan 3 yang menyentuh
aspek mitologi pusuk buhit. Novel ini kembali mendeskripsikan mitos pusuk buhit pada kutipan di bawah ini:
3 Semua situs dan peradaban nenek moyang itu hadir lagi di memori
Monang. Di dekat wilayah Pangururan, masih agak jauh dari hutannya, terbentanglah keangkeran dan kebesaran lekuk leher Gunung Pusuk
Buhit; penyimpang kebesaran sejarah kampung Sianjur Mula-mula. Konon, di Pusuk Buhit, si Raja Batak pertama kali muncul.
Simatupang, 2009: 38.
Kutipan 3 kembali menunjukkan pentingnya posisi Pusuk Buhit dalam masyarakat Batak Toba. Gunung Pusuk Buhit menjadi satu ruang sakral tempat
sejarah manusia Batak pertama kali muncul. Selain menunjukkan kode budaya Batak, kutipan ini kembali menunjukkan secara eksplisit relasi manusia Batak
Toba terhadap lingkungan alam di sekitarnya, termasuk kesakralan Pusuk Buhit. Sekali lagi, kalimat “Semua situs dan peradaban nenek moyang itu hadir
lagi di memori Monang” penulis tafsirkan jika identitas etnis Batak yang sedang
79
terkonstruksi adalah menyematkan penanda-penanda budaya yang ada disematkan sebagai identitas etnis Batak Toba. Tentu saja, memori ini ditafsirkan sebagai
suatu kebenaran yang dimiliki oleh Monang sebagai manusia Batak. Kode-kode atau produk budaya yang kerap diidentifikasi sebagai penanda
identitas Batak Toba juga dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. 4
Ratusan tahun lalu, moyang Batak melahirkan sejarah kebudayaan yang mereka bentuk lewat aksara, rumah punggung, upacara adat,
tortor, gondang, ulos, simin, dan tarombo marga Simatupang, 2009: 39.
Novel ini juga mendeskripsikan mitologi kelahiran manusia Batak Toba. Hal ini merepresentasikan dunia mitologis yang mengelilingi penciptaan manusia
Batak Toba. Aksara Batak, rumah panggung, upacara adat, tortor, Gondang, ulos, simin, menjadi penanda identitas etnis Batak. Produk-produk budaya ini menjadi
representasi jika etnis Batak telah memiliki dan menyematkan identitasnya dengan penanda-penandanya. Dalam konteks ini pula, Sihar sedang memperkenalkan
elemen-elemen yang seawajarnya ada ketika sedang membicarakan etnis Batak. Legenda burung besar Manuk-manuk Halambu Jati menjadi narasi besar
yang dipercayai melatarbelakangi penciptaan manusia Batak Toba. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
5 Di ratusan bulan yang muncul di cakrawala, kemudian terbanglah di
tempurung kepala dan kehidupan mereka burung besar Manuk-manuk Halambu Jati; penjaga tiga telur titipan Sang Pencipta Semesta, cikal-
bakal manusia di Legenda Batak Simatupang, 2009: 38.
6 Kebudayaan menetap dan bertani kemudian memperkuat tradisi, dari
upacara, tonggak antarhuta semarga, batas ladang dan sawah, hingga penghormatan buat jasad leluhur yang mati. Di masa lampau, mereka
telah berimajinasi tentang istana peristirahatan buat orang mati. Lambat laun, mereka sepakat mendirikan seperangkat kebudayaan
sebagai ruang istirahat kematian. Menyusun tumpukan batu bata sebagai tugu. Di dalam simin dibuat rongga bersusun tulang-belulang
nenek moyang, menata nama dan garis keluarga sehingga areal tanah sepenuhnya diisi kenangan nenek moyang Simatupang, 2009: 38
80
Kutipan 5 dan kutipan 6 mendeskripsikan bahwa masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan atau adat istiadat yang terkait dengan mata
pencaharian dan sistem kematian yang terangkum dalam simin. Kutipan ini masih berupa representasi adat dan budaya Batak yang dihadirkan dalam novel ini.
Pertanian direpresentasi sebagai mata pencaharian utama masyarakat Batak Toba. Simin pun dihadirkan sebagai sistem penghormatan kepada arwah nenek moyang.
Pertanian dan simin dalam kutipan ini merupakan representasi penanda identitas etnis Batak Toba.
Secara khusus, kutipan 5 merepresentasikan “mitologi” masyarakat Batak Toba. Kutipan 5 merepresentasikan satu mitologi tentang pencipataan
manusia Batak. Untuk melihat hal ini, penulis akan menggunakan narasi lain selain novel ini untuk menunjukkan posisi mitologi ini dalam masyarakat Batak
Toba. Dalam teks bahasa Batak yang dinarasikan Dewata Batara Guru, Dewata
Batara Sori, dan Dewata Mangala Bulan, yang menurut teks tersebut bermula dari tiga telur yang ditelurkan oleh satu makhluk bernama Manuk-Manuk Hulambu
Jati, anaknya Manuk-Manuk Humarairi. Telur tersebut sangat besar sehingga sulit dierami oleh Manuk-Manuk Hulambu Jati tetapi Dewata Mula jadi Na Bolon tetap
menyuruhnya untuk mengeraminya. Kemudian, menurut teks ini, dari tetasan telur itu lahirlah 3 manusia dan disuruh diberi nama Batara Guru, Ompu Tuan Sori
Pada dan Ompu Tuan Mangala Bulan. Kemudian Debata Mula Jadi Na Bolon mengatakan bahwa mereka adalah manusia yang dikirimnya. Menurut teks
temuan Sandra, ketiga orang tersebut adalah manusia tetapi ciptaan Dewata Mula Jadi Na Bolon. Dalam temuan ini tampak ketegasan Mulajadi Na Bolon sebagai
pencipta bahwa tri dewata, Debata Na Tolu, itu adalah ciptaan Debata Mu Jadi Na Bolon sendiri Simanjuntak, 2015: 178. Narasi ini menjadi mitologi yang
digunakan sebagai penanda identitas etnis Batak. Kutipan 6 memiliki dimensi adat masyarakat Batak Toba. Tentu saja,
identitas etnis Batak Toba yang terbangun adalah suatu masyarakat yang memiliki ikatan atau relasi yang cukup kuat. Hal ini disusun secara sistematis dalam pola
81
dalihan na tolu dipadukan dengan konsep hagabeon „berketurunan‟yang
menjadi cita-cita akhir manusia Batak. Dalihan na tolu menghadirkan tataran hierarki kemargaan yang disesuaikan dengan marga masing-masing. Hal inilah
yang membuat ikatan kemargaan masyarakat Batak Toba menjadi sangat kuat, bahkan ketika ia berada di perantauan.
Konsep hagabeon sendiri hadir dalam bentuk simin. Simin adalah kumpulan guratan yang mencatat sejarah keberlangsungan satu marga, mulai dari
marga pertama hingga yang terakhir. Pencatatan nama-nama di sini didasarkan pada anak laki-laki atau anak bawa sang pembawa marga. Untuk itulah, selain
dimensi historis, simin menghadirkan konsep regenerasi beranak-pinak yang tercatat rapi sebagai keberadaan suatu marga. Hal ini yang tampak pada kematian
tokoh Ganda yang tidak dapat dimasukkan dalam simin karena hanya memiliki satu anak perempuan. Ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini :
7 Nasib jugalah yang membuat abangnya tak dimasukkan ke dalam
simin marga. Nasib, memang nasib, karena Ganda memang tak punya penerus keturunan Marga karena anaknya, Florida adalah perempuan.
Dalam adat Batak, tidak akan ditemukan nama perempuan di dalam silsilah Simatupang, 2009: 94.
Kearifan lokal masyarakat Batak Toba yang terepresentasi dalam novel ini juga terkait dengan konsep kematian. Hal ini juga berkorelasi dengan alur cerita
yang memang mendasari kematian tokoh Ganda sebagai dasar pengembangan alur. Untuk itulah, selain simin, narasi terkait dengan kematian dalam budaya
Batak Toba menjadi representasi identitas Batak Toba. 8
Ketika Ibu dan Monang ziarah ke makam Ganda. “Ini air, Monang… Nanti sebelum pulang kau marsuap
, ya? Mamak juga nanti.” Ujarnya Simatupang, 2009:92.
Marsuap adalah membasuh muka dengan air. Ini bertujuan untuk membuang segala rasa duka. Kebiasaan ini masih dipertahankan hingga saat ini.
Hal lain terkait dengan konsep kematian Ganda adalah terkait dengan mangandungi. Ini dapat dilihat pada kutipan 9
9 Abang sekaligus sahabat tokoh Monang itu kini dipercaya sudah
berada di langit. Tentu saja roh dan jiwanya yang terbang. Tubuh itu
82
telah menjadi tanah. Tubuh itu telah menyatu bersama pusara. Di bawah sebuah pohon Kamboja, diapit pohon jambu dan pohon nangka.
Lalu Ibu Monang berbicara dengan nisan Ganda seolah masih hidup. Tak ketinggalan sang Ibu pun mangandungi. Monang yang ada di
sampingnya tak tahu harus menjawab apa. Jasad abangnya pasti telah membusuk namun roh dan jiwa serasa berada di hadapan mereka
Simatupang, 2009: 92.
Dari catatan pada paragraf di atas menjelaskan kepercayaan masyarakat Batak Toba perihal pasca kematian manusia. Berbicara dengan nisan, kepercayaan
roh yang selalu akan hidup, dan mengandungi menjadi penanda identitas etnis Batak Toba. Kematian sendiri merupakan satu fase yang dianggap sebagai elemen
penting dalam budaya masyarakat Batak Toba. Kematian menjadi momen penting selain dua momen lain yang memiliki posisi sentral dalam budaya Batak Toba,
yaitu kelahiran dan pernikahan. Kutipan 7
– 9 merupakan cara Sihar menjelaskan kepada pembaca yang tidak beretnis Batak tentang identifikasi adat-adat manusia Batak. Hal ini
dapat dibaca sebagai konstruksi identitas etnis Batak Toba yang dikonstruk Sihar denga kode-kode budaya yang berasal dari tradisi Batak sebelumnya. Sihar dapat
dilihat sedang mengkonstruksi identitas etnis batak yang akan selalu memerhatikan penanda-penanda ini.
Selain terkait dengan alam, mata pencaharian, produk budaya, dan konsep kematian, kearifan lokal Batak Toba yang terepresentasi dalam novel ini juga
menyentuh aspek kepemimpinan dalam masyarakat Batak Toba. Pada awal bagian, novel ini mendeskripsikan tokoh Datu Sapalutua sebagai pemimpin yang
diakui secara tradisi dalam kehidupan masyarakat Toba. Datu Sapalatua menjadi tokoh yang dianggap sebagai pemimpin politik maupun secara religius. Salah satu
yang terepresentasikan terkait Datu ini tampak pada kutipan berikut ini : 10
“Petuahnya tetap dianggap berguna. Sekalipun wajah dan tubuh itu kini hitam, tangannya diyakini beda dengan tangan orang sekampung.
Tangannya tak pernah dipakai membajak dan mencangkul. Walau tak kekar, tak seorang pun berani mengejek ketika tangan itu menyalami
orang-orang se-huta. Tangannya diyakini punya daya gaib. Mereka membicarakannya. Merek
a meyakininya… seyakin mantera yang ratusan tahun mengalir dari bibir-bibir moyangnya. Ratusan tahun,