PT.IIU dan Persoalan Tanah di Tanah Batak

32 Sistem tata guna dan penguasaan tanah oleh masyarakat adat berubah secara drastis akibat praktik kebijakan pemerintah yang terkait dengan penguasaan hutan atau lahan, sejak masa kolonial dahulu. Penguasaan negara terhadap hutan berlangsung hingga saat ini melalui teritorialisasi hutan. Teritorialisasi dipahami sebagai “proses yang dibuat oleh negara untuk mengontrol orang dan aktivitasnya dengan cara membuat garis di sekeliling ruang geografis, menghalangi orang- orang tertentu untuk masuk ke ruang tersebut, dan mengizinkan atau melarang aktivitas di dalam batas-batas ruang tersebut Vandergeest dalam Siscawati, 2014:7. Sementara itu, teritorialisasi penguasaan hutan merupakan cara ketika kekuasaan negara atas wilayah hutan berlaku dalam batas-batas wilayah yang ditetapkan secara politis oleh negara; kekuasaan negara atas wilayah hutan berlaku untuk mengendalikan orang-orang menggunakan sumber daya di dalam batas-batas wilayah hutan tersebut. 11 Dengan kata lain, hutan yang awalnya dimiliki secara dominan oleh masyarakat, kini mulai dikendalikan oleh negara. Penciptaan teritorialisasi pun dilakukan guna membatasi atau memberikan “sekat” pembatas yang berfungsi politis. Hal inilah yang memudahkan negara mengorganisir dan memanfaatkan lahan sesuai dengan kepentingan negara. Masuknya negara dalam hubungannya dengan tanah adat masyarakat akan selalu melibatkan hubungan ekonomi di dalamnya. Karena wacana ekonomi inilah, lahan yang ada mau tidak mau akan dinaikkan nilai ekonominya. Adanya paradigma ini, mendorong negara untuk melakukan pendudukan terhadap beberapa hutan yang ada di Nusantara, secara khusus kawasan Pulau Sumatera. Dalam tataran lebih luas, disengaja atau tidak, kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang terfokus ada pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan di luar Jawa faktanya telah mendorong terjadinya transformasi struktural perekonomian Indonesia, sekaligus menjadi sumber kemewahan bagi aktor-aktor 11 ibid 33 tertentu di lingkungan politik dan birokrasi yang ingin melakukan akumulasi kekayaan. Setidaknya ada beberapa tahapan proses transformasi tanah dilihat secara historis. Pertama, tahap ketika pemerintah kolonial mengembangkan perkebunan-perkebunan komersial yang terpusat di Sumatera Utara. Kedua, tahap pada akhir dekade 1960 ketika pasar kayu mulai terbuka dan teknolgi pemanfaatan hutan dalam skala besar juga berkembang hingga pada akhirnya memicu lahirnya industri pembalakan Afif, dkk. 2013: 22-23 12 . Hal ini menandakan aspek ekonomi telah dimasukkan atau diinternalkan dalam wcaana lahan atau perkebunan. Dengan kata lain, sangat sulit memisahakan wacana yang terkait dengan persoalan lahan dengan dimensi ekonomi. Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan mengapa pulau-pulau di luar Jawa terus menerus menjadi sasaran dari kebijakan pengembangan lahan di Indonesia. Pertama, Pulau-Pulau di luar Jawa diyakini memiliki lahan “marjinal”, atau belum tergarap dalam jumlah besar, dan memiliki kepadatan penduduk yang rendah. Selain itu, secara formal, hak-hak adat atas tanah di wilayah ini juga cenderung tidak diakui, institusi pemerintah lemah dan ketentuan-ketentuan legal yang mengatur transaksi tanah tidak bisa berjalan dengan baik. Banyak wilayah- wilayah di luar Jawa, yang kaya akan sumber daya alam memiliki ciri-ciri sebagai wilayah “nirkontrol” alias tidak terkendali: suatu wilayah yang sedang berada dalam transisi cepat rapid transition, wilayah-wilayah ketika institusi pemerintah dan kerangka hukum untuk melindungi penduduk lokal cenderung masih lemah. Seiring dengan semakin maraknya perhatian terhadap lahan-lahan tidak produktif, untuk tidak mengatakan marginal, baru-baru ini, bahkan daerah- daerah di luar Jawa yang relatif miskin ikut menjadi sasaran rencana-rencana eksploitasi sumber daya alam dengan dalil produktivitas ekonomi. 13 Poin yang disampaikan oleh Arif, dkk. di atas dapat dijadikan rujukan proses dominasi negara terhadap kawasan Sumatera. Ada tiga hal yang bisa dilihat. Pertama, lahan kosong yang potensial di Sumatera begitu besar sehingga 12 Suraya Afif, dkk. dalam jurnal Wacana dengan judul tulisan “Arah Pergerakan Akusisi Lahan: Skema-skema Pengembangan, Pengambilalihan Semua, dan Akusisi Lahan Atas Nama Lingkungan di Luar Jawa 2013. 13 ibid 34 menyimpan nilai potensi ekonomi yang besar di dalamnya. Oleh karena itu, lahan kosong ini “disulap” menjadi lahan negara dengan politisasi birokrasi dan kekayaan alam atas nama negara. Kedua, institusi daerah di Pulau ini belumlah semapan di Pulau Jawa. Ini mengindikasikan keberadaan tanah adat dalam masyarakat Sumatera cenderung diposisikan pada “ruang rentan” politisasi. Ketiga, lahan-lahan kosong ini dimasukkan secara paksa atau diklasifikasikan secara paksa pada “lahan tidak produktif”. Wacana ini tentu saja menyimpan rupa “produktivitas” di belakangnya. Hal inilah yang mengakibatkan pemanfaatan dan pembukaan lahan sebesar-besarnya demi produktivitas ekonomi negara. Dari ketiga hal ini, dapat disimpulkan jika posisi tawar masyarakat adat terhadap tanahnya termarjinalkan. Walaupun skema pertahanan di Indonesia seringkali memuat komitmen dan janji-janji pengentasan kemiskinan atau penyediaan lapangan pekerjaan di daerah pedalaman, perbaikan kehidupan petani terlihat cukup nyata hanya dalam kasus-kasus tertentu. Faktanya proses-proses seperti pembalakan, pengembangan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri berskala besar, penetapan kawasan konservasi, transmigrasi, serta booming tanaman-tanaman komersial secara permanen dan signifikan telah menggeser tata penggunaan lahan masyarakat Afif, dkk. 2013: 25-26. Dari uraian yang dideskripsikan oleh Afif, dkk. dapat ditarik satu hubungan yang memperlihatkan dominasi negara. Aspek ekonomilah yang melatarbelakangi adanya pembukaan lahan di luar Jawa. Mekanisme yang dilakukan tetap “berlindung” pada pembagian jenis hutan yang mengharuskan masyarakat “menyetor” sejumlah lahannya kepada negara. Kata “pembalakan” yang disematkan kepada masyarakat yang membuka lahan yang memang menjadi bagian tanah adatnya, sebenarnya lebih pantas disematkan kepada negara. Pembalakan hutan besar-besaran dengan dalil ekonomilah yang akhirnya membuka lahan tanah adat atau hutan masyarakat kepada wacana ekonomi. Dalam perkembangannya, sehubungan dengan masih lemahnya kondisi politik dalam negeri, maka untuk menciptakan kekuatan pemerintah dalam 35 membangun ekonomi domestik, pemerintah menggalang dukungan luar negeri dengan mencari simpati negara-negara kapitalis. Hal ini dilakukan misalnya dengan menghentikan konfrontasi dengan Malaysia, mengembalikan perusahaan- perusahaan asing yang pernah dinasionalisasikan oleh penguasa orde lama kepada para pemiliknya: mempermudah masuknya modal asing dengan menerbitkan UU Penanam Modal Asing PMA tahun 1967. Kelahiran UU Penanaman Modal Asing ini menjadi “gerbang” pembuka masuknya investor asing ke tanah Nusantara. Tentu saja, hal ini tidak mengherankan mengingat Suharto memiliki kecenderungan pada pembangunan negara yang mengarah pada developmentalist sehingga menyajikan “ruang” sebesar-besarnya kepada investor asing. Satu dekade usia ORBA kemudian Indonesia menjadi satu contoh “success story” dalam pembangunan ekonomi. Hal ini bisa mengendalikan inflasi secara efektif. Pada akhir satu dekade berikutnya, Indonesia menjadi salah satu negara sedang berkembang yang dengan cepat menjadi negara industri baru. Bahkan, menjadi salah satu model negara anggota penghasil minyak yang dapat memanfaatkan penghasilan dari minyak secara efektif, dan dengan cepat mampu melakukan penyesuaia n, ketika harga minyak jatuh pada akhir 1980‟an Manalu, 2009: 35. 14 Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru juga telah menggeser prioritas alokasi faktor produksi dari masyarakat kalangan bawah yang dianggap kurang produktif, karena kurang bisa memproduksi nilai tambah yang besar dari asset mereka, kalangan atas yang disebut sebagai kelompok pengusaha yang bisa menciptakan nilai tambah yang lebih besar dari asset yang sama. Juga dalam mengubah ekonomi yang didasarkan pada industri, para petani dipaksa untuk mengorbankan tanahnya untuk dijadikan kawasan industri Mustain, 2007: 16. 15 14 Dimpos Manalu dengan bukunya yang berjudul Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak VS PT. Indorayon Inti Utama di Sumatera Utara 2009 15 Mustain dalam bukunya Petani Vs Negara 2007 36 Wacana industri akhirnya menjadi wacana mutlak yang mendasari roda pemerintahan mulai sejak kolonial, hingga saat ini. Wacana industri ini pula yang memaksa masyarakat pemilik lahan untuk “terseret” dan bernegosiasi di dalamnya. Dalam hal ini, perubahan menjadi salah satu dampak yang dihasilkan. Hal inilah yang turut terjadi dalam masyarakat Batak, khususnya Batak Toba, yaitu terjadinya kapitalisme tanah. Tanah Toba juga tidak bisa keluar dari wacana pemanfaatan lahan yang telah digerakkan oleh pemerintah. Tanah Batak sudah pasti tidak memiliki dimensi yang sama dengan dimensi sebelum munculnya wacana negara dan industri di dalamnya. Dengan dalil hak negara dan kemajuan bangsa, Tanah Toba secara perlahan telah dihinggapi mega proyek berbasis ekonomi di dalamnya. Salah satu pioner proyek ini adalah PLTA Asahan. Inilah yang kemudian melandasi keluarnya izin operasional PT.IIU. Dalam pembahasan poin 2.1 telah ditunjukkan relasi manusia Batak dan alamnya. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Tanah Batak dan diakibatkan oleh bencana alam tidak mengubah hubungan sosial dan identitas etnis Batak. Hal ini mengalami perubahan ketika operasional PT.IIU. Kerusakan alam yang disebabkannya, pada perkembangannya mampu memengaruhi identitas etnis Batak. Perubahan kehidupan masyarakat Batak Toba cukup terasa ketika masuknya perusahaan pengolahan bubur kertas dan serat rayon di Porsea. Perusahaan ini mendapat konsesi jangka panjang untuk mengambil kayu atas hak pengusahaan hutan seluas 269.060 ha di lima wilayah, yaitu Tapanuli Utara, Simalungun, Tapanuli Selatan, Dairi, dan Tapanuli Tengah. 16 Dalam konteks wacana PT.IIU sebagai produsen pulp, Indonesia sendiri dalam dinamika ekonomi di dunia membanggakan diri sebagai salah satu produsen pulp kertas termurah di dunia. Investor asing tetap menyokong pertumbuhan industri walaupun mereka tahu telah terjadi perusakan hutan di 16 ibid 37 dalamnya. Penebangan kayu baik legal maupun illegal pun akhirnya merebak untuk memenuhi permintaan pasar dunia. Hal yang bisa menjadi catatan lainnya adalah perusahaan-perusahaan pulp baik yang tidak berkesinambungan dengan cukup baik secara finansial maupun ekologis; hampir semua terlibat hutang yang besar. Sebuah makalah riset CIFOR dalam situs Down to Earth 2001 17 memperlihatkan jika industri pulp dan kertas Indonesia telah mengalami perkembangan hingga 700 sejak 1980‟an. Hal ini melebihi kecepatan penanaman dan perkembangan penanaman kayu pulp. Kapasitas produksi pulp Indonesia mengalami peningkatan menjadi 606.000 ton per tahun pada 1988 menjadi 4,9 juta ton pada 1999; sementara kapasitas pengolahan kertas bertambah dari 1,2 juta menjadi 8,3 juta ton dalam periode yang sama. Dalam konteks masa kini, situasi ini tidak jauh berubah, bahkan cenderung makin bertambah naik angka perambahan hutan. Dilaporkan bahwa negara telah mengalokasikan sedikitnya 3,5 juta ha lahan untuk pembangunan industri pangan MI, 2011a dan ada rencana untuk menambah sebesar 7 juta ha untuk perkebunan hingga 2020 USDA, 2010, di samping 9 juta ha untuk hutan tanaman atau perkebunan kayu hingga 2016. Selain itu, Kementerian Kehutanan berencana memperluas konsesi untuk pembangunan sumber energi non-fosil alias bioenergi hingga mencapai 2,2 juta ha The Jakarta Globe 1 November 2010. Semua itu berada dalam semangat yang sama dengan usaha membangun sedikitnya 1,5 juta ha perkebunan jarak jathropa sebuah upaya untuk memenuhi ambisi bahwa Indonesia adalah negara yang super power pertama di bidang bio-energy. Di sisi lain, kalangan donor dan para investor karbon juga berlomba-lomba untuk membangun sedikitnya 44 proyek penyerapan karbon REDD+ dalam rangka mitigasi perbuahan iklim REDD-I 2011. 18 17 Portal online ini bernama down to Earth-Indonesia.org. Portal online ini cenderung mengangkat wacana lingkungan sebagai domain wacana utamanya. 18 Suraya Afiff, dkk. loc. cit hlm. 17 38 Narasi di atas memperlihatkan dengan jelas kebutuhan pulp kertas dunia yang tidak sebanding dengan keadaan kayu atau hutan di Indonesia. Pembabatan hutan menjadi salah satu konseskuensi logis mengingat kebutuhan pulp dunia yang terus bertambah. Peningkatan pambabatan hutan dan makin banyaknya perusahaan pulp yang tutup dan memiliki hutang menjadi indikasi jika persoalan ini tidak hanya terkait isu ekonomi, akan tetapi hutan, ekologis, kesehatan, dan kehidupan sosial masyarakatnya. Sudah dapat dipastikan wacana ekonomi ini sangatlah memengaruhi persoalan sosial dan budaya suatu masyarakat. Tentu saja, permasalahan identitas juga termasuk di dalamnya. Jika menilik jumlah kebutuhan pulp dunia dengan produsen pulp, mau tidak mau memberika posisi tawar yang tinggi pada PT. IIU. Sekaligus hal ini menandakan ada legalitas yang akan selalu diciptakan oleh negara untuk operasional PT.IIU. Sekali lagi, ini tidak bisa lepas dari wacana ekonomi. Selain itu, data-data yang telah dideskripsikan di atas terkait kebutuhan pulp dunia dan realita yang hadir dalam wacana pengoptimalan lahan REDD menjadikan isu-isu yang terkait dengan perusahaan pengguna lahan menjadi wacana internasional. Hal ini mengingat keterlibatan investor asing di dalamnya. Dalam hal inilah kapitalisme tanah menjadi sesuatu yang dikonstruk sebagai bagian “normal” dari ekonomi dunia. Kehidupan masyarakat batak Toba di Samosir, sudah bisa dipastikan telah berhadapan dengan sistem pembangunan atau wacana industrialisasi. Sistem ekonomi pembangunan ini sendiri menjadi dasar pengembangan ekonomi pada masa Orde Baru. Hal ini tentu saja tidak seindah bayangan masyarakat yang berharap akan mengalami peningkatan pendapatan ekonomi keluarganya. Hasil yang didapat bertolak belakang dengan yang diharapkan. Masyarakat Batak Toba pun menjadi salah satunya. Gesekan kehidupan adat masyarakat Batak Toba dengan corak pembangunan ekonomi memang cukup panjang jika dirurut secara historis. Akan 39 tetapi, yang difokuskan pada analisis ini hanya perihal perusahaan PT. IIU yang menjadi setting sosial utama yang ada dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Pada era tahun 70‟an, Sumatera Utara dihadirkan satu megaproyek ekonomi, yaitu proyek PLTA Asahan. Proyek ini dikenal dengan nama Inalum. PLTA ini dibangun untuk menyuplai industri aluminium milik PT. Indonesia Almunium Inalum. Perusahaan yang bersifat merger antara Indonesia dan Jepang ini mengolah proyek listrik tenaga air Siguragura. Dengan ini, air terjun yang dikenal dengan sebutan sampuran si harimau telah beralih fungsi. Fungsi semula adalah mencukupi keperluan air masyarakat kini berubah menjadi sumber air untuk waduk yang digunakan memutar turbin PLTA Asahan. 19 Proyek ini tentu saja tidak hanya bisa dilihat sebagai wacana ekonomi, tetapi juga bisa dilihat dari perspektif budaya. Sumber air yang sebenarnya memiliki peran vital dalam kebudayaan Batak Toba karena memenuhi dimensi ekonomi, sosial, dan religiusitas, kini mulai bergeser nilainya. Dengan kata lain, telah terjadi pergeseran nilai. Alam batak Toba telah didekonstruksi dan dihadirkan sebagai pemasok bahan baku utama dalam pengembangan ekonomi suatu perusahaan. Selanjutnya, alih fungsi alam dan lingkungan semakin marak terjadi. Penanda berikutnya adalah dengan didirikannya perusahaan Indorayon yang memproduksi pulp dan rayon. Perusahaan ini berlokasi di Sosorladang. Perusahaan inilah yang menjadi satu persoalan dalam wacana kebatakan. Persoalan ini dimulai sejak 1983. Pada tahun inilah perusahaan bubur kayu atau pulp dan serat rayon didirikan. Dengan dalil pemerataan pembangunan dan wacana kesejahteraan rakyat, pemerintah Orde Baru mendukung sepenuhnya pendirian dan operasionalisasi perusahan milik Sukanto Tanoto ini. Dalam pendirian ini sendiri sebenarnya telah bisa diidentifikasi keuntungan perusahaan yang juga jatuh ke tangan penguasa, yaitu Suharto. 19 Saur Tumiur Situmorang, dkk. loc cit, hlm. 12-13. 40 Dalam perkembangannya, perusahaan ini menjalankan usaha pelebaran lahan dengan mengorbankan tanah rakyat. Perusahaan ini melebarkan lahan dengan menggunakan adat pago-pago. Dengan cara ini, perusahaan mendapatkan tanah langsung dari Pemerintah daerah Pemda. Rakyat pada saat itu diminta untuk menandatangani penyerahan tanah secara adat, dengan menerima sejumlah uang. Besaran uang ini tentunya tidak sebanding dengan harga dan besaran tanah. Dalam konteks ini, pemahaman masyarakat Toba dengan perusahaan baca: pemda telah ada ketidaksesuaian. Penandatanganan ini dimaknai oleh Pemda secara hukum positif. Tanah yang bermakna sumbangan secara adat, ditafsirkan sebagai aktivitas jual-beli tanah sehingga hal ini secara otomatis memindahkan hak kepemilikan tanah. Proses manipulasi ini menjadi hal yang menarik untuk dilihat. Realisasi pago-pago sebagai akta jual-beli tanah semakin mempertegas posisi tawar masyarakat Batak Toba. Identitas yang tersaji adalah identitas yang cenderung menjadi objek dari pembangunan. Mudahnya masyarakat Batak Toba untuk melakukan pago-pago juga menandakan posisi tawar dalam sektor pendidikan di Tanah Batak. Dengan menitik beratkan adanya “persetujuan” atas pago-pago dan dimaknai secara sepihak sebagai aktivitas jual-beli ini, semakin mempertegas uraian sebelumnya yang menandakan alasan Sumatera termasuk Tanah Batak sebagai tanah dudukan yang mudah dikuasai. Sekali lagi, masyarakat Batak Toba tidak bisa melakukan apapun. Hal ini ditambahi dengan keterlibatan manusia Batak sendiri di dalamnya. Ini dapat dilihat pada paragraf di bawah ini. Penyalahgunaan adat pago-pago ini didukung oleh Bupati Tapanuli Utara saat itu, Lundu Panjaitan, serta Gubernur Sumatera Utara, E.W.P. Tambunan. Secara adat Batak, pago-pago adalah upa raja yang diberikan kepada orang yang dianggap “tua” atau “sepuh”, karena telah menjadi saksi untuk satu transaksi atau perkara. Ketika perkara selesai, maka mereka yang berpekara memberi uang sebagai upah raja atau imbalan kepada tokoh-tokoh masyarakat. Jadi, pago-pago 41 bukan tanda legalisasi penjualan tanah sehingga ini bisa dianggap penipuan dengan memanipulasi adat. 20 Kebijakan atau aksi yang dilakukan oleh E.W.P Tambunan menjadi representasi jika perubahan terjadi dalam masyarakat Batak Toba. Hadirnya negara mengakibatka jaringan kekuasaan yang melibat orang Batak juga di dalamnya. Adanya pago-pago ini menjadi satu ruang tafsir jika tidak seluruh manusia Batak Toba memiliki dimensi atau ikatan historis lagi di dalamnya. Gubernur Sumatera Utara dalam hal ini sebagai penangung jawab dan kepala yang dipercaya oleh manusia Batak ternyata telah membentuk paradigma jika identitas Batak Toba pun mengalami perubahan. Dimensi historis dan kosmik terhadap lahan atau tanah mulai tereduksi. PT.IIU merupakan grup perusahaan raja garuda mas RGM yang didirikan oleh pengusaha dari Medan, yaitu Sukanto Tanoto yang didirikan pada 26 April 1983 dan berlokasi di desa Sosorladang, Kec. Porsea. Perusahaan ini mulai beroperasi dengan menebangi pohon-pohon pinus sejak 1986. Sejak awal berdirinya, sebenarnya menteri negara lingkungan hidup Emil Salim dan Menteri Perindustrian A. R. Soehoed sangat setuju jika PT.IIU didirikan di Sosorladang yang terletak di hulu Sungai Asahan. Akan tetapi, pendiriannya tetap dilanjutkan terbukti dengan dikeluarkan Surat Keputsan Bersama SKB Menteri Riset dan Teknologi dan Menteri Negara dan Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. SK681MBPPXI1986 dan No. KEP – 43MNKLH111986 tertanggal 13 November 1986. Pabrik pulp dan hutan tanaman industri HTI PT.IIU mulai dibangun sejak 1987. Diresmikan operasionalnya oleh Presiden Suharto di Desa Nisan Lhoksumawe, Aceh pada tahun 1989 bersamaan dengan peresmian 8 pabrik pulp dan rayon lainnya. Secara komersial, PT.IIU mulai memproduksi pulp pada 1989. Selanjutnya pada 1993, dibangun lagi pabrik serat rayon. Untuk penyediaan bahan baku industri, PT.IIU. telah memeroleh izin pemanfaatan hutan tanaman pinus seluas 86 ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 236KPTS-IV1984 dan 20 20 Saur Tumiur Situmorang, dkk. loc cit, hlm. 8 42 kemudian mendapat hak pengusahaan hutan tanaman industri HPHTI sesuai SK Menteri Kehutanan No. 493KPTSII1992 seluas 2269.060 ha sebagai sumber bahan baku jangka panjang. 21 Dua paragraf di atas mendeskripsikan kehadiran negara sebagai aktor yang ada di balik pendirian PT. ini. Tentu saja, ini melibatkan penguasa saat itu, yaitu Suharto sebagai pihak penyelenggaranya. Suharto menjadi sentra di dalam jaringan kekuasaan yang melahirkan, memelihara, mengembangkan, dan memonitor PT. IIU ini. Suharto sendiri tentu saja bukan aktor satu-satunya dalam operasional PT.IIU. Hal ini disebabkan karena kekuasaan yang ada dalam negara sendiri tidak bersifat tunggal. Negara bukan subjek yang bersifat homogen. Persaingan- persaingan bidang kekuasaan dalam pemerintah melalui birokrasi pemerintahan mengilustrasikan adanya watak kekuasaan yang bersifat memencar dan melekat pada setiap wacana yang beragam. Persaingan antardepartemen dan hierarki pemerintah pusat dan provinsi menjelaskan ketiadaaan batas yang jelas mengenai penentuan ruang dan subjek. Keterbatasan negara dalam mengonsolidasikan kekuasaan yang bersifat terpencar- pencar ini menciptakan “ruang gerak” room of maneuver dalam Darmanto, 2011. 22 “Ruang gerak” yang dimaksud di sini adalah jaringan kekuasaan yang akan membentuk mekanisme keberlanjutan dominasi penguasa di dalamnya. Ini berarti seseorang yang berada dalam lingkaran kekuasaan pada saat itu bisa memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kasus PT.IIU ini. Untuk itulah, mengidentifikasi tokoh atau aktor yang terlibat dalam dinamika sengketa PT.IIU, dapat juga dilihat dari keterlibatan aktor-aktor lain yang memang ada di jaringan tersebut. Selain dari segi kekuasaan, keberadaan para penguasa dan jaringannya ini menandakan jika mereka terlibat dalam pemosisian atau persoalan identitas etnis 21 Dimpos Manalu, loc cit, hlm. 103 22 Darmanto dalam jurnal Wacana dengan judul tulisan “Penataan ruang, Pembentukan Subjek dan Penerapan Kekuasaan di Pulau Siberut: Studi Kasus Provinsi Riau ” 2011 43 Batak Toba. Dengan segala kebijakan, regulasi, dan aksi, para penguasa yang dominan pun menghadirkan “ruang pembentukan” identitas Batak Toba. Tentu saja, identitas yang ditawarkan di sini adalah Batak Toba yang mengalami kerusakan lingkungan dan tidak memiliki posisi tawar dalam negara. Dalam awal pembangunannya sendiri, ada beberapa Menteri yang menolak pembangunan PT ini. Akan tetapi, dalam perjalananannya, investasi menjadi wacana mutlak yang harus diterapkan saat itu. Alhasil, hal ini mengundang munculnya resistensi dari warga yang merasa lahannya akan terancam saat itu. Tentu saja, resistensi ini tidak berlangsung satu arah. Di sisi lain, PT. IIU pun melakukan perlawanan atas resistensi yang telah dilakukan oleh masyarakat Toba. Indorayon dengan menggunakan jasa putra daerah yang berdomisili di Jakarta, Mayjen Purn Agus Marpaung, Mantan Deputi wakil tetap RI di PBB dan menjadi Kepala LKBN Antara berhasil memobilisasi dukungan warga. Kemudian mereka membuat pesta ala Batak, yaitu penyerahan pago-pago di Porsea. Penyalahgunaan adat pago-pago didukung oleh Bupati Tapanuli Utara saat itu, Lundu Panjaitan, serta Gubernur Sumatera Utara, E.W.P. Tambunan. Acara ini dihadiri oleh warga dari berbagai desa. Hal ini dilakukan sebagai politik imej, sehingga citra yang muncul adalah keberterimaan masyarakat atas operasional Indorayon 23 . Akan tetapi, warga yang hadir saat itu adalah raja-raja huta kampung, tokoh-tokoh adat, dan kepala-kepala desa yang dimobilisasi oleh pemerintah saat itu. Sebagaimana diketahui, sejak awal Orde Baru, peran elit-elit desa ini sudah dibina sedemikian rupa, dalam rangka melegitimasi program-program pembangunan dan sekaligus untuk kepentingan partai Golkar saat itu. Di Tapanuli misalnya, sejak 1970‟an peran-peran seperti ini sudah dimainkan oleh Lembaga Sisingamangaraja yang dibentuk pengusaha pers dan tokoh Golkar, GM 23 Dimpos Manalu, loc cit, hlm. 146 44 Panggabean.”Jadi mobilisasi dukungan itu sesungguhnya berlangsung secara elitis”. 24 Hadirnya kepala desa yang dimobilisasi untuk terlibat dalam acara pago- pago juga menunjukan identitas “ketertundukan”. Kepala daerah yang memiliki posisi vital dalam kehidupan masyarakat Batak Toba juga ternyata menundukkan kepatuhan di hadapan birokrasi di daerah. Identitas yang dihasilkan dari hal ini adalah menghilangnya dimensi adat dalam manusia Batak. Pemerintah melalui kekuasaan yang ada padanya telah memakai adat yang diputarbalikkan secara sengaja untuk mengalihkan penguasaan dan pemakaian tanah rakyat tersebut kepada perusahaan PT. IIU, yakni Gubernur E.P. Tambunan dan Bupati Tapanuli Utara waktu itu, Lundung Panjaitan. Artinya, para penjabat pemerintah daerah waktu itu telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memuluskan berdiri dan beroperasinya PT.IIUTPL di tanah Batak sejak tahun 1983, yang dampaknya masih berlanjut hingga sekarang Simanjuntak dalam Situmorang, dkk. 2010: 7 25 Tokoh-tokoh yang berkuasa saat itu dapat dikatakan merupakan jaringan kekuasaan yang menjadi agen “memperlancar “operasional Indorayoon. Dalam perencanaan awal sebenarnya ada tarik-menarik pendapat dari para tokoh-tokoh masyarakat Porsea Toba dan Dolok Sanggul Dairi agar lokasi pabrik ditempatkan di daerah mereka. Namun, lobi tokoh masyarakat Porsea lebih kuat karena keberadaan tokoh-tokoh yang ada dalam pemerintahan pusat, seperti Agus Marpaung. Selain Agus, memang terdapat sederet tokoh politik dan intelektual Porsea di Jakarta, seperti Sabam Sirait, Dr. Midian Sirait, dan Dr. Ing K. Tunggul Sirait, yang diyakini berperan dalam mengintroduksi dan mengembangkan wacana Tapanuli sebagai “Peta kemiskinan”, yang meyakini industrialisasi sebagai langkah yang paling strategis untuk mengentaskan bona pasogit kampung halaman dari lembah kemiskinan Manalu, 2009: 147 24 Ibid 25 Catatan ini dilakukan oleh Bungaran Antonius Simanjuntak dalam prolog buku “Orang-Orang yang Dipaksa Kalah ” 2009. 45 Kutipan ini sedikit banyak kembali menghadirkan identitas Batak yang tunduk. Manusia Batak yang muncul dalam kutipan di atas merupakan representasi jika identitas batak dipakai untuk memperlancar dominasi negara di dalamnya. Identitas yang tersaji adalah kesamaan kode budaya sebagai sesama Batak dipakai untuk melegitimasi peran negara dalam pendudukan lahan di Tanah Toba. Dengan kata lain, identitas Batak dipakai untuk penaklukkan lahan. Wacana “peta kemiskinan” sendiri menjadi salah satu upaya yang dilaku kan oleh pemerintah saat itu. Dengan melibatkan “putra daerah” sendiri, Tapanuli diklaim atau dikonstruk dalam wajah kemiskinan. Tak pelak hal inilah yang memperlancar wacana industri untuk masuk sebagai „obat mujarab” yang ditawarkan oleh negara saat itu. Jika dilihat secara historis, wacana ini telah dimulai pada dekade 1930‟an. Pemerintah dan para perantau asal Taput menyalahkan orang yang tinggal di bonapasogit dengan menyebut mereka sebagai pemalas. “Kemalasan” inilah yang berkontibusi pada laju perkembangan daerah Tanah Toba. Sebenarnya kalau dilihat dari keadaan geografis daerah Taput sangatlah miskin sumber daya alam. Ini merupakan daerah yang berbukit-bukit, tandus sehingga sangat terbatas untuk mengembangkan pertanian. Hal inilah yang menyebabkan para pemuda asal taput secara ramai-ramai merantau. Dimulai dari tahun 1930‟ an telah terjadi proses urbanisasi di mana warga khususnya tenaga produktif pindah dan menetap di luar daerah Taput yaitu terdapat di daerah Sumatera Timur karena tanah yang subur serta pekembangan perkebunan pada saat itu. Bahkan sampai ke Pulau Jawa. Inilah yang menyebabkan orang yang tinggal adalah anak-anak dan orang tua. Akan tetapi, sebenarnya kalau pemerintah bijaksana bisa saja keterbatasan SDA menjadi peluang yang lebih baik. 26 Jika maju lagi dalam dekade 1980‟an, sebenarnya tidak ada banyak kemajuan terkait wacana ini. Tapanuli tetap masih “setia” diposisikan sebagai 26 ibid 46 wacana subordinat dalam perkembangan kesejahteraan nasional. Ini berarti jika Tapanuli masih konsist en sebagai “peta kemiskinan”. Dari data sensus 1980 di Taput Tapanuli Utara, menunjukkan kebanyakan petani menguasai kurang dari 0, 05 ha. 47 dari jumlah rumah tangga petani mengusahai kurang dari 0, 25 ha, 34 mengusahai 0, 25 -0, 50 ha, dan hanya 19 di atas 0, 50 ha. Kemudian, di Taput ketika itu pendapatan rata- rata penduduk diperkirakan baru mencapai Rp. 240.000kapita tahun. Sementara rata-rata nasional telah mencapai Rp. 600.000kapitatahun. 27 Sebutan Tapanuli sebagai “peta kemisikinan” juga diperkuat karena terdapat wilayah atau desa miskin dan tertinggal. Seiring dengan sebutan tersebut dan “demam” pembangunan dan modernisasi yang dicanangkan pemerintah ORBA, maka pemerintah menjawab sebutan kemiskinan tersebut dengan program-program seperti pembangunan perusahaan Industri raksasa, yaitu proyek Asahan Pt.Inalum pada 1975 dan PT.IIU pada 1986. Sekali lagi, terlihat secara eksplisit proses legitimasi negara untuk melakukan pengindustrian terhad ap tanah adat. Hal ini dengan “licin” digunakan untuk menteritorialkan masyarakat Batak Toba dalam ruang politis. Wacana ini juga dapat ditafsirkan hilangnya posisi tawar masyarakat Batak Toba di hadapan jaringan kekuasaan yang ada. Jika mengaitkan hal ini dengan identitas etnis Batak Toba, ada dua hal yang bisa didapat. Pertama, identitas etnis Batak yang hadir dalah hasil kontruksi wacana ekonomi yang mengkategorikan “Batak” sebagai etnis miskin. Bahkan, hal ini berdimensi nasional. Artinya, Batak yang hadir dalam kutipan ini adalah identitas etnis Batak yang miskin, dan tidak punya laju perkembangan secara kemasyarakatan. Kedua, identitas etnis Batak Toba adalah korban atau objek eksploitasi era developemntalist. Keterlibatan negara atau dalam hal ini pemerintah telah banyak melibatkan jaringan yang ada di dalamnya, baik putra daerah yang ada di perantauan maupun 27 Dimpsos Manalu, loc.cit, hlm 44-45. 47 di daerah Tapanuli sendiri. Dari penjelasan di atas, juga dapat dilihat aktor-aktor yang terlibat dalam dinamika kasus Indorayon dari awal perencanaan, pembagunan, dan pengesahan hingga proses keberlanjutannya. Selain dari proses ini, para aktor yang terlibat juga dapat dilihat dari tuntutan WALHI dalam perkembangan kasus PT.IIU hingga tahun 1998. Putusan pengadilan yang sebelumnya juga mengakui legal standing LSM lingkungan hidup adalah putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat Putusan No.820PDT.G1998 dalam kasus kerusakan hutan di mana WALHI tampil sebagai penggugat yang menggugat Kepala Badan Koordinasi Penanaman modal, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, juga Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, juga Menteri Kehutanan dan PT. IIU Effendi, 2013:17. 28 Tuntutan yang dilakukan oleh WALHI ini memberikan sejumlah orang dan instansi yang terlibat dalam operasional PT.IIU. Tentu saja, jika menilik tuntutan ini, aktor-aktor yang terlibat adalah aktor besar negara. Dengan kata lain, orang atau lembaga-lembaga ini pula yang turut mewarnai dinamika konstruksi identitas etnis Batak Toba. Sekali lagi ini dimulai karena persoalan tanah yang terjadi di Tanah Batak. Untuk memperlihatkan jika PT.IIU menyebabkan persoalan tanah adat, penulis akan mendeskripsikan dampak PT.IIU terhadapnya. PT. IIU dengan sangat eksplisit mengalihfungsikan lahan di Tanah Toba. Tidak hanya alihfungsi lahan, PT.IIU juga mengalihkan status kepemilikan tanah adat para warga. Padahal, dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, tanah sangatlah memiliki peran yang cukup berarti. Hal ini diungkapkan oleh Martaria Silalahi, yang sehari-hari dikenal sebagai Ompu Ester Boru, salah seorang sepuh yang masih ikut menyuarakan anti-indorayon. Beliau mengungkapkan hal yang terkait dengan tanah. Persepi 28 Aan Efendi dalam jurnal Perspektif dengan judul tulisan “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Peradilan Tata Usaha Negara. 2013 48 inilah yang bisa ditafsir sebagai representasi kosmolgi masyarakat Batak terhadap tanah. “Tanah batak yang subur dan indah pada masa kecilku dulu, telah hilang dan rusak sejak kehadiran Indorayon. Kerusakan hutan terjadi di mana- mana. Mereka tidak hanya merambah hutan, tetapi juga merampas tanah- tanah rakyat dengan alasan perluasan areal penanaman kayu eucalyptus. Tanah bagi orang Batak memiliki nilai sejarah yang tinggi. Tanah itu menggambarkan jati diri. Arga do bona ni pinasa merupakan filosofi bagi masyarakat Batak. Sehingga setiap orang yang mengaku orang Batak, harus bertanggung jawab menjaganya, di mana pun ia berada, baik di kampung halaman atau di perantauan. 29 Arga bona ni pinasa berarti tanah tempat kelahiran atau tanah leluhur sangat berarti dan berharga bagi masyarakat adat Batak. Tanah sebagai simbol dan bukti eksistensi marga atau klan bagi masyarakat adat Batak. Tidak ada marga yang tidak punya wilayah pemilikan tanah. Meskipun batas arealnya tidak ditentukan dengan jelas, akan tetapi antarmarga yang berbatasan wilayahnya saling mengakui. Arga bona ni pinasa mendeskripsikan jika tanah tidak lagi hanya beresensi pada spasial, ruang, atau komoditas ekonomi belaka. Sebelumnya telah ditunjukkan jika tanah terkait erat dengan huta. Di sisi lain, huta terjalin erat dengan dimensi marga. Di sinilah letak hubungan kekerabatan atau hubungan tanah dan masyarakat Batak Toba. Dapat dikatakan, persoalan yang terjadi atau yang melibatkan tanah akan berefek langsung pada persoalan masyarakat Batak Toba. Tanah Toba yang dipersoalkan maka sama dengan mempersoalkan suatu marga, entah dimana pun dia berada. Konsep tanah sangat mendasari pada tiga tujuan hidup manusia Batak , yaitu hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Tanah yang dituturkan oleh Ompu Ester dalam kutipan di atas pasti akan melibatkan dimensi hamoraon; artinya kekayaan bagi manusia Batak dapat ditempuh dengan hasil olah tanah pertanian yang dimiliki oleh klan atau marga tersebut. 29 Saur Tumiur Situmorang, dkk. loc. cit, hlm. 160. 49 Dimensi hagabeon pun bisa dilihat dari lahan tanah suatu marga. Hagabeon mengisyaratkan kelahiran. Kelahiran inilah yang akan berkorelasi dengan penambahan jumlah huta yang akan menstimulan pembukaan huta baru dari satu marga. Akan sangat sulit diterima jika hagabeon berketurunan tidak disesuaikan dengan kuantitas tanah marga yang ada. Dimensi hasangapon jelas terlihat jika menilik proses awal pendirian huta. Huta hanya bisa didirikan oleh kepala adat dalam satu marga atau satu klan. Dengan kata lain, perusakan atau pengambilalihan tanah suatu marga yang menimbulkan “luka” dalam dimensi kehormatan hasangapon manusia Batak. Ketiga dimensi inilah yang akan dipegang teguh oleh manusia Batak di manapun. Bahkan, ketika berada dalam perantauan pun, konsep ini masih dibawa dan dihidupi sebagai dasar hidup. Hal inilah yang menjadi alasan ketika kasus atau peristiwa yang menimpa di Tanah Batak bonapasogit 30 akan menyulut gerakan atau respon dari manusia Batak di luar bonapasogit. Salah satu dampak dari PT. IIU yang berkorelasi dengan lahan atau tanah adat adalah kasus tanah adat marga Barimbing di Sugapa. Kasus yang terjadi dalam territorial Kecamatan Silaen memakan lahan yang luasnya sekitar 52 hektar. Kasus ini sendiri diperjuangkan oleh kaum ibu pada 1987-1994. Kasus lainnya adalah beralihnya status tanah adat yang luasnya berkisar 200 hektar di Desa Pariksabungan, Kecamatan Siborongborong, yang dialihkan oleh Dinas Kehutanan kepada Indorayon 1989-1991. Untuk konteks Desa Sugapa yang terletak di Kecamatan Silaen, berkisar 17 kilometer dari lokasi pabrik Indorayon, bertani merupakan mata pencaharian utama penduduk desa ini. Sebagai petani, tentu dibutuhkan sehamparan lahan tempat menggembalakan ternak. Ternak-ternak itu, di samping berfungsi sebagai investasi pendidikan dan kesehatan keluarga, juga digunakan untuk sumber kompos pertanian. Hal ini juga terjadi dengan tano parsibarungan yang juga dialihfungsikan oleh IIU. Tano parsibarungan merupakan nama tanah adat milik 30 „tanah leluhur dan tanah kelahiran‟ 50 masyarakat Sugapa, warisan leluhur mereka; Raja Sidomdom Baringbing. Tanah inilah yang dirampas oleh PT. IIU. 31 Tanah Parsibarungan merupakan tanah warisan keturunan Raja Sidomdom Baringbing. Marga Naipospos sebagai marga boru diakui Raja Sidomdom Baringbing juga sebagai pemilik tanah huta Baringbing sebagai boru tano. Tanah tersebut sebagian digunakan oleh masyarakat Desa Sugapa sebagai tempat pengembalaan ternak, sebagian lagi digunakan sebagai perladangan dan sebagai areal pengambilan kayu bakar. Sebagai petani, tanah bukan hanya tempat bertanam saja, tetapi juga sebagai tempat mengembalakan ternak kerbau dan sapi. Dalam mengelola pertanian, ternak dan tanam silang saling berkaitan. Ada perumpaan di sana yang mengatakan “bertani tanpa beternak adalah memburuh menjadi buruh. Mekanisme ini sama dengan pemanfaat lahan secara optimal. Ternak akan menghasilkan pupuk yang baik bagi tanaman dan ternak bisa digunakan untuk acara adat ataupun dijadikan sebagai penghasil uang. Hal ini ditegaskan oleh Porman, seorang yang tanahnya diambil oleh Indorayon: “Bagaimana mungkin petani dapat hidup tanpa tanah. Tanah itulah sumber pendapatan kami atau sumber ekonomi dan masa depan bagi keluarga kamu. Itulah kenapa saya serta Ibu-Ibu lainnya keberatan tanah Parsibarungan diambil oleh Indorayon.” 32 Dalam perspektif kasus di atas, tanah tidak hanya menjadi “tulang punggung” ekonomi keluarga. Lebih dari itu, tanah telah menjadi simbol adat dan historis bagi beberapa kelompok masyarakat. Dalam konteks masyarakat Batak sendiri, tanah memiliki makna yang tidak bersifat material saja, akan tetapi juga menyentuh aspek kosmologi berpikir masyarakat Batak. Dari pembahasan di atas telah diperlihatkan bahwa manusia Batak memiliki konsep tersendiri dalam melihat tanah adatnya. Hal ini berpengaruh 31 Saur Tumiur Situmorang, dkk. loc. cit, hlm. 18. 32 Saur Tumiur Situmorang, dkk. loc. cit, hlm. 16. 51 terhadap kehidupan sosial dan politik manusia Batak. Hal ini mulai berubah seiring masuknya negara dan industri di Tanah Batak. Hal ini ditandai dengan operasional PT.IIU. Operasional PT.IIU melibatkan negara dan jaringan kekuasaannya dalam dominasi penguasaan lahan adat. Penguasaan ini sendiri melibatkan manusia- manusia Batak di dalamnya. Hal ini jelas saja memperlihatkan konstruksi identitas etnis Batak Toba. Tuntutan kebutuhan ekonomi industri nasional dan internasional berhubungan langsung dengan kapitalisme terhadap tanah Batak. Kapitalisme inilah yang menjadi sumber riil bencana alam dalam masyarakat Batak Toba. Hal ini ditandai dengan dampak PT.IIU terhadap tanah adat. “Gangguan” terhadap tanah adat inilah yang akhirnya berkorelasi dengan persoalan identitas etnis Batak. Penjelasan subbab ini pada akhirnya akan penulis gunakan sebagai konteks dengan tawaran atau kritikan novel Bulan Lebam di Tepian Toba pada bab 4. Ini akan penulis gunakan sebagai komparasi jika persoalan tanah inilah yang menjadi persoalan “utama” yang ditawarkan oleh novel ini sebagai politik identitas etnis Batak. Pembahasan ini akan khusus diuraikan pada bab IV.

2.3 PT. Indorayon : Masalah Kronis di Tanah Toba

Pada uraian subbab sebelumnya telah diurai relasi masyarakat Batak Toba dengan alam lingkungannya. Dari situ terlihat jika persoalan yang bersentuhan pada tanah akan langsung terhubung dengan manusia Batak itu sendiri. Inilah yang terjadi dalam kasus PT.IIU. Selain berdampak terhadap tanah adat Batak, PT.IIU juga berpengaruh terhadap kehidupan manusia Batak dari dimensi lain, yaitu kehidupan masyarakat Toba relasi sosial. Inilah yang akan penulis bahas pada bahasan di bawah ini. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat dalam kaitannya dengan operasional ini pula yang akan mendeskripsikan perubahan yang terjadi dalam kehidupan Batak Toba. Untuk itulah, sebelum membahas perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba, penulis merasa perlu mendeskripsikan dampak PT.IIU terhadap kehidupan masyarakat Batak Toba. Hal ini difungsikan 52 untuk memperlihatkan jika PT.IIU tidak hanya berdampak pada persoalan kapital tanah tapi juga dampak-dampak lainnya. Dalam mengoperasikan bisnisnya, PT. IIU menebar jejaring kekuasaan dengan cara apapun. Hal ini diupayakan dalam merampas hak tanah maupun upaya pelemahan perjuangan masyarakat yang melawan PT. IIU. Pada masa itu pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan militer. Pendekatan kekuasaan dan stigmanisasi sebagai anti pembangunan menimbulkan rasa takut bagi sebagian kelompok rakyat untuk menunjukkan sikap menolak, walau mereka juga merasakan dampak negatif dari kehadiran Indorayon. Dalam perkembangnnya, PT. IIU melakukan pelemahan perjuangan dengan cara yang lebih “halus” dan nirkekerasan. Hal ini tidak serta merta menghilangkan upaya kekerasan yang dilakukan PT.IIU dengan melibatkan aparat keamanan di dalamnya. Salah satu upaya yang kerap dilakukan oleh PT. IIU adalah dengan membagi masa yang menolak menjadi dua kubu. Hal ini dilakukan dengan mediasi Comunnity Development CD. Program CD ini sangat berdampak berat terhadap perjuangan rakyat. Massa yang awalnya memiliki satu misi dan visi akhirnya terbagi dua. Pihak pertama adalah pihak yang menerima CD dari PT.IIU. Pihak kedua adalah pihak yang masih menyatakan ketegasan dalam menolak PT.IIU. Hal inilah yang penulis simpulkan jika PT.IIU juga memiliki dampak secara sosial. Di berbagai desa, terutama setelah tahun 1998, tidak jarang antarkelompok yang pro dan kontra tidak saling mengundang lagi saat ada acara-acara adat di kalangan mereka. Bahkan, pada tahun 2000 terjadi saling bakar rumah dan saling mengancam. Padahal, identitas Batak Toba salah satunya diidentifikasi dari kekerabatan masyarakatnya. Kekerabatan ini bahkan berlaku hingga keluar tano batak. Dalam dinamika CD, masyarakat Batak Toba menjadi terpecah dua. Kubu pertama adalah yang pro dengan Indorayon. Kubu kedua adalah yang kontra Indorayon. Kubu pertama ditandai dengan penerimaan kompensasi biaya atau 53 fasilitas yang diberikan oleh Indorayon kepada keluarga mereka. Hal ini ditandai sebagai sikap “menghianati” oleh kubu kedua. Kubu kedua sendiri tidak mau menerima sumbangan apapun yang diberikan oleh pemerintah atau perusahaan Indorayon. Mereka tetap mempertahankan perjuangan hak tanah dan adat mereka. Dinamika inilah yang turut menciptakan ruang konflik antara sesama masyarakat Batak. Hal ini disampaikan oleh Situmorang, dkk., 2010: 33 sebagai berikut: “Menyikapi kebijakan tersebut, secara umum di berbagai desa kembali ada ketegangan antara kelompok yang pro dan kontra. Meski mereka satu komunitas adat, mereka tidak lagi saling mengundang saat salah satu dari mereka hajatan atau membuat acara adat. Dalam kehidupan sehari-hari, bagi rakyat, kesamaan sikap terhadap IndorayonTPL baik pro maupun kontra menjadi lebih tinggi dar i nilai kekerabatan”. Hal ini ditambahkan oleh tuturan Willer Sitorus, seorang Koordinator massa SRB Suara Rakyat Bersama, satu lembaga yang mewakili suara masyarakat Toba yang termarjinalkan haknya oleh pemerintah. Ia menuturkan : “Kekalahan perjuangan rakyat Porsea melawan Indorayon, karena adanya intimidasi, penangkapan, penembakan, oleh aparat polisi saat rakyat melakukan aksi. Kemudian rakyat dipecah belah dengan berbagai jenis bantuan yang diberikan oleh TPL. Salah satu dampak sosial yang muncul da ri kehadiran TPL adalah kelompok yang “pro” dan “kontra” pada acara-acara adat tidak saling mengundang lagi. Sesama saudara pun tidak saling bertegur sapa bila mengetahui saudaranya menerima bantuan dari TPL“. Perpecahan masyarakat, berdampak terhadap acara-acara adat di desa. Pernah terjadi, pada satu acara pesta pernikahan seorang warga desa Amborang, salah seorang saudara dari yang berpesta itu adalah seorang yang menerima bantuan dari TPL. Sebagian besar warga Amborang yang “kontra” tidak menghadiri pesta tersebut. “ 33 Kutipan di atas menjelaskan perubahan kekerabatan yang terjadi dalam masyarakat Batak. Hal ini tentu menjadi persoalan yang cukup berat. Dengan kata lain, wacana ekonomi mampu menggeser paradigma wacana etnisitas. Etnisitas yang menurut Stuart Hall dalam level pertama adalah identitas yang mengacu kepada kesamaan internal satu komunitas kini sudah tidak mampu menunjukkan perannya. Hal ini bisa dimulai dari kesamaan fisik, kesamaan budaya, dan 33 Saur Tumiur Situmorang, dkk. loc. cit, hlm. 125. 54 kesamaan sejarah. Program CD jelas menujukkan perannya dalam melemahkan perlawanan manusia Batak. Dampaknya adalah melunturnya kekerabatan Batak yang selama ini menjadi dasar gerakan perlawanan PT.IIU. Identitas Batak Toba yang dihadirkan pun menjadi satu hal yang mendasari perpecahan ini. Kubu yang pro dengan CD yang dikeluarkan oleh PT.IIU mendasarkan sikapnya atas nama marga dan keluarga Batak. Hal inilah yang membuat perkembangan CD cukup meluas. Identitas Batak dipakai untuk memengaruhi penerimaan CD. Selain itu, identitas etnis Batak Toba juga dipahami sebagai dasar perlawanan yang tetap dipertahankan oleh kelompok yang kontra dengan CD. Identitas Batak dipahami dengan mempertahankan dimensi adat tanah dan ingin mengembalikannya pada dimensi yang dulu. Dengan kata lain, identitas Batak Toba menjadi dasar perjuangan penolakan manusia Batak terhadap PT.IIU. Perubahan ini tidak hanya mendeskripsikan konflik sosial yang ada dalam masyarakat Toba terkait PT.IIU dan TPL. Penerimaan dana CD yang diterima oleh sebagian masyarakat dapat ditafsirkan sebagai melemahnya hubungan kosmologi masyarakat Batak Toba terhadap tanah adatnya. Pergeseran inilah yang menjadi permasalahan kebatakan yang cukup serius. Berhasilnya pendisiplinan suara dalam masyarakat melalui CD menjadi penanda jika Identitas Batak Toba yang memperjuangan hak tanah adat dan pemeliharaan tanah leluhur mulai bergeser. Tidak hanya terkait dengan dana CD saja. Perubahan yang cukup drastis terlihat dalam konteks manusia Batak muda. Penulis menyebut Manusia Batak muda karena data yang akan diberikan penulis di bawah ini diwakili oleh pemuda mahasiswa. Dalam berita yang dilansir oleh Starberita.com 2015, Ketua GMKI Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan Ketua PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia menyatakan jika PT.IIU tidak benar mencemarkan lingkungan. Ketua Presedium PMKRI cabang Medan, Nahason Gea dan Rubben Pangabean Ketua GMKI cabang Medan bersama 28 orang 55 mahasiswa lainnya telah melakukan studi banding guna meninjau langsung lokasi operasional perusahaan Pulp tersebut. Hasil dari studi mereka adalah opini “miring” terkait pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT. TPL adalah tidak benar. Hasil lainnya adalah PT. IIU telah beroperasi sesuai dengan prosedur pemerintah dan Amdal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Mereka juga menambahkan jika, program Coorporate Social Responsibilty berjalan dengan sangat baik. Limbah perusahaan sendiri dibuang ke laut lepas melalui sungai Asahan. Hal lainnya yang tidak terbukti adalah penebangan liar pohon kemenyan yang dilakukan oleh TPL. Masih terkait dengan hasil studi banding, kedua mahasiswa ini pun menyampaikan jika pembukaan akses jalan demi kepentingan logistik perusahaan dan sekaligus juga bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Dalam kawasan Hutan Tele, pohon kemenyan tetap tumbuh dan terlindungi agar tetap hidup dan berkembang, baik di konsesi TPL maupun di luarnya. Tidak berhenti di situ saja, kedua orang ini mewakili GMKI memberikan rekomendasi kepada APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia, Kamar Dagang Indonesia Kadin dan elemen-elemen terkait untuk berinvestasi dan menanam saham di PT.TPL. Pernyataan yang kontroversial ini cukup menyedot atensi masyarakat Batak. Kemunculan laporan ini merepresentasi perubahan paradigma. Identitas Batak pun bergeser. Perjuangan masyarakat Tano Batak yang dimulai dekade 80‟ an dapat dibaca sebagai semangat kekerabatan yang masih terlihat sebagai identitas etnis Batak. Tanah adat yang memiliki nilai sakral dan historis yang kuat pun mulai mengalami perubahan makna. Hilangnya kekerabatan karena menurunnya peran bius menjadi penanda etnisitas Batak Toba dalam konteks saat ini. Hal inilah yang terepresentasikan oleh pengakuan dua orang Batak Muda yang telah dideskripsikan pada paragraf sebelumnya. Kedua sikap mahasiwa ini menjadi penjelas jika permasalah identitas Batak kini mulai mengalami pergeseran. Dampak dari pendekatan yang dilakukan 56 oleh PT. IIU yang menggunakan dana pengembang masyarakat telah mampu menghasilkan generasi yang memiliki perspektif yang bertolak belakang dengan pendahulunya di era 1980‟an hingga 1990‟an. Akan tetapi, pada perkembangannya GMKI dan PMKRI meralat pernyataan kedua ketuanya ini. Kedua organisasi menyatakan jika pernyataan tersebut bersifat personal dan tidak mewakili kedua organisasi ini. Walaupun begitu, dapat disimpulkan jika identitas Batak Toba mulai bergeser. Problematika yang disajikan oleh para mahasiswa ini kembali menunjukkan dualitas kebatakan itu sendiri. Upaya yang dilakukan oleh para mahasiswa ini kembali menghadirkan identitas Batak sendiri. Di satu sisi, indentitas etnis Batak yang tunduk pada wacana PT.IIU dan identitas etnis Batak yang melawan. Intinya, identitas etnis batak digunakan sebagai dasar gerakan dalam dinamika kasus PT.IIU. Dalam perkembangan kasusnya, persoalan IIU ini juga melibatkan tidak hanya pihak warga yang dirugikan. Beberapa lembaga non pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan juga turut andil dalam wacana ini. Ada beberapa lembaga keagamaan yang turut dalam perjuangan ini, yaitu HKBP, HKI, GKPI, GKPS, katolik. 34 Hal ini mengindikasikan kedekatan atau relasi keagamaan dengan perjuangan sosial masyarakat Batak. Selain keterlibatan dalam bentuk lembaga agama, wacana kebatakan yang dapat dilihat dalam persoalan ini adalah perspektif keagamaan yang menjadi dasar perjuangan warga. Salah satu yang ikut terlibat dalam masalah ini adalah Pdt. Sarma Siregar, seorang pendeta yang melayani di gereja HKBP, resort Nagatimbul, Kecamatan Lumban Julu. Pdt. Sarma merupakan seorang yang mewakili perjuangan masyarakat Batak untuk menghadapi Indorayon. Pdt. Sarma beserta suami ditangkap kepolisian karena didakwa sebagai pelaku pengerusakan Kantor Kecamatan Porsea. Pdt. Sarma dipaksa untuk mengakui perbuatan yang memang tidak dilakukannya. 34 Saur Tumiur Situmorang, dkk. op.cit.