133
Representasi terkait dengan perlawanan terhadap pabrik kertas pun dilakukan secara berkelompok. Hal ini merepresentasikan kolektivitas perlawanan
masyarakat Batak Toba terhadap keberadaan perusahaan Indorayon. Inilah yang terlihat dalam kutipan 48.
48 Tak wajar bagiku, karena aku sedang bercerita tentang suami yang
kucintai. Pada waktu itu, selain Ganda, banyak lagi lelaki lain yang datang memprotes pabrik kertas yang limbah pulp-nya sampai
membuat kotor seluruh sungai hingga ke Danau Toba. Datu pun sepertinya ikut. Bahkan kalau saja tak dilarang abangmu, bapakmu
juga sudah akan berangkat untuk memprotes ulah pabrik-pabrik itu,
Monang…” Simatupang, 2009: 56 Kutipan 48 menjadi representasi penolakan masyarakat terhadap PT.IIU.
Kolektivitas yang diperlihatkan pada kutipan ini menjadi satu penanda jika kesamaan identitas mendasari penolakan terhadap pabrik kertas. Banyaknya orang
yang terlibat dalam demonstrasi penolakan pabrik kertas dalam novel menjadi representasi yang sama dengan yang terjadi dalam tatanan dunia riil. Kolektivitas
dalam melakukan suatu gerakan perlawanan dengan menggunakan kesamaan identitas etnis ini pula yang dihadirkan dalam novel ini.
Selain persoalan perjuangan dalam melakukan aksi penolakan, kutipan ini mendeskripsikan dampak negatif pabrik gula terhadap lingkungan di Tano Toba.
Pabrik kertas dalam novel ini direpresentasikan telah mengotori sungai dan Danau Toba. Dampak lingkungan di Tano Toba inilah yang menstimulan masyarakat
untuk menolak pabrik kertas. Selain kutipan 48 pabrik kertas kembali dihadirkan problemanya pada
kutipan di bawah ini. 49
Ganda protes soal lingkungan di Tanah Batak. Monang baru mendengarnya. Dia juga mendengar dari Pulau Jawa sana tentang
kabar demostrasi yang sampai diwarnai oleh moncong senjata. Aksi protes terhadap pabrik kertas yang terjadi di Tanah Batak bahkan
sempat menimbulkan korban Simatupang, 2009: 56.
134
Kutipan 49 menjadi penanda jika protes masyarakat Batak telah tersiar hingga ke Tanah Jawa. Ini sekaligus menandakan jika persoalan yang terjadi di
Tanah Toba telah menjadi konsumsi nasional. Artinya, gerakan protes yang terjadi dalam masyarakat Batak telah mendapat respon dari luar Tanah Batak.
Selain hal di atas, ada satu representasikan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat kampung Batak telah dipublikasi melalui media. Hal inilah yang
membuat kasus PT.IIU tidak hanya terbatas pada lingkup masyarakat Batak Toba. Hal inilah yang direpresentasikan pada kutipan 50.
50 Monang salut, Ganda punya wawasan dan sikap juga Namun,
Monang yakin tak akan ada nama Ganda di saat Koran menyebutkan nama penduduk yang tewas dalam pergolakan di kampung
Simatupang, 2009: 57.
Kutipan 50 juga menjadi representasi yang dihadirkan dalam novel ini terkait korban yang diakibatkan oleh pabrik kertas. Ada empat hal yang menurut
penulis penting dilihat dalam representasi ini. Pertama , Kalimat “Monang salut,
Ganda punya wawasan dan si kap juga” menjadi satu penanda jika secara internal,
warga kampung memiliki kesadaran bersama dalam menolak pabrik kertas. Artinya, perlawana terhadap pabrik kertas dimulai dari persoalan dan kesadaran
yang terbangun di dalam komunitas masyarakat itu sendiri. Kedua, keterlibatan koran media dalam persoalan pabrik kertas. Kemunculan Koran menjadi
penanda jika kasus pabrik kertas ini telah mendapatkan atensi dari kalangang di luar warga kampung masyarakat Batak. Ketiga,
adanya klausa “tak akan ada nama Ganda di saat Koran menyebutkan nama penduduk yang tewas
“ merujuk pada peristiwa penembakan yang terjadi di Sumatera Utara. Ini mereprsentasikan
korban penembakan yang terjadi sewaktu demonstrasi menuntut penutupan PT. IIU. Peristiwa ini menurut penulis merujuk pada peristiwa 5 November 1993.
Dalam peristiwa ini, 13 nyawa melayang di Bulu Silape dalam usaha menutup operasional PT.IIU.
54
Keempat adalah keberpihakan media. Kalimat “Namun,
Monang yakin tak akan ada nama Ganda di saat Koran menyebutkan nama
54
Kasus ini menelan korban nyawa sebanyak 13 orang. Ini menjadi salah satu catatan “kelam” PT.IIU
Manalu, 2009: 217
135
penduduk yang te was dalam pergolakan di kampung“ menjadi penjelasan
keterlibatan media masa dalam mendokumentasi dan melaporkan kasus yang diakibatkan oleh PT.IIU. Keyakinan Monang tentang tidak munculnya nama
abangnya sebagai korban di Koran menunjukkan kritik Sihar terhadap Media saat itu. Keberpihakan medialah yang memungkinkan tidak semua korban jiwa yang
diakibatkan oleh PT.IIU dipublikasikan. Hal inilah yang dikritik oleh Sihar. Selain itu, kedua kutipan di atas juga menjelaskan proses atau upaya yang
dilakukan oleh penguasa saat itu, yaitu senjata. Dengan melibatkan senjata, penguasa melakukan intimidasi terhadap perlawanan rakyat. Hal ini merupakan
respon PT.IIU dan penguasa pada saat itu. Novel ini pun mereprsentasikannya dalam pengembangan alur cerita.
Dalam wacana perlawanan terhadap Indorayon sendiri, Monang merepresentasikan hal yang tidak jauh berbeda dengan perjuangan tokoh lainnya.
Dengan irama pendidikan yang membentuk paradigma berpikirnya membuat Monang dengan cepat menentukan sikap terkait Indorayon. Tokoh Monang
dengan berbekal pengetahuan yang didapat di perantauan melihat jika resistensi yang harus dilakukan dalam melawan eksistensi PT.IIU adalah secara politik.
Monang merasa jika demonstrasi secara tradisonal tidak lagi cukup dalam meresistensi PT.IIU. Hal inilah yang direpresentasikan dalam kutipan 51.
51 Perbandingan diri antara Monang dan Ganda pun dimulai sejak
perbedaaan pengetahuan yang menurut Monang bisa didapat dari perantauan. Hal ini termasuk sikap politik terhadap pabrik kertas.
Ketertarikan itu pun baru dia dapatkan di kota sana, setelah pemikirannya dicuci dalam irama seminar dan kelompok diskusi. Dia
begitu tekun membangun pikiran-pikiran kritis Simatupang, 2009: 58.
Hal lainnya yang ditunjukkan oleh Monang dalam kutipan 52. Semangat pemuda Batak dalam melakukan perubahan dan melakukan perlawanan terhadap
keberadaan pabrik kertas menjadi satu keharusan. Identitas Batak yang direpresentasikan adalah identitas Batak Toba yang memperjuangkan perubahan.
Perubahan yang dicapai pun tidak tanggung-tanggung, yaitu perubahan terhadap bangsa dan negara. Hal inilah yang terpresentasikan dalam kutipan 52
136
52 Dia Monang memang sempat melihat di televisi, orang-orang tua
berdemonstrasi terhadap pabrik yang telah mengotori Danau Toba. Tetapi tugasnya di Kota Jakarta, dirasa Monang lebih berat dan lebih
mulia. Mengubah sejarah, bersama-sama ikut mengendalikan kemudi kebangsaan dan kerakyatan Simatupang, 2009: 58.
Pada akhir narasi novel, terdapat satu narasi yang merepresentasikan konteks politik di Indonesia. Hal ini menandakan aktor-aktor besar yang berada di
belakang PT.IIU sangat sulit disentuh oleh hukum. Hal inilah yang dihadirkan dalam renungan tokoh Monang di akhir cerita.
Dia tak bisa menebak. Uang nyatanya hingga sekarang pun tetap bisa melumpuhkan hukum. Di zaman ini, orang memang tak bisa lolos dari perkara
korupsi bila sorotan media massa dan televisi tetap gencar pada orang yang bersangkutan. Namun, mereka akan tetap mampu melumpuhkan hukum dan
mendapatkan pembebasan bila media massa dan masyarakat sudah lupa pada kasusnya Simatupang, 2009: 247.
Representasi ini menjadi satu bahasan khusus yang menempatkan pabrik kertas
sebagai satu
permasalahan. Permasalahan
PT.IIU benar-benar
terepresentasi dalam novel ini. Reprsentasi yang hadir dalam novel ini cenderung bernada negatif. Pabrik kertas direpresentasikan sebagai penguasa yang mampu
bekerja sama dan memengaruhi kepala kampung. Dampak terhadap lingkungan pun menjadi bagian representasi.
Selain itu hal ini juga memperlihatkan perjuangan masyarakat Batak yang diwakili oleh tokoh Ganda dalam penolakan pabrik kertas tersebut. Upaya yang
dilakukan oleh Ganda dengan menolak usulan kepala kampung atas operasional pabrik kertas. Penolakan ini sendiri menstimulan manusia batak lain untuk
mendukung. Dukungan ini pun dibaca menjadi dua hal. Pertama, walau harus dimulai oleh tokoh Ganda, penolakan yang dilakukan menunjukkan jika ada
kesamaan identitas Batak yang mendasari penolakan Batak. Kedua, pengalaman yang dialami oleh manusia Batak di kampung lain dapat diinterpretasikan sebagai
wujud solidaritas yang dilakukan oleh masyarakat di kampung tempat hidup tokoh Ganda. Walau solidaritas ini didasari dengan kecemasan akan kerusakan alam
yang akan terjadi di kampungnya, upaya Ganda dkk. tetap menunjukkan
137
solidaritas sesama manusia Batak. Terkait dengan solidaritas dan identifikasi diri yang didasari pada identitas Batak secara khusus akan dianalisis pada subbab
selanjutnya.
4.2 Kritik Novel Terhadap Indorayon
Setelah melakukan analisis terhadap representasi PT.IIU dalam novel ini, penulis lalu melanjutkan dengan mencoba melihat kritikan yang sedang
diupayakan oleh novel. Tentu saja, ini masih terkait dengan PT.IIU. Novel ini diciptakan oleh seorang Batak yang berprofesi sebagai penulis dan jurnalis. Untuk
itulah tidak mengherankan jika novel ini dikemas dengan tujuan ikut berkontribusi untuk memberikan “suara” atau “upaya” dalam problematika PT.IIU. Bab II telah
dibahas problematika PT.IIU yang dominan dilihat dari sisi dampak ekonomi dan dampak lingkungan. Apakah novel ini menyuarakan kritik yang sama dengan
bahasan bab II? Apakah ada persoalan atau kritik baru yang diupayaka oleh SIhar dalam novel ini terkait PT.IIU. Hal inilah yang akan dianalis pada subbab ini.
Penulis akan melanjutkan analisis tekstual dengan mengarah pada persoalan pabrik kertas. Stuart Hall mengingatkan jika dalam politik identitas
akan ada yang disebut sebagai “politik artikulasi”. Posisi atau keberadaan PT.IIU yang dikemas dalam novel ini penulis baca sebagai “politik artikulasi” terkait
PT.IIU. Inilah yang akan kembali dirujuk jika melihat politik identitas Batak Toba. Dalam bahasan ini pula penulis sengaja membatasi analisis untuk tidak
berfokus pada identitas karena hal inilah yang akan dieksplorasi dalam sub bab selanjutnya. Jadi, kritik novel terhadap Indorayon hanya memfokuskan pada kritik
yang ditawarkan dalam novel ini. Kritik pertama yang dilakukan oleh Novel ini melalui kehadiran tokoh
Amang Impal. Amang Impal adalah tokoh kepala kampung yang digambarkan secara negatif. Hal ini dikarenakan posisi Amang Impal yang berdiri dalam
jaringan kekuasaan PT.IIU. Amang Impal inilah yang dihadirkan sebagai “pemulus” masuknya PT.IIU dalam kampungnya.
138
Jika dibandingkan dengan pembahasan bab 2 perihal keterkaitan pemimpin daerah dalam operasional dan reoperasional PT.IIU. Tokoh Amang
Impal menjadi representasi penguasa daerah.
55
Keterlibatan tokoh-tokoh Batak baik yang berada pada level pemerintah daerah ataupun penguasa yang ada di
Jakarta menjadi kritik Sihar dalam novel ini. Amang Impal yang notabene memiliki kesamaan identitas Batak tidak
membuatnya serta merta ikut menolak PT.IIU. Amang Impal lebih memilih menggunakan identitas Bataknya sebagai “jalan” legitimasi penundukkan tanah
yang akan digunakan untuk pabrik kertas. Di sinilah novel ini menyajikan satu kritik yang memperlihatkan pemimpin manusia Batak belum tentu memihak pada
kepentingan Batak. Dengan kata lain, “Batak” yang ada tidak lagi memperlihatkan kesamaan cara pandang terhadap tanah adat.
Satu hal yang menarik adalah ketika novel ini menghadirkan diferensiasi tokoh Amang Impal dan tokoh Datu. Di awal cerita, tokoh Amang Impal berujar
jika akan menyingkirkan tokoh Datu. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai keyakinan “kekuasaan” yang dominan dimiliki oleh Amang Impal. Hal ini pun menjadi kritik
dalam novel ini jika melihat tokoh Datu yang mewakili Batak tradisional versus tokoh Amang Impal sebagai Batak modern.
Kata “menyingkirkan” pun menjadi satu hal yang menarik dilihat. Ungkapan tokoh Amang Impal ini memposisikan jika tradisi akan disingkirkan
oleh hal-hal yang disebut modern. Dalam hal ini, modern yang dimaksud tentu saja eksistensi Pabrik kertas. “Aku yang akan menyingkirkanmu” juga
menandakan “satu upaya” yang akan dilakukan untuk menyikirkan tokoh Datu.
Artinya apapun akan diupayakan oleh Pabrik kertas atau modernitas dalam “menyingkirkan” tradisi atau tokoh Datu.
Kritik berikutnya adalah penolakan terhadap pabrik kertas. Kutipan- kutipan yang ada dalam novel ini yang merepresentasikan pabrik kertas cenderung
ber makna “sumbang”. Untuk itulah, dalam penentuan tokoh-tokoh cerita, hanya
55
Ulasan ini telah dibahas pada bab 2 hlm. 42. Keterlibatan putera daerah Batak ini diambil dari Manalu 2009: 146
139
ada satu tokoh saja yang digambarkan dekat dengan pabrik kertas, yaitu Amang Impal. Secara kuantitas, jumlah tokoh yang menolak adanya pabrik kertas
sangatlah banyak dalam novel ini. Jadi secara pengkarakteran, novel ini jelas menunjukkan dan memposisikan pabrik kertas sebagai sumber masalah dalam
novel ini. Penolakan ini sendiri hampir dilakukan oleh seluruh warga kampung. Ini
terlihat ketika Tesya menjelaskan kepada tokoh Monang tentang demonstrasi yang ada di kampung. Dari sini terlihat jika novel ini mengambil posisi untuk
menempatkan PT.IIU sebagai sumber masalah yang ditolak oleh seluruh penduduk kampung.
56
Secara narasi, pada bahasan sebelumnya juga telah menunjukkan inti persoalan yang diangkat adalah pabrik kertas. Sihar dalam sisi ini menghadirkan
tokoh-tokoh yang secara dominan menolak pabrik kertas. Tercatat hanya ada dua tokoh yang digambarkan Sihar sebagai bagian dari kekuasaan pabrik kertas, yaitu
Amang Impal dan Hotman. Di sini, Sihar telah menunjukkan keberpihakannya dalam kasus PT.IIU. Dengan representasi para tokoh narasinya, Sihar
mengkonstruksi dan mendukung perlawanan terhadap operasional PT.II melalui novelnya.
Selain jumlah tokoh-tokoh cerita yang lebih banyak menolak pabrik kertas, novel ini pun menghadirkan satu persoalan yang sebenarnya secara tidak
langsung berhubungan dengan PT.IIU. Pada bab 3 sebelumnya, telah dinarasikan setting kampung halaman Monang yang bisa dikatakan sebagai daerah miskin.
57
Dalam konteks kemiskinan inilah, penokohan yang memosisikan tokoh- tokoh yang ada di sekitar Ganda dan Amang Impal dihadirkan sebagai manusia
Batak yang memiliki perilaku penjudi dan pemabuk. Dengan settingan seperti inilah, PT.IIU dapat memanfaatkan kebiasaan ini sebagai dasar penguasaan lahan.
56
Lihat kutipan data 45 yang ada dalam pembahasan bab IV.
57
Lihat kutipan data 16 dan bandingkan dengan Manalu, 2009: 147 yang membahas Sumatera Utara sebagai
“peta kemiskinan”.
140
Maksudnya adalah, kebiasaan mabuk dan judi inilah yang dapat menjauhkan manusia Batak dengan tanahnya. Hal inilah yang terjadi pada tokoh Ganda.
Realita ini menjadi satu kritik yang sedang dibangun oleh novel ini. Penguasaan lahan yang dilakukan PT.IIU selain dengan melibatkan manusia
Batak yang menjabat sebagai Kepala Kampung, PT.IIU juga memanfaatkan kebiasaan “lapo” yang ada pada warga kampung. Inilah yang membuat
perpecahan atau konsep teman semarga tak lagi bisa dipertahankan. Peletakan surat tanah sebagai bahan perjudian telah memperlihatkan hal ini. Setting sosial
para tokoh yang terbiasa mabuk dan berjudi menjadi “pelicin” masuknya PT.IIU dengan memanfaatkan masalah internal yang dimunculkan di lapo tuak.
Jika menilik kembali, Sihar menghadirkan lapo tuak sebagai tempat awal munculnya konflik cerita dalam novel. Dengan settingan yang seperti ini, Sihar
pun menghadirkan para tokoh-tokoh cerita pemuda yang berjudi dan mabuk. Tentu saja, penulis merasa jika Sihar sedang menjalankan kritiknya dengan
mengkontruksi jika perilaku para pemuda ini perlu dikaji ulang, mengingat hal ini tidak banyak membantu dala pemikiran kritis atau gerakan politis melawan pabrik
kertas. Akan tetapi, tokoh-tokoh muda Batak ini dihadirkan sebagai pria yang tidak memiliki kerja dan hanya “nongkrong” di Lapo. Tentu saja, inilah yang
dibangun Sihar sebagai kritik dalam rangka pembentukan identitas etnis Batak yang didasarkan pada kesadaran kolektif. Perilaku-perilaku ini tentu saja tidak
akan membawa pemuda Batak sampai pada tataran kolektif yang kritis. Inilah yang semakin meinggikan posisi tawar PT.IIU dalam dominasi lahan. Setidaknya,
hal inilah yang sedang didialogkan oleh Sihar. Dari sisi penokohan, novel ini juga menyajikan kritik jika keterpurukan
kampung tokoh Monang, atau manusia Batak adalah disebabkan karena kebiasaan judi dan mabuk, tidak mampu beradaptasi dengan persaingan dari budaya lain,
dan cenderung menjadi “korban” industri. Hal inilah yang coba dikritik oleh novel
ini melalui penokohannya.
141
Kritik lainnya yang dibangun oleh novel ini lewat keberadaan tokoh Monang. Tokoh Monang menjadi satu ruang “pembangun kritik” yang
menawarkan dan menegosiasikan perihal kebatakan termasuk PT.IIU. Melalui tokoh Monang, novel ini menyajikan satu ruang yang setidaknya “harus”
dikonstruksi oleh manusia Batak yang ada. Setidaknya, ada beberapa hal yang sedang diupayakan oleh novel ini dalam penokohan Monang.
Pertama, Monang dihadirkan sebagai tokoh yang “gila” dengan
pendidikan. Monang direpresentasikan sebagai pemuda Batak yang “haus” akan perubahan di Tanah Batak dan negara. Hal inilah yang bisa dicapai melalui
pendidikan. Pendidikan menjadi satu dimensi yang dianggap oleh Monang bisa membantu manusia Batak menghadapi persoalan yang ada di Tanah Batak,
termasuk PT.IIU. Terkait dengan pendidikan ini, telah dibahas secara khusus pada bab 3. Dimensi pendidikan yang hilang dalam Tanah Batak menyebabkan tradisi
“mabuk” dan “berjudi” tetap hidup. Pendidikan pula yang menyebabkan rendahnya posisi tawar Batak di hadapan dunia industri atau wacana kapital yang
ada. Kedua, melalui tokoh Monang, demonstrasi yang biasanya dilakukan oleh
tokoh Ganda dkk, tidak lagi cukup. Menurut Monang, PT.IIU hanya bisa didobrak atau dilawan dengan gerakan yang bersifat politik. Akan tetapi, politik merupakan
satu terma yang asing dan tidak mendapat tempat di Tanah Batak. Setidaknya ini direpresentasikan oleh Kampung Monang di Tanah Batak. Melalui tokoh Monang,
novel ini menawarkan “perjuangan politik” sebagai upaya yang harus dilakukan. Hal ini sekali lagi menjadi menarik karena Monanglah satu-satunya tokoh
Batak yang mengutarakan kata ini. Hal ini mengindikasikan adanya alternatif perlawanan yang diajukan oleh Monang. Tentu saja, hal ini bisa didapat berkat
proses pendidikan yang diterima oleh Monang. Inilah yang menjadikan tokoh Monang menjad alternatif “Batak” berhadapan dengan PT.IIU.
Hal menarik lainnya adalah isu pencemaran dan korban-korban yang dihasilkan oleh PT.IIU serta pemberontakan Ganda dkk memperlihatkan jika
142
kasus PT.IIU telah lama berlangsung dan tidak menyentuh solusi yang tepat dan pro Batak. Untuk itulah, Monang mengkritisi ini dengan pendidikan dan politik
sebagai dasarnya. Menurut Monang harus ada gerakan politik dan pola pikir kritis yang massif dari manusia Batak dalam melawan PT.IIU.
Ketiga, perjuangan tokoh Monang yang ikut dalam dinamika 1998, telah memperlihatkan idealismenya sebagai pemuda Batak. Melalui tokoh Monang,
novel ini sedang mengkritik absensinya keterlibatan manusia Batak dalam lingkup negara, minimal kritik terhadap negara. Monang menjadi tokoh yang menawarkan
idealisme dalam memantau dan menolak kebijakan negara yang tidak memihak masyarakat. Monang menolak ini dan dia melakukannya secara sadar. Ini pula
yang menjadi kritik karena dapat digunakan dalam membangun asumsi atau meningkatkan posisi tawar warga Batak terhadap PT.IIU. Ketiga hal inilah yang
ditawarkan Monang sekaligus kritikannya terhadap PT.IIU. Kritik novel ini terhadap PT.IIU diperlihatkan secara implisit dengan
kasus tanah yang terjadi dalam kampung. Tanah menjadi awal persoalan karena tokoh Ganda menggunakan tanah adat atau tanah marga untuk barang taruhan.
Hal ini jelas menjadi sesuatu yang tidak biasa bagi siapapun penghuni kampung. Akan tetapi, tokoh Hotman dengan antusias meneruskan perjudian. Dalam novel
ini, tokoh Hotman dinarasikan memiliki kebanggan atas kemenanga judinya melawan Ganda. Hotman pula yang dengan bengga menuntut pada tokoh Torang
Bapak ganda untuk memberikan tanah adat yang telah dipertaruhkan Ganda. Di sisi ini, kritik terhadap perilaku Hotman terbangun dengan dasar jika manusia
Batak tidak mudah mengambil hak tanah adat marga lain. Hal ini dikarenakan konsep huta yang ada dalam masyarakat Batak Toba. Asumsinya, huta atau tanah
yang ada di huta merupakan domain mutlak dari marga yang mendudukinya. Oleh karena itu, perilaku Hotman dapat ditafsirkan sebagai “tidak menghargai marga-
marga” yang ada di huta tersebut.
Diamnya para tokoh-tokoh lain yang ada dalam lapo ketika Ganda menunjukkan surat tanah sebagai pertaruhan juga menjadi sisi menarik untuk
dibahas. Perilaku diam ini dapat ditafsirkan menjadi dua. Pertama, tokoh-tokoh