Konstruksi adat semacam inilah yang coba dirangsang kemunculannya dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran bahwa selama ini yang dianggap
musuh sejati adalah saudara yang terikat dalam relasi hubungan darah dan teritotial. Atas nama adat, tidak lagi ada musuh melainkan satu bangsa, satu
bahasa, dan satu budaya. Inilah wajah riil adat yang dimunculkan dalam wilayah konflik dengan tujuan untuk mewujudkan perdamaian di bumi Maluku.
Mengacu pada kedua argentasi di atas nampak bahwa kemunculan adat di Ambon tidak terlepas dari situasi konflik. Konflik menjadi momentum
kebangkitan adat di Ambon. Pembicaraan mengenai adat secara spesifik didasarkan pada sebuah pendasaran rasional atas penyelesaian konflik sehingga
dapat diterima oleh masyarakat. Lantas, apakah kemunculan adat terbatas pada upaya penyelesaian konflik? Dalam perkembangannya kemunculan adat
mengalami perkembangan dengan begitu cepat. Kelahiran adat tidak sekadar dijadikan sebagai instrumen penyelesaian konflik, akan tetapi lambat laun
berkembang ke arah mempersoalkan keistimewaan hak-hak penduduk lokal Ambon. Beberapa upaya kongkrit yang menandai perkembangan wacana adat
semacam ini terjadi melalui kemampuan mereorganisasi diri, pelembagaan adat, dan penguatan wacana adat melalui berbagai aturan atau norma adat.
3.1.3. Reorganisasi Diri atas Nama Adat
Dorongan untuk mereorganisasi diri atas nama adat tercermin dalam salah satu pernyataan yang diungkapkan oleh Ichsan Malik, seorang fasilitator gerakan
perdamaian Maluku. Ichsan Malik dalam artikelnya Promoting dialogue untuk resolusi konflik kekerasan masyarakat di Maluku 2009 menekankan pentingnya
mengintensifkan peran penduduk lokal Ambon dalam proses resolusi konflik. Menurut Ichsan Malik:
Semuanya harus dimulai dari pelaku sekaligus korban konflik. Korban konflik yang sekaligus adalah pelaku konflik combatant
harus menjadi subyek dari proses resolusi konflik. Mereka yang paling terkena dampak konflik, dan oleh kerena itu mereka pula
yang harus survive untuk menolong dirinya dan masyarakat. Pemberdayaan korban harus menjadi titik tolak untuk resolusi
konflik. Mereka harus mampu menemukan kekuatan yang ada dalam dirinya atau masyarakatnya. Serta menggali secara kreatif
mekanisme-mekanisme yang ada di dalam dirinya atau masyarakatnya sendiri untuk memproses resolusi konflik.
116
Tendensi pernyataan tersebut tidak sekedar mendorong lahirnya berbagai upaya penyelesaian konflik dari bawah, akan tetapi secara singnifikan ikut
mendorong kemunculan adat di Ambon. Secara implisit pernyataan Ichsan Malik mencerminkan dorongan kuat untuk terus-menerus memikirkan dan
membicarakan adat. Secara khusus menyangkut persoalan bagaimana mengintensifkan peran penduduk lokal melalui adat. Ada semacam dorongan
untuk memikirkan dan merumuskan realitas hidup berbasis adat. Konsekuensinya, kemunculan adat di era tahun 2000-an berkembang dengan begitu cepat di
Ambon. Percepatan perkembangan adat diindikasikan oleh kemampuan masyarakat
mereorganisasi diri atas nama adat dengan dibentuknya forum “Gerakan Baku
116
Ichsan Malik 2009, Promoting dialogue untuk resolusi konflik kekerasan masyarakat di Maluku, Hlm. 2
Bae Maluku” pada 2002.
117
Pembentukan forum “Gerakan Baku Bae Maluku” diasumsikan sebagai gerakan bersama seluruh masyarakat dalam
memperjuangkan perdamaian dan hak-hak penduduk lokal. Sebagai forum gerakan bersama untuk misi perdamaian Maluku, seluruh aktivitas “Gerakan
Baku Bae Maluku” selalu melibatkan para raja. Hal ini tercermin dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan baik di Bogor, Bali, Yogyakarta dan kota
Ambon sendiri.
118
Kehadiran dan keterlibatan para raja dalam setiap agenda pertemuan dinilai sebagai representasi aspirasi seluruh masyarakat. Untuk itu apa
yang dikehendaki dan diputuskan oleh para raja dipandang sebagai keputusan bersama seluruh masyarakat.
117
Perlu diketahui bersama bahwa pada 14 Mei 2003 “Gerakan Baku Bae Maluku” telah diubah namanya menjadi Institut Titian Perdamaian ITP dan bertempat di Jakarta. Dengan semangat
kemanusiaan, keadilan, solidaritas, keragaman dan ikatan moral antar orang untuk bergerak bersama menjadikan “Gerakan Baku Bae Maluku” sebagai sebuah gerakan kemanusiaan yang
mampu mengupayakan perdamaian di bumi Maluku. Beberapa aktivis “Gerakan Baku Bae Maluku” yang lazim dikenal adalah Ichsan Malik, Max Pattinaja, Prof.DR. Frans Limahelu,
Boedhi Wijardjo, Dadang Trisasongko, Abubakar Riry, Mulyadi, Johari Efendi, Rolly Leatemia, dan
Pieter G.
Manoppo. Diakses
dari: “Institut
Titian Perdamaian”
dalam https:www.facebook.compagesInstitutTitianPerdamaian111939478888542?sk=info
, diakses pada hari Senin, 29 Juli 2014, pukul 01.05 wib.
118
Berikut ini dapat dilihat rangkaian pertemuan para raja yang difasilitasi oleh gerakan baku bae Maluku. Pertemuan pertama para raja pada tahun 2002 di Hotel Salak-Bogor, para raja dan
Latupati sepakat untuk menjadikan pendekatan kultural sebagai pilihan mendasar dan strategis dalam meresolusi konflik, terutama menghadirkan para raja dan latupati sebagai representasi
komunitas kultural. Pertemuan kedua di Universitas Pattimura Ambon pada Januari 2003, agenda pembentukan forum majelis adat Latupati Maluku semakin kuat terutama ketika mendapatkan
dukungan dari pihak luar seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dihadirkan sebagai keynote speaker. Pertemuan ketiga dilaksanakan di Yogyakarta pada akhir 2003. Berkat dukungan dari
pemerintah Daerah Maluku, maka disusunlah alat kelengkapan lembaga majelis adat berupa ADART, desain kerangka kerja, pembentukan tim 14. Pertemuan keempat dilaksanakan di Hotel
Amans Ambon, dengan agenda pemantapan ADRT oleh tim 14 sekaligus persiapan Musyawarah Latupati se-Maluku. Pertemuan kelima dilaksanakan di Ambon pada November 2006 dengan
agenda pembetukan komposisi dan personalia majelis Latupati beserta penetapan ADART. Dan akhirnya dalam Musyawarah besar Latupati yang dilaksanakan di Baileo Siwalima Ambon pada
13 April 2007 majelis latupati Maluku berhasil mendeklarasikan pembentukannya. Dari sinilah kemudian dibentuknya majelis Latupati tingkat kabupaten, terutama di wilayah kota Ambon.
Dengan difasilitai oleh Institut Tifa Damai Maluku, pada tanggal 7 September 2008 majelis Latupati kota Ambon secara resmi terbentuk. Diakses dari: Profil Majelis Latupati Kota Ambon”
dalam http:latupati.blogspot.nl
, diakses pada 3 Agustus 2014, pukul 22.10 WIB .
Di sisi lain, terkait istilah “Baku Bae” yang direkatkan pada “Gerakan Baku Bae Maluku” mengandung ajakan untuk berbaikan atau berdamai. Istilah
“Baku Bae” diambil dari khasana bahasa lokal berdasarkan kesepakatan bersama para raja dan Latupati dalam pertemuan perdana yang diselenggarakan di hotel
Salak-Bogor pada 2002. Penggunaan istilah “Baku Bae” diharapkan dapat membangun komitmen bersama menjadikan adat sebagai pilihan mendasar dalam
upaya penyelesaian konflik. Terutama dukungan simbolik seluruh masyarakat kepada para raja dalam mewujudkan perdamaian di Maluku.
Persoalannya, sejauhmana keterlibatan para raja mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat? Atau sebaliknya malah memanipulasi keinginan
masyarakat demi kepentingan-kepentingan politik? Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan “gerakan Baku Bae Maluku” merupakan
representasi komunitas kultural seluruh masyarakat. Misalnya keterlibatan para raja seperi raja Theresia Maitimu dan M. Nukuhehe dalam pertemuan “Gerakan
Baku Bae Maluku” di Bali menjadi wujud kongkrit keterlibatan seluruh masyarakat.
119
Akan tetapi patut dipertimbangkan adalah sejauh mana aspirasi dan kebutuhan warga terakomodir.
Selanjutnya perkembangan wacana adat melalui forum “Gerakan Baku Bae Maluku” mengalami perluasan. Ekspansi “Gerakan Baku Bae Maluku” tidak
hanya bersifat lokal akan tetapi meluas ke tingkat nasional. Ekspansi adat di tingkat nasional tercermin melalui keterlibatan tokoh-tokoh sentral. Salah satunya
119
Abubakar Riry Oieter G. Manoppo 2007, Menatang Badai, Menabur Damai: Napak Tilas Raja dan Latupati Merajut Kembali Jaringan Basudara, Hlm. 21
adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dinilai memiliki kepedulian terhadap kondisi masyarakat Maluku. Keterlibatan Sri Sultan nampak dalam
keikutsertaannya pada workshop “Gerakan Baku Bae Maluku” yang dilaksanakan pada 4-11 Desember 2000 di Yogyakarta.
Keterlibatan Sultan sebagai tokoh kultural dan imaji kota Jogyakarta sebagai kota budaya mendorong dilakukannya pengembangan jaringan kerja
kultural dan pelembagaan adat di Maluku. Terutama pengembangan jaringan kultural pada level “negeri-negeri” adat beserta peran para raja sebagai kepala
pemerintahan negeri. Sebagai tindak lanjut dari upaya pelembagaan jaringan kultural di Ambon diaktualisasikan melalui pembentukan Latupati, sebuah dewan
adat di mana keanggotaannya terdiri dari para raja. Selain itu, muncul pula desakan penerbitan peraturan daerah di Kota Ambon mengenai adat. Upaya
pelembagaan jaringan kultural semacam ini dinilai oleh para tokoh adat sebagai tindakan kongkrit untuk mempertahankan eksistensi Maluku sebagai salah satu
provinsi adat, atau negeri kepulauan raja-raja.
120
Uraian lebih rinci mengenai proses pelembagaan jaringan kultural di Ambon, akan dijelaskan dalam sub bab
berikut ini.
3.1.4. Pelembagaan Jaringan Kultural