pada unit terkecil dari “negeri” yang disebut dusun; dan kedua, raja sebagai kepala pemerintahan negeri yang dipercaya sebagai representasi kehadiran para
leluhur yang tidak dapat tergantikan oleh seseorang yang bukan berasal dari turunan raja.
Cara pandang semacam ini sangat mempengaruhi keinginan para raja menolak kebijakan negara mengenai undang-undang pemerintahan desa di
Ambon. Persoalannya, apakah antusiasme para raja dalam memperjuangkan penetapan kembali “negeri” semata-mata demi klaim kemurnian nilai adat
ataukah sebaliknya malah mengakar pada upaya mereproduksi wacana kolonialisme di Ambon? Pertanyaan semacam ini penting untuk diperhatikan
sebab akan sangat membantu saya dan pembaca sekalian untuk memahami eksistensi adat Ambon. Dalam rangka memahami eksistensi adat Ambon dan
kemunculannya kembali, saya ingin menyelidiki secara singkat hegemoni wacana kolonialisme di Ambon.
2.2.2. Adat Ambon dalam Wacana Kolonialisme
Berdasarkan laporan perjalanan yang ditulis oleh pater Marta, seorang misionaris seperti yang dikutip oleh Leirissa dalam Ambonku 2004 menyatakan
bahwa: Ambon tidak sama dengan Maluku, tetapi merupakan bagian dari
kepulauan itu. Selain Ambon, kepulauan itu terdiri dari Veranula Hoanmoal, Homa Oma atau Haruku, Liacer Uliase atau
Saparua, dan Ruscelao Nusalaut. Pulau-pulau yang letak
berdekatan itu sebagian berada di bawah Portugis dan sebagian lagi di bawah kekuasaan kafir dan Islam.
72
Penegasan pater Marta tidak sebatas menegasi posisi demografi kota Ambon, akan tetapi yang lebih penting adalah posisi pemerintah kolonial
Portugis selama berkuasa di Ambon. Secara etimologis kata Ambon sendiri berasal dari bahasa Portugis, “Cidado de Amboyno” yang berarti “kota di pulau
Amboina” yang merupakan salah satu bagian penting dari benteng “Nossa Senhora da Anunciada” Kota Laha.
73
Keberadaan benteng “Nossa Senhora da Anunciada” yang didirikan pada 1575 menjadi salah satu bagian penting dari
sejarah perkembangan kolonialisme di Ambon. Benteng tersebut tidak sekedar difungsikan sebagai pusat pertahanan Portugis di kota Ambon, akan tetapi
menjadi manifestasi kekuasaan kolonial di Ambon sejak 1515. Kota Ambon di bawah kendali kekuasaan Portugis dimanfaatkan untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari perdagangan cengkeh; termasuk proyek evangelisasi Maluku melalui Fransiscus Xaverius, seorang misionaris dari
Ignatius Lojola pada 1546.
74
Kekuasaan Portugis di Ambon semakin meluas ketika Andrea Furtado, tiba di Ambon pada 9 Februari 1602. Selain memaksa para
raja di Jawa untuk hanya boleh berdagang dengan pemerintah Portugis; Furtado ikut mendukung upaya kekristenan dengan memperluas daerah jajahan dan
konversi iman penduduk lokal melalui para raja di antaranya adalah raja
72
R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa 2004, Ambonku: Doeloe, Kini, Esok, Ambon: Pemerintah Kota Ambon, Hlm. 21
73
Ibid.
74
Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon: peristiwa-peristiwa penting, baik dalam masa damai maupun masa perang sejak Nederlandsche Oost Indische Compagnie berkuasa di Amboina,
Terj. Frans Rijoly dari judul asli De Ambonsche Historie, Hlm. 7.
Nusaniwe dan raja Urimesing ketika berhasil di bawah masuk ke dalam benteng; termasuk rencana pembentukan sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari
para raja.
75
Apakah upaya-upaya semacam ini mencerminkan keberpihakan pemerintah kolonial Portugis terhadap penduduk Ambon? Pada kenyataannya
apa yang diwacanakan oleh Portugis mengakar pada agenda penaklukan terhadap penduduk Ambon. Nyatanya sejak abad ke-16 semua urusan pemerintahan di
Ambon masih tetap berada di bawah kendali Portugis melalui Sanco de Vasconselos, seorang komandan pasukan capitao yang berdiam dalam benteng
“Nossa Senhora da Anunciada” kota Laha.
76
Secara khusus agenda pembentukan sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari pada raja pada
kenyataannya menjadi strategi taktis untuk bisa dengan mudah mengendalikan dan mengawasi seluruh aktivitas penduduk lokal Ambon.
77
Peran para raja meski ada akan tetapi masih sebatas perpanjangan tangan pemerintah Portugis.
Di sisi lain terdapat perlawanan dari penduduk lokal, akan tetapi dominasi kekuasaan pemerintah kolonial Portugis tidak surut. Wacana kolonialisme justru
semakin mengakar dalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya semacam strukturisasi sosial masyarakat Ambon di era kolonial. Secara hirarkis orang-
orang Portugis casado menjadi kelompok kelas satu dan diikuti oleh kelompok pendatang seperti kaum“MahardhikaMardika” yang tiba di Ambon pada 1575,
75
Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon, Hlm. 11-14
76
R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa 2004, Ambonku, Hlm. 25
77
Ibid., Hlm. 26
serta penduduk lokal Ambon sendiri seperti Hatiwe, Tawiri, Halong, Nusaniwe, Urimeseng, Waai, dan Soya.
78
Kondisi semacam ini bertahan terus sampai pada kedatangan VOC.
Anehnya perlakukan terhadap Portugis dan VOC sangat berbeda. Kehadiran VOC di Ambon disambut baik oleh para raja seperti yang dituliskan
oleh Rumphius dalam catatan sejarahnya mengenai kota Ambon. Kondisi semacam ini tentu bukan tanpa alasan. Terdorong oleh keinginan kuat untuk
mengusir pemerintah Portugis dari Ambon, para raja menggalang dukungan politik dari VOC. Dari sini terbentuk semacam persekutuan politik antara
penduduk lokal Ambon dengan pemerintah Belanda. Melalui VOC wajah Ambon sungguh-sungguh diubah menjadi pusat kekuasaan kolonial dengan tujuan agar
bisa dengan muda mengawasi jalur perdagangan cengkeh. Tepatnya pada 21 Februari 1605 VOC tiba di Hitu-Ambon dan berhasil
merebut benteng Portugis di Laha.
79
Benteng yang dahulu bernama “Nossa Senhora da Anunciada” setelah jatuh ke tangan VOC pada 1605 diubah menjadi
benteng Victoria. Beteng tersebut di masa kekuasaan VOC dijadikan sebagai pusat pemerintahan di bawah kepemimpinan gubernur Fredrik Houtman. Untuk
menarik dukungan warga Ambon, VOC membentuk suatu sistem pemukiman bagi penduduk yang dilengkapi oleh pembangunan fasilitas jalan-jalan, rumah,
78
Ibid., Hlm. 22-25
79
Georgius Evergardus Rumphius, Sejarah Ambon, Hlm. 21; Lihat juga R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa 2004, Ambonku, Hlm. 29
pasar, dan gedung-gedung seperti pusat pemerintahan dan rumah sakit.
80
Bahkan demi menjaga persekutuan dengan penduduk lokal, VOC membentuk
“Landraad”, sebuah dewan yang keanggotaannya terdiri dari para pemimpin Uli kepala negeri”.
81
Tujuannya tidak berbeda jauh dengan Portugis yakni agar bisa dengan mudah mengawasi seluruh aktivitas penduduk lokal. Para pemimpin Uli
pun dijadikan sebagai kaki tangan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan lainnya adalah “heerendiensten” kerja wajib baik
untuk kepentingan VOC maupun kebutuhan para kepala negeri. Sistem “heerendiensten” dikukuhkan dengan diberlakukan sistem Dati, yakni sistem
kerja wajib dari masing-masing keluarga di sebidang tanah dalam lingkup negeri demi kepentingan kepala negeri dan benteng-benteng VOC, termasuk perbekalan
untuk “hongietochten” perjalanan dinas untuk mengawasi negeri-negeri di Ambon.
82
Kondisi semacam ini bertahan hingga abad ke-19 ketika Belanda memasuki Ambon.
Stratifikasi sosial semakin terkukuhkan melalui sistem pengelompokan masyarakat ke dalam tiga kelompok, yakni “burger” warga kota, “Inlandsche
Burger” warga kota pribumi, dan “Europesche Burger” warga kota Belanda.
83
Demikian pula kondisi pemerintahan sipil. Meski wajah pemerintahan semakin nampak melalui gouvernement der Molukken, akan tetapi sebetulnya hanya
80
R. Z. Leirissa, J. A. Pattykaihatu, H. Luhukay, Usman Talib, dan S. Maelissa 2004, Ambonku, Hlm. 42-54
81
Ibid., Hlm. 56
82
Ibid.
83
Ibid., Hlm. 64
merupakan strategi pemerintah kolonial untuk dapat mengatur dan mengawasi seluruh aktivitas penduduk lokal. Keterlibatan para pemimpin Uli dan kepala
“negeri adat” tidak lebih dari kaki tangan pemerintah kolonial. Keterlibatan para pemimpin Uli berfungsi sebagai representasi kekuasaan pemerintah kolonial
beserta seluruh agenda politiknya. Meski wacana kolonialisme di sadari oleh masyarakat akan tetapi hal ini
tetap diterima seakan-akan tanpa persoalan. Hubungan politik antara penduduk lokal dengan pemerintah kolonial Belanda seakan-akan menjadi prioritas utama.
Ironinya kontrak politik dengan pemerintah Belanda malah membuat orang lupa diri ketika pemerintah kolonial memberikan sejumlah keuntungan politik kepada
penduduk lokal. Keuntungan politik tersebut hadir dalam bentuk status warga kota yang dapat memungkinkan seorang warga pribumi menjadi pegawai pemerintah
yang bekerja di dalam benteng, dan dapat melakukan berbagai aktivitas seperti yang dilakukan oleh warga kota lainnya.
84
Mencermati situasi Ambon dalam wacana kolonialisme semacam ini, tidak mengherankan jika wacana kolonialisme memberikan kenikmatan tersendiri
kepada penduduk lokal Ambon. Kenikmatan akan keistimewaan hak penduduk lokal dalam dinamika kehidupan sosial dan politik di Ambon. Termasuk
eksistensi adat dan “negeri” yang ramai dibicarakan selama ini di Ambon. Apa yang disebut adat tidak lebih dari produk wacana orientalis dalam merumuskan
dan mendefenisikan masyarakat Ambon. Rasionalitas barat memiliki peranan besar dalam merumuskan adat beserta praktek-praktek kulturalnya. Sayangnya
84
Ibid., Hlm. 68
polemik seputar peran penduduk lokal dalam eforia wacana kebangkitan adat di Ambon tidak dibarengi oleh kesadaran kritis terhadap efek kekuasaan wacana
kolonialisme semacam ini. Konsekuensinya pembicarakan mengenai adat dan kebangkitannya tidak ditempatkan sebagai upaya untuk meresistensi kekuasaan
dominan; melainkan terdorong untuk mereproduksi dan mengukuhkan mekanisme kekuasaan dominan.
2.2.3. Polarisasi Agama dan Adat di Ambon