Membangun Memori Kolektif Warga melalui Adat

secara intensif oleh masyarakat Ambon. Ada kondisi di mana terjadi pengabungan antara adat dan perdamaian. Penggabungan ini mencerminkan kebutuhan menjadikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik dan sekaligus sebagai solusi atas kebuntuhan pendekatan politik yang diprakarsai oleh pemerintah pusat.

3.1.2. Membangun Memori Kolektif Warga melalui Adat

Gagasan utama menempatkan adat sebagai model resolusi alamiah tidak terlepas dari cara pandang penduduk lokal Ambon memaknai adat “siwalima”. “Siwalima” dipahami sebagai spirit adat yang merepresentasikan masing-masing persekutuan adat seperti yang telah diuraikan sebelumnya di bab II. “Siwalima” berfungsi untuk membedakan aktivitas masing-masing persekutuan adat seperti “ulisiwa”-“ulilima” sebagai persekutuan politik. Cara pandang ini berkaitan erat dengan model penafsiran kontemporer terhadap “siwalima”. Termasuk penempatkan “siwalima” sebagai dasar pengelompokan masyarakat Ambon ke dalam sekat-sekat agama. “Siwalima” yang terdiri dari persekutuan “ulisiwa” dan persekutuan “ulilima” difungsikan pula untuk membedakan persekutuan “siwa” yang diidentikkan dengan komunitas Kristen dan persekutuan “lima” yang identik dengan komunitas Muslim. Secara historis penafsiran terhadap “siwalima” semacam ini berhubungan dengan pengaruh wacana kolonialisme di Ambon. Secara khusus terkait sistem konversi agama pribumi sejak zaman pemerintahan Portugis di Ambon pada abad 16. Perubahan-perubahan semacam ini menegasi semacam upaya modernisasi agama pribumi. Salah satu cara yang biasanya dipakai adalah melalui ritual pembaptisan. Senada dengan sistem konversi iman melalui praktek pembaptisan ini, Hatib Abdul Khadir dalam keterangannya mengenai “siwalima” Ambon mengungkapkan bahwa: Ritual baptisme melalui pemandian suci merupakan purifikasi tubuh yang sekaligus membatasi manusia lama menjadi manusia baru. Menjadi siap modern adalah beragama Kristen dan terpisah dengan masyarakat pagan sebelumnya. Terjadi ruang pemisahan tubuh antara kelompok bersih dan suci Kristen, Ambon dan orang kota dan kelompok kotor Islam, pesisir, masyarakat pedalaman seperti di Alifuru. Pengalaman religius tidak pernah mandi suci memisahkan urban Kristen dengan mereka yang belum pernah melakukannya, dan distereotipekan sebagai manusia yang tidak tercuci unwashed people yang tidak bersih. 112 Penegasan Hatib Abdul Khadir menegasi proses kontruksi “siwalima” secara baru. Kebaruan tersebut di tandai dengan adanya perluasan makna “siwalima” tidak lagi sebatas persekutuan adat ulilima” dan “ulisiwa” melainkan menegasi polarisasi agama dan adat. Perkembangan agama berdampak terhadap cara pandang masyarakat terhadap adat “siwalima”. Secara kongkrit hal ini ditandai oleh pergeseran paradigma masyarakat memaknai “siwalima” bukan lagi sebatas persekutuan adat melainkan persekutuan agama. Agama kadang-kadang dinilai lebih modern atau rasional dari pada adat yang diklaim terlalu bersifat mistik, gaib dan mengandung unsur-unsur tahyul. Bahkan untuk terhindar dari 112 Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orang Ambon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Hlm 65 ancaman roh jahat, agama dijadikan sebagai “jimat” untuk melindungi diri seperti yang diamini oleh warga Maluku. Polarisasi agama dan adat semacam ini sebetulnya tidak hanya mempengaruhi pemaknaan masyarakat Ambon terhadap adat istiadatnya, akan tetapi semakin mengukuhkan hegemoni wacana kolonialisme di Ambon. Hal ini ditegaskan pula oleh Amal dalam Portugis dan Spanyol di Maluku 2010. Menurut Amal, agama dijadikan sebagai: Bantuan keamanan untuk menangkal serangan kerajaan-kerajaan besar; loyalitas rakyat terhadap raja dan kepercayaannya menyebabkan rakyat secara masal memberi diri untuk dibaptis; perkawinan campur antara perempuan pribumi dan pria Portugis; menjauhkan diri dari kekuatan roh-roh jahat seperti suwanggi, puntianak yang menurut keyakinan penduduk setempat tidak dapat mengganggu mereka yang sudah dibaptis seperti orang Portugis; ketakutan terhadap ancaman bencana alam seperti meletusnya gunung merapi di Tobelo menyebabkan banyak penduduk di Tolo dan Samafo dibaptis, dan menjauhkan diri dari gangguan kesehatan berat yang dipercaya dapat diperoleh dengan mendapatkan “air serani.” 113 Universalisasi religiositas Barat tidak sekedar mempengaruhi adat istiadat, akan tetapi berdampak pada relasi kekuasaan yang mengakar pada wacana kolonialisme seperti yang ditegaskan oleh Edward Said terkait imaji Eropa terhadap dunia Timur. “Bagi orang Eropa, Timur selalu dianggap sebagai daerah jajahan mereka yang terbesar, terkaya dan tertua selama ini. Timur juga dianggap 113 M. Adnan Amal 2010, Portugis dan Spanyol di Maluku, Jakarta: Komunitas Bambu dan pemerintah kota Ternate, Hlm. 131-132. Istilah air serani atau biasanya disebut juga dengan istilah air baptis. Air ini merupakan simbol liturgis dalam Gereja Katolik berupa materi yang biasanya dipakai dalam setiap upacara liturgi Gereja. Kesucian dan kesakralan Air serani berasal dari urapanberkat seorang imam. Untuk membedakannya dengan air pada umumnya maka air yang belum diberkati oleh seorang imam tidak dapat disebut sebagai air suci dan tidak dapat dipakai atau dipergunakan dalam acara liturgis gereja, seperti pembabtisan, pemberkatan rumah dan lain sebagainya. sebagai sumber bagi peradaban dan bahasa Eropa, saingan atas budaya Eropa dan sebagai bagian dari imajinasi Eropa yang terdalam. Timur adalah the other bagi Eropa”. 114 Polarisasi agama dan adat menunjukkan ketidakstabilan makna adat. Kadang-kadang adat “siwalima” ditempatkan sebagai representasi persekutuan adat, politik maupun agama. Oleh sebab itu, rasio pemisahan semacam ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Salah satu bentuk penafsiran sejarah yang ikut mengkonstruksi model pengelompokan masyarakat berdasarkan identitas keagamaan adalah catatan sejarah yang memuat kisah 3 tiga bersaudara yakni ulisiwa, ulilima dan uliassa yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Ambon yang berdiam di gunung Nunusaku. 115 Penafsiran semacam ini menegasi keterikatan masyarakat Ambon dengan unsur-unsur biologis dan teritorial. Aspek biologis dan teritorial berfungsi untuk menyatukan tiap-tiap individu dan mengingatkan akan adanya kesatuan genealogis, bahasa dan etnisitas sebagai orang Ambon. Atas dasar itu, pendefenisian model kesatuan sosial sejatinya tidak sekedar merepresentasikan komunitas adat seperti “ulisiwa” dan “ulilima”, melainkan berkembang ke arah pendefenisian masyarakat “siwalima” sebagai komunitas agama yang terikat dengan relasi hubungan darah. 114 Edward Saind 2010, Orientalisme: menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Subjek, terj. Achmad Fawaid dari judul asli Orientalism, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 2 115 Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orang Ambon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Hlm 61 Konstruksi adat semacam inilah yang coba dirangsang kemunculannya dengan tujuan untuk membangkitkan kesadaran bahwa selama ini yang dianggap musuh sejati adalah saudara yang terikat dalam relasi hubungan darah dan teritotial. Atas nama adat, tidak lagi ada musuh melainkan satu bangsa, satu bahasa, dan satu budaya. Inilah wajah riil adat yang dimunculkan dalam wilayah konflik dengan tujuan untuk mewujudkan perdamaian di bumi Maluku. Mengacu pada kedua argentasi di atas nampak bahwa kemunculan adat di Ambon tidak terlepas dari situasi konflik. Konflik menjadi momentum kebangkitan adat di Ambon. Pembicaraan mengenai adat secara spesifik didasarkan pada sebuah pendasaran rasional atas penyelesaian konflik sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Lantas, apakah kemunculan adat terbatas pada upaya penyelesaian konflik? Dalam perkembangannya kemunculan adat mengalami perkembangan dengan begitu cepat. Kelahiran adat tidak sekadar dijadikan sebagai instrumen penyelesaian konflik, akan tetapi lambat laun berkembang ke arah mempersoalkan keistimewaan hak-hak penduduk lokal Ambon. Beberapa upaya kongkrit yang menandai perkembangan wacana adat semacam ini terjadi melalui kemampuan mereorganisasi diri, pelembagaan adat, dan penguatan wacana adat melalui berbagai aturan atau norma adat.

3.1.3. Reorganisasi Diri atas Nama Adat