Adat dan Hubungan Darah

2.2.4. Adat dan Hubungan Darah

Di tengah-tengah kegamangan masyarakat Ambon, kini adat dijadikan sebagai tempat berpijak. Menghidupkan kembali hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun dan terlegitimasi melalui ikatan hubungan darah. Darah melambang relasi sosial dan elemen penting dari identitas. Untuk itu tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan darah secara objektif juga merupakan hubungan kultural untuk menegaskan identitas. Senada dengan itu, Schneider seperti yang dikutip oleh Lawler dalam Identity: sociological perspectives 2014 menyatakan bahwa: A blood relationship is a relationship of identity. People who are blood relatives share a common identity, they believe. This is expressed as ‘being of the same flesh and blood’. It is a belief in common biological constitution, and aspects like temperament, build, physiognomy and habits are noted as signs of this shared biological makeup, this special identity of relatives with each other. Children are said to look like their parents, or to ‘take after’ one or another parent or grandparent; these are conforming signs of common biological identity. A parent, particularly a mother, may speak of a child as ‘a part of me Schneider, 1968: 25. 89 Meski tetap menyadari bahwa hubungan darah bukanlah satu-satunya faktor penentu identitas seseorang, akan tetapi gagasan Schneider yang dirujuk di sini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana masyarakat Ambon merumuskan realitas dirinya dalam konteks wacana kebangkitan adat. Hubungan 89 “Hubungan darah adalah hubungan identitas. Orang yang memiliki hubungan darah percaya bahwa memiliki kesamaan identitas. Hal ini diekspresikan sebagai ‘being’. Ada pemahaman bahwa watak, kebiasaan, bentuk badan itu bisa diturunkan secara biologis. Anak-anak sering dikatakan mirip dgn orang tua mereka; hal-hal inilah yg meyakinkan adanya identitas biologis yg sama. Seorang ibu bahkan bisa menganggap anaknya sbg ‘bagian dari dirinya.’ Schneider, 1968: 25”. Steph Lawler 2014, Identity, Hlm. 51 darah dalam wacana kebangkitan adat Ambon tidak sekedar menegasikan signifikansi hubungan kekerabatan, akan tetapi melandasi pula keistimewaan hak penduduk lokal Ambon pada masa kini. Hubungan darah melandasi cara penduduk lokal Ambon membedakan diri dengan warga pendatang seperti etnis Tanimbar, Kei, Jawa, Arab, Cina, Bugis, Buton dan Makasar. Hubungan darah juga melandasi penduduk lokal Ambon membedakan diri sebagai anak adat dengan warga pendatang sebagai bukan anak adat. Cara pandang semacam ini berfungsi secara efektif dalam konstruksi wacana kembangkitan adat melalui pembicaraan seputar hak dan peran penduduk lokal Ambon dalam dinamika politik lokal Ambon. Salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat Ambon saat ini adalah: apakah mereka yang bukan anak adat dapat memimpin di daerah adat? Di sisi lain, perlu disadari bahwa relasi antara adat dan hubungan darah dalam kosmologi Ambon secara spesifik mengakar pada cara pandang struktural yang tersusun secara hirarkis dari “rumahtau”, “soa”, “hena atau aman”, dan “negeri”. Unsur yang pertama adalah “rumahtau”. Dalam paham orang Ambon istilah “rumahtau” merujuk pada institusi keluarga yang keanggotaannya berasal dari satu keturunan dan tersusun berdasarkan garis keturunan bapak. 90 Fungsi “rumahtau” adalah menyatukan tiap-tiap individu dengan status dan wewenangnya masing-masing. Konsekuensinya, seseorang yang bukan merupakan anggota “rumahtau” tidak memiliki hak apapun dalam “rumahtau”. 90 Ziwar Effendi 1987, Hukum Adat Ambon-Lease, Jakarta: Pradnya Paramita, Hlm. 26 Perluasan “rumahtau” terjadi melalui perkawinan. Melalui perkawinan seorang anggota “rumahtau” akan memisahkan diri dari orang tuanya dan membentuk “rumahtau” baru. Akan tetapi temuan Odo Deodatus Taurn sebagaimana terungkap dalam Patasiwa dan Patalima 1918 penting untuk dipertimbangkan. Paling tidak memahami praktek adat dalam perkawinan tidak luput dari konstruksi sosial. Dalam keterangannya, Odo Deodatus Taurn menyatakan bahwa sejak dahulu terutama dalam persekutuan “ulilima” seseorang yang sudah menikah tidak akan diperbolehkan tinggal sendiri jika belum melunasi harta kawin pihak perempuan. Untuk itu bagi kaum pria yang belum sanggup membayar harta kawin maka diwajibkan bekerja untuk keluarga istrinya sampai anaknya lahir sebagai tebusan harta kawin kepada pihak perempuan. 91 Perluasan “rumahtau” tidak hanya berkaitan dengan ritual perkawinan dalam masyarakat adat. Pada masa sekarang ide “rumahtau” telah dimaknai secara baru sebagai sebuah ideologi politik. Hal ini tercermin dalam ide “demokrasi rumahtau perintah” yang merujuk pada kewenangan seseorang dapat dicalonkan dan dipilih sebagai raja atau kepala pemerintahan hukum adat pada level “negeri”. Lapisan berikutnya adalah “Uku” atau “Huku”. “Uku” merupakan bentuk rumah tangga baru. Pemisahan ini terjadi selain karena anak-anak dalam keluarga induk telah menganjak dewasa, telah menikah atau karena keterbatasan daya tampung rumah; praktek semacam mengandung makna tersendiri. Terutama terkait posisi dan kedudukan seorang “Upu”. Seorang “Upu” memiliki kekuasaan 91 Odo Deodatus Taurn 1918, Patasiwa dan Patalima: Tentang Pulau Seram di Maluku dan Penduduknya, sebuah sumbangan untuk ilmu bangsa-bangsa, Terj. Frans Rijoly dari judul asli Patasiwa dan Patalima: Vom Molukkeneiland Seram und seinem Bewohnern, Hlm. 240 mutlak atas seluruh anggota “rumahtau”. Untuk itu dalam proses pembentukan rumah tangga baru sangat perlu untuk mendapatkan izin dari “Upu”. 92 Disebabkan oleh ketidakmampuan “Upu” dalam mengawasi rumah tangga-rumah tangga baru maka seorang “Upu” akan mendelegasikan kekuasaannya kepada “Tamaela”. Seorang “Tamaela” biasanya sangat ditaati sebab jika tidak akan mendapatkan kutukan dari para leluhur. Lapisan berikutnya adalah “Soa”. “Soa” merupakan persekutuan teritorial terdiri dari persekutuan rumah tangga baru yang berbeda-beda dan mendiami suatu wilayah tertentu di bawah pimpinan kepala soa. Melalui “soa” terbentuklah “negeri” yang dipimpin oleh seorang raja. Raja merupakan seorang pejabat tradisional yang bertindak sebagai kepala adat sekaligus sebagai kepala pemerintahan dan bertanggungjawab untuk mendidik dan mewariskan adat kepada generasi-generasi berikutnya. 93 Seorang raja wajib mengenal warganya dan “negeri” lain yang merupakan pela atau yang memiliki ikatan persahabatan antara masyarakat suatu “negeri” dengan “negeri” lainnya. 94 Ikatan persaudaraan ini diyakini telah ditetapkan oleh para leluhur sebagai komitmen hidup bersama yang secara simbolik dinyatakan seperti dengan meminum darah. Kesepakatan antar “negeri” lazim dikenal dengan sebutan “hukum pela”. Hukum pela yang mengatur mengenai: 92 Ziwar Effendi 1987, Hukum Adat Ambon-Lease, Hlm. 27 93 Abubakar Riry Pieter G Manoppo 2007, Menatang Badai, Menabur Damai: Napak Tilas Raja dan Latupati Merajut Kembali Jaringan Basudara, Hlm. 20 94 Abidin Wakano 2012, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni kehidupan Masyarakat Maluku yang berbasis kearifan lokal” dalam Josep Antonius Ufi Hasbulla Assel Edt, Mengali Sejarah dan Kearifan lokal Maluku, Jakarta: Cahaya Pineleng, Hlm. 7-8; Lihat juga Abubakar Riry Pieter G Manoppo 2007, Menatang Badai, Menabur Damai, Hlm. 133 1Sesama pela tidak diperbolehkan menikahkawin satu sama lain hingga keputusan alam meninggal dunia. Demikian pula seorang anak perempuan yang kawin keluar pun tidak diperbolehkan; 2. Memikirkan saja untuk jatuh cinta tidak diperbolehkan sebab akan mendapatkan kutukan alam dan jiwa datuk-datuk akan menuntut dan memanggilnya; 3Barang yang menjadi kepunyaan Tounussa kakak juga menjadi milik Lounussa adik dan juga sebaliknya; 4 Tidak boleh manaru curiga dendam atau amarah satu kepada yang lain, berdusta, terlebih-lebih menipu; 5 Harus saling membantu satu sama lain, permintaan jangan ditolak, perjanjian jangan diabaikan, dan harus menepati janji; 6Tidak boleh menolong orang lain lebih dari pada pelamu; 7Tidak boleh meninggalkanmembiarkan yang sedang bersusah, membiarkan yang sedang susah sekalipun jangan; 8Tidak boleh mempersalahkan dan dipersalahkan di depan umum; 9Harus saling menyapa bila sedang bertemu di jalan dan lain-lain; 10Tuhan Allah adalah bapa Tounussa Amalatu dan Lounussa Amalatu yang menjadi pohon pela. Tuhan Yesus itulah saudara sulung Tounussa Amalatu dan Lounussa Amalatu. Roh Kudus itulah penghibur dan pengingatan Tounussa Amalatu dan Lounussa Amalatu dalam hidupmu. Pela atau perjanjian TounussaLounussa ini tetap hidup untuk selamanya. 95 Agar terus mempertahankan ikatan kekerabatan yang telah ditetapkan bersama dalam hukum pela maka secara rutin dilaksanakan ritual panas pela dengan melibatkan setiap rumah tangga pada masing-masing “negeri”. Dalam perkembangannya, praktek semacam ini dimaknai secara lebih luas dengan menonjolkan ide “pela gandong” untuk mencerminkan semangat persaudaraan.

2.2.5. Adat dan Persekutuan Teritorial