2.2. Genealogi Kebangkitan Adat Ambon
Uraian berikut ini akan membahas mengenai kemunculan wacana kebangkitan adat Ambon yang menjadi lokus dari penelitian ini. Dalam lokalitas
Ambon, wacana kebangkitan adat mengacu pada beberapa unsur spesifik di antaranya tradisi, hubungan darah dan kedaulatan teritorial. Unsur-unsur tersebut
secara dominan mewarnai pembicaraan tentang adat. Kemunculan adat secara signifikan menyebabkan terjadi perubahan konstelasi sosial politik di Ambon.
Adat tidak sekedar difungsikan untuk merumuskan realitas hidup melainkan mempertanyakan posisionalitas. Sambil menyelidiki dinamika
kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon, penyelidikan ini dilakukan sambil mempertimbangkan pula pengaruh wacana kolonialisme terhadap
kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon. Menyikapi persoalan tersebut beberapa pokok pikiran berikut ini menjadi acuan dasar memahami perkara
kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon.
2.2.1. Adat dalam Tatapan Orang Ambon
Kajian mengenai kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon tidak dapat dilepaskan dari cara pandang orang Ambon terhadap adat. Dalam
kosmologi Ambon, adat tidak sekedar tradisi atau kebiasaan hidup. Bagi masyarakat Ambon, adat merupakan warisan ideologis para leluhur yang seakan-
akan tidak dapat diabaikan. Semacam kewajiban utama yang perlu dilaksanakan secara terus-menerus demi kemuliaan para leluhur dan keharmonisan hidup
bersama. Oleh sebab itu, hormat dan taat terhadap adat tidak sekedar merepresentasi keyakinan masyarakat Ambon terhadap adat; akan tetapi menjadi
sebuah ekspresi religius masyarakat Ambon terhadap kemuliaan para leluhur. Dengan kata lain, berbicara tentang adat berarti berbicara tentang
keyakinan dan kebiasaan hidup warga berdasarkan warisan para leluhur. Hal ini ditegaskan oleh Frank L. Cooley dalam Ambonese adat 1962 ketika melakukan
pendefenisian terhadap konten adat orang Ambon. Menurut Cooley adat orang Ambon merujuk pada “kebiasaan hidup para leluhur yang diwariskan secara
turun-temurun dari generasi ke generasi; atau ekspresi religius terhadap para leluhur yang di dalamnya terkandung kekuatan supranatural yang termanifestasi
melalui objek-objek kosmik.
70
Mencermati upaya pendefenisian adat seperti yang dilakukan oleh Cooley, menghadirkan kekuatan wacana orientalisme Barat dalam adat Ambon. Penting
untuk digarisbawahi adalah kontribusi Cooley sebetulnya bukan terletak pada sejauhmana adat Ambon terdefenisi melainkan sejauh mana wacana kolonialisme
Barat mengakar dalam adat Ambon. Untuk itu, pembicaraan mengenai adat
70
Frank L. Cooley 1962, Ambonese adat: a general description, USA: Yale University Southeast Asia Studies, Hlm. 2-3. Salah satu bentuk manifestasi kekuatan supranatural pada objek
kosmik adalah gunung sebagaimana terdapat dalam kepercayaan penduduk lokal negeri Suli. Dalam tuturan sejarah pembentukan “negeri” Suli, para leluhur atau datuk-datuk yang berasal dari
pulau Seram mendiami pegunungan dan mendirikan pusat-pusat pemukiman di sana. Ada tiga gunung yang dijadikan sebagai tempat kediaman mereka, yakni gunung Eriwakang,
Amarumahtena, dan Amahuing. Masing-masing gunung mewakili setiap “soa”. “Soa Amalatuei” mendiami gunung Eriwakang, “soa Amarumatena” mendiami gunung Amarumahtena, dan “soa
Wainusalaut” mendiami gunung Amahuing. Dari ketiga soa tersebut, dalam perkembangannya terjadi perpecahan terutama “soa Amalatui” dan membentuk soa baru yang dikenal dengan nama
“soa Latusalamu” yang mendiami daerah Natsepa dan Waitatiri. Meski terjadi perpecahan dalam “soa”, akan tetapi dalam setiap ritual adat untuk mengundang kehadiran para leluhur yang
disuarakan hanyalah tiga gunung, tiga kapitan, dan tiga maresi, yakni Amalatuei, Wainusalaut, dan Amarumahtena. “Soa Latuslamu” sendiri tidak diucapkan sebab menjadi bagian dari “soa
Amalatuei”. Dituturkan oleh Aleks Sitanala, kepala soa Latuslamu dan ketua saniri negeri Suli, Wawancara, di Suli-Ambon.
Ambon baiklah agar tidak dapat dibatasi hanya sebatas pengalaman mistik dengan para leluhur; kebiasaan hidup para leluhur yang diwariskan turun-temurun
melainkan sejauh mana keyakinan tersebut dikonstruksi sebagai sebuah keyakinan yang seakan-akan murni.
Tidak dapat dipungkiri bahwa adat memang menempati posisi sentral dalam praksis hidup masyarakat Ambon. Bahkan muncul keyakinan internal
bahwa melalui adat ketertiban politik dan keharmonisan hidup akan lebih mudah terwujud. Cara pandang semacam ini menyebabkan adat sangat dihormati dan
dijunjung tinggi. Adat sebagai warisan para leluhur bersifat mengikat dan mewajibkan seluruh anggotanya untuk ditaati.
71
Suatu nilai keutamaan yang wajib ditaati oleh masyarakat Ambon secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Meski demikian perlu untuk selalu dipertimbangkan bersama adalah sumber keyakinan tersebut; dari manakah seseorang dengan tegas membangunan
keyakinannya terhadap adat. Hal ini menjadi sangat penting untuk mengingatkan kita untuk selalu menyadari bahwa segala-sesuatu yang diyakini kebenarannya
tidak pernah ada dengan sendirinya. Terjadi perluasan makna adat menggiring pembicaraan mengenai adat
tidak lagi sekedar kebiasaan hidup yang merupakan warisan para leluhur; akan tetapi secara kongkrit merujuk pada keinginan untuk menghidupkan kembali
“negeri” di wilayah kepulauan Ambon. “Negeri” dibedakan dengan model desa yang lazim dikenal di Indonesia. Pembedaan tersebut didasari pada dua
argumentasi dasar, yakni: pertama, kata desa dalam kosmologi Ambon merujuk
71
Ibid., Hlm.5
pada unit terkecil dari “negeri” yang disebut dusun; dan kedua, raja sebagai kepala pemerintahan negeri yang dipercaya sebagai representasi kehadiran para
leluhur yang tidak dapat tergantikan oleh seseorang yang bukan berasal dari turunan raja.
Cara pandang semacam ini sangat mempengaruhi keinginan para raja menolak kebijakan negara mengenai undang-undang pemerintahan desa di
Ambon. Persoalannya, apakah antusiasme para raja dalam memperjuangkan penetapan kembali “negeri” semata-mata demi klaim kemurnian nilai adat
ataukah sebaliknya malah mengakar pada upaya mereproduksi wacana kolonialisme di Ambon? Pertanyaan semacam ini penting untuk diperhatikan
sebab akan sangat membantu saya dan pembaca sekalian untuk memahami eksistensi adat Ambon. Dalam rangka memahami eksistensi adat Ambon dan
kemunculannya kembali, saya ingin menyelidiki secara singkat hegemoni wacana kolonialisme di Ambon.
2.2.2. Adat Ambon dalam Wacana Kolonialisme