Rekonsiliasi Konflik dalam Konstruksi Adat

para raja menciptakan bahasa khusus untuk melegitimasi urgensi dan signifikansi kemunculan adat di Ambon. Terkait dengan keyakinan masyarakat terhadap adat, ada dua unsur penting yang perlu diketahui bersama terkait upaya memposisikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik. Pertama, adat diposisikan sebagai model resolusi alamiah dengan tujuan untuk meretas kebuntuan pendekatan politik yang diprakarsai oleh pemerintah pusat; dan kedua, membangkitkan memori kolektif berdasarkan kesamaan identitas yang terikat dalam relasi hubungan darah. Untuk memahami kedua alasan tersebut, akan dijelaskan secara rinci dalam uraian berikut ini.

3.1.1. Rekonsiliasi Konflik dalam Konstruksi Adat

Sejenak menelusuri jejak sejarah konflik yang terjadi di Ambon, saya diperhadapkan dengan rupa-rupa penafsiran atas peristiwa tersebut. Kelahiran konflik mula-mula dipersepsikan sebagai akibat dari kegagalan pemerintah Orde Baru terkait program transmigrasi nasional. Implementasi kebijakan tersebut berdampak pada ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk. Secara khusus, ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk di Ambon diklaim hanya menguntungkan kelompok Muslim dan marginalisasi ekonomi-politik penduduk lokal, terutama kelompok Kristen Ambon. 104 104 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, Dinamika Konflik Dalam Transisi Demokrasi: Informasi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa, Hlm. 220 Kondisi semacam ini menimbulkan krisis, prasangka, dan sikap saling curiga antara kelompok Kristen dan Muslim dan berujung petaka pada Januari 1999. Perang saudara terjadi dengan mengatasnamakan agama. Sebuah pertikaian yang pada awalnya hanya merupakan persoalan pribadi dengan sekejap berubah menjadi pertikaian antaragama. Situasi semakin memanas pada Mei 1999 ketika kelompok Laskar Jihad yang mengatasnamakan solidaritas Muslim tiba di Ambon. 105 Bahkan ketika harus berhadapan dengan kebijakan pemerintah pusat yang mengirim lebih banyak pasukan militer dengan tugas untuk menembak mati di tempat bagi siapa saja yang membawa senjata. 106 Sejak saat itu, genjatan senjata semakin tidak terkendali dan mulai menyebar ke seluruh wilayah Ambon. Beberapa daerah yang menjadi titik-titik penyebaran konflik adalah “Batumerah, kampung Mardika, dan penduduk sekitar Ambon yang beragama Kristen seperti Galunggung, Ahuru dan Kebuncengkeh, serta Kuda Mati, Krangpanjang, Blakangsoya, Skip, Waihaong, Waringin, Kampung Banda, Soabali dan wilayah etnis Bugis-Buton-Makasar BBM yang mayoritas beragama Muslim”. 107 Perang terjadi selama kurang lebih 3 tiga tahun tanpa ada pihak yang keluar sebagai pemenang. Konflik sosial yang terjadi hanya menuai korban jiwa, materi, penderitaan, kemelaratan dan pengungsian di mana-mana. Kondisi semacam ini pada akhirnya menimbulkan kejenuhan dan mendorong berbagai 105 Dieter Bartels 2011, “Kebangkitan adat dan Lembaga kolonial dalam penyelesaian kerusuhan antara kelompok Muslim dan Kelompok Kristen di Ambon” dalam Martin Ramstedt Fadjar Ibnu Thufail Ed., Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan kewarganegaraan pada Masa Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, Hlm. 199-120 106 Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku, Hlm. 3 107 R. Leirisa 2000, “Kasus Ambon sebagai pilot project penyelesaian konflik SARA” dalam Stanley Ed., Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propratria, Hlm. 56-57 upaya untuk menghentikan konflik. Untuk pertama kalinya proses penyelesaian konflik dilakukan dengan menggunakan pendekatan politik; namun sangat disayangkan sebab hanya menuai kegagalan. Penempatan aparat militer dinilai hanyalah omong kosong. Pihak militer dinilai segaja memelihara konflik bahkan terlibat dalam merekayasa konflik seperti yang diungkapkan oleh Thamrin Amal Tamagola. 108 Meski pendekatan politik membuahkan kesepakatan bersama seperti yang terungkap dalam piagam perjanjian Malino II; akan tetapi pada kenyataannya tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Perjanjian Malino dinilai terlalu sarat dengan kepentingan politik dari pihak-pihak tertentu. 109 Perjanjian Malino II yang dihadiri oleh Yusuf Kalla sebagai Menko Kesra, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menko Polkam dan Kapolri Jenderal Da’I Bachtiar pada 12 Februari 2002 memuat 11 sebelas butir perjanjian, antara lain: 1 Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan; 2 Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena itu,aparat harus bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya; 3 Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan; 4 Sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, maka bagi semua orang berhak untuk berada dan berusaha di wilayah Maluku dengan meperhatikan budaya setempat; 5 Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Maluku dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku, wajib meninggalkan Maluku; 6 Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 108 Rudolf Rahabeat 2004, Politik persaudaraan, membedah peran pers, Yogyakarta: Buku Baik, Hlm. 92 109 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia 2004, Dinamika Konflik Dalam Transisi Demokrasi: Informasi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa, Hlm. 239 19 Januari 1999, Front Kedaulatan Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa; 7 Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semula sebelum konflik; 8 Pemerintah akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agar masa depan seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan keluar dari kesulitan. Sejalan dengan itu, segala bentuk pembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupan ekonomi dan sosial berjalan dengan baik; 9 Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untuk TNIPolri sesuai fungsi dan tugasnya. Sejalan dengan itu, segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan dikembalikan fungsinya; 10 Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan; 11 Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan bersama. Karena itu, rekruitmen dan kebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan prinsip keadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan. 110 Meski kesebelas butir perjanjian Malino mencerminkan komitmen untuk saling mengikat diri; akan tetapi secara de facto kondisi Ambon tidak berubah. Hal ini ditandai dengan adanya insiden-insiden peledakan bom seperti yang terjadi di depan hotel Amboina, pembakaran kantor gubernur Maluku, penyerangan desa soya, dan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan RMS. 111 Kedua belah pihak Kristen-Muslim kembali saling menyalahkan satu sama lain. Untuk mengatasi kebuntuhan tersebut proses rekonsiliasi lambat-laun mulai menyasar kebutuhan menjadikan adat sebagai solusi alternatif dengan tujuan untuk menggalang perdamaian. Pada titik ini, adat mulai diperhatikan dan dipikirkan 110 Abdul Haerah, “Isi Perjanjian Perdamaian Maluku di Malino”, diakses dari https:www.mail- archive.comeskolmitra.net.idmsg00035.html , pada 21 November 2014 111 Rudolf Rahabeat 2004, Politik persaudaraan, membedah peran pers, Hlm. 91 secara intensif oleh masyarakat Ambon. Ada kondisi di mana terjadi pengabungan antara adat dan perdamaian. Penggabungan ini mencerminkan kebutuhan menjadikan adat sebagai instrumen penyelesaian konflik dan sekaligus sebagai solusi atas kebuntuhan pendekatan politik yang diprakarsai oleh pemerintah pusat.

3.1.2. Membangun Memori Kolektif Warga melalui Adat