Hukum sebagai Instrumen Kekuasaan

adat pada akhirnya hanya menegasi kebutuhan institusi-institusi kekuasaan melanggengkan identitas budaya lokal sebagai bagian dari kebanggaan sebagai orang Ambon untuk mengamankan wacana kekuasaannya. Akibatnya wacana kebangkitan adat yang diperjuangkan tidak lebih dari upaya untuk membangkitkan wacana kekuasaan etnis. Dalam konteks itu, perlu untuk selalu mempertimbangkan mekanisme operasionalisasi kekuasaan dengan berbagai bentuk teknologi kekuasaan polymorphous techniques of power yang teraktualisasi dalam institusi-institusi kekuasaan. Kerja institusi kekuasaan adalah mereproduski kekuasaan, mendorong orang untuk sering membicarakan adat dan menyebarluaskan rezim dogmatisme kebenaran adat dalam wacana. 168

4.1.3. Hukum sebagai Instrumen Kekuasaan

Perlu disadari bersama bahwa kekuasaan dalam pengertian Foucault bukanlah sesuatu yang bersifat negatif, larangan, atau milik lembaga tertentu; akan tetapi kekuasaan lebih bersifat positif yang datang dari mana-mana dan bergerak secara terus menerus membentuk rangkaian atau jaringan kekuasaan. 169 Kekuasaan bersifat co-ekstensif dengan tubuh sosial, terhubung dengan berbagai jenis relasi sosial, beragam tidak hanya dalam bentuk larangan, lebih dari berbagai bentuk produksi relasi dominasi, dan selalu diafirmasi. 170 Konsep semacam ini menunjukkan luasnya cakupan kekuasaan yang tidak bisa dipasung 168 Michel Foucault 1976, The History of Sexuality, Hlm. 11 169 Ibid., Hlm. 93 170 Michel Foucault 1980, PowerKnowledge, Hlm. 142 hanya dalam pengertian hubungan negatif dan berbagai bentuk larangan sebagaimana dijumpai dalam berbagai perangkat hukum atau perundang- undangan. Paham kekuasaan yang bergerak jauh ke depan, lebih dari sebuah istilah- istilah hukum formil yang muda dikooptasi. Justru dengan pemahaman baru semacam ini, paham tradisional kekuasaan yang cenderung bersifat negatif dengan berbagai bentuk laranganya mau diboboti kembali. Artinya apa yang selama ini disebuat larangan sebetulnya merupakan tempat aktualisasi kekuasaan. Larangan sejatinya merupakan dukungan atas kekuasaan yang tersebar dalam setiap praktek wacana. 171 Semakin kuatnya larangan semakin besar pula intensitas kekuasaan yang ditanamkan dalam wacana. Cara pandang semacam ini mendasari penafsiran baru terhadap hukum dan perundang-undangan. Menurut Foucault, hukum merupakan topeng kekuasaan mask for power sebagaimana dalam budaya Barat yang menempatkan hukum sebagai instrument kekuasaan monarki dan berbagai bentuk persoalan kedaulatan dan hak-hak sejak abad 18. 172 Hukum bukan sebatas representasi kekuasaan, bukan pula sebuah kebenaran kekuasaan, akan tetapi lebih dari itu hukum merupakan instrumen kekuasaan kompleks. 173 Ingat bahwa wacana tentang seks pada abad 17 yang dinilai bahwa sedang terepresi justru sebaliknya terjadi ledakan wacana discursive explosion. Artinya larangan terhadap seks atau 171 Michel Foucault 1976, The History of Sexuality, Hlm. 41-42 172 Michel Foucault 1980, PowerKnowledge, Hlm. 140 173 Ibid., Hlm. 141 larangan membicarakan seks justru menimbulkan ledakan wacana akibat keterlibatan institusi-institusi kekuasaan seperti keluarga, agama, sekolah dan kesehatan dalam mengatur seks. Lantas apa relevansinya dengan pembicaraan kita mengenai norma adat dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon? Analisa terhadap norma adat dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon mau membidik pola pikir masyarakat terhadap hukum dan perundang-undang. Undang-undang, peraturan- peraturan dan norma-norma lazim ditempatkan sebagai larangan dan perlindungan terhadap kedaulatan dan hak-hak lokalitas. Misalnya kritik terhadap intervensi negara melalui penerapan undang-undang No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa disebabkan oleh anggapan bahwa negara memiliki peranan besar dalam pengancuran pranata adat. Akan tetapi, tanpa disadari bahwa kebutuhan akan penetapan sejumlah norma adat secara implisit sebetulnya mengafirmasi perjuangan adat yang seakan-akan mau memperjuangkan nilai kemurnian adat. Sayangnya, klaim kemurnian adat malah mengadopsi produk pemikiran masyarakat modern. Di sisi lain, kebutuhan akan penetapan sejumlah norma adat dalam konstruksi wacana kebangkitan adat Ambon sebetulnya menegasi kebutuhan orang Ambon dalam mengukuhkan wacana kebangkitan adat yang selama ini dibicarakan. Konten hukum negara yang menekankan persamaan hak politik setiap warga negara meski dinilai menimbulkan pergeseran peran-peran penduduk lokal dalam struktur birokrasi politik; akan tetapi kritik terhadap kebijakan negara justru bermuara pada kebutuhan untuk melegitimasi produksi wacana kebangkitan identitas lokal, hak dan budaya lokal. Bahkan jika diasumsikan sebagai upaya untuk merevitalisasi hak-hak masyarakat lokal justru memungkinkan kemunculan sebuah bentuk manejerial politik dan ekonomi dengan mengeksploitasi perbedaan legal dan illegal dalam adat. 174 Hukum melandasi cara membicarakan berbagai istilah larangan dalam konteks adat, atau untuk mengatakan ya atau tidak terhadap keterlibatan masyarakat dalam praksis pemerintahan hukum adat di Ambon. Problemnya sekarang, dalam wacana kebangkitan adat, jika adat didefenisikan sebagai kebiasaan hidup dan ekspresi religius terhadap para leluhur, mengapa hal tersebut malah kurang diperhatikan? Bukankah adat lebih bersifat oral dari para undang- undang yang nyata-nyatanya merupakan produk masyarakat modern? Jangan- jangan upaya meresistensi mekanisme kekuasaan negara melalui UU tentang pemerintahan desa malah mereproduksi mekanisme kekuasaan tersebut. Hukum dan perundang-undangan versi negara dan lokal justru semakin mengintensifkan kebutuhan orang banyak dalam membicarakan adat. Hukum, peraturan dan norma pada satu sisi merupakan tindakan praksis dalam aktivitas larangan yang merupakan manifestasi diri kekuasaan. Artinya larangan dalam konteks logika kekuasaan Foucault bukanlah pembatasan, melainkan dukungan atas kekuasaan. Misalnya larangan membicarakan seks secara senonoh justru semakin mendorong wacana tentang seks untuk dibicarakan secara terus-menerus. Demikian pula, larangan adat bukan pertama-tama sebagai perlindungan terhadap penyimpangan terhadap mekanisme adat melainkan dukungan terhadap kekuasaan 174 Ibid., Hlm. 141 adat. Titik-titik semacam inilah yang merupakan sumber perluasan kekuasaan adat dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon.

4.1.4. Bio-Power: Hubungan Darah dan Hasrat Berkuasa