Bio-Power: Hubungan Darah dan Hasrat Berkuasa

adat. Titik-titik semacam inilah yang merupakan sumber perluasan kekuasaan adat dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon.

4.1.4. Bio-Power: Hubungan Darah dan Hasrat Berkuasa

Sistem kekerabatan merupakan salah satu isu utama dalam kajian-kajian antropologi dan sosiologi. Sistem kekerabatan ditempatkan sebagai kerangka pemetaan hubungan sosial, kultural, dan politik berdasarkan hubungan darah. Atas dasar itu, sistem kekerabatan selalu mengandaikan adanya keterlibatan institusi- institusi biologis seperti keluarga. Melalui keluarga individu dibentuk dan dihubungkan dengan jaringan sosial yang lebih luas dalam masyarakat. Melalui keluarga individu terhubung satu sama lain dan merasa memiliki persamaan identitas, watak serta kebiasaan yang diturunkan secara biologis. 175 Cara pandang semacam ini cukup mendasari keyakinan masyarakat akan kesamaan identitas. Sayangnya, keyakinan akan persamaan identitas biologis sering kali dikomodifikasi sebagai alat legitimasi kekuasaan politik. Perntanyaannya, mengapa persamaan identitas biologis dipandang sebagai alat legitimasi kekuasaan? Sebelum menanggapi persoalan tersebut, saya ingin membicarakan secara singkat korelasi karakter biologis hubungan darah penduduk dengan wacana kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh Foucault. dalam powerknowledge 1980. Foucault menunjukkan dua karakter biologis masyarakat Eropa Barat pada abad ke-18. Kedua jenis karakter biologis tersebut 175 Steph Lawler 2014, Identity: Sociological perspectives, Hlm. 51 antara lain: the privilege of the child and the medicalisation of the family; 176 dan The privilege of hygiene and the function of medicine as an instance of social control. 177 Pada dasarnya karakteristik biologis semacam ini mencerminkan semacam kebutuhan untuk mengorganisir pertumbuhan keluarga-keluarga demi pengembangan sektor ekonomi politik. Kebutuhan pengorganisasian keluarga semacam ini merujuk pada mekanisme pengaturan dan pengawasan terhadap tingkat populasi penduduk, usia hidup, angka kelahiran, kematian dan ruang kota untuk memproduksi tenaga kerja demi pengembangan sektor ekonomi politik. 178 Selain itu, kebutuhan negara mengorganisir keluarga-keluarga pada abad 18 di Eropa Barat mencerminkan pula keinginan negara dalam menghadirkan imajinasi tertentu mengenai bagaimana menjadi sebuah keluarga ideal. Keluarga ideal adalah keluarga-keluarga yang dikondisikan menurut standarisasi tertentu yang ditawarkan oleh negara. Salah satu contoh kongkrit yang ditunjukkan oleh Foucault dalam The History of Sexuality 1976 adalah persoalan keluarga berencana KB. KB merupakan bagian dari proses sosialisasi perilaku prokreatif dengan tujuan untuk menanamkan tanggungjawab sosial ke dalam tubuh sosial. 179 Contoh-contoh semacam ini dikemukakan oleh Foucault untuk menunjukkan bagaimana kekuasaan itu beroperasi secara produktif dalam masyarakat. Nampak bahwa wacana kekuasaan sebetulnya bukan berada pada posisi suprastruktur melainkan beroperasi pada level bawah di mana tidak ada lagi 176 Michel Foucault 1980, PowerKnowledge, Hlm. 172 177 Ibid., Hlm. 175 178 Ibid., Hlm. 172-175 179 Michel Foucault 1976, The History of Sexuality, Hlm. 105 hubungan oposisi biner antara penguasa dan yang dikuasai. 180 Keluarga sungguh- sungguh menjadi tempat di mana kekuasaan itu terlaksana baik melalui proses pedagogisasi nilai, sosialisasi perilaku maupun normalisasi dan patalogisasi perilaku individu. Keluarga dengan karakter biologis diintensifkan demi pengembangan ekonomi politik negara. Selain itu muncul pula aturan baru dengan tujuan untuk melakukan kodifikasi hubungan sosial antara orang tua dan anak. Kodifikasi hubungan orang tua dan anak secara eksplisit menyangkut angka kelahiran, kematian anak, pertumbuhan anak, pertahanan hidup anak dan perkembangan anak. Tidak sekedar mengatur angka kelahiran, perkembangan, dan kematian anak akan tetapi merupakan terjadinya manifestasi kekuasaan melalui proses manejerialisasi ruang hidup manusia. Fungsi keluarga bukan sekedar menyangkut sistem kekerabatan, akan tetapi sebagai aspek material kekuasaan negara untuk mengikat dan mengintensifikasi relasi-relasi sosial yang berdasar pada ikatan kekeluargaan atau hubungan biologis. 181 Keluarga tidak lagi sekedar gambaran hubungan orang tua dan anak atau produksi individu, akan tetapi sebagai bagian dari aparat pendidikan yang mengkonsolidasi diri anak dalam interioritas tradisi keluarga yang diwariskan turun-temurun. 182 180 Ibid., Hlm. 94 181 Michel Foucault 1980, PowerKnowledge, Hlm. 172-173 182 Ibid., Hlm. 173 Kembali ke pokok persoalan mengenai hubungan darah dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon, urgen untuk dipertimbangkan adalah bagaimana karakter biologis atau hubungan darah difungsikan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Korelasi antara hubungan darah dan kekuasaan dalam perspektif Foucault menegasi hasrat akan kekuasaan. Hal ini ditandai oleh keinginan untuk mengukuhkan klaim keistimewaan penduduk lokal Ambon untuk berkuasa. Keistimewaan hak penduduk lokal Ambon dikukuhkan melalui serangkain aturan-aturan adat mengenai status kepemimpinan anak adat, kedudukan raja dan saniri negeri yang ditetapkan berdasarkan relasi hubungan darah. Cara pandang semacam ini terdeteksi dalam pernyataan-pernyataan mengenai hak keistimewaan penduduk lokal Ambon dalam struktur birokrasi politik. “Apakah mereka yang bukan anak adat dapat memimpin di daerah adat?” sebuah pernyataan yang selalu didegung-degungkan terkait eksistensi adat Ambon dan hak keistimewaan penduduk lokal Ambon. Muncul semacam kebutuhan untuk memikirkan aspek biologis dalam kontestasi kekuasaan politik di tingkat lokal. Terjadi pula komodifikasi hubungan darah berdasarkan interioritas tradisi keluarga. Tradisi keluarga dalam pengertian ini merujuk pada pendasaran kultural pada hubungan darah yang termanifestasi dalam struktur sosial masyarakat Ambon seperti rumahtau, ukuhuku, soa, henaaman dan “negeri adat”. Di sisi lain, hasrat akan kekuasaan dalam konteks wacana kebangkitan adat tercemin pula melalui ide “siwalima” yang dijadikan sebagai dasar pengelompokkan masyarakat berdasarkan hubungan darah. “Siwalima” yang ditandai dengan sistem soa cenderung diposisikan sebagai elemen penting dalam konstruksi identitas orang Ambon dan representasi hubungan darah sekaligus hubungan kultural. Mengikuti cara pandang semacam ini penting untuk dipertimbangkan adalah persoalan hubungan darah yang terkandung dalam masing-masing ikon kultural sebetulnya menyangsikan eksistensi adat sebuah tatanan nilai yang mencerminkan kebiasaan dan cara mengada orang Ambon. Perkara hubungan darah dalam konstruksi wacana kebangkitan adat Ambon justru terjebak upaya memikirkan hubungan darah sebagai alat legitimasi politik atas kekuasaan. Pada titik ini kiranya semakin nampak bagaimana wajah politik adat dalam praktek wacana orang Ambon. Persoalan hubungan darah dalam konstruksi wacana kebangkitan adat tidak sekedar menegasi hak-hak penduduk lokal Ambon, akan tetapi menegasi pula keinginan kuat penduduk lokal Ambon untuk tetap melanggengkan status quo. Kehendak untuk meresistensi mekanisme kekuasaan dominan yang dinilai merepresi adat dan peran penduduk lokal Ambon, malah sebaliknya justru sedang mereproduksi mekanisme kekuasaan dominan yang sedang dikritik. Dengan kata lain, pembicaraan mengenai hubungan darah dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon sebetulnya mencerminkan hasrat orang Ambon sendiri untuk mau ikut berkuasa dari pada membiarkan warga pendatang memimpin di Ambon; dan wacana kebangkitan adat Ambon yang coba ditempatkan sebagai arena konstestasi nilai-nilai budaya lokal malah direproduksi sebagai arena kontestasi kekuasaan. Atas dasar itulah dapat ditegaska bahwa urgensi wacana kebangkitan adat Ambon sebetulnya mempersepsikan adat bukan dalam pengertian tatanan nilai- nilai budaya lokal, akan tetapi wacana kebangkitan adat cenderung mempersepsikan adat sebagai arena kontestasi kekuasaan. Dalam rangka melegitimasi kekuasaan tersebut relasi hubungan sungguh-sungguh ditempatkan sebagai alat legitimasi politik. Relasi kuasa yang dikukuhkan melalui relasi hubungan darah akhirnya memungkinkan orang Ambon membicarakan kebenaran wacana kebangkitan adat dengan tujuan untuk menaklukan atau menguasai. Penaklukan ini bekerja secara efektif ketika masyarakat dengan kehendak sendiri menerima kebenaran adat tanpa merasa perlu untuk mempertanyakan. Dengan cara semacam ini, teknologi pendisiplinan individu-individu dalam masyarakat menjadi mekanisme kontrol paling efektif. Bahkan kekuatan teknologi pendisiplinan dengan tujuan untuk menguasai justru sangat rentan tejadi dalam kelompok masyarakat homogen. Homogen dalam pengertian kesamaan identitas seperti dalam relasi hubungan darah seperti yang terjadi di Ambon. Homogenisasi merujuk pada legitimasi hubungan darah sebagai dasar untuk mengidentifikasi kesamaan identitas. Dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon, proses homogenisasi yang memungkinkan kekuasaan beroperasi secara efektif teraktualisasi dalam ide “siwalima”. Itulah sebabnya dapat dimengerti mengapa kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon seringkali mengkondisikan masyarakat Ambon membicarakan signifikansi “siwalima”. Proses merevitalisasi budaya “siwalima” akhirnya menyangsikan kembali narasi yang dibangun selama ini bahwa nilai- nilai budaya “siwalima” terdistorsi, akan tetapi upaya merevitalisasi budaya “siwalima” justru mencerminkan hasrat akan kekuasaan untuk berkuasa di Ambon.

4.1.5. Kekuasaan Simbolik dalam Polemik Gelar Adat