budaya lokal. Sayangnya dalam proses konstruksi “siwalima” semacam ini, tanpa disadari penggunaan “siwalima” lambat-laun membidik klaim-klaim primordial
adat. Salah satu isu penting dari pembangunan berbasis budaya lokal adalah munculnya wacana penetapan kembali “negeri” di Maluku, secara khusus di
Ambon.
2.3. Membidik Penetapan “Negeri” Adat di Ambon
Dalam lokalitas Ambon, wacana tentang adat semakin menggeliat semenjak masyarakat Ambon berusaha bangkit dari keterpurukan akibat konflik
1999. Dengan kata lain, kemunculan kembali adat sebagai sebuah persoalan yang penting dan relevan untuk dibicarakan mulai terjadi sejak konflik 1999. Konflik
sosial pada 1999 sungguh-sungguh menjadi momentum kebangkitan adat. Muncul antusiasme masyarakat terhadap adat istiadat menjadikan adat seakan-akan
bangkit dari tidurnya yang panjang. Kondisi semacam ini patut mendapatkan perhatian serius ketika hendak
berbicara tentang wacana kebangkitan adat di Ambon. Penting untuk dipertimbangkan di sini adalah: Apakah konflik yang terjadi semata-mata hanya
karena benturan agama sebagaimana yang diamini oleh kebanyakan orang? Sejauh mana konflik yang terjadi mempengaruhi antusiasme masyarakat untuk
kembali ke adat? Apakah antusiasme masyarakat untuk kembali ke adat mencerminkan kehendak seluruh anggota masyarakat ataukah sebaliknya hanya
keinginan segelintir orang?
Kemunculan adat berdampak pada perubahan konstelasi sosial politik. Ide awal kemunculan adat sebagai bagian integral dari upaya mewujudkan kembali
perdamaian akibat konflik, lambat laun mengalami pergeseran dengan membidik penetapan kembali “negeri” sebagai pemerintahan hukum adat di Provinsi
Maluku, secara khusus di Ambon. Adat yang awalnya merupakan tradisi dan kebiasaan para leluhur kemudian difungsikan sebagai instrumen penyelesaian
konflik sekaligus sebagai dasar untuk memperjuangkan penetapan “negeri- negeri” adat di Ambon. Penetapan kembali eksistensi “negeri” merupakan
sebuah bentuk penolakkan terhadap implementasi Undang-undang tentang pemerintahan desa karena diklaim memiliki peranan besar dalam penghancuran
“negeri-negeri” di Ambon. Sistem penyeragaman budaya melalui kebijakan pemerintahan desa yang
mengedepankan kebebasan individu dan kesetaraan dalam kehidupan berpolitik menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Ambon. Pada titik ini persinggungan
kepentingan antara pusat dan daerah; Jakarta dan Ambon mencuat dan melahirkan kekuatan baru yakni adat. Adat dipakai sebagai identitas kolektif
dalam perjuangan bersama. Adat dijadikan pula sebagai instrumen kekuasaan untuk memobilisasi massa melawan negara. Dengan demikian, adat bukan lagi
sekedar tradisi melainkan mulai menyebar secara produktif dan berlaku universal sebagai sebuah kekuatan politik di tengah-tengah kondisi masyarakat yang
semakin plural. Upaya penetapan kembali “negeri” tidak terlepas dari peran para raja.
Fungsi raja dalam konteks ini tentunya tidak dibatasi pada fungsi tradisional raja.
Fungsi seorang raja tidak sebatas penjaga adat yang bertanggung jawab kepada masyarakat melalui badan saniri, akan tetapi sebagai “polisi adat”. “Polisi adat”
dalam pengertian bahwa: pengetahuan atas adat dan kemampuan untuk berbicara atas nama adat menjadikan seorang raja bukan sekedar mengatur segala bentuk
ketidaknormalan dalam adat, akan tetapi punya kebutuhan untuk mengatur adat melalui wacana adat yang berguna bagi masyarakat.
101
Fungsi dan peran raja semacam ini, sesungguhnya tidak menggeser peran tradisional seorang raja
melainkan semakin mengefektifkan kekuasaan raja dalam konteks kebangkitan adat saat ini. Di sisi lain, upaya untuk menghidupkan kembali adat tidak terlepas
dari kesangsian orang Ambon terhadap warga pendatang. Tidak bersedia membiarkan diri dipimpin oleh orang lain yang bukan berasal dari komunitas
masyarakat adat Ambon. Persoalannya sekarang, Apakah dengan menghidupkan kembali adat
masyarakat Ambon akan semakin harmonis dan demokratis ataukah sebaliknya upaya tersebut hanya sebatas kebutuhan dari kelompok-kelompok tertentu?
Apakah selama ini adat direpresi atau sebaliknya justru benar-benar dikondisikan untuk mereproduksi mekanisme kekuasaan yang sedang dikritik? Pada titik ini
lagi-lagi persoalannya bukan terletak pada mendukung atau menafikan adat, menyalahkan atau membenarkan adat, akan tetapi bagaimana adat dibicarakan?
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang adat sebetulnya merepresentasi kebutuhan orang banyak untuk mengatur adat dengan tujuan
mengawasi individu-individu yang hidup dalam lingkaran adat.
101
Bdk., Michel Foucault 1997, Seks dan Kekuasaan, Hlm. 27
2.4. Catatan Penutup