peran-peran penduduk lokal, maupun kepemilikan tanah-tanah adat. Aneka rupa persoalan semacam inilah yang sangat mewarnai pembicaraan kebanyakan orang
tentang adat di masa Orde Baru. Bahkan Orde Baru malah ditahbiskan sebagai orde penindasan adat.
Meski tanpa harus menafikan aneka persoalan yang telah dikemukakan di atas namun jika diasumsikan demikian maka persoalannya adalah: Apakah
kondisi semacam ini mencerminkan tindakan merepresi adat? Apakah adat sungguh-sungguh direpresi? Agar memungkinkan kita melihat persoalan-
persoalan tersebut secara kritis, upaya pelacakan terhadap wacana kebangkitan adat tidak dapat berhenti pada titik ini. Adat perlu dilihat secara gamblang dengan
mempertimbangkan dinamika perkembangan dan perluasan adat di masa-masa berikutnya. Salah satunya adalah wacana adat di era reformasi.
2.1.2. Eforia Kebangkitan Adat di Era Reformasi
Perjuangan atas nama adat di Indonesia dapat dikatakan baru mendapatkan tempatnya di era reformasi. Iklim kebebasan di era reformasi sungguh-sungguh
memberikan angin segar kepada banyak daerah di Indonesia yang ingin mengurus diri sendiri berdasarkan adat istiadatnya masing-masing. Era reformasi seakan-
akan merupakan kesempatan berharga bagi banyak daerah untuk mewujudkan keinginan mereka. Reformasi membuka ruang politik di tingkat lokal terutama
dengan adanya kebijakan otonomisasi daerah semakin mempercepat perjuangan adat. Bahkan di tingkat pusat Jakarta, perjuangan atas nama adat berhasil
diorganisir secara nasional melalui pembentukan organisasi adat nasional yang dikenal dengan nama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN dengan
semboyannya: “kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan mengakui negara”.
52
Mengacu pada anggaran dasar AMAN, secara resmi AMAN didirikan pada tanggal 17 Maret 1999 di Jakarta dengan tujuan untuk:
1 Mengembalikan kepercayaan diri, harkat dan martabat Masyarakat Adat Nusantara, baik laki-laki maupun
perempuan, sehingga mampu menikmati hak-haknya; 2 Mengembalikan kedaulatan Masyarakat Adat Nusantara untuk
mempertahankan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan politik; 3 Mencerdaskan dan meningkatkan kemampuan Masyarakat
Adat mempertahankan dan mengembangkan kearifan adat untuk melindungi bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya; 4 Mengembangkan proses pengambilan keputusan yang demokratis; 5 Membela dan
memperjuangkan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat
53
Kelima butir dari tujuan AMAN mencerminkan adanya komitmen bersama seluruh anggota AMAN guna mendapatkan kembali hak-haknya baik
secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Keanggotaan AMAN yang dimaksudkan di sini mengacu pada anggaran dasar AMAN Bab VII pasal 11 butir
2. Keanggotaan AMAN adalah: “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, memiliki
kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam dan kehidupan sosial budaya yang diatur
52
Ibid., Hlm. 1-2
53
“Anggaran Dasar AD AMAN Bab IV pasal 7”, diakses dari http:www.aman.or.id
pada tanggal 7 Januari 2015. Anggaran Dasar AMAN ditetapkan dalam kongres Masyarakat Adat
Nusantara yang ke-4 di Tubelo pada 24 April 2012.
oleh hukum adat, serta lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.
54
Bidikan utama AMAN adalah mendapatkan kembali hak-hak seluruh anggota masyarakat adat baik secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Itulah
sebabnya pembentukan AMAN sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan ORMAS yang independen bertujuan untuk mengawal dan mengawasi otoritas
negara, mengembalikan hak masyarakat adat serta mengintensifkan kembali peran lembaga-lembaga adat dan pemimpin-pemimpin adat yang selama Orde Baru
kehilangan peran.
55
Hal ini tercermin pula dalam setiap kali pertemuan yang diselenggarakannya.
Dalam pertemuan pertama yang dilaksanakan di Hotel Indonesia-Jakarta pada 17 sampai 22 Maret 1999, diproklamasikannya pembentukan AMAN
sebagai organisasi kemasyarakatan yang punya landasan hukum tetap untuk memperjuangkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi masyarakat adat seperti
akses terhadap tanah, hutan, kekayaan alam, budaya dan persoalan-adat istiadat.
56
Pertemuan kedua dilaksanakan di Lombok, Nusa Tenggara Timur pada 2003.
57
Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari agenda pertemuan pertama dan sebagai bagian dari upaya konsolidasi. Pertemuan ketiga dilaksanakan di
54
Lih. Anggaran Dasar AD AMAN Bab VII pasal 11 butir 2 tentang keanggotaan dan kader, Ibid. diakses dari
http:www.aman.or.id pada tanggal 7 Januari 2015; lihat juga dalam Sejarah
Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN
55
David Henley Jamie Davidson2010, Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 1-2
56
“Sejarah Organisasi Aliansi masyarakat adat Nusantara”, diakses dari http:www.aman.or.id
pada tanggal 7 Januari 2015
57
Ibid.
Pontianak, Kalimantan Barat pada 2007 dengan agenda pembentukan struktur keanggotaan dan badan pengurus baik di tingkat pusat maupun daerah-daerah
seperti di Sumaterah, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
58
Sedangkan pertemuan keempat dilaksanakan di Tubelo, Halmaera Utara, Provinsi Maluku pada 2012 dengan agenda pemantapan struktur
keanggotaan.
59
Rangkaian perjuangan AMAN sejak terbentuknya memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap kemunculan adat di Indonesia. Hal ini terukur
pula melalui capaian-capaian yang ditoreh selama ini baik pada tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional AMAN boleh berbangga dengan
torean sejarahnya melalui pembentukan lembaga-lembaga adat di tingkat lokal; bahkan keterlibatan AMAN di tingkat internasional, di antaranya seperti
keterlibatannya aktif dalam proses United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC; International Indigenous Peoples Forum on Climate
Change IIPFCC; Reducing emissions from deforestation and forest degradation REDD; United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues UNPFII;
bahkan pertemuan komisi PBB tentang penghapusan diskriminasi rasial atau Committee on the Elimination of Racial Discrimination CERD.
60
Tidak dipungkiri bahwa kemunculan adat sangat mempengaruhi konstelasi ekonomi, sosial, politik di Indonesia. Meski demikian tidak dapat dipungkiri pula
58
Ibid.
59
Ibid.
60
Ibid.
bahwa di sisi lain sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian bab sebelumnya bahwa seiring kemunculan wacana kebangkitan adat muncul pula suara-suara
lainnya yang bernada oposisi. Salah satunya adalah David Bourchier yang mengkritisi kemunculan gerakan kebangkitan adat di Indonesia. Menurutnya:
“kecenderungan dari gerakan kebangkitan adat meski mendukung dan menguatkan serta mempererat ikatan kepentingan komunal, akan tetapi sebetulnya
sangat berpotensi menimbulkan konflik, kekerasan, kebencian antar-etnis, dan ikut mengukuhkan kembali hirarki sosial masa lampau”.
61
Senada dengan Bourchier, Tania Li dalam penelitiannya di Sulawesi Tengah pada kurun waktu 2000-2003 juga mengemukakan persoalan serupa.
Tania Li menyoroti secara khusus keragaman penafsiran dan penggunaan kata adat yang selama ini semakin sulit dikontrol. Menggunakan konsep adat berarti
mengklaim kemurnian nilai adat demi kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.
62
Anehnya bagi Bourchier dan Tania Li jika menggunakan adat sebagai ukuran berarti mengklaim kemurnian nilai yang ada di dalamnya demi
kepentingan seseorang atau kelompok tertentu; akan tetapi gerakan adat tetap mendapatkan sambutan dari masyarakat.
63
Lantas, Apakah karena asumsi keharmonisan hidup berbasis adat dan kemurniaan nilai adat? Jika demikian,
Apakah ada realitas yang dinamakan kemurnian adat? Bukankah yang disebut
61
David Bourchier 2010 “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masa kini” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 141-142
62
Tania M.Li 2010, “Adat di Sulawesi Tengah: penerapan kontemporer” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 367
63
David Bourchier 2010 “Kisah adat dalam imajinasi politik Indonesia dan kebangkitan masa kini” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 126
kemurnian adalah sebuah konstruksi sejarah? Jangan-jangan asumsi kemurnian hanyalah sejenis romantisme terhadap hukum adat di Indonesia yang merupakan
ciptaan Belanda seperti yang ditegas pula oleh Pater Burns. Burns sebagai salah seorang kontributor dalam penulisan buku berjudul
adat dalam politik Indonesia 2010 menyatakan bahwa: Konsep hukum adat hampir pasti merupakan ciptaan Belanda.
Sebelum Van Vollenhoven dan kelompoknya mulai mengkodifikasi apa yang bagi para ahli hukum barat tampaknya
sebagai aspek-aspek peradilan dari adat kebiasaan penduduk asli, hukum adat bukan merupakan suatu entitas terpisah dan
independensi melainkan pada umumnya jalin menjalin dengan sejarah, mitologi, dan aturan-aturan dasar kelembagaan dari
masing-masing suku atau satuan budaya…tentu saja adat tidak ditemukan tetapi diciptakan.
64
Secara historis, selama ini apa yang disebut adat umumnya dikenal dengan nama hukum adat. Istilah hukum adat untuk pertama kalinya diungkapkan oleh
Christian Snouck Hurgronje 1857-1936, seorang orientalis berkebangsaan Belanda.
65
Istilah hukum adat kemudian dipergunakan secara luas oleh Cornelis Van Vollenhoven, seorang professor antropolog dari Universitas Leiden ketika
melakukan studi hukum adat di Indonesia di awal abad ke-20. Beberapa konsep dasar yang masih terus dipergunakan sampai sekarang adalah: hukum adat
adatrecht dan beschikkingsrecht atau hak-hak petuanan setiap anggota masyarakat adat adatrechtsgemeenschap di wilayah masing-masing.
66
Istilah
64
Pater Burns 2010, “Adat, yang mendahului semua hukum” dalam Adat dalam politik Indonesia, Terj. Emilius Ola Kleden, Jakarta: Obor, Hlm. 95
65
C. Fasseur 2010, “Dilema zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara hokum adat dan hukum Barat di Indonesia, dalam Adat dalam politik Indonesia, Hlm. 57
66
David Henley Jamie Davidson2010, “Konservatisme Radikal-Aneka Wajah Politik Adat” dalam Adat dalam Politik Indonesia, Hlm. 26
beschikkingsrecht sendiri merujuk pada sistem adat yang memungkinkan masyarakat dapat mengatur dan melindungi hak kepemilikan tanahnya sehingga
tidak dapat diambilalih oleh negara karena dianggap tidak bertuan.
67
Tanpa harus menafikan kontribusi Van Vollenhoven dalam melakukan kodifikasi hukum adat di Indonesia dan perjuangannya terhadap hak kepemilikan
tanah-tanah ulayat, apa yang diungkapkan oleh C. Fasseur patut untuk dipertimbangkan juga. Bagi Fasseur, konstruksi hukum adat Indonesia atas salah
satu cara menegasi pengaruh Etnosentrime dan perasaan superioritas bangsa Barat di Indonesia.
68
Proses kodifikasi hukum adat Indonesia sejak saat itu seakan-akan mendobrak popularitas adat pribumi terutama ketika secara khusus menjadikan
adat sebagai objek kajian akademis di Universitas Leiden. Bertolak dari wacana adat semacam ini, lantas kemurnian adat seperti
apakah yang sebetulnya ingin ditegakkan dalam gerakan kebangkitan adat Indonesia? Apakah kemurnian adat dengan membangkitkan kembali wacana
kolonialisme? Tidak dapat dipungkiri sekarang bahwa apa yang diklaim sebagai kemurnian adat tidak lebih dari sebuah konstruksi sejarah yang kemudian
direproduski secara terus menerus. Hal ini nampak dalam cara pandang orientalis ketika membicarakan wacana kebangkitan adat dengan menghubungkan adat
dengan praktek perampasan tanah, sumber daya alam, hutan, desa adat dan
67
Yance Arizona Erasmus Cahyadi 2013, “The Revival of Indigenous Poples: Contestation over a special leigislation on masyarakat adat” dalam Adat and Indigeneity in Indonesia: Cultural
and Entitlements between Heteronomy and self-Ascription, Volume 7, Universitätsverlag Göttingen, 47
68
C. Fasseur 2010, “Dilema zaman kolonial: Van Vollenhoven dan perseteruan antara hukum adat dan hukum Barat di Indonesia, Adat dalam politik Indonesia, Hlm. 63
sejumlah praktek yang menggunakan adat sebagai jargon-jargon politik dalam kampanye-kampanye.
Bahkan ketika mencermati dinamika perkembangan wacana kebangkitan adat Indonesia semacam ini, dapat ditegaskan bahwa adat yang selama ini
dianggap terepresi sebetulnya justru melahirkan berbagai wacana tentang adat. Kebangkitan Indonesia di era reformasi barangkali dianggap sebagai momentum
kebangkitan adat justru kurang tepat sebab sebetulnya yang sedang terjadi adalah upaya multiplikasi wacana tentang adat. Jadi, kebangkitan adat yang seakan-akan
menawarkan era pembebasan adat justru menyangsikan kembali asumsi pembungkaman atau represi adat.
Adat yang dinilai terepresi sebetulnya sedang didorong, dirangsang, diadministrasikan, dinormalisasikan, dan didisiplinkan kembali. Dengan kata lain,
pembicaraan tentang adat saat ini hanya menuntun orang untuk beralih dari kebiasaan merasa kecewa akibat dominasi negara ke berbagai upaya untuk
mengendalikan adat agar lebih berbobot. Bahkan dilipatgandakan dalam wilayah kekuasaan dengan cara diproblematisasi agar relevan untuk dibicarakan.
69
Lantas, Bagaimanakah dengan kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon? Uraian
atas pertanyaan tersebut akan dibicarakan dalam sub bab berikut ini.
69
Michel Foucault 1997, Seks dan Kekuasaan, Terj. Rahayu S.Hidayat dari judul The History of Sexuality, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 20-22
2.2. Genealogi Kebangkitan Adat Ambon