Konsep Subyektivitas Kerangka Teoritik

merangsang dan menyebar luaskan kebenaran tertentu. Kebenaran itulah yang diterima oleh masyarakat sebagai pengetahuan. Apalagi didukung oleh otoritas institusi kekuasaan menjadikan pengetahuan tersebut semakin terlegitimasi dalam masyarakat. Implementasi konsep hubungan pengetahuan dan kekuasaan dalam penelitian ini memungkinkan saya untuk: pertama, melacak proses produksi dan operasionalisasi kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon. Selain itu, saya dimampukan untuk membicarakan secara tepat wacana kekuasaan tanpa harus terikat dengan berbagai penilaian moral terkait kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon; kedua, menyelidiki secara kritis keterlibatan institusi- institusi kekuasan di Ambon, dalam hal ini adalah lembaga-lembaga sosial yang konsen mengawal praktek dan perkembangan adat; ketiga, membahas kembali bagaimana kekuasaan itu bekerja dalam masyarakat Ambon, terutama dalam wilayah-wilayah ketidaksadaran yang selama ini seakan-akan terabaikan.

1.6.4. Konsep Subyektivitas

Teori subyektivitas mulai berkembang sejak abad ke-20. Subyektivitas lahir sebagai salah satu kategori analisis, terutama terkait konstruksi subyek dan berbagai cara pandang tentang subyektivitas sebagai produk budaya dan kekuasaan. Pemikiran dasar tentang subyektivitas dikembangkan oleh Freud dalam psikoanalisis, Jacques Lacan, Friedrich Nietzsche dan Michel Foucault. Salah satu di antara mereka yang menjadi perhatian khusus bagi saya saat ini adalah Michel Foucault. Subyektivitas dalam perspektif Foucault merujuk eksistensi individu yang produksi dalam relasi kekuasaan dan subordinasi dalam masyarakat. 36 Pembicaraan Foucault mengenai subyektivitas selalu dalam kaitannya dengan wacana kebenaran dan pengetahuan-kekuasaan. Wacana tidak hanya menjadi tempat memproduki kekuasaan melainkan subyek. Wacana mengkondisikan diri kita sebagai individu dalam ruang lingkup batasan tertentu yang memungkinkan kita untuk berpikir dan berkata-kata. 37 Dengan kata lain subyektivitas sebetulnya mencerminkan kesadaran dan ketidaksadaran pikiranide dan perasaanemosi individu, perasaannya terhadap diri sendiri dan cara memahami relasi antara diri sendiri dengan dengan dunia. 38 Itulah sebabnya subyektivitas selalu berada dalam proses pembentukan subject positions secara terus menerus dalam wacana setiap kali kita berpikir atau berbicara. Cara mengada individu way of being an individual dalam wacana berdasarkan identitas atau kriteria tertentu yang ditentukan secara rasional dan masuk akal. 39 Mengikuti cara pandang semacam ini, konstruksi subyek sebetulnya mengandung dua pengertian yakni subyek dalam kendali wacana ilmiah dan 36 Nick Macsfield 2000, Subjectivity: Theories of the self from Freud to Haraway, Australia: ALLEN UNWIN, Hlm. 52 37 Donald E. Hall 2004, Subjectivity: The New critical Idion, New York and London: Routledge, Hlm. 91 38 Julia Menard-Warwick 2005, “Both a fiction and an existential fact: theorizing identity in second language acquisition and literacy studies” dalam Linguistics and Education, Department of linguistics, one shields ave, USA: University of California, Hlm. 257 39 Ibid. subyek yang terikat dengan identitas. 40 Pertama-tama subyek dalam kendali wacana ilmiah merujuk pada proses objektivasi subyek melalui model-model wacana ilmiah seperti riset dan penelitian. Individu dikondisikan dalam rezim kebenaran yang diproduksi baik untuk melakukan kleim kebenaran tertentu maupun dengan tujuan untuk menaklukan orang lain. Individu dimungkinkan untuk melakukan pertanggungjawaban terhadap setiap tindakannya berdasarkan kebenaran tertentu. Tidak sebatas memberikan pertanggungjawaban; akan tetapi yang paling penting adalah subyek digambarkan seakan-akan defenitif ketika dijadikan sebagai objek analisis. Pada titik ini, wacana pengetahuan sebetulnya secara riil difungsikan sebagai instrumen kekuasaan dalam mengorganisir individu. 41 Senada dengan itu, baiklah untuk disadari pula bahwa logika penjara yang sering dipakai oleh Foucault untuk menjelaskan ide dari kuasa pendisiplinan subyek sejatinya bukan sebatas dalam pengertian institusi pengendali masyarakat melainkan sebagai pusat kekuasaan. Artinya pada level subyektivitas, penjarah merepresentasi proses pembentukan “way of forms of truth” dan “way of the methodology”. 42 Individu dijadikan sebagai objek analisis keilmiahan yang diproduksi dalam wacana berdasarkan standar kebenaran tertentu. Pada titik ini, individu dalam wacana ilmiah tidak bedanya dengan individu dalam wacana yang selalu berada dalam 40 Michel Foucault, “subject and Power” dalam Chicago Journals:Critical Inquiry, Vol 8 No.4, The University of Chicago Press, Hlm. 781 41 Nick Macsfield 2000, Subjectivity, Hlm. 59 42 Ibid., Hlm. 60 kendali pengawasan penuh dari pengetahuan ilmiah maupun pengawas seperti dalam penjara dengan prinsip panoptik. Fase kedua dari konstruksi subyek adalah ketergantungan subyek terhadap identitas. Individu yang selalu berada dalam keterikatan dengan identitasnya memposisikan dirinya sebagai subject-ed yang akan selalu tunduk terhadap aturan dan norma yang dibentuk oleh pengetahuan akan identitas. Keterikatannya ini mencerminkan proses konstruksi subyek sebagai objek dari diri sendiri melalui observasi diri observe himself, analisa diri analyze himself, interpretasi diri interpret himself, dan pengakuan diri recognize himself. 43 Pertanyaannya subyek patuh karena direpresi? Pada dasarnya, subyek patuh bukan kerena direpresi melainkan karena sedang terjadi proses objektivasi subyek. Dalam proses objektivasi, subyek patuh bukan karena direpresi melainkan karena oleh kehendak dan keinginan mendasar individu untuk hidup berdasarkan identitas tertentu yang ditawarkan kepadanya. Individu menjadi subyek ideal berdasarkan gambaran identitas yang diketahuinya. Konsekuensi logis dari proses konstruksi subyek semacam ini adalah diterimanya praktek pemisahan individu baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosial. Hal ini akan dapat diamati secara langsung pada pembahasan ini ketika menyaksikan bagaimana orang Ambon sebagai salah satu suku bangsa berusaha untuk menghidupi identitas ke-Ambon-annya secara ideal. Mengacu pada konsep subyektivitas semacam ini, dalam implementasinya saya dimampukan dalam penelitian untuk: pertama, memahami bagaimana orang 43 Donald E. Hall 2004, Subjectivity, Hlm. 92 Ambon dikondisikan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon; kedua, menunjukkan kondisi di mana masyarakat Ambon dibentuk menjadi individu- individu yang patuh, baik karena kendali wacana ilmiah tentang adat maupun karena kecintaan dan loyalitas mereka terhadap adat istiadatnya sendiri.

1.7. Teknik Pengumpulan Data