tidak lebih dari sebuah ketiadaan atau ilusi karena tidak akan dapat dilepaskan dari kendali wacana adat.
4.2.2. Ke-Ambon-an dalam Keterjebakan Identitas
Model objektivasi subyek terjadi pula melalui praktek pemisahan dividing practices entah dalam diri sendiri maupun dipisahkan dari orang lain. Praktek
pemisahan ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang sakit dalam hal ini adalah para penderita kusta yang dijustifikasi sebagai ‘plague victims’ seperti yang
ditunjukkan oleh Foucault; melainkan berlaku secara umum sebagai projek pendisiplinan individu warastak waras, berbahayatak
berbahaya, normalabnormal dan sekaligus sebagai sebuah metode analitis pendistribusian
kekuasaan.
194
Fenomena semacam ini selain menunjukkan proses objektivasi subyek melalui praktek pemisahan, lebih dari pada itu fenomena semacam ini
menunjukkan proses operasionalisasi kekuasaan yang bekerja secara efektif melalui mekanisme pengawasan. Pengawasan semacam ini mencerminkan sebuah
mekanisme pendisiplinan subyek yang tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan institusi-institusi kekuasaan seperti penjarah, sekolah, rumah sakit, keluarga, dan
negara sebagai yang pihak yang melegitimasi pengawas dan kontrol terhadap individu.
195
194
Ibid., Hlm. 199
195
Ibid.
Proyek pendisiplinan individu sebagaimana yang telah dijelas atas atas cara tertentu terjadi dalam lokalitas Ambon. Mengikuti cara pandang semacam
ini, mekanisme pendisiplinan yang mengobjektivasi orang Ambon terjadi melalui praktek pemisahan antara lokalpendatang; anak adatbukan anak adat.
Sayangnya, kenyataan semacam ini sering kali direduksi hanya sebatas mempersoalkan apakah yang bukan anak adat; atau pendatang dapat memimpin di
Ambon daerah adat, tanpa menyadari bahwa sistem biner semacam ini justru mereproduksi dan melegitimasi kekuasaan yang sedang dikritik. Para intelektual
dan tokoh adat sebagai aparat kebenaran sayangnya hanya sibuk mempersoalkan keistimewaan hak anak adat dari pada menyadari relasi kuasa yang menyebar
dalam masyarakat. Praktek dan mekanisme adat diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang terberi take for granted tanpa merasa perlu untuk mempertanyakan
secara kritis. Ketidaksadaran semacam ini penting untuk diungkapkan agar menjadi
otokritik dalam memahami secara krtis bagaimana diri dikendalikan oleh wacana adat. Pada titik ini pembicaraan dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon,
kiranya tidak lagi dibatasi sebatas sistim biner lokalpendatang akan tetapi bagaimana memahami diri sendiri dalam praktek dan mekanisme adat. Artinya
menyadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan selalu berdasarkan tipe subyek tertentu yang mempunyai sedikit pilihan karena dibungkam oleh adat. Dalam
konteks itu, diri selalu berada dalam keterikatan dengan identitasnya dengan
menjadi subject-ed yang tunduk pada aturan dan norma yang dibentuk oleh pengetahuan mengenai identitas diri.
196
Persoalannya adalah apakah keterikatan tersebut dikarenakan oleh adanya kondisi yang merepresi? Dalam perspektif Foucault, keterikatan tersebut pada
dasarnya bukan kerena sesuatu yang merepresi melainkan karena subyek itu didisiplinkan dengan cara diawasi, dipantau dan dinormalisasikan secara terus-
menerus sehingga menghasilkan sebuah kepatuhan. Kepatuhan semacam ini bukan didasarkan pada sebuah paksaan melainkan dengan cara menginternalisasi
kuasa penaklukan ke dalam diri sendiri. Proses internalisasi kuasa penaklukan ini dalam konteks wacana kebangkitan adat Ambon bekerja melalui keinginan
diseases of power menjadi seorang anak adat yang ideal; menjadi orang Ambon yang ideal.
Mekanisme kekuasaan bekerja melalui keinginan menjadi orang Ambon ideal, hidup berdasarkan identitas ke-Ambon-an ideal yang diasumsikan selalu
terikat dengan adat istiadat. Keterikatan dengan identitas ke-Ambon-an ini secara spesifik didasarkan pada relasi hubungan darah dan kesatuan teritorial. Pada titik
ini, proses objektivasi subyek terikat dengan identitas diri sebagai orang Ambon sungguh-sungguh menjadi sarana efektif dari aktualisasi kekuasaan. Kekuasaan
dalam konteks ini bekerja secara unverifiable, yakni individu tidak mengetahui kapan dirinya diawasi namun yakin bahwa ia sedang diawasi.
197
Dengan kata lain, identitas keambonan yang terbentuk melalui relasi hubungan darah atas salah satu
196
Michel Foucault, “subject and Power” dalam Chicago Journals:Critical Inquiry, Vol 8 No.4, The University of Chicago Press, hlm. 781
197
Michael Foucault 1979, Discipline and Punish, Hlm. 201
cara merepresentasikan mekanisme pengawasan panoptik yang membuat setiap individu orang Ambon sadar bahwa selalu berada dalam pengawasan dengan
menjadi orang Ambon yang baik, patuh, dan setia terhadap aturan dan mekanisme adat. Dengan cara semacam ini, kekuasaan tidak lagi sesuatu yang negatif seperti
larangan, hukuman, pemisahan, akan tetapi bersifat positif dengan tujuan untuk membentuk individu-individu yang patuh dan berguna.
4.3. Catatan Penutup