polemik seputar peran penduduk lokal dalam eforia wacana kebangkitan adat di Ambon tidak dibarengi oleh kesadaran kritis terhadap efek kekuasaan wacana
kolonialisme semacam ini. Konsekuensinya pembicarakan mengenai adat dan kebangkitannya tidak ditempatkan sebagai upaya untuk meresistensi kekuasaan
dominan; melainkan terdorong untuk mereproduksi dan mengukuhkan mekanisme kekuasaan dominan.
2.2.3. Polarisasi Agama dan Adat di Ambon
Di sisi lain, salah satu unsur penting yang tidak dapat diabaikan adalah pengaruh kekristenan.
85
Dominasi kekristenan terjadi melalui ajaran dan moralitas yang lambat laun mempengaruhi praktek adat. Agama dan adat semakin sulit
dipisahkan. Terjadi polarisasi antara agama dan adat dalam praksis hidup sosial di Ambon. Ada semacam pengabungan antara modernisme melalui agama dengan
tradisionalisme melalui adat. Salah contoh kongkrit yang saya jumpai ketika berada di Ambon adalah keterlibatan pemuka agama dan tokoh adat dalam ritual
adat seperti dalam gambar berikut ini:
85
Frank L. Cooley 1962, Ambonese Adat: a general description, Hlm. 2
Gambar 1: Pendeta bersama para kepala soa dalam upacara
adat di Baileo rumah adat.
Polarisasi agama dan adat dalam perkembangannya memicu pro-kontra antara golongan muda dan tua terkait wacana purifikasi kosmologi adat
“siwalima”. Hatib Adul Kadir dalam keteranganya menyatakan bahwa: “golongan muda yang berpendidikan dan mempunyai orientasi nasionalisme berjuang untuk
melucuti agama dari keterikatan adat karena selalu berhubungan dengan dunia tahyul, gaib, irasional, dan mistik. Akan tetapi golongan tua yang masih sangat
terikat dengan nilai-nilai tradisional justru tidak sependapat dengan golongan muda.”
86
Imaji nasionalisme tentang keindonesiaan dan tradisionalisme tentang adat dipertentangkan. Namun yang lebih menarik dari pertentangan tersebut
86
Hatib Abdul Kadir, “Sapa bale batu, batu bale dia: politik revivalisme tradisi siwalima orang Ambon pasca konflik” dalam jurnal Lakon, Vol.1 Juli 2012, Hlm. 66
adalah keinginan untuk tetap berada dalam bayang-bayang wacana kolonialisme dari pada dominasi Indonesia seperti yang ditegaskan oleh Hatib Abdul Kadir.
87
Keinginan untuk tetap berada dalam wacana kolonialisme dari pada dominasi Indonesia tidak terlepas dari warisan ideologi kolonial Belanda. Kondisi
semacam ini mencerminkan kenikmatan penduduk lokal terhadap wacana kolonialisme Belanda. Hal ini ditegaskan pula oleh Dieter Bartles, seorang
peneliti berkebangsaan Belanda. Menurut Dieter Bartles, sejak pemerintahan kolonial Belanda, penduduk lokal Ambon terutama kelompok kristen memiliki
hubungan istimewa dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini ditandai oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda merekrut kebanyakan orang Kristen
Ambon untuk bekerja entah sebagai tentara dan administrator, bahkan diberikan izin khusus untuk bersekolah di sekolah Belanda sampai jenjang tertentu yang
bagi kelompok Muslim Ambon sangat dilarang.
88
Kesempatan semacam ini lambat laun membentuk sikap superioritas di kalangan penduduk lokal, terutama
kelompok Kristen Ambon. Seiring dengan perjalanan waktu kelompok Muslim Ambon lambat laun
mulai menempati jajaran birokrasi politik. Terutama ketika diimplementasikannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1975 tentang pemerintahan daerah. Implementasi
kebijakan tersebut memberikan peluang besar bagi kelompok Muslim Ambon
87
Ibid.
88
Dieter Bartels, Tuhanmu Bukan lagi Tuhanku: Perang Saudara Muslim-Kristen di Maluku Tenggah Indonesia setelah hidup berdampingan dengan toleransi dan kesatuan Etnis yang
berlangsung selama setengah Milenium, Terj. Ani Kartikasari dari judul Your God is No Longer Mine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas Indonesia after a Half-Millennium
of Tolerent Co-Existence and Ethnic Unity, Hlm. 5
yang selama itu kurang diperhitungkan dalam struktur birokrasi politik di Maluku. Tidak hanya kepada penduduk Muslim Ambon; akan tetapi menjadi peluang juga
bagi kelompok Muslim pendatang yang ada di Ambon. Perubahan-perubahan semacam ini berdampak pada pergeseran kepemimpinan politik yang selama ini
lebih banyak di dominasi oleh penduduk lokal Kristen. Terutama kepemimpinan politik yang didasarkan pada ikatan adat. Model demokrasi liberal yang lebih
menekankan nilai kebebasan individu dan kesetaraan hak menimbulkan kegelisahan di kalangan tokoh adat dan elit lokal. Jabatan politik bukan lagi
menjadi kekuasaan mutlak melainkan menjadi hak setiap warga negara. Perubahan-perubahan konstelasi sosial politik Ambon semacam ini
merembes sampai pada level pemerintahan “negeri” ketika status pemerintahan “negeri-negeri” dikonversi oleh negara menjadi desa berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Pada kenyataannya perubahan ini memicu reaksi protes di kalangan para pemangku adat di Ambon.
Implementasi kebijakan nasional tentang desa diklaim memiliki peranan besar dalam penghancuran pranata adat di Ambon. Pada titik ini, kemunculan wacana
kebangkitan adat di Ambon bisa ditempatkan sebagai upaya untuk melindungi dan menjaga keluhuran nilai-nilai adat yang diwariskan oleh para leluhur dari generasi
ke generasi. Sayangnya, untuk masa sekarang sikap ormat terhadap adat tidak sebatas mencerminkan ekspresi religius masyarakat Ambon terhadap para leluhur;
melainkan cenderung difungsikan sebagai arena kontestasi kekuasaan politik dari pada memperjuangkan kelestarian nilai-nilai adat.
2.2.4. Adat dan Hubungan Darah