penelitian ini. Hal ini dilakukan dengan cara melokalisir pembicaraan masyarakat mengenai adat dalam rentang waktu kemunculannya sejak runtuhnya rezim Orde
Baru Suharto sejak 1998 dan secara khusus dalam lokalitas Ambon sejak peristiwa konflik pada 1999; ketiga, melakukan pembacaan ulang terhadap
kebenaran sejarah kebangkitan adat di Ambon. Terutama terkait kebenaran akan signifikansi kebangkitan adat di Ambon yang diterima begitu saja oleh
masyarakat tanpa merasa perlu untuk dipertanyakan kembali.
23
1.6.3. Konsep Kekuasaan-Pengetahuan
Foucault memahami kekuasaan tidak seperti biasanya dipahami oleh kebanyakan orang yang rentan jatuh dalam paham kekuasaan yuridis. Kekuasaan
tidak selamanya berpusat pada hukum atau larangan. Menurut Foucault cara pandang tersebut dianggap terlalu miskin, monoton, tidak inovatif dan cenderung
hanya akan mereproduksi mekanisme kekuasaan yang barangkali sedang dikritik. Menurut Foucault, tidak cukup memahami kekuasaan hanya sebatas hubungan
negatif negative relation, sistem biner insistence of the rule, siklus larangan cycle of prohibition, logika sensor logic of censorship, atau pun keseragaman
aparatus uniformity of the apparatus.
24
Kekuasaan perlu dilihat secara berbeda bukan sebatas himpunan lembaga yang menjamin kepatuhan warga, penundukan atau dominasi satu kelompok atas
23
Alec McHoul and Wendy Grace 1993, A Foucault primer: discourse, power and the subject, London and New York: Routledge, Hlm.33
24
Michel Foucault 1976, The History of Sexuality, Hlm. 83-84
kelompok lainnya dalam masyarakat. Sebaliknya menurut Foucault kekuasaan merupakan: “pertama, multiplikasi kekuatan hubungan imanen di mana
kekuasaan beroperasi. Kedua, kekuasaan adalah proses yang bergerak secara terus menerus dan saling mempertahankan, menguatkan, atau sebaliknya. Ketiga,
kekuasaan adalah rangsangan hubungan kekuatan yang membentuk rangkaian atau jaringan. Keempat, kekuasaan sebagai strategi yang saling mempengaruhi
terjadinya proses institusionalisasi yang terwujud dalam diri aparatus negara dan dalam formulasi hukum serta berbagai jenis hegemoni sosial”.
25
Cara pandang semacam ini menjadi dasar untuk melacak bagaimana dan melalui mekanisme
seperti apa kekuasaan itu beroperasi dalam wacana. Foucault melihat kekuasaan bukan sebagai sesuatu yang dimiliki
possession sebab kekuasaan itu tersebar dan bergerak secara terus menerus mengikuti mekanisme penyebaran kekuasaan dalam wacana.
26
Kekuasaan ada di mana-mana dan datang dari mana-mana. Kekuasaan adalah sebuah nama yang
diberikan untuk menamai suatu situasi strategi kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan bukan berasal dari penguasa atau negara, bukanlah milik individu atau
kelas tertentu, bukan komoditas yang dapat diraih, melainkan kekuasaan itu datang dari mana-mana dan menyebar kemana-mana.
27
Kekuasaan merupakan sebuah rangkaian chain, atau jaringan net, atau strategi yang menyebar
25
Ibid., Hlm. 92-93
26
Ibid, Hlm. 94
27
Madan Sarup 2003, Postrukturalisme dan Posmodernisme: sebuah pengantar kritis, Terj. Medhy Aginta Hidayat dari judul asli An Introductory Guide to Post-Structuralism and
Postmodernism, Yogyakarta: Jendela, Hlm. 126
kemana-mana dalam periode tertentu.
28
Oleh sebab itu agar disadari bahwa dalam wacana kekuasaan hubungan kekuasaan selalu bersifat imanen; selalu ada dalam
hubungan kekuatan dan merupakan efek langsung dari praktek dikotomik, ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan.
29
Dan yang tidak dapat dihindari dari model kekuasaan semacam ini adalah afirmasi dan resistensi kekuasaan. Artinya,
di mana ada kekuasaan, di situ pasti ada resistensi. Refleksi filosofis Foucault tentang kekuasaan berhubungan erat dengan
status pengetahuan. Pengetahuan dikonsepsikan sebagai kekuasaan yang tidak akan pernah membebaskan orang dari wacana kekuasaan. Pengetahuan itu sendiri
adalah kekuasaan yang memproduksi kebenaran. Kebenaran itu ditentukan dalam pengetahuan yang kemudian teraktualisasi dalam praktik wacana sosial. Dalam
konteks itu, kebenaran lantas dipakai sebagai alat konseptual untuk melegitimasi setiap tindakan politis dengan tujuan untuk menaklukan atau menguasasi orang
lain. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan semacam ini paling tidak didasarkan pada kejelian Foucault menangkap sublimasi hubungan pengetahuan
dan kekuasaan. Sublimasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan dipahami dengan cara
melokalisir “rasa ingin tahu” will to knowledge manusia. Untuk memahami gagasan will to knowledge, sejenak kita merujuk pada pembicaraan Foucault
mengenai seks dan kekuasaan dalam The History of Sexuality 1976. Dikemukakan bahwa sejak periode klasik di mana banyak orang ribut dengan
28
Sara Mills 2003, Michel Foucault, Hlm. 35
29
Michel Foucault 1976, The History of Sexuality, Hlm. 94
wacana tentang represi seks sebetulnya yang terjadi adalah bukan represi seks melainkan mendorong atau merangsang untuk membicarakan seks. Rangsangan
untuk membicarakan seks dari berbagai institusi kekuasaan seperti sekolah, gereja, medis dan lain sebagainya menyebabkan terjadinya ledakan wacana
tentang seks. Seakan-akan muncul semacam kebutuhan untuk membicarakan dan mengatur pembicaraan tentang seks dengan berbagai alasan pembenaran.
Rangsangan tersebut bukan dalam bentuk teori semata melainkan dalam bentuk analisis, penghitungan, klasifikasi dan spesifikasi kuantitatif dengan tujuan
untuk mencari rasionalitas kebenaran.
30
Muncul keinginan kuat untuk membicarakan seks secara terus-menerus dalam tatanan wacana represi. Kadang-
kadang keinginan ini dilandasi oleh upaya untuk menentang kuasa, mengungkap kebenaran, menjanjikan kebahagiaan, kebebasan, bahkan kenikmatan dalam satu
tatanan dunia baru.
31
Akan tetapi persoalannya bukan terletak pada menerima atau menolak wacana tentang represi seks, melainkan jika seks dikatakan terepresi
maka pertanyaannya adalah dari mana kita bisa mengatakan dengan penuh semangat bahwa seks direpresi?
Nampak dengan jelas bahwa Foucault tidak sedang menunjukkan benar tidaknya wacana tentang represi seks melainkan ingin menunjukkan kenikmatan
akan kekuasaan melalui rasa ingin tahu secara terus menerus tentang seks. Termasuk siapa yang membicarakan, posisi-posisi dan cara pandang
membicarakan seks, institusi-institusi kekuasaan yang mendorong masyarakat
30
Ibid., Hlm. 24
31
Ibid., Hlm. 7
untuk terus menerus membicarakan seks.
32
Rasa ingin tahu manusia inilah yang merupakan bagian integral dari produksi wacana tentang seks yang menjadikan
seks sebagai masalah yang seakan-akan perlu dan relevan untuk dibicarakan secara terus menerus. Tidak sekedar membicarakan seks; akan tetapi mencari
rasionalitas tentang kebenaran seks sebagai sebuah persoalan yang relevan dibicarakan.
Mencermati dinamika perkembangan wacana seks sebagaimana yang diungkapkan oleh Foucault dalam The History of Sexuality 1976 sebetulnya
yang terjadi adalah tindakan kompromi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam wacana tentang represi seks sehingga melahirkan kebenaran wacana tentang
represi seks. Menurut Foucault: “tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan tanpa kekuasaan. Hubungan kekuasaan dan pengetahuan
bukan pertama-tama didasarkan pada bebas tidaknya seseorang melainkan sebaliknya pada pengetahuan yang dimilikinya”.
33
Pengetahuan akan sesuatu memampukan seseorang membangun klaim kebenaran tentang sesuatu.
Bahanyanya kebenaran tersebut diterima sebagai satu-satunya kebenaran sehingga menjadikan orang patuh terhadap kebenaran tersebut. Pada titik ini pula,
sebetulnya eksistensi subyek bisa dipertanyakan kembali. Dalam pengertian bahwa subyek selalu merupakan hasil produk hubungan kekuasaan dan
32
Ibid., Hlm. 94
33
Michael Foucault 1979, Discipline and Punish: The Birth of the prison, Terj. Alan Sheridan dari judul asli Surveiller et punir, New York: Vintage Books, Hlm. 27
pengetahuan. Aktivitas subyek terbentuk dalam hubungan dengan pengetahuan dan kekuasaan, entah dengan tujuan untuk meresistensi atau mendominasi.
34
Sebagai cara untuk mengenali hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, Foucault menawarkan beberapa strategi baru sebagaimana yang
dilakukannya dalam analisis wacana tentang represi seks. “Pertama, histeria tubuh perempuan: tubuh perempuan menjadi objek analisis dengan tujuan untuk
menjamin kesuburan dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga, termasuk kehidupan anak. Kedua, pedagogisasi seks anak. Pedagogisasi seks anak
dengan tujuan untuk menghindari aktivitas seksual menyimpang anak dari bahaya baik fisik maupun moral, kolekif dan individual. Ketiga, sosialisasi perilaku
prokreatif. Sosialisasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai tanggungjawab ke dalam tubuh sosial untuk menjaga kesuburan pasangan, termasuk sosialisasi
medik sebagai praktek kontrol kelahiran. Keempat, psikiatrisasi kenikmatan yang menyimpang. Hal ini dilakukan dengan mengisolasi naluri biologis dan psikis
melalui intervensi klinis yang selalu merasa memiliki kepentingan untuk mengatur dan menghindari seluruh bentuk anomali seks”.
35
Keempat strategi tersebut tidak hanya menjadi kritik terhadap paham model kekuasaan tradisional yang kebanyakan bersifat hukuman dan larangan,
akan tetapi menjadi sarana untuk memperlakukan secara kritis peran insitusi- institusi kekuasaan seperti: gereja, kedokteran, sekolah, psikiatri, lembaga sosial,
dan lain sebagainya baik dalam hal reproduksi kebenaran maupun mendorong,
34
Ibid., Hlm. 28
35
Ibid., Hlm.104-105
merangsang dan menyebar luaskan kebenaran tertentu. Kebenaran itulah yang diterima oleh masyarakat sebagai pengetahuan. Apalagi didukung oleh otoritas
institusi kekuasaan menjadikan pengetahuan tersebut semakin terlegitimasi dalam masyarakat.
Implementasi konsep hubungan pengetahuan dan kekuasaan dalam penelitian ini memungkinkan saya untuk: pertama, melacak proses produksi dan
operasionalisasi kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat di Ambon. Selain itu, saya dimampukan untuk membicarakan secara tepat wacana kekuasaan tanpa
harus terikat dengan berbagai penilaian moral terkait kemunculan wacana kebangkitan adat di Ambon; kedua, menyelidiki secara kritis keterlibatan institusi-
institusi kekuasan di Ambon, dalam hal ini adalah lembaga-lembaga sosial yang konsen mengawal praktek dan perkembangan adat; ketiga, membahas kembali
bagaimana kekuasaan itu bekerja dalam masyarakat Ambon, terutama dalam wilayah-wilayah ketidaksadaran yang selama ini seakan-akan terabaikan.
1.6.4. Konsep Subyektivitas