dilibatkan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pemerintahan negeri di akhir tahun.
151
Bertolak dari pengalaman-pengalaman tersebut muncul keinginan di kalangan masyarakat pendatang untuk terlibat secara aktif dalam praksis
pemerintahan hukum adat. Ada keinginan untuk mengintensifkan peran-peran warga pendatang dengan membentuk “desa administratif tanpa harus terlepas dari
“negeri”. Dalam kesatuan dengan negeri adat, keinginan pembentukan sebuah desa administratif menjadi kerinduan warga pendatang. Hal ini juga dilakukan
sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak kewargaannya dalam kehidupan pemerintahan adat. Ada keinginan agar hak-hak warga
pendatang diperhatikan, terutama keterwakilan dalam pemerintahan negeri dan perlakuan yang adil terkait pelbagai bantuan yang diperuntukan bagi masyarakat.
3.4. Catatan Penutup
Adat pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk, hanya saja berbahaya ketika telah dirasuki oleh hasrat akan kekuasaan. Akibatnya adat tidak lebih dari
sebuah kendaraan politik para elit lokal dalam dinamika politik. Ikon-ikon adat dihadirkan hanya untuk memenuhi hasrat berkuasa dan popularitas diri. Bahkan
tidak segan-segannya mengobral gelar adat demi mendapatkan pengakuan publik atas otonomisasi adat dan kekuasaan yang dijalankan atas nama adat.
151
Tos Walunaman, Warga Larike, Wawancara, 20 Januari 2014, Relokasi Pengungsian Larike di Ambon.
Fenomena semacam ini mewarnai uraian bab ini. Tujuannya adalah untuk menyelami praktek diskursif adat di Ambon.
Dalam lokalitas Ambon, teknik menyingkap rezim wacana kekuasaan adat yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara
memperhatikan dan mengikuti gerakan perkembangan dan perluasan wacana adat. Mula-mula dengan memperhatikan kemampuan mengorganisasi diri,
pelembagaan adat, pembentukan norma adat, sosialisasi nilai-nilai adat sampai pada proses saling pengakuan antar warga, baik itu penduduk lokal maupun
pendatang. Seluruh uraian tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menyingkap pola-pola kekuasaan yang terbentuk dalam pratek dan wacana adat di Ambon.
BAB IV KEKUASAAN DAN SUBYEKTIVITAS
DALAM WACANA KEBANGKITAN ADAT AMBON
Bab IV membahas mengenai kekuasaan dan subyektivitas. Pembahasan mengenai kedua pokok persoalan tersebut dimaksudkan untuk menganalisa
hubungan kekuasaan dan konstruksi subyek dalam wacana kebangkitan adat. Mengacu pada tujuan tersebut, uraian ini diawali dengan menganalisa hubungan
kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Tujuannya adalah untuk membongkar hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan
adat Ambon. Uraian dilanjutkan dengan menganalisa proses pembentukkan subyek dalam wacana kebangkitan adat. Proses pembentukan subyek dalam
wacana menegasi proses objektivasi subyek dalam wacana melalui teknologi pendisiplinan subyek. Pembahasan mengenai hubungan kekuasaan dan konstruksi
subyek dalam wacana kebangkitan adat Ambon akan dijabarkan secara rinci di bawah ini.
4.1. Hubungan Kekuasaan dalam Wacana Kebangkitan Adat Ambon
Wacana merupakan tempat di mana hubungan kekuasaan diproduksi, disebarluaskan dan dilipatgandakan. Kekuasaan dalam wacana selalu bersifat
imanen dan co-ekstensif dengan tubuh sosial. Kekuasaan tidak berpusat atau dimiliki oleh lembaga atau kelompok tertentu. Kekuasaan itu datang dari mana-