Rezim Kebenaran Wacana Kebangkitan Adat

Kondisi semacam ini sering kali membuat kebanyakan orang tidak lagi menyadari eksistensi hubungan kekuasaan yang bercokol dalam wacana. Agar tidak selamanya terjebak dalam permainan kekuasaan dalam wacana maka hubungan kekuasaan dalam wacana perlu dibongkar. Secara khusus membongkar hubungan kekuasaan yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat Ambon. Dalam rangka membongkar hubungan kekuasaan dalam wacana kebangkitan adat Ambon, unsur pertama yang perlu dilakukan adalah membongkar kemapanan status pengetahuan akan kebenaran wacana kebangkitan adat.

4.1.1. Rezim Kebenaran Wacana Kebangkitan Adat

Analisa terhadap rezim kebenaran mau membidik keyakinan masyarakat akan status pengetahuan tertentu yang diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak. Kebenaran tersebut bekerja secara efektif dalam masyarakat tanpa merasa perlu untuk dipertanyakan. Sebaliknya cara memperlakukan kebenaran semacam ini justru semakin mengukuhkan wacana kekuasaan. Dengan kata lain, “kebenaran pada hakekatnya tidak pernah berada di luar kekuasaan sebab sesuatu yang seakan-akan diperlakukan sebagai kebenaran sebetulnya merupakan efek hubungan kekuasaan yang tersebar dalam wacana”. 152 Kebenaran selalu dikondisikan oleh wacana dengan menciptakan bahasa khusus untuk membicarakan kebenaran. Dengan cara semacam ini, keyakinan orang terhadap kebenaran akan dirangsang secara terus-menerus untuk selalu 152 Bdk., Madan Sarup 2003, Postrukturalisme dan posmodernisme, Hlm. 126 menggunakan bahasa yang telah disediakan. Akibatnya, orang patuh dan tergantung sepenuhnya terhadap suatu kebenaran yang diterima. Kondisi semacam ini biasanya disebut rezim kebenaran. Menurut Foucault: Each society has its regime of truth, its general politics of truth: that is the types of discourse which it accepts and makes function as true; the mechanisms and instances which enable one to distinguish true and false statements, the means by which each is sanctioned; the techniques and procedures accorded value in the acquisition of truth; the status of those who are charged with saying what counts as true. 153 Rezim kebenaran termanifestasi dalam bentuk wacana ilmiah scientific discourse yang diproduksi melalui riset dan penelitian-penelitian ilmiah. Selain riset dan penelitian, rezim kebenaran diproduksi juga melalui keterlibatan institusi-institusi kekuasaan yang bertindak sebagai agen-agen kekuasaan agencies of power. Keterlibatan institusi-institusi kekuasaan berkaitan dengan kepentingan mereka untuk mengatur, mendorong, menyebarkanluaskan dan melipatgandakan rezim kebenaran. 154 Selain institusi kekuasaan, penting untuk diperhatikan juga adalah peran kaum intelektual. Posisi kaum intelektual dalam rezim kebenaran wacana adalah mereka yang bertindak sebagai aparat kebenaran apparatus of truth. Sayangnya menurut Foucault kaum intelektual cenderung hanya berkutet pada profesinya semata, bertindak sebagai petty-bourgeois untuk melayani kepentingan 153 “Setiap masyarakat memiliki regim kebenaran, regim kebenaran dalam pengertian ini merujuk pada politik kebenaran: salah satu bentuk dari model wacana yang diterima dan difungsikan sebagai kebenaran; sebuah mekanisme atau kumpulan pernyataan yang dipakai sebagai dasar untuk membedakan antara benar dan salah, mendapatkan persetujuan; teknologi dan prosedur nilai dalam kebenaran; status yang mengubah pernyataan sebaliknya sebagai kebenaran”. Michel Foucault 1980, PowerKnowledge, Hlm. 131 154 Michel Foucault 1976, The history of sexuality, Hlm. 18 kapitalisme dari pada memikirkan rezim kebenaran yang ada dalam masyarakat. 155 Rezim kebenaran berfungsi sebagai sistem prosedural yang mengatur mengenai produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi dan operasionalisasi kebenaran dalam wacana. 156 Salah satu bentuk dari rezim kebenaran yang saya ingin bicarakan di sini adalah rezim kebenaran kebangkitan adat. rezim kebenaran kebangkitan adat mendasari rasionalitasnya pada fenomena-fenomena ketidakadilan seperti perampasan tatah-tanah ulayat oleh negara, eksploitasi hutan, konversi desa-desa adat dan keterwakilan putra daerah dalam struktur birokrasi politik di tingkat lokal. Dalam perkembangannya, persoalan-persoalan tersebut lantas dihubungkan dengan persoalan kehancuran adat. Tindak lanjut dari klaim akan kehancuran adat mendorong antusiasme perjuangan masyarakat untuk memilih mengurus diri sendiri berdasarkan adat istiadat di daerahnya masing-masing. Atas nama adat, pemerintah Orde Baru diklaim sebagai orde penindasan adat yang seakan-akan baru mengalami pembebasan di era reformasi. Kebebasan adat baru dialami secaara kongkrit di saat kemunculan wacana kebangkitan adat di penghujung Orde Baru. Wacana kebangkitan adat lantas ditindaklanjuti melalui pembentukan berbagai lembaga swadaya masyarakat baik di tingkat pusat maupun daerah yang memberi perhatian khusus terhadap upaya merevitalisasi adat. Pada titik ini, penting untuk dipertimbangkan adalah apakah adat benar- benar terepresi di masa Orde Baru dan baru mengalami pembebasan di era 155 Michel Foucault 1980, PowerKnowledge, Hlm. 132 156 Ibid., Hlm. 133 reformasi? Sebetulnya dari sisi transformatif yang terjadi adalah ledakan wacana tentang adat. Mengapa hal itu bisa terjadi? Foucault dalam The History of Sexuality 1976 menunjukan secara jelas proses terjadinya ledakan wacana seks. Ledakan wacana seks terjadi melalui proses institusionalisasi kekuasaan. Hal ini ditandai dengan penapisan kosa kata, pengaturan mengenai kapan tidak boleh membicarakan seks, dalam situasi apa, dan antara siapa. 157 Kondisi semacam ini sebetulnya tidak menegasi wacana tentang represi seks melainkan menegasi sebuah ledakan wacana tentang seks. Hal ini ditandai oleh sejarah keterlibatan institusi-institusi kekuasaan yang bekerja secara produktif dalam memproduksi, mengatur dan menyebarluaskan kebenaran wacana tentang seks. Bahayanya, produksi dan penyebaran kebenaran tentang seks tidak pernah berada di luar kekuasaan. Kebenaran tentang seks diproduksi dalam hubungannya dengan kekuasaan, dirangsang dan didorong melalui berbagai macam strategi kekuasaan yang bekerja secara produktif dalam masyarakat. Demikian pula yang terjadi di Ambon terkait wacana kebangkitan adat. Adat secara mengejutkan muncul ke ruang publik sebagai masalah. Adat sebagai representasi kebiasaan hidup dan ekpresi religius masyarakat terhadap para leluhur, tiba-tiba muncul sebagai sebuah persoalan. Kemunculan adat tidak sebatas upaya penyelesaian konflik; akan tetapi meluas ke mana-mana. Kemunculan adat semakin kompleks ketika adat dihubungkan dengan berbagai agenda politik. Di antaranya adalah urgensi penetapan kembali “negeri”, urgensi pembentukan dewan adat dan peraturan-peraturan daerah mengenai adat istiadat 157 Michel Foucault 1976, The history of sexuality, Hlm. 18 di Ambon. Memperhatikan dinamika perkembangan adat yang lambat-laun mulai membidik berbagai agenda politik, apakah kita masih bisa mengatakan bahwa adat direpresi ataukah sebaliknya terjadi ledakan wacana? Dengan mempertimbangkan praktek wacana kebangkitan adat di Ambon sebetulnya menegasi ledakan wacana adat. Ledakan wacana adat ditandai oleh keteribatan institusi-institusi sosial dan politik dalam mengatur dan mengawasi adat sejak kemunculannya pada 1999. Bahkan di sekitar wacana tentang adat malah terjadi proliferasi wacana proliferation of discourses. Hal ini ditandai dengan adanya pelipatgandaan wacana multiplication of discourses tentang adat dalam wilayah kekuasaan. Secara khusus mencakup pembicaraan mengenai adat secara intensif termasuk ritual adat, kebiasaan hidup dan ekpresi religius warga terhadap para leluhur, dan hak keistimewaan penduduk lokal Ambon dalam struktur birokrasi di tingkat lokal. Pembicaraan mengenai adat lambat laun bergeser ke topik pembicaraan mengenai kepemimpinan penduduk lokal Ambon. Pergeseran adat mencerminkan dinamika perluasan adat di Ambon, terutama terkait upaya penduduk lokal Ambon dalam melakukan birokratisasi adat, manejerialisasi adat, dan administrasi adat. Konsekuensinya, adat tidak lagi sebatas merepresentasikan kebiasaan hidup dan asal-usul; akan tetapi menegasi kelanggengan sikap orientalistik penduduk lokal Ambon. Sikap orientalistik ini ditandai dengan upaya untuk mendefenisikan diri sebagai orang lokal orang Ambon, pengaturan mengenai siapa saja yang dapat terlibat dalam kerja adat, pengkhususan ruang lingkup adat, bahkan batasan antar warga melalui pembedaan antara siapa yang disebut penduduk lokal dan warga pendatang. Di sisi lain, upaya untuk merumuskan ketidakadilan akibat sistem penyerangam budaya melalui kebijakan pusat mengenai konversi “negeri-negeri” adat menjadi desa menimbulkan persoalan. Artinya, upaya penetapan kembali “negeri” dan seluruh agenda politik berbasis adat justru sedang mereproduksi wacana orientalistik. Untuk itu klaim perlakukan diskriminasi sistemik, marginalisasi dan penyingkiran selama rejim orde baru seperti yang digambarkan oleh Brigitta Hauser-Schäublin dalam Adat and Indigeneity in Indonesia 2013 perlu dipertimbangkan kembali sebagai bagian dari hubungan kekuasaan- pengetahuan. 158 Ingat bahwa kekuasaan sama sekali tidak memberi daya untuk membicarakan sesuatu melainkan pengetahuan untuk membicarakannya adalah kekuasaan. 159 Pengetahuan merupakan kekuasaan yang bekerja melalui status pengetahuan. Pengetahuan tersebut memproduksi kesenangan dan kenikmatan untuk secara terus-menerus membicarakan adat baik untuk menentang dominasi kekuasaan negara maupun perlawanan untuk mengubah aturan-aturan agar bisa memasuki kehidupan baru yang lebih baik. 160 Adanya upaya menggabungkan kebenaran tentang adat dengan pemutarbalikan hukum dan proklamasi akan 158 Lih., Brigitta Hauser-Schäublin 2013, Adat and Indigeneity in Indonesia: Cultural and Entitlements between Heteronomy and self-Ascription, Hlm. 7 159 Michel Foucault 1976, The history of sexuality, Hlm. 94 160 Ibid., Hlm. 7 kedatangan hari baru yang lebih baik. 161 Akan tetapi yang tidak disadari dari upaya penggabungan kebenaran dengan pemutarbalikan hukum dan proklamasi akan kedatangan hari baru justru merupakan kondisi di mana kekuasaan itu beroperasi. Pembicaraan selama ini mengenai adat dan penyebaran kebenaran mengenai adat merupakan strategi di mana hubungan kekuasaan itu diproduksi dalam wacana kebangkitan adat. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan secara kongkrit berfungsi bukan untuk memberi daya mengatakan benar-salah melainkan pengetahuan itu sendirilah yang berfungsi untuk melegitimasi pernyataan mengenai kesalahan atau kebenaran tertentu mengenai adat. Jadi esistensi hubungan kekuasaan sebetulnya terletak pada status pengetahuan yang melegitimasi kebenaran akan kebangkitan adat. Kekuasaan tersebut kemudian direprodusi secara terus menerus dengan tujuan untuk melawan atau menguasai orang lain. Analisa hubungan kekuasaan, pengetahuan, dan kebenaran mengingatkan kita untuk selalu menyadari kehadiran wacana kekuasaan dalam masyarakat. Menurut Foucault: If power were never anything but repressive, if it never did anything but to say no, do you really think one would be brought to obey it? What makes power hold good, what makes it accepted, is simply the fact that it doesnt only weigh on us as a force that says no, but that it traverses and produces things, it induces pleasure, forms knowledge, produces discourse. It needs to be considered as a productive network which runs through the whole 161 Ibid. social body, much more than as a negative instance whose function is repression. 162 Pada dasarnya produksi rezim kebenaran dalam wacana berfungsi untuk melegitimasi setiap tindakan politis dengan tujuan untuk menaklukan atau menguasasi orang lain. Legitimasi tersebut tidak terlepas dari peran institusi dalam memproduksi dan menyebarluaskan wacana tertentu seperti wacana adat. Institusi-institusi menjadi arena di mana hubungan kekuasaan beroperasi dan berlipatganda. Itulah sebabnya hubungan kuasa dan institusi selalu ditempatkan dalam posisi kebutuhan dan keinginan institusi untuk mereproduksi, mengatur, merekam, mendengarkan dan menyebarluaskan wacana tertentu.

4.1.2. Proses Institusionalisasi Kekuasaan Adat