Kekuasaan Simbolik dalam Polemik Gelar Adat

nilai budaya “siwalima” terdistorsi, akan tetapi upaya merevitalisasi budaya “siwalima” justru mencerminkan hasrat akan kekuasaan untuk berkuasa di Ambon.

4.1.5. Kekuasaan Simbolik dalam Polemik Gelar Adat

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa gejolak kebangkitan adat tidak hanya memasuki fase pengintegrasian kekuatan lokal, akan tetapi mengalami perluasaan dengan cara mendorong atau merangsang pengakuan terhadap eksistensi adat. Secara simbolik pengakuan tersebut dirayakan melalui pemberian sejumlah gelar adat Maluku kepada kelompok elit politik seperti yang telah disebutkan dalam uraian bab sebelumnya. Beberapa elit politik cukup menyita perhatian publik Ambon adalah Dr. Susilo Bambang Yudoyono, Yusuf Kalla dan Ir. Said Assagaff. Praktek tersebut pada kenyataannya menimbulkan wacana kontroversial di kalangan anak muda Maluku dan para pemangku adat Maluku. Pada satu sisi praktek pemberian sejumlah gelar adat Maluku nampaknya dilandasi oleh kriteria penilaian normatif. Kriteria penilai normatif ini merujuk pada ukuran kepantasan seseorang menerima gelar adat. Rasio kepantasan berdasar pada pertimbangan historis dan rekam jejak sang penerima gelar adat. Dengan kata lain, pemberian gelar adat diperhadapkan dengan persoalan sejauhmana kontribusi sang penerima gelar adat terhadap kehidupan masyarakat Maluku. Di sisi lain, muncul suara-suara yang bernada lebih oposisi. Atas nama adat dan harga diri praktek pemberian gelar adat diklaim tidak pada tempatnya. Artinya praktek pemberian gelar adat diklaim bahwa cenderung dipolitisasi demi kepentingan politik berupa balas budi dan pencitraan diri. Bertolak dari polemik semacam ini sekilas memang menghadirkan keinginan kuat penduduk lokal untuk melindungi kehormatan adat. Akibatnya polemik gelar direduksi sebatas persoalan pantastidak pantas; benarsalah dari praktek tersebut. Akan tetapi yang hendak disoroti lebih kritis pada kesempatan ini bukanlah sekedar perkara pantas tidaknya seseorang menerima gelar adat; layak tidaknya seseorang menerima gelar adat; dan bukan pula sekedar balas budi atau pencitraan diri. Akan tetapi di balik polemik gelar adat yang melibatkan kelompok anak muda Maluku dan sebagian pemangkuh adat Maluku penting untuk dipertimbangkan bersama adalah kebutuhan untuk melakukan pengawasan secara efektif terhadap hasrat berkuasa yang diproduksi dalam wacana kebangkitan adat. Pengawasan ini tercermin dilakukan dengan cara mengisolasi pertimbangan-pertimbangan politis yang dinilai tidak mencerminkan jati diri ke- Ambon-an. Akibatnya tidak mengherankan jika muncul keinginan agar pemberian gelar adat hanya diperuntukan kepada seseorang yang berasal dari kelompok masyarakat yang secara gentik memiliki keterikatan emosional dengan masyarakat Ambon-Maluku. Sayangnya dalam situasi tersebut anak muda dan para pemangku adat lupa bahwa model pengawasan semacam ini sebetulnya bukan untuk melindungi adat; melainkan semakin mencerminkan kepatuhan total terhadap adat. Adat diposisikan sebagai nilai kekutamaan yang berfungsi mengatur dan mengawasi seluruh anggota masyarakat. Kepatuhan ini tercermin pula melalui keterjebakan mereka anak muda dan pemangku adat dalam wacana kontroversial yang diproduksi. Keterjebakan tersebut secara implisit mencerminkan kekuatan pendisiplinan subyek. Pada titik ini, Foucault mengingatkan kita agar selalu sadar bahwa kekuatan pendisiplinan sejatinya bukan untuk meniadakan individu yang kurang bermutu melainkan untuk melatih individu menjadi manusia yang patuh dan berguna. Model pengawasan semacam ini biasanya cenderung bersifat panoptik dengan prinsip unverifiable, yakni sadar bahwa diri selalu berada dalam pengawasan atau pantauan. 183 Melalui teknologi pendisiplinan, efek kekuasaan teraktualisasi secara mutlak dalam bentuk micro-physics of power mikro-fisik kekuasaan yakni pembentukan ruang validitas adat. Cara pandang ini berhubungan langsung dengan peran institusi kekuasaan dan aparat kebenaran kaum muda dan pemangkuh adat dengan cara membangun ruang validitas adat baik menyangkut nilai kepantasan atau ketidakpantasan; klaim politik balas budi dan pencitraan diri. 184 Untuk itu, persoalannya bukan lagi sekedar perkara pantas tidaknya pemberian sejumlah gelar adat, akan tetapi yang perlu dipertimbangkan di sini adalah dari mana kita bisa mengatakan kepantasan dan kelayakan tersebut? Mengapa kita bisa mengatakan praktek tersebut merupakan politik balas budi atau pencitraan diri? 183 Michael Foucault 1979, Discipline and Punish, Hlm. 201 184 Ibid., Hlm. 26 Lebih lanjut polemik seputar praktek pemberian gelar adat yang ribut dipersoalkan secara implisit mencerminkan otoritas kekuasaan masyarakat dalam internal Ambon. Dalam perspektif Foucault, kondisi semacam ini berhubungan dengan ide arts of government seni pemerintahan. Arts of government merujuk pada; Practices of government are, on the one hand, so varied that they involve a great number of people: the head of family, superior in the convent, the teacher or tutor in relation to the child or the pupil, so that there are several forms of government among which the Prince’s relation to his state is only one particular mode; and on the other hand, all these governments are internal to the states of society. 185 Arts of government mengandung otoritas kekuasaan pada tingkat micro- politics dengan tujuan untuk mendukung agenda politik kekuasaan pada tingkat macro-politics. Istilah micro-politics merujuk pada kekuasaan pemerintahan lokal sedangkan macro-politics merujuk pada kekuasaan negara. Posisi micro-politics di hadapan macro-politics bertujuan untuk mendukung atau menyebarkan agenda macro-politics. 186 Dengan cara semacam ini wacana kontroversial adat sebetulnya merupakan bagian dari bagaimana agenda negara direalisasikan pada tingkatan lokal. Konsekuensinya adalah mekanisme kekuasaan dominan negara yang mau dikritik justru sebaliknya direproduksi secara simbolik melalui gelar adat. 185 “Praktek pemerintahan yang pada satu sisi, sangat beragam sebab melibatkan sejumlah besar orang seperti melibatkan kepala keluarga, superior, guru atau tutor dalam relasinya dengan anak atau murid, sehingga beberapa bentuk pemerintahan yang terjadi dalam negara hanya mencerminkan salah satu aspek partikular dalam relasi kerajaan; di sisi lain, praktek pemerintahan lebih merujuk pada aspek internal dari kehidupan masyarakat dalam Negara”. Derek Hook 2007, Foucault, Psychology and the analytics of power, New York: Palgrave Macmillan, Hlm. 225. 186 Ibid., Hlm. 224 Kondisi semacam ini baiklah untuk disadari sebagai otokritik sebab sering kali agenda-agenda politik semacam ini hanya direduksi sebatas pantas tidak pantasnya praktek adat. Singkatnya, pada satu sisi wacana kekuasaan dalam polemik gelar adat menegasi otoritas kekuasaan dalam lingkup internal adat yang terlegitimasi melalui relasi hubungan darah. Di sisi lain, pereduksian polemik gelar adat hanya menunjukkan keterjebatan diri dalam kekuasaan adat.

4.2. Subyektivitas dalam Wacana Kebangkitan Adat Ambon