3.2. Perluasan Wacana Kebangkitan Adat Ambon
Pergerakan adat tidak semata-mata mengacu pada kemampuan mereorganisasi diri, melembagakan adat dan penetapan serangkaian norma adat.
Dari sisi perkembangan adat, terjadi semacam gerakan perluasan adat. Tindakan perluasan adat terjadi melalui kemampuan melakukan sosialisasi nilai-nilai adat.
Sosialisasi nilai-nilai adat dalam pengertian ini perlu dipahami dalam konteks perluasan prinsip-prinsip adat dengan menyasar pemahaman, pengertian dan
penerimaan adat sebagai nilai kebenaran utama yang wajib dilakukan bersama.
3.2.1. Mengembangkan Budaya Politik Berbasis Adat
Pembentukan masyarakat berdasarkan hukum adat merujuk pada model pengelompokan masyarakat berdasarkan relasi hubungan darah yang terlokalisir
dalam lingkup “negeri-negeri” adat. Setiap “negeri” terdiri atas lima atau sembilan soa dan memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri.
Itulah sebabnya “soa” sebagai persekutuan teritorial yang terikat dalam relasi hubungan darah memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan
sosial politik penduduk lokal di Ambon. Secara khusus kehidupan sosial politik berdasarkan hubungan darah yang
teraktualisasi dalam ide “siwalima”. Untuk itu, meski “siwalima” pada dasarnya merupakan representasi hubungan darah dalam bentuk soa, akan tetapi perluasan
prinsip-prinsip “siwalima” secara umum membentuk budaya induk yang
diharapkan dapat memayungi nilai-nilai kultural lainnya di Maluku.
129
Asumsi dibalik pembentukan “siwalima” sebagai budaya induk dilatarbelakangi oleh
keyakinan bahwa “siwalima” dengan sifat monodualistik mampu mengayongi dan menyatukan seluruh perbedaan dalam keberagaman nilai dan budaya di Maluku.
Hanya ada satu sistem budaya masyarakat Maluku yakni sistem budaya “siwalima”. Sistem budaya budaya “siwalima” melingkupi seluruh seluruh sistem
budaya di Maluku. Sistem budaya di luar sistem budaya “siwalima” yang ada di Maluku, di antaranya: “Rentemena Barasche” dari pulau Buru; “Saka Mese
Nusa” dari Seram Bagian Barat, “Pamahanu Nusa” dari Maluku Tengah, “Itu Wotu Nusa” dari Seram Bagian Timur, “Manggurebe Maju”, dari Kota Ambon,
“Kalwedo Kidabela” dari Maluku Tenggara Barat, “Larwul Ngabal” dari Maluku Tenggara, “Maren” dari kota Tual, “Ursiu Lurlima” dari kepuluan Aru”.
130
Sistem budaya “siwalima” sebagai budaya politik meski sudah berkembang lama di Maluku, akan tetapi terkesan masih sebatas mistifikasi. Ada ketidakjelasan
pembahasan mengenai “siwalima”, batasan dan ruang lingkupnya ketika harus diperhadapkan dengan identitas kultural masing-masing daerah di Maluku.
Persoalannya adalah mengapa harus “siwalima” dan bukan identitas kultural lainnya?
Secara historis penggunaan “siwalima” sebagai budaya politik dalam lingkup daerah Maluku telah dimulai sejak 1952 ketika “siwalima” digunakan
129
Joseph Antonius Ufi, Dosen FKIP Universitas Pattimura Ambon dan pengamat budaya serta konsultan Institut Tifa Damai Maluku, Wawancara, 10 Januari 2014, Galala- Ambon
130
Lembaga Kebudayaan Maluku 2011, Citra Budaya Maluku dalam pola pemahaman sistemik, Ambon: Lembaga Kebudayaan Maluku Pemerintah Provinsi Maluku, Hlm. 11
sebagai lambang provinsi Maluku. “Siwalima” dipakai untuk menghadirkan identitas kultural masing-masing daerah di Maluku sebagaimana nampak dalam
perisailogo pemerintah Provinsi Maluku berikut ini:
Gambar 5: Lambang Perisai “Siwalima” Provinsi Maluku
131
Secara harafiah pemaknaan “siwalima” dilakukan berdasarkan penafsiran atas karakteristik masing-masing daerah di Maluku, seperti daun sagu, daun
kelapa, mutiara, tombak, palacengkeh, gunung, laut dan perahu. Masing-masing bagian dari perisai mencerminkan keunikan dan keragaman budaya masyarakat
Maluku antara lain: “Daun sagu yang berjumlah 45 melambangkan daya hidup dan
sagu adalah makanan khas orang Maluku. Daun kelapa yang berjumlah 17 melambangkan hasil bumi masyarakat Maluku
Utara. Mutiara yang berjumlah 8 melambangkan hasil kekayaan laut masyarakat Maluku Tenggara, khususnya masyarakat
kepulauan Aru. Pala dan cengkeh melambangkan daerah Maluku sebagai kepulauan rempah-rempah. Tombak melambangkan
kemampuan dan tekad untuk mempertahankan hidup. Gunung melambangkan daerah Maluku Tengah, Maluku Tenggara,
Maluku Utara yang bergunung dan kekayaan hasil hutan yang melimpah. Laut melambangkan kekayaan hasil laut dengan 9
gelombang yang melambangkan patasiwa dan 5 gelombang yang
131
“Lambang Siwalima”, diakses dari http:www.malukuprov.go.idindex.php2014-01-29-11-12-
57arti-lambang , pada hari sabtu 23 Agustus 2014, 05:12 wib
melambangkan patalima sebagai dasar susunan kesatuan masyarakat adat Maluku. Perahu melambangkan pemerintahan
yang didasarkan pada persatuan dan kekeluargaan menuju kemakmuran”
132
Pemaknaan atas “siwalima” sebagaimana yang dikemukakan di atas tentu akan menjadi lumrah ketika direduksi sebatas objek material setiap elemen pada
perisai “siwalima”. Persoalan tersebut berkaitan dengan pembentukan makna “siwalima” sebagai budaya birokrasi yang diharapkan agar tidak hanya sebatas
simbol atau lambang belaka, melainkan dapat memberikan ruang kepada seluruh masyarakat untuk dapat terlibat dalam kehidupan berpolitik.
Sayangnya, tingkat partisipasi warga dalam dinamika politik lokal cenderung masih direduksi berdasarkan mekanisme hukum adat. Mekanisme adat
hanya diperuntukan bagi anak adat atau penduduk lokal Ambon. Oleh sebab itu mekanisme adat yang diharapkan dapat mengakomodir peran-peran warga
pendatang dalam kehidupan berdemokrasi, secara khusus pada level “negeri” pada kenyataannya masih sulit terjadi. Tidak sebatas terjadi penonjolan identitas
melainkan munculnya dikotomi ruang politik atas nama adat. Berdasarkan kondisi semacam ini patut untuk dipertimbangkan adalah sejauhmana kemunculan adat
mampu mengefektifkan peran serta masyarakat tanpa harus membeda-bedakan ras, agama dan etnis dalam dinamika politik lokal? persoalan ini berhubungan
dengan legitimasi adat sebagai budaya politik berdampak pada pembentukan
132
Badut W. Andibya 2008, The wonderful Islands Maluku: Membangun kembali Maluku dengan nilai-nilai dan khazanah lokal, serta prinsip enterpreneurial government, beragam potensi
dna peluang investasi, Jakarta: Gibon Group Publications, Pusat studi korporasi Indonesia dan Pemerintah Provinsi Maluku, Hlm. 115-116
ruang politik tunggal dan penonjolan identitas penduduk lokal Ambon dalam ruang publik
Di sisi lain, penerapan model “demokrasi soa parentah” dengan tujuan untuk mencapai ideal demokrasi pada kenyataannya menimbulkan konsekuensi
problematik.
133
Pada satu sisi ide “demokrasi soa parentah” bertujuan agar memberikan ruang kepada masyarakat daerah dalam mengurus rumah tangga
sendiri berdasarkan adat istiadat. Akan tetapi di sisi lain, penerapan “demokrasi soa parentah” menimbulkan potensi menafikan keterlibatan orang lain yang
bukan merupakan anggota masyarakat terlibat dalam praktek adat. Mekanisme adat pada dasarnya tidak memungkinkan keterlibatan orang lain di luar anggota
komunitas adat. Hak dan kekududukan adat adalah hak dan tanggungjawab setiap anggota masyarakat adat anak adat dalam lokalitas Ambon.
Pertanyaannya sekarang, apakah wacana kebangkitan adat bertujuan untuk meresistensi mekanisme kekuasaan negara yang dikritik melalui penetapan
kembali negeri ataukah malah melipatgandakan mekanisme kekuasaan yang sedang dikritik? Pembentukan formasi hegemonik pada dasarnya tidak
dimaksudkan untuk menciptakan dominasi baru dalam ruang politik, melainkan mengefektifkan perjuangan politik sendiri. Untuk itu, partisipasi setiap warga
133
Pada kenyataannya model “Demokrasi Soa Perintah” masih dibedakan dengan model “demokrasi rumahtau perintah”. Meski kedua model tersebut mengacu pada legitimasi
kepemimpinan adat berdasarkan hubungan darah, akan tetapi secara radikal model demokrasi rumahtau perintah lebih menitik beratkan pada rumahtau keluarga dari garis keterunan raja.
Selain itu, pada kenyataannya model demokrasi soa perintah pada umumnya dapat ditemui di kebanyakan negeri-negeri adat Kristen, sedangkan model demokrasi rumahtau perintah lebih
banyak dapat dijumpai pada negeri-negeri adat Islam…….Disampaikan oleh Bapak Abdullah Malawat, raja negeri Mamala dan mantan ketua dewan adat Maluku Latupati, Wawancara, 19
Januari 2014, Mamala-Ambon
patut dipertimbangkan dalam keseluruhan bangunan demokrasi adat agar sebagian warga tidak hadir sebagai penonton.
3.2.2. Mengintensifkan Kepemimpinan Lokal